- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
nekad!! demi memperjuangkan cintanya cewe ini ngelamar duluan


TS
ayukomalasari
nekad!! demi memperjuangkan cintanya cewe ini ngelamar duluan
semoga ga
yaa
langsung aja nih ceritanya
Saat keyakinan sudah diraih, langkah selanjutnya akan jadi lebih mudah. Bahkan mungkin dimudahkan. Memang perlu keyakinan yang kuat, agar sebuah langkah serius bisa dibuat. Itu yang dialami teman saya, sebut saja Uty. Sebelum diyakinkan benar-benar, dan berani membuat langkah cukup nekad, mungkin sekarang ia belum menikah dengan laki-laki pujaannya.
Uty mengenal calon suaminya itu saat masih sama-sama berkuliah di Bandung. Mereka bergabung di komunitas yang sama. Sama-sama mencintai alam, dan sama-sama gemar mendaki gunung. Alam menyatukan keduanya. Kampus mereka di Bandung pun jadi bagian tak terpisahkan kisah mereka berdua. Bahkan sampai mereka akhirnya bisa menikah.
Uty kemudian pindah ke Jakarta untuk bekerja. Meninggalkan semua kesenangan, kebebasan untuk menghadapi hidup sebenarnya. Mau tidak mau semua orang harus menjalani dan menghadapi itu, bukan? Itu Uty sadari sebenar-benarnya.
Sayang, nampaknya si pacar masih cukup gamang dalam berusaha untuk menapaki masa depannya. Mencari pekerjaan bukan hal gampang saat ini. Jadi, saat sebuah kesempatan untuk bekerja terbuka maka lebih baik diambil. Daripada ditolak, lalu malah jadi periuk nasi orang lain. Ia harus sampai menyeberang ke Kalimantan untuk pelan-pelan menapaki karier yang masih belum jelas.
Saat Uty sudah cukup tenang menjalani kariernya di media, si pacar (yang belum jadi suami) masih gamang. Karena beban pekerjaan, karena jarak, dan umur yang menurutnya sudah di ambang pernikahan. Di umurnya yang sekarang, ia harusnya sudah memiliki pekerjaan, penghasilan yang mantap, sehingga bisa membawa Uty ke pelaminan.
Hingga suatu saat, kegamangan itu membawa si pacar kembali ke Bandung. Saat Uty sedang sibuk menjadi reporter untuk sebuah media gaya hidup di Jakarta, si pacar mencoba cari ketenangan di lingkungan kampus mereka. Berkumpul kembali dengan mahasiswa-mahasiswa pencinta alam. Dan bertemu dengan seorang junior, perempuan, yang cukup memikat hatinya.
Kabar dengan cepat sampai ke telinga Uty. Memberitahukan bahwa si pacar, yang sedang galau dengan pekerjaan, justru mengalami kegalauan lain. Ia malah dekat dengan si junior.
“Iya, dia sedang bimbang dengan pekerjaan. Agak minder, karena sampai sekarang belum mendapatkan pekerjaan yang pas untuk menopang dia,” cerita Uty saat itu, tentang kegalauan pertama si pacar.
“Junior perempuan itu memang senang dengan tipe laki-laki seperti dia. Dewasa, pencinta alam, gemar naik gunung. Laki-laki banget, lah,” lanjut Uty lagi tentang si junior yang juga nampaknya tergila-gila dengan pacarnya.
Dengan hubungan pribadi yang tiba-tiba bermasalah, Uty berusaha berkepala dingin dan menyelesaikan masalah itu. Kalaupun mereka akhirnya berpisah, mereka harus berpisah baik-baik. Itu yang Uty ucapkan pada saya, saat itu. Walau dari matanya saya tahu, perpisahan itu sudah pasti melukai hatinya. Ia pun berangkat ke Bandung. Mencari si pacar yang galau.
Well, Uty meyakinkan sendiri bahwa si pacar memang sedang dekat dengan orang lain. Dan dia menghormati keputusan itu. Meski saat ia mau kembali ke Jakarta, tetap laki-laki itu juga yang mengantarnya ke terminal bis. Pertemuan mereka berakhir dengan telapak tangan yang melayang di pipi si laki-laki. Kekesalan Uty sudah di ubun-ubun. Sudah pasti, kan. Laki-laki itu, cerita Uty, menerima tamparan itu tanpa mencoba menghindar.
Lalu, giliran Uty yang galau. Saya menasihati dia untuk memberikan si laki-laki jarak. Jangan membalas pesan teks-nya, apapun bentuknya itu. Jangan menghubungi dia dulu. Dan lain-lainnya. Nasihat yang agak susah dipatuhi, karena Uty masih menyimpan rasa penasaran yang besar sepertinya.
Lalu...
Karena nampaknya, Uty jadi tidak bisa tidur setelah hampir dua minggu mengakhiri hubungannya, dan nampaknya si laki-laki masih betah dekat dengan junior mereka di kampus...
“Kamu tantang dia. Waktu itu, kan dia ajak kamu nikah, tapi kamu nggak yakin. Sekarang, kamu tanya balik, kamu ajak dia nikah...” saya berikan Uty tantangan. Tantangan yang mudah, tapi juga sulit. Kami berbincang di tengah-tengah makan siang. Saya menantang Uty untuk mengirim pesan singkat ke laki-laki itu, dan mengajaknya menikah. Karena masih bingung dengan tantangan itu, saya minta dikabari keesokan harinya.
“Jangan bercanda, ah...” ujar Uty sambil hampir tersedak mengunyah makan siangnya. Tapi entah kenapa, saya, dia percaya bahwa ini satu-satunya jalan untuk membalikkan keadaan dan kesempatan bagi Uty untuk memiliki kekasihnya kembali.
Singkat cerita, si laki-laki terkejut saat malamnya Uty mengirimkan pesan teks yang cukup ‘agresif’ itu. Dan, seperti dugaan kami, pesan teks itu lah yang dibutuhkan untuk membalikkan keadaan dan menyadarkan si laki-laki dari kegalauan yang ia rasakan. Dari malam itu, perjalanan hubungan pribadi Uty berlangsung cukup lancar. Si laki-laki meninggalkan juniornya di kampus dan mengaku bahwa ia tidak memiliki perasaan apapun pada perempuan muda itu. Hanya perlu waktu beberapa bulan, sampai pertunangan antara keduanya berlangsung dan akhirnya menikah. Februari mereka bertunangan, lalu Mei menikah.
Bayangkan bila pesan teks nekad itu tidak dikirimkan. Apa yang terjadi bila Uty tidak memberanikan diri menjadi pihak yang mengajak nikah duluan. Bayangkan bila Uty percaya bahwa perempuan nggak pantas menjadi sedikit lebih agresif. Mungkin laki-laki itu masih bersama si junior. Mungkin kegalauan Uty nggak akan berakhir, dan ia kadung percaya bahwa tak ada alasan lagi memperjuangkan hubungan mereka yang sudah bertahun-tahun usianya itu. Uty memang mendapat sedikit dorongan dari saya, tapi pada akhirnya dialah yang memutuskan.
Cinta memang harus diperjuangkan. Jodoh memang tidak akan lari kemana. Kalau jodoh pasti bertemu. Tapi bagaimana bertemu dengan jodoh kalau kita tidak sedikitpun menunjukkan usaha? Memang agak klise, tapi cinta sendiri pasti menghampiri mereka yang mau berusaha. Duduk diam saja tidak akan membawakan jodoh ke hadapan kita.
Untung saja Uty masih percaya bahwa hubungannya dengan si pasangan masih bisa diperjuangkan. Bila tidak, mungkin masa depan sudah berubah. Dan perempuan seperti Uty pasti tidak sedikit. Hadirnya orang ketiga sudah membuat mereka menyerah. Tidak mau melakukan apapun untuk menyelamatkan hubungan yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Tentu saja, hubungan yang merugikan tak perlu dipertahankan. Tapi bila kamu tahu dia adalah cinta yang istimewa, then you should make the move, no?
Kenekadan Uty bisa saja berhasil beda. Tapi, yang jelas Uty sudah mencoba.
SEKIAN GAN
jangan lupa komentar
uppps! lupaa..ini sumbernya http://www.fimela.com/read/2014/03/1...kah-boleh-saja

Quote:
langsung aja nih ceritanya

Saat keyakinan sudah diraih, langkah selanjutnya akan jadi lebih mudah. Bahkan mungkin dimudahkan. Memang perlu keyakinan yang kuat, agar sebuah langkah serius bisa dibuat. Itu yang dialami teman saya, sebut saja Uty. Sebelum diyakinkan benar-benar, dan berani membuat langkah cukup nekad, mungkin sekarang ia belum menikah dengan laki-laki pujaannya.
Uty mengenal calon suaminya itu saat masih sama-sama berkuliah di Bandung. Mereka bergabung di komunitas yang sama. Sama-sama mencintai alam, dan sama-sama gemar mendaki gunung. Alam menyatukan keduanya. Kampus mereka di Bandung pun jadi bagian tak terpisahkan kisah mereka berdua. Bahkan sampai mereka akhirnya bisa menikah.
Uty kemudian pindah ke Jakarta untuk bekerja. Meninggalkan semua kesenangan, kebebasan untuk menghadapi hidup sebenarnya. Mau tidak mau semua orang harus menjalani dan menghadapi itu, bukan? Itu Uty sadari sebenar-benarnya.
Sayang, nampaknya si pacar masih cukup gamang dalam berusaha untuk menapaki masa depannya. Mencari pekerjaan bukan hal gampang saat ini. Jadi, saat sebuah kesempatan untuk bekerja terbuka maka lebih baik diambil. Daripada ditolak, lalu malah jadi periuk nasi orang lain. Ia harus sampai menyeberang ke Kalimantan untuk pelan-pelan menapaki karier yang masih belum jelas.
Saat Uty sudah cukup tenang menjalani kariernya di media, si pacar (yang belum jadi suami) masih gamang. Karena beban pekerjaan, karena jarak, dan umur yang menurutnya sudah di ambang pernikahan. Di umurnya yang sekarang, ia harusnya sudah memiliki pekerjaan, penghasilan yang mantap, sehingga bisa membawa Uty ke pelaminan.
Hingga suatu saat, kegamangan itu membawa si pacar kembali ke Bandung. Saat Uty sedang sibuk menjadi reporter untuk sebuah media gaya hidup di Jakarta, si pacar mencoba cari ketenangan di lingkungan kampus mereka. Berkumpul kembali dengan mahasiswa-mahasiswa pencinta alam. Dan bertemu dengan seorang junior, perempuan, yang cukup memikat hatinya.
Kabar dengan cepat sampai ke telinga Uty. Memberitahukan bahwa si pacar, yang sedang galau dengan pekerjaan, justru mengalami kegalauan lain. Ia malah dekat dengan si junior.
“Iya, dia sedang bimbang dengan pekerjaan. Agak minder, karena sampai sekarang belum mendapatkan pekerjaan yang pas untuk menopang dia,” cerita Uty saat itu, tentang kegalauan pertama si pacar.
“Junior perempuan itu memang senang dengan tipe laki-laki seperti dia. Dewasa, pencinta alam, gemar naik gunung. Laki-laki banget, lah,” lanjut Uty lagi tentang si junior yang juga nampaknya tergila-gila dengan pacarnya.
Dengan hubungan pribadi yang tiba-tiba bermasalah, Uty berusaha berkepala dingin dan menyelesaikan masalah itu. Kalaupun mereka akhirnya berpisah, mereka harus berpisah baik-baik. Itu yang Uty ucapkan pada saya, saat itu. Walau dari matanya saya tahu, perpisahan itu sudah pasti melukai hatinya. Ia pun berangkat ke Bandung. Mencari si pacar yang galau.
Well, Uty meyakinkan sendiri bahwa si pacar memang sedang dekat dengan orang lain. Dan dia menghormati keputusan itu. Meski saat ia mau kembali ke Jakarta, tetap laki-laki itu juga yang mengantarnya ke terminal bis. Pertemuan mereka berakhir dengan telapak tangan yang melayang di pipi si laki-laki. Kekesalan Uty sudah di ubun-ubun. Sudah pasti, kan. Laki-laki itu, cerita Uty, menerima tamparan itu tanpa mencoba menghindar.
Lalu, giliran Uty yang galau. Saya menasihati dia untuk memberikan si laki-laki jarak. Jangan membalas pesan teks-nya, apapun bentuknya itu. Jangan menghubungi dia dulu. Dan lain-lainnya. Nasihat yang agak susah dipatuhi, karena Uty masih menyimpan rasa penasaran yang besar sepertinya.
Lalu...
Karena nampaknya, Uty jadi tidak bisa tidur setelah hampir dua minggu mengakhiri hubungannya, dan nampaknya si laki-laki masih betah dekat dengan junior mereka di kampus...
“Kamu tantang dia. Waktu itu, kan dia ajak kamu nikah, tapi kamu nggak yakin. Sekarang, kamu tanya balik, kamu ajak dia nikah...” saya berikan Uty tantangan. Tantangan yang mudah, tapi juga sulit. Kami berbincang di tengah-tengah makan siang. Saya menantang Uty untuk mengirim pesan singkat ke laki-laki itu, dan mengajaknya menikah. Karena masih bingung dengan tantangan itu, saya minta dikabari keesokan harinya.
“Jangan bercanda, ah...” ujar Uty sambil hampir tersedak mengunyah makan siangnya. Tapi entah kenapa, saya, dia percaya bahwa ini satu-satunya jalan untuk membalikkan keadaan dan kesempatan bagi Uty untuk memiliki kekasihnya kembali.
Singkat cerita, si laki-laki terkejut saat malamnya Uty mengirimkan pesan teks yang cukup ‘agresif’ itu. Dan, seperti dugaan kami, pesan teks itu lah yang dibutuhkan untuk membalikkan keadaan dan menyadarkan si laki-laki dari kegalauan yang ia rasakan. Dari malam itu, perjalanan hubungan pribadi Uty berlangsung cukup lancar. Si laki-laki meninggalkan juniornya di kampus dan mengaku bahwa ia tidak memiliki perasaan apapun pada perempuan muda itu. Hanya perlu waktu beberapa bulan, sampai pertunangan antara keduanya berlangsung dan akhirnya menikah. Februari mereka bertunangan, lalu Mei menikah.
Bayangkan bila pesan teks nekad itu tidak dikirimkan. Apa yang terjadi bila Uty tidak memberanikan diri menjadi pihak yang mengajak nikah duluan. Bayangkan bila Uty percaya bahwa perempuan nggak pantas menjadi sedikit lebih agresif. Mungkin laki-laki itu masih bersama si junior. Mungkin kegalauan Uty nggak akan berakhir, dan ia kadung percaya bahwa tak ada alasan lagi memperjuangkan hubungan mereka yang sudah bertahun-tahun usianya itu. Uty memang mendapat sedikit dorongan dari saya, tapi pada akhirnya dialah yang memutuskan.
Cinta memang harus diperjuangkan. Jodoh memang tidak akan lari kemana. Kalau jodoh pasti bertemu. Tapi bagaimana bertemu dengan jodoh kalau kita tidak sedikitpun menunjukkan usaha? Memang agak klise, tapi cinta sendiri pasti menghampiri mereka yang mau berusaha. Duduk diam saja tidak akan membawakan jodoh ke hadapan kita.
Untung saja Uty masih percaya bahwa hubungannya dengan si pasangan masih bisa diperjuangkan. Bila tidak, mungkin masa depan sudah berubah. Dan perempuan seperti Uty pasti tidak sedikit. Hadirnya orang ketiga sudah membuat mereka menyerah. Tidak mau melakukan apapun untuk menyelamatkan hubungan yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Tentu saja, hubungan yang merugikan tak perlu dipertahankan. Tapi bila kamu tahu dia adalah cinta yang istimewa, then you should make the move, no?
Kenekadan Uty bisa saja berhasil beda. Tapi, yang jelas Uty sudah mencoba.
SEKIAN GAN
jangan lupa komentar

uppps! lupaa..ini sumbernya http://www.fimela.com/read/2014/03/1...kah-boleh-saja
Diubah oleh ayukomalasari 06-04-2014 08:21
0
3K
21


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan