- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Borok Transportasi Ibu Kota Negara


TS
sagiarsyad
Borok Transportasi Ibu Kota Negara
KOMPAS.com - Seabrek masalah transportasi Ibu Kota. Sampai-sampai masalah lama pun baru disadari menjadi ganjalan. Belakangan polemik soal penggunaan bahan bakar gas memanas. Semua angkutan umum diarahkan menggunakan bahan bakar gas.
Hal ini tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Namun, seruan itu bertepuk sebelah tangan. Sejalan dengan penambahan jumlah angkutan umum, galibnya diikuti dengan penambahan stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG).
Pemerintah lamban memperbanyak suplai gas ke pasaran hingga merata dan mudah dijangkau angkutan umum. Sampai akhir tahun ini, paling tidak DKI Jakarta membutuhkan 45 SPBG. Namun, baru ada delapan SPBG yang sering dimanfaatkan operator angkutan umum. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo berkali-kali mengingatkan pemenuhan suplai gas merupakan tanggung jawab pemerintah pusat.
Dilanggar
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta M Akbar mengatakan, keberadaan SPBG di Jakarta baru berkembang sejalan dengan pengembangan moda angkutan transjakarta tahun 2006. Namun, Akbar mengakui penambahan SPBG timpang dengan penambahan jumlah bus.
Tahun ini saja Pemprov DKI menambah 310 bus gandeng transjakarta dan 346 bus sedang. Namun, belum ada penambahan SPBG secara signifikan memenuhi kebutuhan moda angkutan tersebut.
Menurut Akbar, memang tidak fair jika menuntut semua moda angkutan umum berbahan bakar gas, sementara suplai gas belum mencukupi. Seharusnya pemerintah pusat menganggapnya sebagai layanan masyarakat. Pasokan gas dicukupi sesuai kebutuhan, baru menuntut semua moda angkutan berbahan bakar gas.
Lantaran harus mengacu pada bahan bakar gas, sumbangan 30 bus transjakarta dari pihak swasta terkendala karena semua bus itu berbahan bakar solar. Menanggapi hal itu, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama murka.
”Jika bus sumbangan ini dipersoalkan menggunakan bahan bakar solar, lalu mengapa bus sedang dan bus besar yang lain dibiarkan,” kata Basuki bersuara lantang.
Jangankan angkutan umum, mobil dinasnya, Toyota Land Cruiser, pun berbahan bakar solar. ”Kalian tahu, mobil ini, mobil ini, memakai solar, bukan gas,” kata Basuki sambil menggebrak mobilnya.
Polemik ini pula yang membuat konsorsium bus transjakarta gerah. Kontrak kerja sama mereka dengan UP Transjakarta (kini berubah menjadi PT Transportasi Jakarta) akan segera berakhir. Mereka hendak memesan bus baru untuk kelanjutan kerja sama berikutnya.
”Kami pesan bus jauh-jauh hari sebelum kontrak berakhir. Agar ketika kontrak baru ditandatangani, kami sudah siap dengan bus baru. Kami ingin memastikan apakah boleh menggunakan bus dengan bakar solar,” kata Direktur Operasional PT Mayasari Bhakti Arifin Azhari.
Arifin bersama empat konsorsium bus transjakarta menghadap Basuki. Mereka mengeluh, SPBG yang tersedia belum mencukupi kebutuhan di lapangan. ”Kami ingin kepastian saja, jika memang gasnya ada, tidak masalah kami akan beli bus dengan bahan bakar gas. Tetapi, jika tidak, bagaimana nasib bus kami,” katanya.
Lantaran Perda Nomor 2 Tahun 2005 itulah pembelian bus transjakarta tidak bisa leluasa. Sebab, produsen bus Eropa tidak banyak yang memproduksi bus dengan bahan bakar gas. Hal ini mempersempit peluang produsen bus Eropa mengikuti tender pengadaan bus angkutan di Jakarta.
Amarah Basuki meledak terkait hal itu. ”Mengapa kita tidak bisa beli bus Eropa. Mengapa busnya merek itu-itu saja, mengapa tidak sekalian beli merek dindong atau tongtong,” ucapnya.
Kebanyakan produsen bus besar itu memproduksi bus dengan bahan bakar solar berkualitas tinggi. Bahan bakar jenis ini sama-sama dianggap ramah lingkungan, yang bisa membuat langit di Jakarta berwarna biru.
Perda bermasalah
Lantas mengapa Perda Nomor 2 Tahun 2005 mengamanatkan penggunaan gas? Basuki menilai perda tersebut bermasalah.
Demi kebutuhan masyarakat, karena asas manfaatnya lebih tinggi, Basuki pasang badan. Dia tidak melarang bus berbahan bakar solar, paling tidak Euro 3 ke atas, beroperasi sebagai moda angkutan umum. Untuk membuat langit Jakarta membiru, tidak harus menggunakan bahan bakar gas, tetapi bisa dengan bahan bakar lain dengan kualitas tinggi.
”Jika harus menunggu SPBG berdiri, sampai kapan? Sementara rakyat sudah banyak membutuhkan penambahan bus. Silakan beroperasi bus yang memakai solar, tidak apa-apa. Biarkan saja perda itu,” kata Basuki berapi-api. (Andy Riza Hidayat)
http://megapolitan.kompas.com/read/2...bu.Kota.Negara
mobil dinas Gub, Wagub, DPRD pakai solar... melanggar perda, cuma berguna buat 1-5 orang per mobil ...mahal... gak diapa-apain
giliran Bus yang disumbang... melanggar perda, tapi berguna buat ratusan orang per mobil per mobil... gratis... ditolak...
emangnya perda kitab suci, gak bisa diubah ?
Hal ini tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Namun, seruan itu bertepuk sebelah tangan. Sejalan dengan penambahan jumlah angkutan umum, galibnya diikuti dengan penambahan stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG).
Pemerintah lamban memperbanyak suplai gas ke pasaran hingga merata dan mudah dijangkau angkutan umum. Sampai akhir tahun ini, paling tidak DKI Jakarta membutuhkan 45 SPBG. Namun, baru ada delapan SPBG yang sering dimanfaatkan operator angkutan umum. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo berkali-kali mengingatkan pemenuhan suplai gas merupakan tanggung jawab pemerintah pusat.
Dilanggar
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta M Akbar mengatakan, keberadaan SPBG di Jakarta baru berkembang sejalan dengan pengembangan moda angkutan transjakarta tahun 2006. Namun, Akbar mengakui penambahan SPBG timpang dengan penambahan jumlah bus.
Tahun ini saja Pemprov DKI menambah 310 bus gandeng transjakarta dan 346 bus sedang. Namun, belum ada penambahan SPBG secara signifikan memenuhi kebutuhan moda angkutan tersebut.
Menurut Akbar, memang tidak fair jika menuntut semua moda angkutan umum berbahan bakar gas, sementara suplai gas belum mencukupi. Seharusnya pemerintah pusat menganggapnya sebagai layanan masyarakat. Pasokan gas dicukupi sesuai kebutuhan, baru menuntut semua moda angkutan berbahan bakar gas.
Lantaran harus mengacu pada bahan bakar gas, sumbangan 30 bus transjakarta dari pihak swasta terkendala karena semua bus itu berbahan bakar solar. Menanggapi hal itu, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama murka.
”Jika bus sumbangan ini dipersoalkan menggunakan bahan bakar solar, lalu mengapa bus sedang dan bus besar yang lain dibiarkan,” kata Basuki bersuara lantang.
Jangankan angkutan umum, mobil dinasnya, Toyota Land Cruiser, pun berbahan bakar solar. ”Kalian tahu, mobil ini, mobil ini, memakai solar, bukan gas,” kata Basuki sambil menggebrak mobilnya.
Polemik ini pula yang membuat konsorsium bus transjakarta gerah. Kontrak kerja sama mereka dengan UP Transjakarta (kini berubah menjadi PT Transportasi Jakarta) akan segera berakhir. Mereka hendak memesan bus baru untuk kelanjutan kerja sama berikutnya.
”Kami pesan bus jauh-jauh hari sebelum kontrak berakhir. Agar ketika kontrak baru ditandatangani, kami sudah siap dengan bus baru. Kami ingin memastikan apakah boleh menggunakan bus dengan bakar solar,” kata Direktur Operasional PT Mayasari Bhakti Arifin Azhari.
Arifin bersama empat konsorsium bus transjakarta menghadap Basuki. Mereka mengeluh, SPBG yang tersedia belum mencukupi kebutuhan di lapangan. ”Kami ingin kepastian saja, jika memang gasnya ada, tidak masalah kami akan beli bus dengan bahan bakar gas. Tetapi, jika tidak, bagaimana nasib bus kami,” katanya.
Lantaran Perda Nomor 2 Tahun 2005 itulah pembelian bus transjakarta tidak bisa leluasa. Sebab, produsen bus Eropa tidak banyak yang memproduksi bus dengan bahan bakar gas. Hal ini mempersempit peluang produsen bus Eropa mengikuti tender pengadaan bus angkutan di Jakarta.
Amarah Basuki meledak terkait hal itu. ”Mengapa kita tidak bisa beli bus Eropa. Mengapa busnya merek itu-itu saja, mengapa tidak sekalian beli merek dindong atau tongtong,” ucapnya.
Kebanyakan produsen bus besar itu memproduksi bus dengan bahan bakar solar berkualitas tinggi. Bahan bakar jenis ini sama-sama dianggap ramah lingkungan, yang bisa membuat langit di Jakarta berwarna biru.
Perda bermasalah
Lantas mengapa Perda Nomor 2 Tahun 2005 mengamanatkan penggunaan gas? Basuki menilai perda tersebut bermasalah.
Demi kebutuhan masyarakat, karena asas manfaatnya lebih tinggi, Basuki pasang badan. Dia tidak melarang bus berbahan bakar solar, paling tidak Euro 3 ke atas, beroperasi sebagai moda angkutan umum. Untuk membuat langit Jakarta membiru, tidak harus menggunakan bahan bakar gas, tetapi bisa dengan bahan bakar lain dengan kualitas tinggi.
”Jika harus menunggu SPBG berdiri, sampai kapan? Sementara rakyat sudah banyak membutuhkan penambahan bus. Silakan beroperasi bus yang memakai solar, tidak apa-apa. Biarkan saja perda itu,” kata Basuki berapi-api. (Andy Riza Hidayat)
http://megapolitan.kompas.com/read/2...bu.Kota.Negara
mobil dinas Gub, Wagub, DPRD pakai solar... melanggar perda, cuma berguna buat 1-5 orang per mobil ...mahal... gak diapa-apain
giliran Bus yang disumbang... melanggar perda, tapi berguna buat ratusan orang per mobil per mobil... gratis... ditolak...
emangnya perda kitab suci, gak bisa diubah ?
0
1.7K
30


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan