- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Diskriminasi Etnis Masih Terjadi


TS
yokono
Diskriminasi Etnis Masih Terjadi
Quote:
Diskriminasi Etnis Masih Terjadi
Minggu, 30 Maret 2014 | 09:08 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com— Konsep integrasi yang dahulu dilarang melalui konsep asimilasi telah menghilangkan identitas kultural etnis Tionghoa. Walaupun sudah ada undang-undang kewarganegaraan, diskriminasi etnis masih kerap terjadi, terutama di Jawa dan Sumatera.
Yosep Stanley Adi Prasetyo, mantan Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, mengemukakan hal itu dalam peringatan ”100 Tahun Siauw Giok Tjhan: Pejuang yang Dihapus dari Sejarah”, di Jakarta, Sabtu (29/3). Diskusi yang diselenggarakan Gema INTI ini menghadirkan dua sejarawan, Asvi Warman Adam dan Bonie Triyana.
Dalam sejarah Indonesia, Siauw adalah tokoh Tionghoa era Orde Baru yang mendorong konsep integrasi-multikulturalisme untuk mengikis rasisme di Indonesia. Melalui organisasi massa Baperki, Siauw mendorong komunitas Tionghoa dan para siswanya untuk menerima Indonesia sebagai tanah airnya.
Stanley mengatakan, Siauw berupaya keras melawan diskriminasi dengan cara memperkuat bargaining politik. Bahkan, dia turut mengajak rakyat berjuang membangun Indonesia.
Tindakan konkret
Siauw Tiong Djin, putra Siauw, mengatakan, ”Untuk menjadi seorang patriot Indonesia, seseorang sesungguhnya tidak perlu menanggalkan latar belakang etnisitasnya. Pengikisan benih-benih rasisme memerlukan tindakan konkret, antara lain komunitas Tionghoa perlu meneruskan arus masuk dan berperan lebih banyak di partai-partai politik sehingga bisa memengaruhi program dan menjamin hilangnya program politik yang bersifat rasisme.”
Tindakan masyarakat etnis Tionghoa lainnya adalah meneruskan arus menjadi wakil-wakil di badan legislatif dan eksekutif sehingga undang-undang yang bersifat rasisme dapat dihilangkan sepenuhnya. Juga, bergerak dan berpihak pada gerakan ”akar rumput” untuk menjadi aspirasi komunitas Tionghoa.
Menurut Tiong Djin, Pemerintah Indonesia dan sebagian tokoh masyarakat masih dipengaruhi fobia terhadap komunis. Akibatnya, pelaku sejarah yang dianggap menganut paham komunis, apa pun peran dan jasanya, harus dihapus dari sejarah. Siauw masuk kategori orang yang dianggap perlu tidak dianggap dalam sejarah sehingga menimbulkan keganjilan sejarah.
Asvi mengatakan, kebijakan terbaru pemerintah mengganti etnis China menjadi Tionghoa dan negara China menjadi Tiongkok semestinya memberikan pengaruh pada pendidikan di Indonesia ke depan. (OSA)
Minggu, 30 Maret 2014 | 09:08 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com— Konsep integrasi yang dahulu dilarang melalui konsep asimilasi telah menghilangkan identitas kultural etnis Tionghoa. Walaupun sudah ada undang-undang kewarganegaraan, diskriminasi etnis masih kerap terjadi, terutama di Jawa dan Sumatera.
Yosep Stanley Adi Prasetyo, mantan Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, mengemukakan hal itu dalam peringatan ”100 Tahun Siauw Giok Tjhan: Pejuang yang Dihapus dari Sejarah”, di Jakarta, Sabtu (29/3). Diskusi yang diselenggarakan Gema INTI ini menghadirkan dua sejarawan, Asvi Warman Adam dan Bonie Triyana.
Dalam sejarah Indonesia, Siauw adalah tokoh Tionghoa era Orde Baru yang mendorong konsep integrasi-multikulturalisme untuk mengikis rasisme di Indonesia. Melalui organisasi massa Baperki, Siauw mendorong komunitas Tionghoa dan para siswanya untuk menerima Indonesia sebagai tanah airnya.
Stanley mengatakan, Siauw berupaya keras melawan diskriminasi dengan cara memperkuat bargaining politik. Bahkan, dia turut mengajak rakyat berjuang membangun Indonesia.
Tindakan konkret
Siauw Tiong Djin, putra Siauw, mengatakan, ”Untuk menjadi seorang patriot Indonesia, seseorang sesungguhnya tidak perlu menanggalkan latar belakang etnisitasnya. Pengikisan benih-benih rasisme memerlukan tindakan konkret, antara lain komunitas Tionghoa perlu meneruskan arus masuk dan berperan lebih banyak di partai-partai politik sehingga bisa memengaruhi program dan menjamin hilangnya program politik yang bersifat rasisme.”
Tindakan masyarakat etnis Tionghoa lainnya adalah meneruskan arus menjadi wakil-wakil di badan legislatif dan eksekutif sehingga undang-undang yang bersifat rasisme dapat dihilangkan sepenuhnya. Juga, bergerak dan berpihak pada gerakan ”akar rumput” untuk menjadi aspirasi komunitas Tionghoa.
Menurut Tiong Djin, Pemerintah Indonesia dan sebagian tokoh masyarakat masih dipengaruhi fobia terhadap komunis. Akibatnya, pelaku sejarah yang dianggap menganut paham komunis, apa pun peran dan jasanya, harus dihapus dari sejarah. Siauw masuk kategori orang yang dianggap perlu tidak dianggap dalam sejarah sehingga menimbulkan keganjilan sejarah.
Asvi mengatakan, kebijakan terbaru pemerintah mengganti etnis China menjadi Tionghoa dan negara China menjadi Tiongkok semestinya memberikan pengaruh pada pendidikan di Indonesia ke depan. (OSA)


Quote:
INGAT 9 APRIL JANGAN memilih partai yang MENDIAMKAN atau bahkan MENDUKUNG sikap anti-pluralisme
Diubah oleh yokono 30-03-2014 16:23
0
3K
Kutip
47
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan