- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Mengenal pilot legendaris indonesia Capt.Abdul Roza


TS
fsx2812
Mengenal pilot legendaris indonesia Capt.Abdul Roza

Spoiler for no repsol:
Salam aviasi,
TAK memedulikan kacamatanya yang melorot ke kelopak mata, Abdul Rozaq tetap asyik menatap layar laptopnya. Pria 52 tahun tersebut baru saja menjawab e-mail salah seorang mantan penumpang pesawat yang didaratkan di Sungai Bulukan itu.
"Sampai sekarang, kami masih sering kontak. Mereka bertukar kabar dan selalu bersyukur setiap ada musibah pesawat terbang," katanya ketika ditemui di kantornya, kompleks pergudangan Bandara Mas, Tangerang, Rabu (5/8).
Pekan ini dunia penerbangan memang berduka. Pesawat Twin Otter milik Merpati menabrak tebing di Oxibil, Papua. Seluruh penumpangnya tewas. "Kalau ada kecelakaan pesawat, hati saya seperti diingatkan lagi agar selalu bersyukur. Sebab, semua yang terjadi saat itu benar-benar tak masuk akal manusia," kata pria kelahiran Wergukulon, Kudus, 29 Maret 1957 itu.
Pria yang mengawali karir sebagai kopilot Fokker F-28 itu menyatakan masih ingat detail pendaratan fenomenal tersebut. "Tidak cuma di kepala, tapi juga di sini, Dik," katanya sambil tangan kanannya memegang dada sebelah kiri. "Rasanya baru terjadi kemarin," tambahnya.
Santi Anggraeni, pramugarinya itu, meninggal karena tersedot arus udara saat hendak membuka pintu darurat. Penumpang lain hanya luka. Menghela napas sejenak, Rozaq lantas bercerita tentang keajaiban tujuh tahun lalu itu. "Cuaca awalnya normal. Pesawat juga oke dan take off dengan mulus dari Ampenan," tuturnya. Pesawat dengan nomor penerbangan GA 421 tersebut menerbangi Ampenan, NTB, menuju Jakarta. Namun, pada pukul 15.20, ketika mencapai ketinggian 31.000 kaki di atas Kota Blora, pesawat masuk ke awan cumolonimbus, sejenis awan tebal yang berbahaya. Tidak ada pilihan lain bagi Rozaq kecuali menembus awan itu.
Pada ketinggian 23.000 kaki, kedua mesin pesawat mati mendadak. Sesuai prosedur, dia segera menghidupkan generator untuk menghidupkan kembali mesin. Namun, yang terjadi justru electricity power rusak. Artinya, dua mesin mati total. Belakangan, hasil investigasi menyebutkan kejadian yang disebut flame out itu memang akibat awan buruk.
"Astaghfirullah Capt, dua mesin mati semua. Apa yang harus dilakukan?" kata Rozaq, menirukan kepanikan kopilot Haryadi Gunawan saat itu. Dia segera melakukan wind mailing, memutar kembali propeller mesin dengan dorongan udara. "Kira-kira seperti mendorong mobil mogok dengan meluncurkan pesawat ke bawah," katanya.
Namun, usaha itu pun tidak membawa hasil. Keadaan dalam pesawat gelap karena electrical power mati. Pada saat yang sama, pesawat terus turun dari 23.000 feet hingga ke 8.000 feet. Terbayang di benak Rozaq nasib penumpang yang tidak tahu-menahu peristiwa yang sedang terjadi.
Sebelum masuk awan tebal, pesawat sempat kontak dengan ATC (air traffic control) Semarang yang memberi dia clearance (izin) turun ke 9.000 kaki. Itulah kontak terakhir dengan menara pengawas sebelum mesin mati. Alumni STP Curug 1979 itu mengaku pasrah. Kopilot terus mengirim pesan. "Mayday"mayday" berulang-ulang, namun tidak ada jawaban. "Saya bilang, percuma karena semua peralatan mati. Radio juga mati," tuturnya.
Kondisi semakin kritis. "Saat itu saya berteriak Allahu Akbar..., Allahu Akbar", Allahu Akbar"," kata alumnus pelatihan DC-9 di Zurich itu. Pesawat tiba-tiba keluar dari awan sehingga dia bisa melihat dengan jelas semua yang terhampar di hadapannya. Rozaq berpikir, harus segera mendaratkan burung besi seberat 62 ton lebih itu dengan cermat.
Saat itu ada tiga pilihan lokasi untuk mendaratkan pesawat. Yakni, di lapangan bola, sawah, dan sungai. Sekitar dua menit, Rozaq sempat berdiskusi dengan kopilot. "Saya putuskan di sungai. Saya berpikir, kalau di sawah risikonya lebih besar karena ada tegalan yang bisa menggesek bodi (pesawat) dan terbakar," kata pria yang pernah jualan sayur setelah lulus STM pada 1976 itu.
Rozaq lalu melakukan descend (menurunkan pesawat) dan melakukan approach (mendekati) "landasan". Ternyata, ada jembatan besi yang melintang di atas sungai. Terpaksa dia berputar kembali agar dapat mendarat melewati jembatan besi itu. Tanpa tenaga pendorong, pesawat meluncur. "Saya tidak memejamkan mata saat itu," katanya.
Pesawat berhasil berhenti dengan selamat di sisi kanan sungai, di tempat dangkal. Padahal, kedalaman di sekitarnya tidak kurang dari 10 meter. Penumpang bisa keluar dari pintu pesawat. Tidak jauh dari tempat itu ada sebuah rumah kosong dan mobil. "Itu adalah tempat yang dipilihkan Allah buat kami. Penduduk Desa Serenan sangat sigap dan ikhlas membantu. Satu pun barang penumpang tidak ada yang hilang," kata peraih penghargaan American Medal of Honor dari lembaga American Biographical Institute, North Carolina, Amerika Serikat, itu. Razaq membukukan pengalaman fenomenalnya itu dengan judul Miracle of Flight.
Sesudah tragedi, Rozaq menjalani terapi trauma psikologis selama enam bulan. "Sampai sekarang, saya masih terbang. Tapi, frekuensinya tidak sesering dulu," katanya. Kini, selain sebagai pilot, pria yang pernah jadi loper koran itu menjabat bendahara Koperasi Awak Garuda Indonesia. "Sudah berjalan tiga tahun ini," papar pemegang penghargaan Adikarya Dirgantara Darma dari Menteri Perhubungan itu.
Pengalaman spiritual di langit itu sering diceritakan dalam berbagai seminar. Bahkan, pendiri dan pelatih ESQ (Emotional Spiritual Quotient) 165 Ary Ginanjar Agustian minta izin mengutip pengalaman Rozaq itu dalam salah satu sesi training. Pelatihan ESQ hingga kini sudah diikuti oleh lebih dari 500 ribu orang di Indonesia dan beberapa negara lain. "Saya bilang silakan saja. Kalau bisa, peserta sadar karunia Allah jangan dengan cara mengalami kejadian seperti saya. Tapi, cukup mengambil hikmah dari pengalaman itu," katanya.
Sebagai pilot senior, Razaq menjadi rujukan konsultasi bagi pilot-pilot muda. "Hati pilot itu sesuai jam terbangnya," kata lelaki yang telah mengabdi selama 29 tahun di Garuda Indonesia itu. Pilot muda dengan jam terbang 0"1.000, menurut mantan tukang reparasi AC tersebut, biasanya cenderung sangat konsentrasi dan waspada. "Tapi, setelah 1.000 hingga 3.000 jam terbang, biasanya mereka overconfident. Itulah yang sangat berbahaya," kata pilot dengan jam terbang lebih dari 20.000 itu.
Kepada pilot junior yang sering curhat kepadanya, Rozaq berpesan agar jangan menyepelekan setiap prosedur kecil yang sudah baku. "Misalnya mau mendarat, tapi landasan tak terlihat, ya jangan dipaksakan, harus naik lagi dan melapor," tuturnya.
Dia menyebut faktor human error lebih sering membuat pesawat celaka. Apalagi jika dibandingkan dengan moda transportasi di darat dan di laut, sebenarnya pesawat terbang paling aman. Sebab, "Hampir tiap detik dicek kesiapannya," katanya.
Rozaq juga sering menasihati pilot lain agar mau berbagi dengan sesama. "Kadang, karena gajinya tinggi, gaya hidup pilot menjadi berlebihan. Bahkan, seperti artis. Padahal, ada hak-hak orang lain yang harus diberikan. Misalnya, zakat atau infak," paparnya.
Di koperasi yang dipimpinnya, setiap tahun menyisihkan 2,5 persen dari SHU (sisa hasil usaha) untuk kegiatan amal dan pengentasan anak-anak yatim piatu. "Alhamdulillah, pada 2008 lalu, SHU kami sekitar Rp 5 miliar," kata pengurus yayasan Al Ikhlas di samping rumahnya itu.
Dari pernikahannya dengan Istiqomah (mantan pramugari dan rekan kursusnya saat pendidikan), Rozaq dikaruniai lima anak. Firstnanda Mochammad Aris, Sania Dara Afiati, Triyan Roys Satria, Rizky Hidayatullah, dan Nurul Azima Rizkiya. Jejaknya sebagai pilot diikuti putra ketiganya, Triyan, yang diwisuda sebagai penerbang di STP Curug Juni lalu. Kini dia menjalani pelatihan sebagai pilot baru Garuda Indonesia. Rozaq hanya tersenyum ketika ditanya apakah tidak khawatir putranya mengalami hal seperti yang menimpanya tujuh tahun lalu. "Sebelum dia memilih karir sebagai pilot, sudah saya jelaskan enak dan tidak enaknya. Yang jelas, saya wanti-wanti benar agar selalu ingat Allah di mana pun berada," katanya.
Rozaq, tampaknya, tidak bisa melupakan Jawa Pos. Dua hari setelah peristiwa di Sungai Bulukan itu, dia memberikan wawancara eksklusif di rumahnya, Cipondoh Permai. Itulah momen pertama Rozaq bicara blak-blakan kepada media setelah mengurung diri karena shock. "Saya juga heran bagaimana Mas Bahari (wartawan Jawa Pos yang mewawancarainya waktu itu, Red) menemukan saya. Apa sekarang dia masih gondrong?" katanya, lalu tertawa.
Spoiler for Captain:
Spoiler for proses evakuasi:
Spoiler for Bukan promosi,tapi kalo mau tau lebih dalam beli ini:
Spoiler for buka gan:
0
4.8K
3


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan