- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Senja di selat sunda "gola gong"


TS
dyenfalee
Senja di selat sunda "gola gong"
Cerita ini gw angkat dari karya Gola Gong. Mungkin yg pernah baca cerita ni udah sepantaran ama nyokap gw. Maka nya gaya bahasanya dan alur cerita beda dng thread yg biasa muncul di SFTH.
SENJA DI SELAT SUNDA
Part 1
Quote:
Di Atas Bus Malam Aku usap kaca jendela bus beberapa kali, membentuk bulatan-bulatan kecil. Terasa dingin di telapak tanganku. Lalu aku hapus semuanya. Embun yang menempel di kaca jendela pun hilang sudah. Bayangan yang seolah-olah menghalangiku terhadap dunia luar sudah tak ada lagi. Pagi baru saja menjelang. Langit timur yang aku tinggalkan semalam kini dipulas kemerahan.
Tampaknya matahari mencoba menggeliat membebaskan cahayanya supaya bisa menyentuh sahabatnya, pucukpucuk padi yang sedang kesepian menguning. Bus keluar di mulut tol Ciujung, kira-kira 20 km sebelum kota Serang. Jalan tol Cikampek-Merak memang terputus di sini. Sisanya sedang dalam pengerjaan. Jika
jalan tol ini sudah rampung, tentu segalanya akan jadi lancar. Tapi kata versi yang lain, malah kota-kota di eks Karesidenan Banten ini akan semakin ketinggalan, karena tak akan satu pun kendaraan yang singgah. Seperti kata sebuah anekdot, kalau sudah ngebut di jalan tol suka lupa berhenti.
Berarti, semua kendaraan cuma akan melaju
kencang melintasi eks Karesidenan Banten dan "wusssss!" anginnya saja yang membekas. Bus terus meluncur menyibak genangan air, sisa dari hujan semalam. percikannya berhamburan dilindasi roda-roda dan menimbulkan bunyi desisan yang merdu. Beberapa orang sudah ada yang mulai menggeliat dan sibuk memberesi barang barangnya. Tapi Nana, yang mengajakku liburan ke kampung halamannya masih asyik bermimpi.
Aku sendiri tidak bisa menikmati perjalanan bus malam ini. Terguncangguncang sepanjang Yogya-Magelang-Semarang, dibanting ke kiri-ke kanan di Alas Roban, terkatung-katung membosankan di jalur lurus Cirebon-Cikampek, dan melaju dalam kecepatan tinggi dijalan tol Cikampek-Merak, bukanlah sesuatu yang menyenangkan buatku untuk teman tidur. Aku betul-betul iri melihat Nana tertidur yenyak. Wajah yang cantik itu tampak begitu damai. Tak terganggu oleh goncangan bus. Jiwa dan raganya memang sudah menyatu dengan alam. Dan selalu pasrah pada kehendak Tuhan. Padahal aku mengenal Nana belum begitu lama.
Dia adalah sahabat baruku. Dua tahun yang lalu, waktu itu sedang Pekan Orientasi Mahasiswa, aku melihat Nana sebagai calon mahasiswi yang keras kepala, Itu mungkin ungkapan yang tepat baginya selain sebutan pemberani. Setiap ada raka-raka fakultas yang iseng padanya, si perkasa yang cantik itu menggeliat liar seperti ular. Setiap hukuman dijalaninya dengan tegar dan menantang, sampai-sampai para raka bosan dengan ulahnya.
Ketika tiba giliranku dibulan-bulani para raka, dia tidak segan-segan membela danmembantuku. Dan bahkan pada siapa saja.
"Terima kasih," aku betul-betul malu padanya, ketika dia menyelamatkan aku dari hukuman push up seorang raka yang over acting.
Nana membalas dengan senyuman tipis. Lalu,
"Namaku Nana," nadanya tegas ketika menyebutkan namanya.
"Aku sudah tahu," kataku membersihkan kedua lutut dan telapak tanganku.
"Kamu cukup beken di sini," aku tersenyum. "Tina, namaku," aku ulurkan pula lenganku. Lantas kami berkawan. "Aku dari Pandeglang," kata Nana di saat lain, ketika acara makan siang nasi bungkus di halaman kampus.
Nama kota itu sungguh asing bagiku. Nana tersenyum kecut. Ketika dia menyebutkan nama yang lain, aku baru mengerti di mana letak kota yang disebutkannya itu.
"Banten," aku mengingat-ingat nama sebuah tempat di ujung barat Pulau Jawa, yang terkenal dengan hal-hal magisnya. Pantas kalau Nana begitu berani menentang para raka, batinku saat itu.
Aku sangat menyukai sejarah. Di sana pernah ada sebuah kerajaan Islam – yang menurut historiografi didirikan oleh Maulana Hasanuddin- yang gigih melawan gerogotan taring penjajah. Lantas kerajaan Islam itu dihancurleburkan oleh Herman Willem Daendels. Juga ada suku Baduy, penduduk yang mengasingkan diri di wilayah Kanekes, pesona Gunung Krakatau yang mengagetkan dunia ketika tahun 1883 melumat 163 desa dan mencabut 36.000 nyawa manusia, kesenian debusnya, juga gemulai ombak serta kemolekan pantainya.
"Pelajaran geografiku payah!" aku tertawa. "Tapi kotaku memang tidak ngetop. Kalah bersaing dengan kota-kota lainnya di Banten," Nana memaklumi.
Aku langsung membongkar-bongkar buku geografiku di rumah. Aku pelajari
wilayah paling barat di Jawa itu. Ada beberapa kota di eks Karesidenan Banten.
Selain Tangerang yang sudah "dicaplok" Jakarta dengan Jabotabek-nya, juga ada Serang, Cilegon, Merak, Pandeglang, dan Rangkasbitung. Kota-kota ini memang masih asing buatku, padahal kisah masa lalunya yang termashur sudah sering aku baca. Setelah itu akujadi lengket dengan Nana.
Aku sering mampir ke tempat kosnya di setiap kesempatan. Kadang kala aku bawa Nana dengan sedan mutakhir pemberian Papa keliling Yogya; memperkenalkan pesona wisatanya.
"Kenapa kamu sia-siakan keindahan kotamu, Tina?" kata Nana. "Maksudmu?"
"Kamu akan bisa melihat dan merasakan keindahan Yogya lebih banyak lagi
dengan naik bus daripada naik mobil sendiri."
Aku tidak langsung setuju pendapatnya.
Tapi tidak pula aku biarkan menggantung. Pelan-pelan aku mencoba mengikuti kehidupan yang ditawarkan Nana, sebagaimana layaknya orang yang merantau. Ke mana-mana selalu naik kendaraan umum atau berjalan kaki. Hari-hari bergulir, minggu berganti ke bulan, lalu jadi
merupakan kebiasaan menjalaninya.
Dan aku menyukainya. Orang-orang di rumah, baik Papa, Mama, Robby kakakku dan pacarku Anton dua yang terakhir doyan olahraga mobil, jenis olahraga yang kata Nana cuma semakin menambah polusi bumi saja- cukup terheran-heran juga melihat perkembangan hidupku, yang tiba-tiba jadi lebih mencintai lingkungan hidup
ketimbang mengotorinya. Begitu juga kawan-kawan pestaku semasa di SMA.
Lambat-laun, mereka berguguran meninggalkanku dengan senyum yang ganjil.
Lantas sedan mutakhirku hampir tidak pernah aku gunakan lagi, kecuali jika sedang dalam keadaan darurat. Ketika Robby bermaksud memakainya pun, aku tidak keberatan. Malah aku hibahkan padanya dengan timbal balik dua buah mountain bike.
Aku bermaksud, dengan dua sepeda gunung itu, bersama Nana bisa menyelusuri Yogya setiap Minggu pagi.
"Lebih enak naik sepeda 'kan!" Nana mengayuh sepedanya dengan terengahengah melahap tanjakan menuju hutan wisata Kaliurang.
Tapi aku turun dari sadel. Menuntun sepeda. Nana juga turun. Kami saling tersenyum. Dua dunia yang berbeda sedang berusaha untuk bersatu. Duniaku adalah kehidupan seorang gadis yang selalu tergantung pada orang lain.
Sedangkan Nana adalah seorang wanita yang bertanggung jawab pada dirinya. Yang tidak memberikan hidupnya untuk jadi tanggung jawab orang lain.
"Liburan semester besok, aku ada reuni dengan kelompok pecinta alamku diSMA," Nana menyeka keringat di kening dengan punggung tangannya.
"Aku mengundang kamu lagi untuk liburan di kampung halamanku," Nana mengajukan
tawaran berlibur lagi.
Tampaknya matahari mencoba menggeliat membebaskan cahayanya supaya bisa menyentuh sahabatnya, pucukpucuk padi yang sedang kesepian menguning. Bus keluar di mulut tol Ciujung, kira-kira 20 km sebelum kota Serang. Jalan tol Cikampek-Merak memang terputus di sini. Sisanya sedang dalam pengerjaan. Jika
jalan tol ini sudah rampung, tentu segalanya akan jadi lancar. Tapi kata versi yang lain, malah kota-kota di eks Karesidenan Banten ini akan semakin ketinggalan, karena tak akan satu pun kendaraan yang singgah. Seperti kata sebuah anekdot, kalau sudah ngebut di jalan tol suka lupa berhenti.
Berarti, semua kendaraan cuma akan melaju
kencang melintasi eks Karesidenan Banten dan "wusssss!" anginnya saja yang membekas. Bus terus meluncur menyibak genangan air, sisa dari hujan semalam. percikannya berhamburan dilindasi roda-roda dan menimbulkan bunyi desisan yang merdu. Beberapa orang sudah ada yang mulai menggeliat dan sibuk memberesi barang barangnya. Tapi Nana, yang mengajakku liburan ke kampung halamannya masih asyik bermimpi.
Aku sendiri tidak bisa menikmati perjalanan bus malam ini. Terguncangguncang sepanjang Yogya-Magelang-Semarang, dibanting ke kiri-ke kanan di Alas Roban, terkatung-katung membosankan di jalur lurus Cirebon-Cikampek, dan melaju dalam kecepatan tinggi dijalan tol Cikampek-Merak, bukanlah sesuatu yang menyenangkan buatku untuk teman tidur. Aku betul-betul iri melihat Nana tertidur yenyak. Wajah yang cantik itu tampak begitu damai. Tak terganggu oleh goncangan bus. Jiwa dan raganya memang sudah menyatu dengan alam. Dan selalu pasrah pada kehendak Tuhan. Padahal aku mengenal Nana belum begitu lama.
Dia adalah sahabat baruku. Dua tahun yang lalu, waktu itu sedang Pekan Orientasi Mahasiswa, aku melihat Nana sebagai calon mahasiswi yang keras kepala, Itu mungkin ungkapan yang tepat baginya selain sebutan pemberani. Setiap ada raka-raka fakultas yang iseng padanya, si perkasa yang cantik itu menggeliat liar seperti ular. Setiap hukuman dijalaninya dengan tegar dan menantang, sampai-sampai para raka bosan dengan ulahnya.
Ketika tiba giliranku dibulan-bulani para raka, dia tidak segan-segan membela danmembantuku. Dan bahkan pada siapa saja.
"Terima kasih," aku betul-betul malu padanya, ketika dia menyelamatkan aku dari hukuman push up seorang raka yang over acting.
Nana membalas dengan senyuman tipis. Lalu,
"Namaku Nana," nadanya tegas ketika menyebutkan namanya.
"Aku sudah tahu," kataku membersihkan kedua lutut dan telapak tanganku.
"Kamu cukup beken di sini," aku tersenyum. "Tina, namaku," aku ulurkan pula lenganku. Lantas kami berkawan. "Aku dari Pandeglang," kata Nana di saat lain, ketika acara makan siang nasi bungkus di halaman kampus.
Nama kota itu sungguh asing bagiku. Nana tersenyum kecut. Ketika dia menyebutkan nama yang lain, aku baru mengerti di mana letak kota yang disebutkannya itu.
"Banten," aku mengingat-ingat nama sebuah tempat di ujung barat Pulau Jawa, yang terkenal dengan hal-hal magisnya. Pantas kalau Nana begitu berani menentang para raka, batinku saat itu.
Aku sangat menyukai sejarah. Di sana pernah ada sebuah kerajaan Islam – yang menurut historiografi didirikan oleh Maulana Hasanuddin- yang gigih melawan gerogotan taring penjajah. Lantas kerajaan Islam itu dihancurleburkan oleh Herman Willem Daendels. Juga ada suku Baduy, penduduk yang mengasingkan diri di wilayah Kanekes, pesona Gunung Krakatau yang mengagetkan dunia ketika tahun 1883 melumat 163 desa dan mencabut 36.000 nyawa manusia, kesenian debusnya, juga gemulai ombak serta kemolekan pantainya.
"Pelajaran geografiku payah!" aku tertawa. "Tapi kotaku memang tidak ngetop. Kalah bersaing dengan kota-kota lainnya di Banten," Nana memaklumi.
Aku langsung membongkar-bongkar buku geografiku di rumah. Aku pelajari
wilayah paling barat di Jawa itu. Ada beberapa kota di eks Karesidenan Banten.
Selain Tangerang yang sudah "dicaplok" Jakarta dengan Jabotabek-nya, juga ada Serang, Cilegon, Merak, Pandeglang, dan Rangkasbitung. Kota-kota ini memang masih asing buatku, padahal kisah masa lalunya yang termashur sudah sering aku baca. Setelah itu akujadi lengket dengan Nana.
Aku sering mampir ke tempat kosnya di setiap kesempatan. Kadang kala aku bawa Nana dengan sedan mutakhir pemberian Papa keliling Yogya; memperkenalkan pesona wisatanya.
"Kenapa kamu sia-siakan keindahan kotamu, Tina?" kata Nana. "Maksudmu?"
"Kamu akan bisa melihat dan merasakan keindahan Yogya lebih banyak lagi
dengan naik bus daripada naik mobil sendiri."
Aku tidak langsung setuju pendapatnya.
Tapi tidak pula aku biarkan menggantung. Pelan-pelan aku mencoba mengikuti kehidupan yang ditawarkan Nana, sebagaimana layaknya orang yang merantau. Ke mana-mana selalu naik kendaraan umum atau berjalan kaki. Hari-hari bergulir, minggu berganti ke bulan, lalu jadi
merupakan kebiasaan menjalaninya.
Dan aku menyukainya. Orang-orang di rumah, baik Papa, Mama, Robby kakakku dan pacarku Anton dua yang terakhir doyan olahraga mobil, jenis olahraga yang kata Nana cuma semakin menambah polusi bumi saja- cukup terheran-heran juga melihat perkembangan hidupku, yang tiba-tiba jadi lebih mencintai lingkungan hidup
ketimbang mengotorinya. Begitu juga kawan-kawan pestaku semasa di SMA.
Lambat-laun, mereka berguguran meninggalkanku dengan senyum yang ganjil.
Lantas sedan mutakhirku hampir tidak pernah aku gunakan lagi, kecuali jika sedang dalam keadaan darurat. Ketika Robby bermaksud memakainya pun, aku tidak keberatan. Malah aku hibahkan padanya dengan timbal balik dua buah mountain bike.
Aku bermaksud, dengan dua sepeda gunung itu, bersama Nana bisa menyelusuri Yogya setiap Minggu pagi.
"Lebih enak naik sepeda 'kan!" Nana mengayuh sepedanya dengan terengahengah melahap tanjakan menuju hutan wisata Kaliurang.
Tapi aku turun dari sadel. Menuntun sepeda. Nana juga turun. Kami saling tersenyum. Dua dunia yang berbeda sedang berusaha untuk bersatu. Duniaku adalah kehidupan seorang gadis yang selalu tergantung pada orang lain.
Sedangkan Nana adalah seorang wanita yang bertanggung jawab pada dirinya. Yang tidak memberikan hidupnya untuk jadi tanggung jawab orang lain.
"Liburan semester besok, aku ada reuni dengan kelompok pecinta alamku diSMA," Nana menyeka keringat di kening dengan punggung tangannya.
"Aku mengundang kamu lagi untuk liburan di kampung halamanku," Nana mengajukan
tawaran berlibur lagi.
[url=" http://www.kaskus.co.id/show_post/533edeb6128b46da2c8b460d/59/indeks"]INDEKS[/url]
Diubah oleh dyenfalee 04-04-2014 23:37


anasabila memberi reputasi
1
4.8K
Kutip
71
Balasan
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan