- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
ISLAM SONTOLOYO KAH KITA?


TS
6adjahmada
ISLAM SONTOLOYO KAH KITA?
Spoiler for buka sitik joss:
TS SANGAT MENGHARAPKAN
DAN TIDAK BERHARAP 
PEMBACA YANG CERDAS TIDAK AKAN LUPA UNTUK MENINGGALKAN

DAN


AGAR THREAD YANG MEMBERIKAN INFORMASI BERBOBOT INI BISA MENJADI HT KASKUS


PEMBACA YANG CERDAS TIDAK AKAN LUPA UNTUK MENINGGALKAN

DAN


AGAR THREAD YANG MEMBERIKAN INFORMASI BERBOBOT INI BISA MENJADI HT KASKUS

Quote:

Islam Sontoloyo awalnya merupakan tulisan Bung Karno yang dimuat di Majalah Panji Islam pada tahun 1940. Saat tulisan ini dibuat Bung Karno yang sedang mencari perhatian dengan Fatmawati, murid sekolah yang diincar dan kemudian diperistrinya.
Selanjutnya Tulisan tersebut disatukan dengan tulisan-tulisan Soekarno yang lainnya dan kemudian diterbitkan sebagai “Di Bawah Bendera Revolusi”. DBR terbit dalam dua volume pada 1963 dan 1964 secara berturut-turut. Artikel tersebut merupakan kritik Bung Karno terhadap kemunafikan orang-orang yang seharusnya bisa menjadi panutan bagi masyarakat pedesaan di Indonesia. Seperti diketahui, Islam melarang umatnya menjadi periba. Meminjamkan uang dengan bunga, berapa pun besarnya, adalah riba, yang lazim disamakan dengan menghisap darah rakyat. Suatu perbuatan haram, yang mutlak dilarang di dalam Islam. Kritik terhadap makin meluasnya praktik terlarang dalam masyarakat pedalaman Indonesia inilah yang merupakan alasan mengapa Soekarno menulis artikel tersebut.
Quote:
ISLAM SONTOLOYO
Soekarno, Panji Islam 1940
April 1940. Harian Pemandangan, surat kabar yang terbit saat itu, menurunkan sebuah berita: seorang guru agama dijebloskan ke penjara karena merudapaksa muridnya. Guru ngaji itu tak merasa bersalah dengan semua perbuatannya. Justru ia berdalih bahwa semua perbuatannya didasari oleh fikih. Ia telah melakukan akad terlebih dahulu, katanya.
Dituturkan, ihwal kelakuan si guru ngaji yang menjalankan salah satu ritual pengajian setiap malam jumat. Para murid diajak berdzikir dari maghrib hingga subuh. Sebelumnya, mereka harus meneriakkan kalimat “Saya muridnya Kiyai…. (nama kiyai itu)”. Dengan berseru demikian, katanya, Allah SWT mengampuni dosa-dosa mereka.
Diceritakan, sang guru itu setiap Jumat malam mengadakan pengajian. Dalam pengajian itu, murid lelaki dan perempuan dipisahkan. Alasannya karena mereka bukan muhrim. Santri-santri perempuan bahkan mengenakan tutup muka. Menurut keyakinan kyai itu, muka dan suara perempuan adalah aurat yang tak boleh dilihat kecuali oleh muhrimnya.
Sang guru mulai menemukan masalah. Santri perempuankan harus ngaji. Tentu harus ada komunikasi langsung: bertatap muka dan berbicara. Padahal melihat mukanya saja dosa. Akal-punya akal, akhirnya beberapa muridnya itu dinikahi dulu biar jadi muhrim dan sah dilihat mukanya, juga sah berbicara dengan mereka. Sekarang, kyai itu punya lisensi untuk tidak hanya mengajar dengan leluasa sebagaimana tujuan awalnya tetapi berabuat apa saja. Santri-santri perempuan hanya tahu bahwa akad nikah itu adalah semata-mata mekanisme “penghalalan” komunikasi dalam pengajaran.
Maka, yang jadi kiyainya, ia juga, yang jadi pengantinnya, ia juga. Caranya?
Kalau seorang murid lelaki yang punya istri, pertama, si suami diminta menjatuhkan talak tiga. Seketika juga peremuan itu dinikahkan dengan lelaki lain (kawan muridnya juga), menudian menalaknya lagi, berturut-turut tiga kali dinikahkan dan diceraikan lagi. Keempat kalinya dinikah oleh kiyainya sendiri.
Sedangkan yang gadis, tidak dinikahkan dulu, melainkan langsung dinikahi sang kiyai. Bung Karno menyebut kiyai model ini dengan sebutan “Dajal”. Dengan demikian, tiap-tiap istri yang jadi muridnya, di mata murid yang lain pun, adalah istri daripada si Dajal itu sendiri. Termasuk kisah di Pemandangan itu. Di mana seorang gadis yang sudah dinikahi, dimasukkan ke bilik dan di situlah dirusak kehormatanya. Halal, dianggap sah, karena sudah diperistri!
Pemberitaan itu mendapat reaksi keras dari Soekarno, dalam tulisannya di Panji Islam pada bulan yang sama. Menurutnya, itulah Islam sontoloyo. Dan perbutan itu memang sah, tapi, menurutnya, sah menurut paham Islam sontoloyo. Dalam metafornya, sebagaimana bisa kita baca dalam Di Bawah Bendera Revolusi, kyai itu main kikebu dengan Tuhan. Main petak umpet dan mengabui mata Tuhan. Bung Karno lantas menguraikan, Islam tidak menganggap fiqh sebagai satu-satunya tiang keagamaan. Tiang utama terletak pada ketundukan jiwa kita kepada Allah. Sesuatu perbuatan dosa dihalalkan menurut hukum fiqh. Tak ubahnya dengan tukang merentenkan uang yang menghalalkan ribanya.
Tahukah agan cara tukang riba itu menghalalkan pekerjaan ribanya? Agan mau pinjam uang dari pada si Nganu, dan sanggup bayar habis bulan Desember. Ia mengambil sehelai kain, atau sebuah kursi, atau cincin, atau sebuah batu, dan ia jual barang itu " op credit " kepada agan dengan harga 5juta rupiah. " Tidak usah bayar kontan, habis bulan Desember saja bayar 5juta rupiah itu". Itu kain atau kursi atau cincin atau batu kini sudah menjadi milik agan karena sudah agan beli, meskipun "op credit". Lantas ia beli kembali barang itu dari agan dengan harga kontan 4juta rupiah. Nah inilah agan terima uang pembelain kontan yang 4juta rupiah itu. Asal agan jangan lupa habis bulan Desember agan bayar utang kredit agan yang 5juta rupiah itu!
Simpel comme bonjour! Kata orang Perancis, Artinya : tidak ada yang lebih mudah dari ini "! Bukan! Ini bukan riba, ini bukan merentenkan uang, ini commerce, jual beli, halal, syah, tidak dilarang oleh agama!
Benar, ini syah, ini halal, tapi halalnya Islam sontoloyo! Halalnya orang yang mau main petak umpet dengan Tuhan, atau orang yang mau main " kucing - kucingan " dengan Tuhan. Dan, kalau mau memakai kata yang lebih jitu, halalnya orang yang mau mengelabui mata Tuhan!
Seolah - olah Tuhan dikelabui mata! Seolah - olah agama sudah dipenuhi atau sudah dilaksanakan, kalau dilahirkannya syariat saja sudah dikerjakan! Tapi tidaklah justru yang demikian ini sering sering kita jumpakan ?
Tidak justru Islam terlalu menganggap fiqih itu satu - satunya tiang keagamaan. Kita lupa, atau kita tidak mau tahu, bahwa tiang keagamaan adalah terutama sekali berada didalam ketundukan kita punya jiwa pada Allah. Kita lupa bahwa fiqih itu, meskipun sudah kita saring semurni-murninya, belum mencukupi semua kebutuhan agama. Belum dapat memenuhi persyaratan ke Tuhanan yang sejati, yang juga berhajat kepada Tauhid, kepada Ahlak, kepada kebaktian Rohani, dan kepada Allah SWT.
Soekarno, Panji Islam 1940
April 1940. Harian Pemandangan, surat kabar yang terbit saat itu, menurunkan sebuah berita: seorang guru agama dijebloskan ke penjara karena merudapaksa muridnya. Guru ngaji itu tak merasa bersalah dengan semua perbuatannya. Justru ia berdalih bahwa semua perbuatannya didasari oleh fikih. Ia telah melakukan akad terlebih dahulu, katanya.
Dituturkan, ihwal kelakuan si guru ngaji yang menjalankan salah satu ritual pengajian setiap malam jumat. Para murid diajak berdzikir dari maghrib hingga subuh. Sebelumnya, mereka harus meneriakkan kalimat “Saya muridnya Kiyai…. (nama kiyai itu)”. Dengan berseru demikian, katanya, Allah SWT mengampuni dosa-dosa mereka.
Diceritakan, sang guru itu setiap Jumat malam mengadakan pengajian. Dalam pengajian itu, murid lelaki dan perempuan dipisahkan. Alasannya karena mereka bukan muhrim. Santri-santri perempuan bahkan mengenakan tutup muka. Menurut keyakinan kyai itu, muka dan suara perempuan adalah aurat yang tak boleh dilihat kecuali oleh muhrimnya.
Sang guru mulai menemukan masalah. Santri perempuankan harus ngaji. Tentu harus ada komunikasi langsung: bertatap muka dan berbicara. Padahal melihat mukanya saja dosa. Akal-punya akal, akhirnya beberapa muridnya itu dinikahi dulu biar jadi muhrim dan sah dilihat mukanya, juga sah berbicara dengan mereka. Sekarang, kyai itu punya lisensi untuk tidak hanya mengajar dengan leluasa sebagaimana tujuan awalnya tetapi berabuat apa saja. Santri-santri perempuan hanya tahu bahwa akad nikah itu adalah semata-mata mekanisme “penghalalan” komunikasi dalam pengajaran.
Maka, yang jadi kiyainya, ia juga, yang jadi pengantinnya, ia juga. Caranya?
Kalau seorang murid lelaki yang punya istri, pertama, si suami diminta menjatuhkan talak tiga. Seketika juga peremuan itu dinikahkan dengan lelaki lain (kawan muridnya juga), menudian menalaknya lagi, berturut-turut tiga kali dinikahkan dan diceraikan lagi. Keempat kalinya dinikah oleh kiyainya sendiri.
Sedangkan yang gadis, tidak dinikahkan dulu, melainkan langsung dinikahi sang kiyai. Bung Karno menyebut kiyai model ini dengan sebutan “Dajal”. Dengan demikian, tiap-tiap istri yang jadi muridnya, di mata murid yang lain pun, adalah istri daripada si Dajal itu sendiri. Termasuk kisah di Pemandangan itu. Di mana seorang gadis yang sudah dinikahi, dimasukkan ke bilik dan di situlah dirusak kehormatanya. Halal, dianggap sah, karena sudah diperistri!
Pemberitaan itu mendapat reaksi keras dari Soekarno, dalam tulisannya di Panji Islam pada bulan yang sama. Menurutnya, itulah Islam sontoloyo. Dan perbutan itu memang sah, tapi, menurutnya, sah menurut paham Islam sontoloyo. Dalam metafornya, sebagaimana bisa kita baca dalam Di Bawah Bendera Revolusi, kyai itu main kikebu dengan Tuhan. Main petak umpet dan mengabui mata Tuhan. Bung Karno lantas menguraikan, Islam tidak menganggap fiqh sebagai satu-satunya tiang keagamaan. Tiang utama terletak pada ketundukan jiwa kita kepada Allah. Sesuatu perbuatan dosa dihalalkan menurut hukum fiqh. Tak ubahnya dengan tukang merentenkan uang yang menghalalkan ribanya.
Tahukah agan cara tukang riba itu menghalalkan pekerjaan ribanya? Agan mau pinjam uang dari pada si Nganu, dan sanggup bayar habis bulan Desember. Ia mengambil sehelai kain, atau sebuah kursi, atau cincin, atau sebuah batu, dan ia jual barang itu " op credit " kepada agan dengan harga 5juta rupiah. " Tidak usah bayar kontan, habis bulan Desember saja bayar 5juta rupiah itu". Itu kain atau kursi atau cincin atau batu kini sudah menjadi milik agan karena sudah agan beli, meskipun "op credit". Lantas ia beli kembali barang itu dari agan dengan harga kontan 4juta rupiah. Nah inilah agan terima uang pembelain kontan yang 4juta rupiah itu. Asal agan jangan lupa habis bulan Desember agan bayar utang kredit agan yang 5juta rupiah itu!
Simpel comme bonjour! Kata orang Perancis, Artinya : tidak ada yang lebih mudah dari ini "! Bukan! Ini bukan riba, ini bukan merentenkan uang, ini commerce, jual beli, halal, syah, tidak dilarang oleh agama!
Benar, ini syah, ini halal, tapi halalnya Islam sontoloyo! Halalnya orang yang mau main petak umpet dengan Tuhan, atau orang yang mau main " kucing - kucingan " dengan Tuhan. Dan, kalau mau memakai kata yang lebih jitu, halalnya orang yang mau mengelabui mata Tuhan!
Seolah - olah Tuhan dikelabui mata! Seolah - olah agama sudah dipenuhi atau sudah dilaksanakan, kalau dilahirkannya syariat saja sudah dikerjakan! Tapi tidaklah justru yang demikian ini sering sering kita jumpakan ?
Tidak justru Islam terlalu menganggap fiqih itu satu - satunya tiang keagamaan. Kita lupa, atau kita tidak mau tahu, bahwa tiang keagamaan adalah terutama sekali berada didalam ketundukan kita punya jiwa pada Allah. Kita lupa bahwa fiqih itu, meskipun sudah kita saring semurni-murninya, belum mencukupi semua kebutuhan agama. Belum dapat memenuhi persyaratan ke Tuhanan yang sejati, yang juga berhajat kepada Tauhid, kepada Ahlak, kepada kebaktian Rohani, dan kepada Allah SWT.
Quote:
Saya menulis ini tidak untuk ‘meragukan’ agama islam, tapi meragukan umat – umatnya, dengan harapan kita semua sadar agar Islam kita tidak Islam Sontoloyo.
Bagi saya pribadi, betul adanya umat islam terlalu mementingkan luar daripada dalam, yah contohnya saja orang–orang sibuk meributkan perempuan harus pakai jilbab lah, rok lah, kaus kaki lah, tapi di dalam hatinya sendiri belum dibenahi, masih menyakiti orang lain, berpikiran licik, tidak terpelajar sehingga sifatnya pun mengikuti. Bagi Soekarno, mendengar tentang seorang kyai yang menikahi dan menceraikan muridnya (bergantian) hanya karena itu di halalkan menurut hukum agama, ia langsung protes dengan menulis, “itu syah halal menurut agama, tapi anda menyalahi kemanusiaan dengan merebut masa depan gadis itu, anda kucing – kucingan dengan tuhan!”, begitu saya simpulkan itu yang dikatakan Soekarno. Umat Islam hanya menjalankan fiqh dan syariat saja, terlalu kaku, tanpa menyadari substansi dari ajaran Islam. Jika hanya menjalankan fiqh dan syariat saja, bisa – bisa makna Islam jadi “Tidak boleh makan babi”, “Harus Bank Syariah”, “Tutup Aurat”, dan “Ritual Sholat” saja. Ajaran Islam adalah nilai – nilai luhur seperti berbuat kebaikan, bukan ritual dan hukum – hukum pelarangan saja.
Kita terlalu sibuk mempelajari hukum, tetapi tidak menteladani pembuat hukum itu. Kita baca Al – Qur’an, hafal hadits, kita tahu larangan – larangan di agama tetapi kita tidak tahu bagaimana Nabi dan sahabat Nabi menerapkan hukum – hukum itu dalam kehidupan sehari – hari. Jika begini, Islam akan menjadi agama formal saja, tidak ada perkembangan, aku dengar aku patuh, sudah itu saja.
Kekerasan dimana–mana, tidak toleran pada orang lain, tidak bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman, memaksakan kehendak, hanya mementingkan ‘status’ daripada ‘apa’ yang dilakukan. Semuanya adalah gambaran umat Islam sekarang, setidaknya di Indonesia. Soekarno yang seorang Haji menulis bahwa umat islam sedang mengalami kemunduran, Islam Sontoloyo !
Berikut adalah pemikiran – pemikiran Soekarno :
Yang pertama adalah pendapat Soekarno tentang umat islam yang mementingkan luarannya saja dari pada dalamnya.
Islam melarang kita memakan babi. Islam juga melarang kita menghina kepada si miskin, memakan haknya anak yatim, memfitnah orang lain, menyekutukan Tuhan yang Esa itu. Malahan yang belakangan ini dikatakan dosa yang terberat, dosa datuknya dosa. Tetapi apa yang kita lihat? Coba tuan menghina si miskin, makan haknya anak yatim, memfitnah orang lain, musyrik didalam tuan punya pikiran dan perbuatan, maka tidak banyak orang yang menunjuk kepada tuan dengan jari seraya berkata: tuan menyalahi Islam. Tetapi coba tuan makan daging babi, walau hanya sebesar biji asampun dan seluruh dunia akan mengatakan tuan orang kafir! Inilah gambaran jiwa Islam sekarang ini: terlalu mementingkan kulit saja, tidak mementingkan isi.
Terlalu terikat kepada “uiterlijke vormen” saja, tidak menyala-nyalakan “intrinsieke waarden”. Dulu pernah saya melihat satu kebiasaan aneh disalah satu kota kecil di tanah Priangan. Disitu banyak sundal, banyak bidadari-bidadari yang menyediakan tubuhnya buat pelepas nafsu yang tersebut. Tetapi semua “bidadari-bidadari” itu bidadari “Islam” bidadari yang tidak melanggar sesuatu ajaran agama. Kalau tuan ingin melepaskan tuan punya birahi kepada salah seorang dari mereka, maka adalah seorang penghulu yang akan menikahkan tuan lebih dulu dengan dia buat satu malam. Satu malam ia tuan punya isteri yang syah, satu malam tuan boleh berkumpul dengan dia zonder melanggar larangan zina. Keesokan harinya bolehlah tuan jatuhkan talaq tiga kepada tuan punya kekasih itu tadi! Dia mendapat “nafkah” dan “mas kimpoi” dari tuan, dan mas penghulupun mendapat persen dari tuan. Mas penghulu ini barangkalai malahan berulang-ulang juga mengucapkan syukur kepada Tuhan, bahwa Tuhan telah memperkenankan dia berbuat suatu kebajikan, yakni menghindarkan dua orang anak Adam daripada dosanya perzinaan!
Tidakkah bernah perkataan saya, bahwa ini bernama main kikebu dengan Tuhan, atau mau mengabui mata Tuhan? Perungklukan, persundalan, perzinaan, di-”putarkan” menjadi perbuatan yang halal! Tetatpi juga: tidakkah benar ini hanya satu faset saja dari gambarnya masyarakat kita seluruhnya, yang lebih mementingkan fiqh saja, haram makruh saja, daripada “intrinsieke waarden” yang lain-lain?
Yang kedua adalah Soekarno tentang umat Islam yang tidak mau berkembang, kolot, dan gampang mengkafirkan.
Kita royal sekali dengan perkataan ‘kafir’. Pengetahuan Barat-kafir; radio dan kedokteran –kafir; pantolan dan dasi dan topi-kafir; sendok dan garpu dan kursi-kafir; tulisan Latin-kafir; ya pergaluan dengan bangsa yang bukan Islam pun-kafir! Padahal apa yang kita namakan Islam? Bukan roh Islam yang berkobar-kobar, bukan api Islam yang menyala-nyala, bukan amal Islam yang mengagumkan, tetapi dupa dan kurma dan jubah dan celak mata! Siapa yang mukanya angker, siapa yang tangannya bau kemenyan, siapa matanya dicelak dan jubahnya panjang dan menggenggam tasbih yang selalu berputar-dia, dialah yang kita namakan Islam. Astagafirullah! Inikah Islam? Inikah agama Allah? Ini? Yang mengkafirkan pengetahuan dan kecerdasan, mengkafirkan radio dan listrik, mengkafirkan kemoderenan dan ke-up-to-date-an? Yang mau tinggal mesum saja, tinggal kuno saja, yang terbelakang saja, tinggal ‘naik onta’ dan ‘makan zonder sendok’ saja ‘seperti di jaman Nabi dan Chalifahnya’? Yang menjadi marah dan murka kalau mendengar kabar tentang aturan-aturan baru di Turki atau di Iran atau di Mesir atau di lain-lain negeri Islam di tanah Barat?
Yang ketiga masih tentang umat islam yang tidak mau berkembang, ketinggalan zaman.
Islam harus berani mengejar jaman, bukan seratus tahun, tetapi seribu tahun Islam ketinggalan jaman. Kalau Islam tidak cukup kemampuan buat mengejar seribu tahun itu, niscaya ia akan tetap hina dan mesum. Bukan kembali pada Islam glory yang dulu, bukan kembali pada ‘zaman chalifah’, tetapi lari ke muka, lari mengejar jaman. Itulah satu-satunya jalan buat menjadi gilang gemilang kembali. Kenapa toch kita selamanya dapat ajaran, bahwa kita harus mengkopi ‘zaman chalifah’ yang dulu-dulu? Sekarang toch tahun 1936 dan bukan tahun 700 atau 800 atau 900?
Mengapa kita musti kembali ke zaman ‘kebesaran Islam’ yang dulu-dulu? Hukum Syariat? Lupakah kita, bahwa hukum Syariat itu bukan hanya haram, makruh, sunnah, dan fardlu saja? Lupakah kita, bahwa masih ada juga barang ‘mubah’ atau ‘jaiz’? Alangkah baiknya, kalau umat Islam lebih ingat pula kepada apa yang mubah atau yang jaiz ini! Alangkah baiknya kalau ia ingat bahwa ia di dalam urusan dunia, di dalam urusan statemanship, ‘boleh berqias, boleh berbid’ah, boleh membuang cara-cara dulu, boleh mengambil cara-cara baru, boleh beradio, boleh berkapal udara, boleh berlistrik, boleh bermodern, boleh berhyper-hyper modern’, asal tidak nyata di hukum haram atau makruh oleh Allah dan Rasul! Adalah suatu perjuangan yang paling berfaedah bagi ummat Islam, yakni berjuang menentang kekolotan. Kalau Islam sudah bisa berjuang mengalahkan kekolotan itu, barulah ia bisa lari secepat-kilat mengejar zaman yang seribu tahun jaraknya ke muka itu. Perjuangan menghantam orthodoxie ke belakang, mengejar jaman ke muka, perjuangan inilah yang Kemal Attaturk maksudkan, tatkala ia berkata, bawa ‘Islam tidak menyuruh orang duduk termenung sehari-hari di dalam mesjid memutarkan tasbih, tetapi’ Islam adalah perjuangan.’ Islam is progress: Islam itu kemajuan!
Yang keempat Soekarno tentang tuhan
Tahun 1926 adalah tahun dimana aku memperoleh kematangan dalam kepercayaan. Aku beranjak berpikir dan berbicara tentang Tuhan. Sekalipun di negeri kami sebagian terbesar rakyatnya beragama Islam, namun konsepku tidak disandarkan semata-mata kepada Tuhannya orang Islam. Pada waktu aku melangkah ragu memulai permulaan jalan yang menuju kepada kepercayaan, aku tidak melihat Yang Maha Kuasa sebagai Tuhan kepunyaan perseorangan. Menurut jalan pikiranku, maka kemerdekaan seseorang meliputi juga kemerdekaan beragama.
Yang kelima Soekarno sangat menentang kultur taklid dalam umat Islam
Taqlid adalah salah satu sebab yang terbesar dari kemunduran Islam sekarang ini. Semenjak ada aturan taqlid, disitulah kemunduran Islam cepat sekali. Tak heran! Dimana genius dirantai, dimana akal fikiran diterungku, disitulah datang kematian.
….Saya sendiri, sebagai seorang terpelajar, barulah mendapat lebih banyak penghargaan kepada Islam, sesudah saya mendapat membaca buku-buku Islam modern dan scientific. Apa sebab umumnya kaum terpelajar Indonesia tak senang Islam? Sebagian besar, ialah oleh karena Islam tak mau membarengi jaman, karena salahnya orang-orang yang mempropagandakan Islam: mereka kolot, mereka orthodox, mereka anti-pengetahuan dan memang tidak berpengetahuan, takhayul, jumud, menyuruh orang bertaqlid saja, menyuruh orang percaya saja, mesum mbahnya mesum!
Bagi saya anti-taqlidisme itu berarti : bukan saja ‘kembali’ kepada Qur’an dan Hadits, tetapi ‘kembali kepada Qur’an dan Hadits dengan mengendarai kendaraannya pengetahuan umum.” –Soekarno dalam Surat Ende 1936 (DBR Jilid I, 1964).
Bagi saya pribadi, betul adanya umat islam terlalu mementingkan luar daripada dalam, yah contohnya saja orang–orang sibuk meributkan perempuan harus pakai jilbab lah, rok lah, kaus kaki lah, tapi di dalam hatinya sendiri belum dibenahi, masih menyakiti orang lain, berpikiran licik, tidak terpelajar sehingga sifatnya pun mengikuti. Bagi Soekarno, mendengar tentang seorang kyai yang menikahi dan menceraikan muridnya (bergantian) hanya karena itu di halalkan menurut hukum agama, ia langsung protes dengan menulis, “itu syah halal menurut agama, tapi anda menyalahi kemanusiaan dengan merebut masa depan gadis itu, anda kucing – kucingan dengan tuhan!”, begitu saya simpulkan itu yang dikatakan Soekarno. Umat Islam hanya menjalankan fiqh dan syariat saja, terlalu kaku, tanpa menyadari substansi dari ajaran Islam. Jika hanya menjalankan fiqh dan syariat saja, bisa – bisa makna Islam jadi “Tidak boleh makan babi”, “Harus Bank Syariah”, “Tutup Aurat”, dan “Ritual Sholat” saja. Ajaran Islam adalah nilai – nilai luhur seperti berbuat kebaikan, bukan ritual dan hukum – hukum pelarangan saja.
Kita terlalu sibuk mempelajari hukum, tetapi tidak menteladani pembuat hukum itu. Kita baca Al – Qur’an, hafal hadits, kita tahu larangan – larangan di agama tetapi kita tidak tahu bagaimana Nabi dan sahabat Nabi menerapkan hukum – hukum itu dalam kehidupan sehari – hari. Jika begini, Islam akan menjadi agama formal saja, tidak ada perkembangan, aku dengar aku patuh, sudah itu saja.
Kekerasan dimana–mana, tidak toleran pada orang lain, tidak bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman, memaksakan kehendak, hanya mementingkan ‘status’ daripada ‘apa’ yang dilakukan. Semuanya adalah gambaran umat Islam sekarang, setidaknya di Indonesia. Soekarno yang seorang Haji menulis bahwa umat islam sedang mengalami kemunduran, Islam Sontoloyo !
Berikut adalah pemikiran – pemikiran Soekarno :
Yang pertama adalah pendapat Soekarno tentang umat islam yang mementingkan luarannya saja dari pada dalamnya.
Islam melarang kita memakan babi. Islam juga melarang kita menghina kepada si miskin, memakan haknya anak yatim, memfitnah orang lain, menyekutukan Tuhan yang Esa itu. Malahan yang belakangan ini dikatakan dosa yang terberat, dosa datuknya dosa. Tetapi apa yang kita lihat? Coba tuan menghina si miskin, makan haknya anak yatim, memfitnah orang lain, musyrik didalam tuan punya pikiran dan perbuatan, maka tidak banyak orang yang menunjuk kepada tuan dengan jari seraya berkata: tuan menyalahi Islam. Tetapi coba tuan makan daging babi, walau hanya sebesar biji asampun dan seluruh dunia akan mengatakan tuan orang kafir! Inilah gambaran jiwa Islam sekarang ini: terlalu mementingkan kulit saja, tidak mementingkan isi.
Terlalu terikat kepada “uiterlijke vormen” saja, tidak menyala-nyalakan “intrinsieke waarden”. Dulu pernah saya melihat satu kebiasaan aneh disalah satu kota kecil di tanah Priangan. Disitu banyak sundal, banyak bidadari-bidadari yang menyediakan tubuhnya buat pelepas nafsu yang tersebut. Tetapi semua “bidadari-bidadari” itu bidadari “Islam” bidadari yang tidak melanggar sesuatu ajaran agama. Kalau tuan ingin melepaskan tuan punya birahi kepada salah seorang dari mereka, maka adalah seorang penghulu yang akan menikahkan tuan lebih dulu dengan dia buat satu malam. Satu malam ia tuan punya isteri yang syah, satu malam tuan boleh berkumpul dengan dia zonder melanggar larangan zina. Keesokan harinya bolehlah tuan jatuhkan talaq tiga kepada tuan punya kekasih itu tadi! Dia mendapat “nafkah” dan “mas kimpoi” dari tuan, dan mas penghulupun mendapat persen dari tuan. Mas penghulu ini barangkalai malahan berulang-ulang juga mengucapkan syukur kepada Tuhan, bahwa Tuhan telah memperkenankan dia berbuat suatu kebajikan, yakni menghindarkan dua orang anak Adam daripada dosanya perzinaan!
Tidakkah bernah perkataan saya, bahwa ini bernama main kikebu dengan Tuhan, atau mau mengabui mata Tuhan? Perungklukan, persundalan, perzinaan, di-”putarkan” menjadi perbuatan yang halal! Tetatpi juga: tidakkah benar ini hanya satu faset saja dari gambarnya masyarakat kita seluruhnya, yang lebih mementingkan fiqh saja, haram makruh saja, daripada “intrinsieke waarden” yang lain-lain?
Yang kedua adalah Soekarno tentang umat Islam yang tidak mau berkembang, kolot, dan gampang mengkafirkan.
Kita royal sekali dengan perkataan ‘kafir’. Pengetahuan Barat-kafir; radio dan kedokteran –kafir; pantolan dan dasi dan topi-kafir; sendok dan garpu dan kursi-kafir; tulisan Latin-kafir; ya pergaluan dengan bangsa yang bukan Islam pun-kafir! Padahal apa yang kita namakan Islam? Bukan roh Islam yang berkobar-kobar, bukan api Islam yang menyala-nyala, bukan amal Islam yang mengagumkan, tetapi dupa dan kurma dan jubah dan celak mata! Siapa yang mukanya angker, siapa yang tangannya bau kemenyan, siapa matanya dicelak dan jubahnya panjang dan menggenggam tasbih yang selalu berputar-dia, dialah yang kita namakan Islam. Astagafirullah! Inikah Islam? Inikah agama Allah? Ini? Yang mengkafirkan pengetahuan dan kecerdasan, mengkafirkan radio dan listrik, mengkafirkan kemoderenan dan ke-up-to-date-an? Yang mau tinggal mesum saja, tinggal kuno saja, yang terbelakang saja, tinggal ‘naik onta’ dan ‘makan zonder sendok’ saja ‘seperti di jaman Nabi dan Chalifahnya’? Yang menjadi marah dan murka kalau mendengar kabar tentang aturan-aturan baru di Turki atau di Iran atau di Mesir atau di lain-lain negeri Islam di tanah Barat?
Yang ketiga masih tentang umat islam yang tidak mau berkembang, ketinggalan zaman.
Islam harus berani mengejar jaman, bukan seratus tahun, tetapi seribu tahun Islam ketinggalan jaman. Kalau Islam tidak cukup kemampuan buat mengejar seribu tahun itu, niscaya ia akan tetap hina dan mesum. Bukan kembali pada Islam glory yang dulu, bukan kembali pada ‘zaman chalifah’, tetapi lari ke muka, lari mengejar jaman. Itulah satu-satunya jalan buat menjadi gilang gemilang kembali. Kenapa toch kita selamanya dapat ajaran, bahwa kita harus mengkopi ‘zaman chalifah’ yang dulu-dulu? Sekarang toch tahun 1936 dan bukan tahun 700 atau 800 atau 900?
Mengapa kita musti kembali ke zaman ‘kebesaran Islam’ yang dulu-dulu? Hukum Syariat? Lupakah kita, bahwa hukum Syariat itu bukan hanya haram, makruh, sunnah, dan fardlu saja? Lupakah kita, bahwa masih ada juga barang ‘mubah’ atau ‘jaiz’? Alangkah baiknya, kalau umat Islam lebih ingat pula kepada apa yang mubah atau yang jaiz ini! Alangkah baiknya kalau ia ingat bahwa ia di dalam urusan dunia, di dalam urusan statemanship, ‘boleh berqias, boleh berbid’ah, boleh membuang cara-cara dulu, boleh mengambil cara-cara baru, boleh beradio, boleh berkapal udara, boleh berlistrik, boleh bermodern, boleh berhyper-hyper modern’, asal tidak nyata di hukum haram atau makruh oleh Allah dan Rasul! Adalah suatu perjuangan yang paling berfaedah bagi ummat Islam, yakni berjuang menentang kekolotan. Kalau Islam sudah bisa berjuang mengalahkan kekolotan itu, barulah ia bisa lari secepat-kilat mengejar zaman yang seribu tahun jaraknya ke muka itu. Perjuangan menghantam orthodoxie ke belakang, mengejar jaman ke muka, perjuangan inilah yang Kemal Attaturk maksudkan, tatkala ia berkata, bawa ‘Islam tidak menyuruh orang duduk termenung sehari-hari di dalam mesjid memutarkan tasbih, tetapi’ Islam adalah perjuangan.’ Islam is progress: Islam itu kemajuan!
Yang keempat Soekarno tentang tuhan
Tahun 1926 adalah tahun dimana aku memperoleh kematangan dalam kepercayaan. Aku beranjak berpikir dan berbicara tentang Tuhan. Sekalipun di negeri kami sebagian terbesar rakyatnya beragama Islam, namun konsepku tidak disandarkan semata-mata kepada Tuhannya orang Islam. Pada waktu aku melangkah ragu memulai permulaan jalan yang menuju kepada kepercayaan, aku tidak melihat Yang Maha Kuasa sebagai Tuhan kepunyaan perseorangan. Menurut jalan pikiranku, maka kemerdekaan seseorang meliputi juga kemerdekaan beragama.
Yang kelima Soekarno sangat menentang kultur taklid dalam umat Islam
Taqlid adalah salah satu sebab yang terbesar dari kemunduran Islam sekarang ini. Semenjak ada aturan taqlid, disitulah kemunduran Islam cepat sekali. Tak heran! Dimana genius dirantai, dimana akal fikiran diterungku, disitulah datang kematian.
….Saya sendiri, sebagai seorang terpelajar, barulah mendapat lebih banyak penghargaan kepada Islam, sesudah saya mendapat membaca buku-buku Islam modern dan scientific. Apa sebab umumnya kaum terpelajar Indonesia tak senang Islam? Sebagian besar, ialah oleh karena Islam tak mau membarengi jaman, karena salahnya orang-orang yang mempropagandakan Islam: mereka kolot, mereka orthodox, mereka anti-pengetahuan dan memang tidak berpengetahuan, takhayul, jumud, menyuruh orang bertaqlid saja, menyuruh orang percaya saja, mesum mbahnya mesum!
Bagi saya anti-taqlidisme itu berarti : bukan saja ‘kembali’ kepada Qur’an dan Hadits, tetapi ‘kembali kepada Qur’an dan Hadits dengan mengendarai kendaraannya pengetahuan umum.” –Soekarno dalam Surat Ende 1936 (DBR Jilid I, 1964).
Dulu dilain tempat, pernah ada yang menulis begini:
Quote:
"Adalah seorang "sayid" yang sedikit terpelajar, tetapi ia tak dapat memuaskan saya, karena pengetahuannya tak keluar sedikitpun jua dari " kitab fiqih " mati hidup dengan kitab fiqih itu. Qur'an dan Api Islam seakan-akan mati, karena kitab fiqih itu sajalah yang mereka jadikan pedoman hidup, bukan kalam Illahi sendiri. Ya, kalau dipikirkan dengan dalam-dalam, maka kitab fiqih itulah yang seakan-akan ikut menjadi algojo roh dan semangat Islam. Sebagai misal, satu masyarakat menjadi hidup, menjadi bernyawa, menjadi levend, kalau masyarakat itu hanya dialaskan saja kepada Wetboek van Strafrecht dan Burgerlijk Wetboek, pada artikel ini dengan artikel itu? Masyarakat yang demikian itu akan segeralah menjadi masyarakat mati, masyarakat bangkai, masyarakat yang bukan masyarakat. Sebab tandanya masyarakat adalah justru ia punya hidup, ia punya nyawa. Begitu pula, maka dunia Islam sekarang ini setengah mati, tidak ada Roh, tidak ada nyawa, tidak ada api, karena umat Islam sama sekali tenggelam di dalam "kitab fiqihnya" saja, tidak terbang seperti burung garuda diatas udara - udaranya Levend Geloof, yakni udaranya agama yang hidup ".
Sesudah beberapa kali membaca saya punya tulisan-tulisan di dalam PI ini, agan barangkali lantas mengira, bahwa saya adalah membenci fiqih. Saya bukan pembenci fiqih, saya malahan berfakta tiada masyarakat Islam dapat berdiri zonder hukum - hukumnya fiqih. Sebagaimana tidak ada masyarakat satupun dapat berdiri zonder Wetboek van Stafrecht dan Burgerlijk Wetboek, maka begitu juga tidak ada peri kehidupan Islam dapat ditegakkan zonder wetboeknya fiqih. Saya bukan membenci fiqih, saya hanya membenci orang yang perikehidupan agama terlalu mendasarkan diri kepada fiqih itu saja, kepada hukum syariat itu saja.
Dan sungguh, agan-agan, pendapat yang begini bukanlah pendapat saya yang picik ini saja, juga Farid Wadji, juga Muhammad Ali, juga Kwada Kamaludin, juga Amir Ali berpendapat begitu. Farid Wadji pernah berpidato dihadapan kaum Orientalis Eropa tentang arti fiqih itu buah peri kehidupan Islam, dan beliau mengatakan bahwa "kaum Orientalis yang mau mengukur Islam dengan fiqih itu saja, sebenarnya adalah berbuat tidak adil kepada Islam, oleh karena fiqih belum Islam seluruhnya, dan bahkan kadang-kadang sudahlah menjadi satu sistem yang bertentangan dengan Islam yang sejati". Muhammad Ali tidak berhenti berjuang dengan kaum-kaum yang mau membelenggu Islam itu kedalam mereka punya monopoli hukum dan Kwaja Kammaludin menulis di dalam ia punya "Evangelie van de DAAD", satu kitab yang dulu saya pernah katakan brilian, sebagai berikut : "kita hanya ngobrol tentang sembayang dan puasa, dan kita sudah mengira bahwa kita sudah melakukan agama. Khotib-Khotib membuat khotbah rahasia-rahasianya surga dan neraka, atau mereka mengajar kita betapa caranya kita mengambil air wudhu atau rukun-rukun yang lain, dan itu sudahlah dianggap cukup buat mengerjakan agama. Begitulah lah keadaannya kitab-kitab agama kita. Tetapi yang demikian itu bukanlah gambaran kita punya agama yang sebenar-benarnya ". " Cobalah kita punya ulama - ulama itu menjelaskan kepada dunia wetenschap betapa rupanya ethiek yang diajarakan oleh Qur'an. Maka tidak akan sulit bagi bangsa-bangsa Barat ditarik masuk Islam, kalau literatur yang demikian itu disebarkan kemana - mana".
Sesudah beberapa kali membaca saya punya tulisan-tulisan di dalam PI ini, agan barangkali lantas mengira, bahwa saya adalah membenci fiqih. Saya bukan pembenci fiqih, saya malahan berfakta tiada masyarakat Islam dapat berdiri zonder hukum - hukumnya fiqih. Sebagaimana tidak ada masyarakat satupun dapat berdiri zonder Wetboek van Stafrecht dan Burgerlijk Wetboek, maka begitu juga tidak ada peri kehidupan Islam dapat ditegakkan zonder wetboeknya fiqih. Saya bukan membenci fiqih, saya hanya membenci orang yang perikehidupan agama terlalu mendasarkan diri kepada fiqih itu saja, kepada hukum syariat itu saja.
Dan sungguh, agan-agan, pendapat yang begini bukanlah pendapat saya yang picik ini saja, juga Farid Wadji, juga Muhammad Ali, juga Kwada Kamaludin, juga Amir Ali berpendapat begitu. Farid Wadji pernah berpidato dihadapan kaum Orientalis Eropa tentang arti fiqih itu buah peri kehidupan Islam, dan beliau mengatakan bahwa "kaum Orientalis yang mau mengukur Islam dengan fiqih itu saja, sebenarnya adalah berbuat tidak adil kepada Islam, oleh karena fiqih belum Islam seluruhnya, dan bahkan kadang-kadang sudahlah menjadi satu sistem yang bertentangan dengan Islam yang sejati". Muhammad Ali tidak berhenti berjuang dengan kaum-kaum yang mau membelenggu Islam itu kedalam mereka punya monopoli hukum dan Kwaja Kammaludin menulis di dalam ia punya "Evangelie van de DAAD", satu kitab yang dulu saya pernah katakan brilian, sebagai berikut : "kita hanya ngobrol tentang sembayang dan puasa, dan kita sudah mengira bahwa kita sudah melakukan agama. Khotib-Khotib membuat khotbah rahasia-rahasianya surga dan neraka, atau mereka mengajar kita betapa caranya kita mengambil air wudhu atau rukun-rukun yang lain, dan itu sudahlah dianggap cukup buat mengerjakan agama. Begitulah lah keadaannya kitab-kitab agama kita. Tetapi yang demikian itu bukanlah gambaran kita punya agama yang sebenar-benarnya ". " Cobalah kita punya ulama - ulama itu menjelaskan kepada dunia wetenschap betapa rupanya ethiek yang diajarakan oleh Qur'an. Maka tidak akan sulit bagi bangsa-bangsa Barat ditarik masuk Islam, kalau literatur yang demikian itu disebarkan kemana - mana".
KESIMPULAN :
PANCASILA itu bukan Islam Liberal tapi jawaban dari permasalahan bangsa Indonesia yang heterogen, yang tetap menjunjung tinggi Ketuhanan, Kemanusiaan dan Keadilan Sosial di atas Persatuan Indonesia dan penyelenggaraan negara kerakyatan NKRI.
Kalau ada orang yg menyalahkan orang lain berarti dia mau membenarkan dirinya dan cara berfikirnya yg hanyalah sangkaanya sendiri, yg mengaku mau memuliakan Tuhan tapi belum tentu mengenal Tuhan.
SUMUR 1
SUMUR 2
Diubah oleh 6adjahmada 06-04-2014 20:57
0
13K
Kutip
76
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan