- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
[Cerita Horor] Surat Misterius di Perpust Kampus di Jogja


TS
iogia
[Cerita Horor] Surat Misterius di Perpust Kampus di Jogja
Dear Agans dan Momod di manapun Agan berada,
Ini adalah kisah yang ane dapat dari sohib ane bernama Raras Indah. Saat ini Raras sedang kuliah di fakultas Psikologi di kampus yang terletak di Jakal KM 14.
***
***
Kisah Raras yang lain bisa Agan dapatkan di sini.
Salam hangat dari Iogia.
Ini adalah kisah yang ane dapat dari sohib ane bernama Raras Indah. Saat ini Raras sedang kuliah di fakultas Psikologi di kampus yang terletak di Jakal KM 14.
Spoiler for Suatu Malam di Perpust Jakal KM14:
Lewat pukul 10.00 malam, Lana masih asyik membaca lembar per lembar jurnal psikologi. Ia tidak sadar telah menghabiskan waktu enam jam berada di perpustakaan kampus yang lama. Dua jam sebelumnya, tempat itu sudah steril dari para pengunjung dan petugas.
Spoiler for 2 jam Sebelumnya:
“Lana, ini sudah pukul 08.00, hlo. Kamu tidak pulang?” tegur Pak Bagas, petugas tertua di perpustakaan itu.
“Bapak duluan saja. Nanti biar saya yang mengunci perpustakaannya,” balas Lana sekenanya.
Pak Bagas tidak berani memaksa Lana pulang jika memang anak itu belum menghendaki pulang. Ia meninggalkan Lana tanpa berucap kata lagi. Selama dua puluh tahun ia menjadi petugas perpustakaan, Lana adalah mahasiswi pertama yang berani menentang malam di perpustakaan ini. Perpustakaan tua yang sudah tidak lagi diminati oleh banyak mahasiswa. Selain karena munculnya perpustakaan baru di kampus, tempat ini bisa dikatakan sudah tidak layak huni. Buku-buku usang tidak lagi berjejer rapi di rak. Raknya saja mendekati kemiringan yang kritis. Permukaan meja dan kursi yang tak lagi utuh menambah deretan buruknya fisik tempat itu. Desas-desus bahwa perpustakaan ini dihuni oleh makhluk tak berwujud pun turut menghiasi gambaran angkernya tempat ini. Semua orang, termasuk Lana tahu, tapi mereka memilih mengabaikannya.
“Bapak duluan saja. Nanti biar saya yang mengunci perpustakaannya,” balas Lana sekenanya.
Pak Bagas tidak berani memaksa Lana pulang jika memang anak itu belum menghendaki pulang. Ia meninggalkan Lana tanpa berucap kata lagi. Selama dua puluh tahun ia menjadi petugas perpustakaan, Lana adalah mahasiswi pertama yang berani menentang malam di perpustakaan ini. Perpustakaan tua yang sudah tidak lagi diminati oleh banyak mahasiswa. Selain karena munculnya perpustakaan baru di kampus, tempat ini bisa dikatakan sudah tidak layak huni. Buku-buku usang tidak lagi berjejer rapi di rak. Raknya saja mendekati kemiringan yang kritis. Permukaan meja dan kursi yang tak lagi utuh menambah deretan buruknya fisik tempat itu. Desas-desus bahwa perpustakaan ini dihuni oleh makhluk tak berwujud pun turut menghiasi gambaran angkernya tempat ini. Semua orang, termasuk Lana tahu, tapi mereka memilih mengabaikannya.
Spoiler for SMS dari Ibunya:
‘Tit. Tit. Tit.’ Konsentrasi Lana buyar dengan datangnya bunyi pesan di ponselnya.
‘Nak, pulanglah. Jangan terlalu memforsir diri untuk menyelesaikan penelitianmu. Mama tunggu di rumah ya. Hati-hati di jalan.’
‘Nak, pulanglah. Jangan terlalu memforsir diri untuk menyelesaikan penelitianmu. Mama tunggu di rumah ya. Hati-hati di jalan.’
Spoiler for Surat Misterius:
Jika Mama sudah berkata seperti itu, Lana tidak mungkin mengabaikannya seperti ia mengabaikan teguran Pak Bagas. Lana terlalu menghormati mama. Ia pun segera menata berbagai jurnal dan buku yang berserakan di atas mejanya. 15 jurnal dan 2 buku ilmiah dihabisinya tanpa ampun. Di tengah-tengah kesibukannya membereskan buku, tiba-tiba ia menemukan sepucuk surat di samping kursinya. Lana mengkerutkan kening.
“Sejak kapan ada surat di sini? Perasaan dari tadi siang aku duduk di sini sendiri.”
Surat itu tanpa amplop dan keterangan. Jadi hanya sebuah kertas yang dilipat persegi saja. Lana pun membukanya dengan segera.
“Sejak kapan ada surat di sini? Perasaan dari tadi siang aku duduk di sini sendiri.”
Surat itu tanpa amplop dan keterangan. Jadi hanya sebuah kertas yang dilipat persegi saja. Lana pun membukanya dengan segera.
Spoiler for Isi Surat Misterius:
‘Aku ingin berilmu pengetahuan tinggi sepertimu. Apa kamu mau menyediakan waktu satu jam saja setiap malam untuk memberiku ilmu? Ilmu apapun itu. Aku mohon.’
Spoiler for Surat Misterius Ditulis dengan Tinta Tak Lazim:
Bentuk tulisan tersebut masih buruk dan tidak beraturan. Juga alat yang dipakai untuk menulis pun tidak wajar. Lana memberanikan diri untuk mencium kertas itu. Seketika itu, bulu kuduk Lana serempak berdiri tegak. Ia tidak menduga akan bertemu dengan hal mistis di sekitarnya.
“Apa-apaan ini? Ia menggunakan darah untuk menuliskan ini,” gumam Lana sembari terus membaca ulang kalimat-kalimat itu.
“Apa-apaan ini? Ia menggunakan darah untuk menuliskan ini,” gumam Lana sembari terus membaca ulang kalimat-kalimat itu.
Spoiler for Sebuah Vas Jatuh Tanpa Sebab:
‘Bruk.’ Lana tersentak. Ia melihat ke sekeliling ruang, mencari benda apa yang baru saja jatuh itu. ‘Prang!’. Sementara Lana belum tahu benda apa yang jatuh, tiba-tiba ia melihat vas bunga jatuh dari meja kerja Pak Bagas. Ini semua di luar akal manusia. Lana merasa ingin segera lari dari tempat itu, tapi ia lupa bertanya dimana Pak Bagas menaruh kunci perpustakaan. Jika ia keluar begitu saja, kampus akan memarahinya. Mereka tidak akan mempercayai Lana lagi untuk menjadi penghuni terakhir perpustakaan yang dicintainya itu. Ia mencoba menghubungi Pak Bagas. Sambil menunggu jawaban dari seberang, ia teringat pembicaraannya dengan Pak Bagas dua minggu silam.
***
Spoiler for Peringatan dari Pustakawan:
“Apa yang menyebabkan kamu suka dengan perpustakaan ini? Sampai-sampai kamu baru beranjak keluar di atas jam 09.00?” tanya Pak Bagas di sela-sela kesibukan Lana mengetik naskah penelitian di perpustakaan ini.
“Saya jatuh cinta pada tempatnya, Pak. Ruangannya klasik. Lagipula, di sini tidak seramai perpustakaan yang baru itu. Dan saya memang suka yang sepi, Pak.”
“Sampai kamu gemar berada di sini hingga larut malam, ya. Apakah itu tidak terlalu sepi?”
“Namanya juga orang asyik menulis, membaca. Kan dia jadi kayak di dunianya sendiri, Pak.”
“Termasuk kamu tidak pernah sadar dengan kehadiran seseorang di sini setiap malam.”
“Maksud Pak Bagas?” Lana menatap tajam Pak Bagas yang sedang mengamati sekeliling ruangan.
“Sekali-kali sadarlah dengan keadaan. Termasuk dia yang ingin berteman denganmu. Hati-hati, hlo. Suatu saat ia bisa marah dengan sikapmu yang acuh terhadap lingkungan.”
“Dia siapa, Pak?”
Pak Bagas tidak melanjutkan kata-katanya. Ia memilih beranjak meninggalkan Lana, kembali dengan pekerjaan administrasinya. Sampai Pak Bagas kembali ke meja kursinya, Lana masih menatapnya penuh tanya. Lana merasa Pak Bagas sedang mengigau.
“Saya jatuh cinta pada tempatnya, Pak. Ruangannya klasik. Lagipula, di sini tidak seramai perpustakaan yang baru itu. Dan saya memang suka yang sepi, Pak.”
“Sampai kamu gemar berada di sini hingga larut malam, ya. Apakah itu tidak terlalu sepi?”
“Namanya juga orang asyik menulis, membaca. Kan dia jadi kayak di dunianya sendiri, Pak.”
“Termasuk kamu tidak pernah sadar dengan kehadiran seseorang di sini setiap malam.”
“Maksud Pak Bagas?” Lana menatap tajam Pak Bagas yang sedang mengamati sekeliling ruangan.
“Sekali-kali sadarlah dengan keadaan. Termasuk dia yang ingin berteman denganmu. Hati-hati, hlo. Suatu saat ia bisa marah dengan sikapmu yang acuh terhadap lingkungan.”
“Dia siapa, Pak?”
Pak Bagas tidak melanjutkan kata-katanya. Ia memilih beranjak meninggalkan Lana, kembali dengan pekerjaan administrasinya. Sampai Pak Bagas kembali ke meja kursinya, Lana masih menatapnya penuh tanya. Lana merasa Pak Bagas sedang mengigau.
***
Spoiler for Lagi-lagi Surat Misterius di Meja Pustakawan:
Hampir sepuluh menit Lana mencoba menghubungi Pak Bagas, ia belum juga mendapat jawabannya. Jantung Lana terus berdegup kencang. Keringat mengucur deras ke seluruh tubuhnya. Dengan langkah gemetar, ia memberanikan diri mencari kunci itu. ‘Tap. Tap. Tap.’ Ia melangkah dengan cepat menuju meja kerja Pak Bagas, meskipun suara sepatu flatnya membuatnya semakin merinding sendiri. Sampai di meja Pak Bagas, ia terperanjat kaget. Ia hampir terhuyung pingsan melihat ada tulisan darah di atas kertas tergeletak di meja itu. Ia hanya berani membaca tanpa mampu menyentuhnya.
‘Jika kamu berilmu, kamu tidak akan pernah takut pada apapun, kecuali Tuhamu. Kembalilah ke tempat dudukmu dengan tenang.’
Lana mencubit seluruh tubuhnya sambil memejamkan mata. Ia berharap peristiwa ini hanya mimpi. Semakin lama ia mencubit dirinya sendiri, ia semakin sadar bahwa ia tidak bisa lari dari hal nyata ini. Ia merasa bodoh saat digurui oleh makhluk itu. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menurutinya.
“Ma. Aku ingin pulang. Aku ingin segera menikmati masakan mama,” gumam Lana sambil menitikkan air mata.
Sampai di kursi, Lana mencoba menenangkan diri sambil terus memejamkan mata. Satu detik….dua detik….tiga detik…. Lana merasakan suasana perpustakaan lima kali lebih hening dari keheningan biasanya. Ia merasakan tubuhnya semakin ringan. Ia seperti digiring seseorang menuju sebuah tempat. Dan lihatlah! Sekarang ia berada di sebuah perpustakaan yang sepertinya ia kenal.
‘Jika kamu berilmu, kamu tidak akan pernah takut pada apapun, kecuali Tuhamu. Kembalilah ke tempat dudukmu dengan tenang.’
Lana mencubit seluruh tubuhnya sambil memejamkan mata. Ia berharap peristiwa ini hanya mimpi. Semakin lama ia mencubit dirinya sendiri, ia semakin sadar bahwa ia tidak bisa lari dari hal nyata ini. Ia merasa bodoh saat digurui oleh makhluk itu. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menurutinya.
“Ma. Aku ingin pulang. Aku ingin segera menikmati masakan mama,” gumam Lana sambil menitikkan air mata.
Sampai di kursi, Lana mencoba menenangkan diri sambil terus memejamkan mata. Satu detik….dua detik….tiga detik…. Lana merasakan suasana perpustakaan lima kali lebih hening dari keheningan biasanya. Ia merasakan tubuhnya semakin ringan. Ia seperti digiring seseorang menuju sebuah tempat. Dan lihatlah! Sekarang ia berada di sebuah perpustakaan yang sepertinya ia kenal.
Spoiler for Perjumpaan dengan Makhluk Penulis Surat:
“Hai,” sapa seorang perempuan dengan baju serba putihnya. Rambutnya panjang terurai. Wajahnya menawarkan pesona keramahan dan pertemanan.
“Kamu siapa?”
“Pengunjung terakhir perpustakaan ini.”
“Bukannya aku?”
“Kamu terlalu sombong dengan ilmu pengetahuan yang kamu punya. Sampai-sampai kamu tidak sadar kehadiranku setiap malam di sini.”
“Itu wajar karena kamu bukan manusia. Inderaku tidak sampai untuk berkawan denganmu,” ujar Lana tanpa rasa takut.
“Tapi seharusnya kamu bisa merasakannya. Tapi, wajarlah. Kamu berjalan di atas prinsip empiris. Jadi kamu mampu menangkal desas-desus mistis. Lana, bolehkah aku menuntut ilmu denganmu? Aku sangat ingin sekali berilmu.”
“Memangnya kamu habiskan hidupmu dengan apa saja sampai-sampai kamu meminta padaku untuk itu?”
“Dunia seringnya adalah pisau yang suka membelah keadaan menjadi dua. Orang tuaku tidak memiliki cukup biaya untuk menyekolahkanku, padahal aku ingin sekali sekolah. Aku sering ingin merebut hak mereka yang mampu bersekolah, tapi tidak bisa memanfaatkan ilmu sebaik mungkin. Lana, sampai mati pun aku belum tenang sebelum berilmu banyak.”
“Kamu siapa?”
“Pengunjung terakhir perpustakaan ini.”
“Bukannya aku?”
“Kamu terlalu sombong dengan ilmu pengetahuan yang kamu punya. Sampai-sampai kamu tidak sadar kehadiranku setiap malam di sini.”
“Itu wajar karena kamu bukan manusia. Inderaku tidak sampai untuk berkawan denganmu,” ujar Lana tanpa rasa takut.
“Tapi seharusnya kamu bisa merasakannya. Tapi, wajarlah. Kamu berjalan di atas prinsip empiris. Jadi kamu mampu menangkal desas-desus mistis. Lana, bolehkah aku menuntut ilmu denganmu? Aku sangat ingin sekali berilmu.”
“Memangnya kamu habiskan hidupmu dengan apa saja sampai-sampai kamu meminta padaku untuk itu?”
“Dunia seringnya adalah pisau yang suka membelah keadaan menjadi dua. Orang tuaku tidak memiliki cukup biaya untuk menyekolahkanku, padahal aku ingin sekali sekolah. Aku sering ingin merebut hak mereka yang mampu bersekolah, tapi tidak bisa memanfaatkan ilmu sebaik mungkin. Lana, sampai mati pun aku belum tenang sebelum berilmu banyak.”
Spoiler for Tawar Menawar dengan Makhluk Penulis Surat Misterius:
Perempuan itu berusaha memasang muka tegar, bak ia sudah terlalu lelah untuk menyesali semua. Lana menangkap muka ketulusan dan harapan di mata perempuan itu. Sungguh, baru kali ini Lana melihat ada seseorang yang sangat menginginkan untuk berilmu, meskipun ia sudah tak berjasad.
“Kenapa kamu berada di tempat ini?”
“Ayahku bekerja di sini. Aku kira dengan begitu aku bisa menguasai ilmu di sini, tapi ternyata tidak seperti itu. Satpam di sini terlalu keji untuk menghalangi orang yang ingin mencari ilmu.”
“Maksudmu?” Lana memberanikan diri untuk mendekati perempuan itu.
“Dulu, selain warga kampus, orang lain tidak boleh masuk ke tempat ini. Tapi, aku nekad. Setiap hari aku menyelinap masuk ke sini, kemudian mengambil buku. Aku membaca di gudang samping tempat ini. Sayangnya hal itu sering tidak berjalan mulus. Ada satpam yang sering memergokiku di gudang dan tidak tanggung-tanggung, ia mengayunkan tongkatnya ke tubuhku.”
“Ya, itu kamu yang salah. Kamu belajar tidak pada tempatnya,” sela Lana.
“Sedangkal itukah pikiranmu wahai mahasiswi yang dielu-elukan dosen? Ada yang bilang kita bisa mendapat ilmu kapan dan dimana saja. Tapi itu sangat sulit berlaku untuk orang miskin sepertiku. Aku berpikir perpustakaan ini bisa menjadi guruku. Iya, memang bisa, tapi cara untuk mendapatkannya yang susah. Aku harus datang pagi-pagi buta, menyelinap seperti pencuri, dipukul pakai tongkat dan dipaksa keluar oleh satpam. Dia mengira aku gembel. Aku tidak tahu lagi kemana aku harus menuntut ilmu, kecuali di perpustakaan ini.”
“Ayahmu diam saja?”
“Ayah sering memarahiku, tapi aku nekad. Sampai ayah tak habis pikir pun, aku masih berani menampakkan diri di perpustakaan ini setiap hari. Hhh…. Aku tidak habis pikir dengan sistem di kampus ini. Kenapa lembaga ilmu harus memenjarakan orang yang ingin berilmu? Apa karena peraturan, sistem, atau mekanisme yang harus ditaati untuk pendisiplinan?”
“Hei, kamu. Kamu berkeluh kesah pun, tidak ada yang bisa membantumu. Kecuali, kamu mau menghilangkan kesedihanmu dan mau belajar bersamaku besok malam.”
“Benarkah Lana kamu mau mengajariku?”
“Aku sungguh-sungguh.”
“Kenapa kamu berada di tempat ini?”
“Ayahku bekerja di sini. Aku kira dengan begitu aku bisa menguasai ilmu di sini, tapi ternyata tidak seperti itu. Satpam di sini terlalu keji untuk menghalangi orang yang ingin mencari ilmu.”
“Maksudmu?” Lana memberanikan diri untuk mendekati perempuan itu.
“Dulu, selain warga kampus, orang lain tidak boleh masuk ke tempat ini. Tapi, aku nekad. Setiap hari aku menyelinap masuk ke sini, kemudian mengambil buku. Aku membaca di gudang samping tempat ini. Sayangnya hal itu sering tidak berjalan mulus. Ada satpam yang sering memergokiku di gudang dan tidak tanggung-tanggung, ia mengayunkan tongkatnya ke tubuhku.”
“Ya, itu kamu yang salah. Kamu belajar tidak pada tempatnya,” sela Lana.
“Sedangkal itukah pikiranmu wahai mahasiswi yang dielu-elukan dosen? Ada yang bilang kita bisa mendapat ilmu kapan dan dimana saja. Tapi itu sangat sulit berlaku untuk orang miskin sepertiku. Aku berpikir perpustakaan ini bisa menjadi guruku. Iya, memang bisa, tapi cara untuk mendapatkannya yang susah. Aku harus datang pagi-pagi buta, menyelinap seperti pencuri, dipukul pakai tongkat dan dipaksa keluar oleh satpam. Dia mengira aku gembel. Aku tidak tahu lagi kemana aku harus menuntut ilmu, kecuali di perpustakaan ini.”
“Ayahmu diam saja?”
“Ayah sering memarahiku, tapi aku nekad. Sampai ayah tak habis pikir pun, aku masih berani menampakkan diri di perpustakaan ini setiap hari. Hhh…. Aku tidak habis pikir dengan sistem di kampus ini. Kenapa lembaga ilmu harus memenjarakan orang yang ingin berilmu? Apa karena peraturan, sistem, atau mekanisme yang harus ditaati untuk pendisiplinan?”
“Hei, kamu. Kamu berkeluh kesah pun, tidak ada yang bisa membantumu. Kecuali, kamu mau menghilangkan kesedihanmu dan mau belajar bersamaku besok malam.”
“Benarkah Lana kamu mau mengajariku?”
“Aku sungguh-sungguh.”
Spoiler for Kesepakatan :
Lana berkata pasti. Kata-kata perempuan itu seperti membawakannya sebuah energi baru yang selama ini belum tumbuh dalam jiwa intelektualnya sebagai pelajar. Ia melahap banyak ilmu, tapi ia terlalu rakus. Ia khilaf untuk membagikan ilmu kepada orang lain, barang sedikit pun.
“Besok malam kita bertemu di bangku kursimu, ya.”
Kemudian wujud perempuan itu semakin samar hingga akhirnya menghilang. Lana pun berangsur-angsur membuka matanya. Ia melihat ke sekeliling ruangan. Langit yang tadinya gelap berganti menjadi terang. Pancaran sinar mentari menembus jendela perpustakaan, sehingga membuat mata Lana silau. Lana terbangun dari tidur panjangnya di bangku itu.
“Besok malam kita bertemu di bangku kursimu, ya.”
Kemudian wujud perempuan itu semakin samar hingga akhirnya menghilang. Lana pun berangsur-angsur membuka matanya. Ia melihat ke sekeliling ruangan. Langit yang tadinya gelap berganti menjadi terang. Pancaran sinar mentari menembus jendela perpustakaan, sehingga membuat mata Lana silau. Lana terbangun dari tidur panjangnya di bangku itu.
Spoiler for Mimpi atau Nyata?:
“Apa-apaan ini? Sulit dipercaya, di tengah-tengah ketakutakanku, ternyata aku masih bisa tertidur. Jangan-jangan perempuan itu yang menidurkanku?”
Lana mengalihkan pandangan ke arah derap langkah seseorang yang mendekatinya.
“Pak Bagas?”
“Selamat pagi, Lana. Apakah kamu mimpi indah?” Pak Bagas menebarkan senyum ke arah Lana.
Pikiran Lana berputar balik arah lagi pada mimpi tadi malam. Ia baru saja menemukan suatu peristiwa mistis yang sarat pesan. Pun ia teringat bahwa harus segera memenuhi janji untuk mengajari ilmu kepada perempuan itu.
“Ya. Aku akan mengajarimu nanti malam,” gumam Lana.
Meskipun Lana berbicara dengan dirinya sendiri, Pak Bagas seperti paham maksudnya. Ia pun menepuk bahu Lana dan menitikkan air mata. Lana mendongak ke arah Pak Bagas.
“Terima kasih akhirnya kamu mau menjadi guru untuk anak perempuanku itu.”
Lana terdiam sesaat. Kepalanya terasa pusing untuk menarik benang merah peristiwa ini. Hanya kalimat terima kasih kembali yang ia lontarkan kepada Pak Bagas. Setelah itu, ia meraih tas ranselnya dan beranjak pergi meninggalkan Pak Bagas. Di pikirannya sekarang, ia hanya ingin mempersiapkan menjadi guru pertama bagi makhluk tak nyata itu.
Lana mengalihkan pandangan ke arah derap langkah seseorang yang mendekatinya.
“Pak Bagas?”
“Selamat pagi, Lana. Apakah kamu mimpi indah?” Pak Bagas menebarkan senyum ke arah Lana.
Pikiran Lana berputar balik arah lagi pada mimpi tadi malam. Ia baru saja menemukan suatu peristiwa mistis yang sarat pesan. Pun ia teringat bahwa harus segera memenuhi janji untuk mengajari ilmu kepada perempuan itu.
“Ya. Aku akan mengajarimu nanti malam,” gumam Lana.
Meskipun Lana berbicara dengan dirinya sendiri, Pak Bagas seperti paham maksudnya. Ia pun menepuk bahu Lana dan menitikkan air mata. Lana mendongak ke arah Pak Bagas.
“Terima kasih akhirnya kamu mau menjadi guru untuk anak perempuanku itu.”
Lana terdiam sesaat. Kepalanya terasa pusing untuk menarik benang merah peristiwa ini. Hanya kalimat terima kasih kembali yang ia lontarkan kepada Pak Bagas. Setelah itu, ia meraih tas ranselnya dan beranjak pergi meninggalkan Pak Bagas. Di pikirannya sekarang, ia hanya ingin mempersiapkan menjadi guru pertama bagi makhluk tak nyata itu.
Kisah Raras yang lain bisa Agan dapatkan di sini.
Salam hangat dari Iogia.
Diubah oleh iogia 15-04-2014 16:02
0
16.4K
Kutip
69
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan