- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Jokowi Effect Vs Prabowo Effect


TS
unbanid
Jokowi Effect Vs Prabowo Effect
Sabtu, 12 April 2014 00:19
Liputan6.com, Jakarta - Oleh: Oscar Ferri, Luqman Rimadi, Taufiqurrahman, Muhammad Ali
Tak henti-hentinya ucapan syukur terlontar dari mulut Jokowi. Gubernur DKI Jakarta itu tersenyum sumringah. Senang. Saat mengetahui PDIP telah merajai hasil sementara hitung cepat (quick count ) Pemilu 2014.
"Pertama, kita ingin ucapkan syukur, syukur, syukur terlebih dahulu. Alhamdulillah," kata Jokowi di Posko Pemenangan JKW4P, Jalan Cemara, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu 9 April 2014.
Rabu 9 April 2014, usai pesta demokrasi digelar, sejumlah hasil survei nasional melansir hasil hitung cepat (quick count). Hasilnya, hampir seluruh lembaga survei nasional menyebut partai yang menjagokan Jokowi sebagai capres itu mendulang suara di atas 18 persen. Disusul partai Golkar dan Gerindra dengan masing-masing suara di atas 14% dan 11%.
Lembaga survei CSIS dan Cyrus Network, hingga Jumat (11/4/2014) pukul 22.30 WIB mencatat suara PDIP 18.94%. Disusul Golkar mengantongi suara sebesar 14,32% serta Gerindra 11,82%. Suara PDIP itu meningkat sekitar 5% ketimbang Pemilu 2009 yang mendapat suara 14,03%. Meski begitu, Jokowi mengakui jumlah itu masih jauh dari harapan.
"Kalau orang tanya puas tidak, ya nggak puas," ungkap Jokowi di depan kediaman Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar, Jakarta, Rabu 9 April 2014.
Memang, partai berlambang banteng moncong putih itu menargetkan suara pada Pemilu 2014 ini mencapai 27 persen. Untuk menggapai nilai tersebut, sang pemimpin partai Megawati Soekarnoputri pun mendapuk pria bernama lengkap Joko Widodo maju sebagai capres dari PDIP. Hal ini lantaran mantan Walikota Solo itu dianggap memiliki magnet tersendiri dalam mendulang suara PDIP.
Namun nyatanya, Jokowi effect tak berbinar seperti hasil survei yang digelar sebelum isu pencapresan dirinya.
Lantas apa sebab? Menurut Jokowi, suara PDIP jauh dari target bukan karena Jokowi Effect yang meredup akibat serangan dari lawan politiknya. Tapi itu merupakan tanggung jawab dari para caleg di lapangan. Pasalnya, kata dia, dalam pileg ini, pertarungan sesungguhnya adalah antarcaleg dan bukan berada pada tataran capres.
"Ini realitas di lapangan, dalam pileg yang bertarung sebenarnya adalah caleg-caleg yang jumlah 6.600 itu bertarung di bawah. Mereka punya ruang-ruang kecil yang sudah dikuasai. Nah ruang-ruang itu mungkin TPS, RT, RW. Jadi itu sebenarnya pertarungan antarmereka," jelas Jokowi.
Kendati demikian, suami Iriana ini pun tidak menampik jika serangan terhadapnya juga turut mempengaruhi perolehan suara PDIP dalam Pileg. Untuk itu, Jokowi menyanyangkan mengapa itu terjadi.
"Waktu tarung pileg kemarin, yang diserang saya, capresnya. Padahal seharusnya tidak (diserang) seperti itu. Masalahnya yang terjadi di lapangan justru seperti itu. Nyerangnya saya. Padahal Pilpresnya masih 9 Juli," keluh Jokowi.
Keluhan Jokowi diamini pengamat politik Universitas Indonesia Agung Suprio. Dia menilai, PDIP terlihat jelas terlalu menjadikan Jokowi sebagai bantalan untuk menangguk suara dengan mendeklarasikannya sebagai calon presiden menjelang Pileg 2014. Padahal, sosok Jokowi yang dianggap 'suci' itu juga sudah mulai diserang sehingga sandarannya mulai rapuh.
Agung menjelaskan, hasil Pileg 2014 merupakan gambaran dari slogan 'PDIP No, Jokowi Yes'. Karena itu menurutnya, tim sukses Jokowi harus dievaluasi lantaran tak mampu menciptakan Jokowi effect dalam Pileg.
Tak begitu signifikannya perolehan suara PDIP juga menunjukkan sosok Jokowi sebagai bakal calon presiden sudah jadi kartu mati. Dia kini dinilainya sudah tak lagi menjadi kartu AS bagi PDIP.
"Di sini Jokowi telah menjadi kartu mati dan bukan lagi kartu AS buat PDIP," tandas Agung.
Sejumlah 'serangan' terhadap Jokowi gencar dilakukan oleh lawan politiknya. Sejumlah isu dilontarkan. Di antaranya tentang capres 'boneka' dan sikap Jokowi yang dianggap terlalu manut kepada Megawati.
Tak hanya itu, menurut Direktur Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, elektabilitas Jokowi melempem dimulai Maret 2014, saat Gubernur DKI Jakarta itu mendeklarasikan diri siap menjadi capres PDIP. Sejak itu, opini publik terhadap Jokowi berubah.
"Ada 2 penyebabnya, Jokowi dinilai mengingkari janji dan ada videonya. Kedua kasus pengadaan busway. Apalagi kalau kejagung mengeksplor kasus ini terus sampai akhirnya memanggil Jokowi," lanjut Denny.
Sejak itu pula, lanjut Denny, kampanye negatif terhadap Jokowi terus gencar terdengar. Hal itu yang membuat elektabilitas Jokowi mengalami penurunan. Sayangnya, tak ada kampanye hitam terhadap dirinya yang secara teknis bisa meningkatkan simpati.
Hal berbeda disampaikan politisi senior PDIP Ganjar Pranowo. Dia menilai sulitnya PDIP menggapai target suara 27% lantaran minimnya akses ke media televisi untuk memberitakan Jokowi. "Yang tidak luar biasa itu karena tidak bisa masuk ke banyak media. Kita sulit masuk televisi, kan?" kata Gubernur Jawa Tengah itu di Gedung Gradhika Bakti Praja, Semarang, Kamis 10 April 2014.
Termasuk saat akan memasang iklan di website sebuah media, lanjut Ganjar, pemilik media tersebut menolak. Hal itulah yang menurut Ganjar cukup mempengaruhi efek Jokowi hingga tidak bisa maksimal. "Kita kalah di media, Jokowi effect tidak terlihat dan tidak nampak. Kalau kita punya porsi yang sama di sana. Luar biasa," tegas Ganjar.
Prabowo Effect
Pemilu 2014 memberikan sejarah tersendiri bagi Partai Gerindra. Partai besutan Prabowo Subianto itu masuk dalam 3 besar dengan perolehan suara di atas 11 persen atau naik berkisar 7% dari Pemilu 2009 yang mendapat suara 4,46 persen. Angka itu berbeda dengan PDIP yang hanya meningkat menjadi 5 persen.
Direktur Riset Indikator Hendro Prasetyo menyatakan, Partai Gerindra yang masuk partai besar karena ada pengaruh Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto. Saat ini, masyarakat mendambakan pemimpin tegas.
"Saya kira ketokohan Prabowo tak bisa dilepaskan. Ada pengaruh Prabowo karena selain ia dinilai bersih, masyarakat mendambakan pemimpin tegas yang siap menegakkan hukum. Itu dilekatkan sekali dengan Prabowo," ujar Hendro, di Kembangan, Jakarta, Rabu (9/4/2014).
Selain itu, ketokohan Prabowo menjadi magnet suara karena masyarakat juga merasa tak puas dengan Pemerintahan SBY yang kurang tegas. Hendro menilai, mesin Gerindra politik juga berjalan baik. Misalnya saja, sering muncul di iklan seperti parpol lainnya. "Hal itu membuat distribusi pendukung Gerindra merata, ada di mana-mana."
Dosen psikologi Universitas Indonesia (UI) Dewi Haroen menyatakan kunci keberhasilan Gerindra masuk 3 besar lantaran secara kasat mata, Prabowo effect lebih terlihat ketimbang Jokowi effect. Mengapa demikian? Pakar personal branding ini memaparkan, ada kenyataan yang luput dari mata pengamat dan lembaga survei. Yaitu tentang kejelian Ketua Dewan Pembina yang juga capres Partai Gerindra Prabowo Subianto mengajak orang-orang komunikasi di barisannya.
Pemilihan orang-orang tepat untuk memudahkan komunikasi dengan media, dinilai dia menjadi kunci penting bagi Prabowo dalam mendongkrak popularitas dan elektabilitasnya.
"Tim media dan komunikasi Prabowo terlihat bekerja maksimal melalui berbagai media, termasuk media sosial yang dulu dikuasai Jokowi," jelas dia.
Sehingga, imbuhnya, personal branding Prabowo sebagai pribadi yang bersikap tegas terhadap apapun, antikorupsi, jiwa sosialnya sangat tinggi, serta konsep ekonominya yang sangat jelas untuk memakmurkan rakyat yang kuat secara terus-menerus dikomunikasikan dengan baik dan konsisten kepada swing voters hingga hari pencoblosan.
"Ini yang tidak disadari Jokowi dan tim pendukungnya dari PDIP. Bisa jadi mereka sama sekali tidak mempelajari bagaimana Jokowi berhasil dalam Pilkada DKI. Mereka merasa di atas angin karena menganggap Jokowi 'media darling' serta terbuai dengan hasil survei," sebutnya.
Hal berbeda disampaikan Direktur Riset Indikator Hendro Prasetyo. Dia menjelaskan, perbandingan kenaikan perolehan suara 2 partai itu membuktikan Jokowi Effect tak sebanding dengan Prabowo effect. Faktor pembedanya adalah Prabowo merupakan pendiri partai, sedangkan Jokowi hanya kader dadakan.
"Itu 2 konteks berbeda (antara Jokowi effect dan Prabowo effect). Prabowo yang sejak awal dirikan Gerindra. Sama seperti pendiri Demokrat yaitu SBY sehingga intensifnya Prabowo lebih lama dan kuat ke masyarakat," jelas Hendro kepada Liputan6.com, di Jakarta, Jumat (11/4/2014).
Atas perbedaan tersebut, Hendro menilai kurang adil bila membandingkan seorang Ketua Dewan Pembina sekaligus pendiri partai dengan seorang yang hanya kader.
"Kalau Jokowi disandingkan kurang fair, konteks berbeda. Dia bukan pendiri PDIP dan dia bukan pengurus inti PDIP. Jokowi jadi perbincangan ketika jadi Gubernur di Jakarta. Untuk itu kita nggak bisa bandingkan Prabowo dan Jokowi terhadap efek ke partai," papar Hendro.
Terkait perbedaan suara di mana kenaikan Gerindra cukup signifikan, Hendro melihat hal itu disebabkan karena mesin partai pimpinan Prabowo itu bekerja dengan baik. Buktinya, hampir di seluruh daerah Gerindra mendapat suara meski tak jadi pemenang. Hal itu mengesankan Gerindra sebagai partai nasionalis.
(Muhammad Ali)
- See more at: http://m.liputan6.com/indonesia-baru/read/2035975/jokowi-effect-vs-prabowo-effect#sthash.dPYry39r.dpuf
Duh panjang banget
Intinya klo Jokowow masih ingin jd presiden, siasat tepu2nya harus cetar; mampu membuat rakyat Jakarta lupa akan janjinya waktu kampanye gubernur, dan yg paling berat adalah korupsi bus transjakarta mengingat Jokowow terkenal sbg orang yg 'bersih'
Bersih???
Orang bersih klo dilingkungan kotor, apa ya bisa menjaga diri tetep bersih
Istilahnya kalo di jawa itu: alas iku ombo
Liputan6.com, Jakarta - Oleh: Oscar Ferri, Luqman Rimadi, Taufiqurrahman, Muhammad Ali
Tak henti-hentinya ucapan syukur terlontar dari mulut Jokowi. Gubernur DKI Jakarta itu tersenyum sumringah. Senang. Saat mengetahui PDIP telah merajai hasil sementara hitung cepat (quick count ) Pemilu 2014.
"Pertama, kita ingin ucapkan syukur, syukur, syukur terlebih dahulu. Alhamdulillah," kata Jokowi di Posko Pemenangan JKW4P, Jalan Cemara, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu 9 April 2014.
Rabu 9 April 2014, usai pesta demokrasi digelar, sejumlah hasil survei nasional melansir hasil hitung cepat (quick count). Hasilnya, hampir seluruh lembaga survei nasional menyebut partai yang menjagokan Jokowi sebagai capres itu mendulang suara di atas 18 persen. Disusul partai Golkar dan Gerindra dengan masing-masing suara di atas 14% dan 11%.
Lembaga survei CSIS dan Cyrus Network, hingga Jumat (11/4/2014) pukul 22.30 WIB mencatat suara PDIP 18.94%. Disusul Golkar mengantongi suara sebesar 14,32% serta Gerindra 11,82%. Suara PDIP itu meningkat sekitar 5% ketimbang Pemilu 2009 yang mendapat suara 14,03%. Meski begitu, Jokowi mengakui jumlah itu masih jauh dari harapan.
"Kalau orang tanya puas tidak, ya nggak puas," ungkap Jokowi di depan kediaman Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar, Jakarta, Rabu 9 April 2014.
Memang, partai berlambang banteng moncong putih itu menargetkan suara pada Pemilu 2014 ini mencapai 27 persen. Untuk menggapai nilai tersebut, sang pemimpin partai Megawati Soekarnoputri pun mendapuk pria bernama lengkap Joko Widodo maju sebagai capres dari PDIP. Hal ini lantaran mantan Walikota Solo itu dianggap memiliki magnet tersendiri dalam mendulang suara PDIP.
Namun nyatanya, Jokowi effect tak berbinar seperti hasil survei yang digelar sebelum isu pencapresan dirinya.
Lantas apa sebab? Menurut Jokowi, suara PDIP jauh dari target bukan karena Jokowi Effect yang meredup akibat serangan dari lawan politiknya. Tapi itu merupakan tanggung jawab dari para caleg di lapangan. Pasalnya, kata dia, dalam pileg ini, pertarungan sesungguhnya adalah antarcaleg dan bukan berada pada tataran capres.
"Ini realitas di lapangan, dalam pileg yang bertarung sebenarnya adalah caleg-caleg yang jumlah 6.600 itu bertarung di bawah. Mereka punya ruang-ruang kecil yang sudah dikuasai. Nah ruang-ruang itu mungkin TPS, RT, RW. Jadi itu sebenarnya pertarungan antarmereka," jelas Jokowi.
Kendati demikian, suami Iriana ini pun tidak menampik jika serangan terhadapnya juga turut mempengaruhi perolehan suara PDIP dalam Pileg. Untuk itu, Jokowi menyanyangkan mengapa itu terjadi.
"Waktu tarung pileg kemarin, yang diserang saya, capresnya. Padahal seharusnya tidak (diserang) seperti itu. Masalahnya yang terjadi di lapangan justru seperti itu. Nyerangnya saya. Padahal Pilpresnya masih 9 Juli," keluh Jokowi.
Keluhan Jokowi diamini pengamat politik Universitas Indonesia Agung Suprio. Dia menilai, PDIP terlihat jelas terlalu menjadikan Jokowi sebagai bantalan untuk menangguk suara dengan mendeklarasikannya sebagai calon presiden menjelang Pileg 2014. Padahal, sosok Jokowi yang dianggap 'suci' itu juga sudah mulai diserang sehingga sandarannya mulai rapuh.
Agung menjelaskan, hasil Pileg 2014 merupakan gambaran dari slogan 'PDIP No, Jokowi Yes'. Karena itu menurutnya, tim sukses Jokowi harus dievaluasi lantaran tak mampu menciptakan Jokowi effect dalam Pileg.
Tak begitu signifikannya perolehan suara PDIP juga menunjukkan sosok Jokowi sebagai bakal calon presiden sudah jadi kartu mati. Dia kini dinilainya sudah tak lagi menjadi kartu AS bagi PDIP.
"Di sini Jokowi telah menjadi kartu mati dan bukan lagi kartu AS buat PDIP," tandas Agung.
Sejumlah 'serangan' terhadap Jokowi gencar dilakukan oleh lawan politiknya. Sejumlah isu dilontarkan. Di antaranya tentang capres 'boneka' dan sikap Jokowi yang dianggap terlalu manut kepada Megawati.
Tak hanya itu, menurut Direktur Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, elektabilitas Jokowi melempem dimulai Maret 2014, saat Gubernur DKI Jakarta itu mendeklarasikan diri siap menjadi capres PDIP. Sejak itu, opini publik terhadap Jokowi berubah.
"Ada 2 penyebabnya, Jokowi dinilai mengingkari janji dan ada videonya. Kedua kasus pengadaan busway. Apalagi kalau kejagung mengeksplor kasus ini terus sampai akhirnya memanggil Jokowi," lanjut Denny.
Sejak itu pula, lanjut Denny, kampanye negatif terhadap Jokowi terus gencar terdengar. Hal itu yang membuat elektabilitas Jokowi mengalami penurunan. Sayangnya, tak ada kampanye hitam terhadap dirinya yang secara teknis bisa meningkatkan simpati.
Hal berbeda disampaikan politisi senior PDIP Ganjar Pranowo. Dia menilai sulitnya PDIP menggapai target suara 27% lantaran minimnya akses ke media televisi untuk memberitakan Jokowi. "Yang tidak luar biasa itu karena tidak bisa masuk ke banyak media. Kita sulit masuk televisi, kan?" kata Gubernur Jawa Tengah itu di Gedung Gradhika Bakti Praja, Semarang, Kamis 10 April 2014.
Termasuk saat akan memasang iklan di website sebuah media, lanjut Ganjar, pemilik media tersebut menolak. Hal itulah yang menurut Ganjar cukup mempengaruhi efek Jokowi hingga tidak bisa maksimal. "Kita kalah di media, Jokowi effect tidak terlihat dan tidak nampak. Kalau kita punya porsi yang sama di sana. Luar biasa," tegas Ganjar.
Prabowo Effect
Pemilu 2014 memberikan sejarah tersendiri bagi Partai Gerindra. Partai besutan Prabowo Subianto itu masuk dalam 3 besar dengan perolehan suara di atas 11 persen atau naik berkisar 7% dari Pemilu 2009 yang mendapat suara 4,46 persen. Angka itu berbeda dengan PDIP yang hanya meningkat menjadi 5 persen.
Direktur Riset Indikator Hendro Prasetyo menyatakan, Partai Gerindra yang masuk partai besar karena ada pengaruh Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto. Saat ini, masyarakat mendambakan pemimpin tegas.
"Saya kira ketokohan Prabowo tak bisa dilepaskan. Ada pengaruh Prabowo karena selain ia dinilai bersih, masyarakat mendambakan pemimpin tegas yang siap menegakkan hukum. Itu dilekatkan sekali dengan Prabowo," ujar Hendro, di Kembangan, Jakarta, Rabu (9/4/2014).
Selain itu, ketokohan Prabowo menjadi magnet suara karena masyarakat juga merasa tak puas dengan Pemerintahan SBY yang kurang tegas. Hendro menilai, mesin Gerindra politik juga berjalan baik. Misalnya saja, sering muncul di iklan seperti parpol lainnya. "Hal itu membuat distribusi pendukung Gerindra merata, ada di mana-mana."
Dosen psikologi Universitas Indonesia (UI) Dewi Haroen menyatakan kunci keberhasilan Gerindra masuk 3 besar lantaran secara kasat mata, Prabowo effect lebih terlihat ketimbang Jokowi effect. Mengapa demikian? Pakar personal branding ini memaparkan, ada kenyataan yang luput dari mata pengamat dan lembaga survei. Yaitu tentang kejelian Ketua Dewan Pembina yang juga capres Partai Gerindra Prabowo Subianto mengajak orang-orang komunikasi di barisannya.
Pemilihan orang-orang tepat untuk memudahkan komunikasi dengan media, dinilai dia menjadi kunci penting bagi Prabowo dalam mendongkrak popularitas dan elektabilitasnya.
"Tim media dan komunikasi Prabowo terlihat bekerja maksimal melalui berbagai media, termasuk media sosial yang dulu dikuasai Jokowi," jelas dia.
Sehingga, imbuhnya, personal branding Prabowo sebagai pribadi yang bersikap tegas terhadap apapun, antikorupsi, jiwa sosialnya sangat tinggi, serta konsep ekonominya yang sangat jelas untuk memakmurkan rakyat yang kuat secara terus-menerus dikomunikasikan dengan baik dan konsisten kepada swing voters hingga hari pencoblosan.
"Ini yang tidak disadari Jokowi dan tim pendukungnya dari PDIP. Bisa jadi mereka sama sekali tidak mempelajari bagaimana Jokowi berhasil dalam Pilkada DKI. Mereka merasa di atas angin karena menganggap Jokowi 'media darling' serta terbuai dengan hasil survei," sebutnya.
Hal berbeda disampaikan Direktur Riset Indikator Hendro Prasetyo. Dia menjelaskan, perbandingan kenaikan perolehan suara 2 partai itu membuktikan Jokowi Effect tak sebanding dengan Prabowo effect. Faktor pembedanya adalah Prabowo merupakan pendiri partai, sedangkan Jokowi hanya kader dadakan.
"Itu 2 konteks berbeda (antara Jokowi effect dan Prabowo effect). Prabowo yang sejak awal dirikan Gerindra. Sama seperti pendiri Demokrat yaitu SBY sehingga intensifnya Prabowo lebih lama dan kuat ke masyarakat," jelas Hendro kepada Liputan6.com, di Jakarta, Jumat (11/4/2014).
Atas perbedaan tersebut, Hendro menilai kurang adil bila membandingkan seorang Ketua Dewan Pembina sekaligus pendiri partai dengan seorang yang hanya kader.
"Kalau Jokowi disandingkan kurang fair, konteks berbeda. Dia bukan pendiri PDIP dan dia bukan pengurus inti PDIP. Jokowi jadi perbincangan ketika jadi Gubernur di Jakarta. Untuk itu kita nggak bisa bandingkan Prabowo dan Jokowi terhadap efek ke partai," papar Hendro.
Terkait perbedaan suara di mana kenaikan Gerindra cukup signifikan, Hendro melihat hal itu disebabkan karena mesin partai pimpinan Prabowo itu bekerja dengan baik. Buktinya, hampir di seluruh daerah Gerindra mendapat suara meski tak jadi pemenang. Hal itu mengesankan Gerindra sebagai partai nasionalis.
(Muhammad Ali)
- See more at: http://m.liputan6.com/indonesia-baru/read/2035975/jokowi-effect-vs-prabowo-effect#sthash.dPYry39r.dpuf
Duh panjang banget

Intinya klo Jokowow masih ingin jd presiden, siasat tepu2nya harus cetar; mampu membuat rakyat Jakarta lupa akan janjinya waktu kampanye gubernur, dan yg paling berat adalah korupsi bus transjakarta mengingat Jokowow terkenal sbg orang yg 'bersih'

Bersih???

Orang bersih klo dilingkungan kotor, apa ya bisa menjaga diri tetep bersih

Istilahnya kalo di jawa itu: alas iku ombo

0
3.4K
59


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan