- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Pacar Main PES, Mahasiswi Ini ke Dokter Gigi Sendirian


TS
iogia
Pacar Main PES, Mahasiswi Ini ke Dokter Gigi Sendirian
Salam sejahtera Agan-agan di seluruh Kaskus Raya.
Ane nemu cerita menarik. Kisahnya seorang mahasiswi yang terpaksa ke dokter gigi sendiri karena pacarnya lebih memilih main PES.
Tak disangka pas nunggu taksi mau pulang, mahasiswi itu ketemu dengan temannya yang ganteng yang kebetulan lewat dan menawarkan tumpangan.
Apakah mahasiswi itu tetap menunggu taksi atau memilih menerima tawaran dari temannya yang ganteng itu? Silakan baca cerita.
Cerita di atas sama persis dengan yang di sampaikan oleh Primadita, seorang mahasiswi di kampus Bulaksumur Yogyakarta. Ane tidak mengada-ada, Gan. Silakan cek sendiri di Sumbernya. Klik di sini
Terima kasih untuk agan Hesica

Ane nemu cerita menarik. Kisahnya seorang mahasiswi yang terpaksa ke dokter gigi sendiri karena pacarnya lebih memilih main PES.
Tak disangka pas nunggu taksi mau pulang, mahasiswi itu ketemu dengan temannya yang ganteng yang kebetulan lewat dan menawarkan tumpangan.
Apakah mahasiswi itu tetap menunggu taksi atau memilih menerima tawaran dari temannya yang ganteng itu? Silakan baca cerita.
Spoiler for Ceritanya:
Di Antara Dua Lelaki
Lalu setelah menunggu beberapa menit sebuah pesan singkat masuk ke layar ponselnya dan ini dari Pram.
+++
Spoiler for Di Klinik Dokter Gigi:
“Sore ini temenin aku ke dokter gigi ya sayang?”
“Iya, tapi aku cuma nganterin aja ya?”
“Kok gitu? Temenin sampai aku selesai dong.” Rengek Diandra pada laki-laki itu.
Hari itu, Diandra memang harus ke dokter gigi karena ia merasa ada yang tak beres dengan pertumbuhan gigi bungsunya yang bagian atas. Sudah sejak dua hari yang lalu perempuan itu merengek pada kekasihnya Pram, untuk ditemani ke dokter gigi. Pram memang mengiyakan tapi hanya sekedar mengantar dan menjemput saja seperti layaknya tukang ojek. Bukan untuk menemani kekasihnya berobat. Pram tipe laki-laki yang tak suka menunggu, sebenarnya Diandra tahu tapi sampai saat ini ia masih berusaha untuk mengubah pola berpikir kekasihnya itu dalam konteks tunggu menunggu. Memang, kata orang menunggu itu merupakan sebuah perkara melebarkan kesabaran dan berhadapan dengan risiko ketidakhadiran. Itu untuk menunggu sebuah kehadiran, tapi jika menunggu dan menemani sesorang yang sedang sakit konteksnya beda. Masa iya harus disamakan dengan hal seperti itu?
Diandra sendiri merupakan tipe orang yang phobia terhadap dokter gigi. Ia merasa ngeri jika harus berhadapan langsung dengan dokter gigi. Dulu sewaktu kecil ia sering berhadapan dengan dokter gigi karena giginya yang sering berlubang. Tapi dulu waktu masih kecil selalu ada mamanya yang menungguinya. Kini ketika ia sudah dewasa dan hidup terpisah dari orangtuanya hanya Pram yang sangat ia inginkan kehadirannya ketika ia sedang nervous menghadapi dokter gigi dan segala macam peralatannya. Jadi wajar saja jika sejak kemarin lusa perempuan itu sudah merengek-rengek pada Pram agar mau menemaninya ke dokter gigi, bukan hanya untuk mengantar dan menjemputnya saja.
Sore harinya, Pram benar-benar mengantar Diandra ke dokter gigi. Namun ketika gadis itu selesai mengurus pendaftaran di loket pasien yang terletak di dekat meja recepsionist, Pram tiba-tiba merengek untuk pulang. Jelas saja Diandra tidak mau ditinggal sendirian.
“Aku balik yaa, nanti kalau sudah selesai aku jemput.”
“Gak mau.” Rajuk Diandra sembari masih mengenggam tangan laki-laki itu erat. “Aku gak mau ditinggal sendiri.”
“Kamu ini kayak anak kecil banget sih? Sudahlah aku mau pulang nanti aku jemput lagi.” Ujar laki-laki itu sembari berdiri.
Muka Diandra yang tadinya hanya cemberut manja, sekarang berubah menjadi sebuah amarah. Perempuan itu tak mampu menahan kekasihnya pergi, ia hanya bisa menatap punggung laki-laki itu yang semakin menjauh sembari mengumpat dalam hati. Dalam penantian yang penuh keresahan dan kecemasan itu, sesekali ia mengirim pesan-pesan singkat penuh amarah pada laki-laki itu.
“Iya, tapi aku cuma nganterin aja ya?”
“Kok gitu? Temenin sampai aku selesai dong.” Rengek Diandra pada laki-laki itu.
Hari itu, Diandra memang harus ke dokter gigi karena ia merasa ada yang tak beres dengan pertumbuhan gigi bungsunya yang bagian atas. Sudah sejak dua hari yang lalu perempuan itu merengek pada kekasihnya Pram, untuk ditemani ke dokter gigi. Pram memang mengiyakan tapi hanya sekedar mengantar dan menjemput saja seperti layaknya tukang ojek. Bukan untuk menemani kekasihnya berobat. Pram tipe laki-laki yang tak suka menunggu, sebenarnya Diandra tahu tapi sampai saat ini ia masih berusaha untuk mengubah pola berpikir kekasihnya itu dalam konteks tunggu menunggu. Memang, kata orang menunggu itu merupakan sebuah perkara melebarkan kesabaran dan berhadapan dengan risiko ketidakhadiran. Itu untuk menunggu sebuah kehadiran, tapi jika menunggu dan menemani sesorang yang sedang sakit konteksnya beda. Masa iya harus disamakan dengan hal seperti itu?
Diandra sendiri merupakan tipe orang yang phobia terhadap dokter gigi. Ia merasa ngeri jika harus berhadapan langsung dengan dokter gigi. Dulu sewaktu kecil ia sering berhadapan dengan dokter gigi karena giginya yang sering berlubang. Tapi dulu waktu masih kecil selalu ada mamanya yang menungguinya. Kini ketika ia sudah dewasa dan hidup terpisah dari orangtuanya hanya Pram yang sangat ia inginkan kehadirannya ketika ia sedang nervous menghadapi dokter gigi dan segala macam peralatannya. Jadi wajar saja jika sejak kemarin lusa perempuan itu sudah merengek-rengek pada Pram agar mau menemaninya ke dokter gigi, bukan hanya untuk mengantar dan menjemputnya saja.
Sore harinya, Pram benar-benar mengantar Diandra ke dokter gigi. Namun ketika gadis itu selesai mengurus pendaftaran di loket pasien yang terletak di dekat meja recepsionist, Pram tiba-tiba merengek untuk pulang. Jelas saja Diandra tidak mau ditinggal sendirian.
“Aku balik yaa, nanti kalau sudah selesai aku jemput.”
“Gak mau.” Rajuk Diandra sembari masih mengenggam tangan laki-laki itu erat. “Aku gak mau ditinggal sendiri.”
“Kamu ini kayak anak kecil banget sih? Sudahlah aku mau pulang nanti aku jemput lagi.” Ujar laki-laki itu sembari berdiri.
Muka Diandra yang tadinya hanya cemberut manja, sekarang berubah menjadi sebuah amarah. Perempuan itu tak mampu menahan kekasihnya pergi, ia hanya bisa menatap punggung laki-laki itu yang semakin menjauh sembari mengumpat dalam hati. Dalam penantian yang penuh keresahan dan kecemasan itu, sesekali ia mengirim pesan-pesan singkat penuh amarah pada laki-laki itu.
Spoiler for SMS penuh amarah:
From: Diandra
To: PramoedyaKoe
Tega ya kamu ninggalin aku sendirian kaya gini? Besok kalo udah nikah kamu juga bakal ninggalin istrimu berobat bahkan melahirkan gitu?
Sent… Delivered.
Tak ada jawaban, lalu tak lama kemudian pesan singkat berikutnya ia kirimkan lagi ke nomor laki-laki itu.
From: Diandra
To: PramodyaKoe
Kalo gitu caramu, aku gak mau nikah deh sama kamu!!!
Sent… Delivered.
To: PramoedyaKoe
Tega ya kamu ninggalin aku sendirian kaya gini? Besok kalo udah nikah kamu juga bakal ninggalin istrimu berobat bahkan melahirkan gitu?
Sent… Delivered.
Tak ada jawaban, lalu tak lama kemudian pesan singkat berikutnya ia kirimkan lagi ke nomor laki-laki itu.
From: Diandra
To: PramodyaKoe
Kalo gitu caramu, aku gak mau nikah deh sama kamu!!!
Sent… Delivered.
Lalu setelah menunggu beberapa menit sebuah pesan singkat masuk ke layar ponselnya dan ini dari Pram.
Spoiler for Balasan si pacar:
From: PramoedyaKoe
To: Dee’ Andra
Bawel banget sih kamu? Nanti kalo sudah selesai bilang, pasti aku jemput!!
To: Dee’ Andra
Bawel banget sih kamu? Nanti kalo sudah selesai bilang, pasti aku jemput!!
Spoiler for Nangis:
Entah kenapa matanya langsung panas setelah membaca kata-kata tersebut. Bukan itu yang diinginkan Diandra saat ini. Kalau itu ia bisa saja dengan mudah memanggil tukang ojek untuk mengantar jemputnya. Tapi ia butuh Pram di sisinya bukan jadi tukang ojeknya.
Tak butuh waktu lama untuk menunggu, nama Diandra Prameswari akhirnya dipanggil juga oleh seorang perawat. Lalu buru-buru ia memasukkan ponselnya kedalam tas, kemudian menyeka air matanya yang hampir menetes. Ia kemudian bangkit dari tempat duduknya dan segera bergegas mengikuti perawat tersebut.
Tak butuh waktu lama untuk menunggu, nama Diandra Prameswari akhirnya dipanggil juga oleh seorang perawat. Lalu buru-buru ia memasukkan ponselnya kedalam tas, kemudian menyeka air matanya yang hampir menetes. Ia kemudian bangkit dari tempat duduknya dan segera bergegas mengikuti perawat tersebut.
Spoiler for Diperiksa dokter:
Perawat itu membawa Diandra memasuki ruang periksa. Di ruangan itu sudah ada seorang dokter muda yang cantik dan menawan, seorang perawat lainnnya, serta alat-alat medis yang cuku lengkap. Diandra gugup setengah mati ketika ia berhadapan langsung dengan dokter itu.
“Sudah, tidak usah tegang. Saya tidak akan menggigit kok.” Ujar dokter itu bercanda.
Diandra hanya mengangguk sembari tersenyum tanpa mengeluarkan sepatah katapun untuk membalas kelakar dokter itu. Kemudian bu dokter itu meminta Diandra untuk duduk di kursi pasien. Pemeriksaanpun dimulai. Ternyata setelah diperiksa Diandra harus menjalani rontgen untuk mengetahui letak gigi bungsunya, apakah gigi itu harus dicabut atau tidak. Diandra kemudian menuruti perintah dokter untuk melakukan rontgen. Usai di rontgen, dokterpun akhirnya member diagnose bahwa gigi Diandra memenag tumbuh tak sempurna, yaitu tumbuh dengan lebih condong ke arah dinding mulut. Hal itulah yang menyebabkan Diandra sering sariawan. Sehingga dokter itu menyuruh Diandra untuk cabut gigi seminggu kemudian.
Diandra masih tak percaya dengan ucapan dokter yang menyuruhnya cabut gigi. Ia masih takut dengan proses cabut gigi itu. Terlebih lagi jika Pram tak mau menemaninya seperti saat ini. Jika alasan Pram tak mau menemaninya logis seperti, kuliah, buat tugas, atau ketemu dosen Diandra masih bisa memakluminya. Namun jika alasan Pram tak logis seperti sekarang ini karena harus melanjutkan game PESnya bersama teman-temannya, ini yang membuat Diandra geram.
“Sudah, tidak usah tegang. Saya tidak akan menggigit kok.” Ujar dokter itu bercanda.
Diandra hanya mengangguk sembari tersenyum tanpa mengeluarkan sepatah katapun untuk membalas kelakar dokter itu. Kemudian bu dokter itu meminta Diandra untuk duduk di kursi pasien. Pemeriksaanpun dimulai. Ternyata setelah diperiksa Diandra harus menjalani rontgen untuk mengetahui letak gigi bungsunya, apakah gigi itu harus dicabut atau tidak. Diandra kemudian menuruti perintah dokter untuk melakukan rontgen. Usai di rontgen, dokterpun akhirnya member diagnose bahwa gigi Diandra memenag tumbuh tak sempurna, yaitu tumbuh dengan lebih condong ke arah dinding mulut. Hal itulah yang menyebabkan Diandra sering sariawan. Sehingga dokter itu menyuruh Diandra untuk cabut gigi seminggu kemudian.
Diandra masih tak percaya dengan ucapan dokter yang menyuruhnya cabut gigi. Ia masih takut dengan proses cabut gigi itu. Terlebih lagi jika Pram tak mau menemaninya seperti saat ini. Jika alasan Pram tak mau menemaninya logis seperti, kuliah, buat tugas, atau ketemu dosen Diandra masih bisa memakluminya. Namun jika alasan Pram tak logis seperti sekarang ini karena harus melanjutkan game PESnya bersama teman-temannya, ini yang membuat Diandra geram.
Spoiler for Ketemu cowok ganteng:
Usai menebus obat, Diandra berjalan gontai menuju pintu keluar. Pikirannya kini kacau karena rasa kesalnya pada Pram. Jika sudah begina ia menjadi sangat malas untuk bertemu laki-laki itu. Maka ia pun memutuskan pulang sendiri dan mencari taksi.
“Diandraa..” Terdengar sebuah suara memanggilnya.
Diandra menghentikan langkahnya, lalu berbalik badan mencari sumber suara tersebut. Ternyata suara itu berasal dari Raka. Raka adalah teman kampus Diandra, hubungan mereka sudah sangat akrab satu sama lain. Ia benar-benar tak menyangka akan bertemu Raka ditempat ini. Laki-laki bertubuh jangkung itu kemudian menghampirinya.
“Ngapain kamu disini Di?”
“hm.. Periksa Ka.”
“Sendiri?”
Diandra hanya mengangguk sembari mengigit bibirnya.
“Mana laki-laki yang selalu kau banggakan itu?”
“Entahlah.. Ka.”
Terlihat senyum sinis tersungging dibibir Raka. “Ya sudah pulang saja denganku, kebetulan urusanku juga sudah selesai.”
“Memang ngapain kamu kesini? Periksa juga?”
“Bukan, hanya ketemu teman. Kebetulan dia sedang koas disini. Yuk?” Ajak Raka sembari melangkah keluar.
Diandra mengikuti langkah kaki laki-laki itu dengan sedikit tergopoh-gopoh. Maklumlah Raka yang setinggi seratus delapan pulu tiga centimeter memiliki langkah kaki yang panjang dibanding langkah kaki Diandra yang bertubuh mungil sekitar seratus lima puluh delapan centimeter.
“Diandraa..” Terdengar sebuah suara memanggilnya.
Diandra menghentikan langkahnya, lalu berbalik badan mencari sumber suara tersebut. Ternyata suara itu berasal dari Raka. Raka adalah teman kampus Diandra, hubungan mereka sudah sangat akrab satu sama lain. Ia benar-benar tak menyangka akan bertemu Raka ditempat ini. Laki-laki bertubuh jangkung itu kemudian menghampirinya.
“Ngapain kamu disini Di?”
“hm.. Periksa Ka.”
“Sendiri?”
Diandra hanya mengangguk sembari mengigit bibirnya.
“Mana laki-laki yang selalu kau banggakan itu?”
“Entahlah.. Ka.”
Terlihat senyum sinis tersungging dibibir Raka. “Ya sudah pulang saja denganku, kebetulan urusanku juga sudah selesai.”
“Memang ngapain kamu kesini? Periksa juga?”
“Bukan, hanya ketemu teman. Kebetulan dia sedang koas disini. Yuk?” Ajak Raka sembari melangkah keluar.
Diandra mengikuti langkah kaki laki-laki itu dengan sedikit tergopoh-gopoh. Maklumlah Raka yang setinggi seratus delapan pulu tiga centimeter memiliki langkah kaki yang panjang dibanding langkah kaki Diandra yang bertubuh mungil sekitar seratus lima puluh delapan centimeter.
+++
Spoiler for Mahasiswi makin dekat dengan cowok yang memberi tumpangan:
Pasca kejadian di rumah sakit itu, Diandra semakin jarang menghubungi Pram. Meski Pram masih dengan rutin menghubunginya dan mengajaknya bertemu. Tapi Diandra selalu menolak ajakkan laki-laki itu. Ia masih marah dengan sikap Pram kemarin. Ia merasa trauma jika nanti ia cabut gigi Pram tidak mau menemaninya. Beruntunglah masih ada Raka. Sahabatnya itu justru dengan senang hati menemaninya pergi kemanapun ia mau. Mulai dari belanja, ke toko buku, ke dokter gigi, makan, hingga fotokopipun Raka selalu mau menemani Diandra jika diminta. Hal ini sangat berbeda dengan Pram yang mulai cuek dengannya.
Hari cabut gigipun akhirnya datang juga. Pram sudah berulangkali menawari Diandra untuk menemani. Tapi Diandra menolak. Kini Ia merasa tak nyaman dengan laki-laki itu. Justru dengan Rakalah rasa nyaman itu ia dapatkan. Terkadang dalam sebuah hubungan tak cukup hanya cinta tapi rasa nyaman itu juga sangat dibutuhkan.
Sore ini Diandra datang ke rumah sakit itu lagi dengan ditemani Raka tentunya. Raka dengan sabar duduk disamping Diandra yang sedang dicabut giginya. Raka juga mencermati betul setiap penjelasan dokter mengenai makanan-makanan yang harus dihindari Diandra pasca cabut gigi. Serta obat apa saja yang harus diminum Diandra, Raka mencermati betul itu semua. Diandra seolah merasa diperhatikan, Ia tak pernah mendapatkan perhatian seperti ini sebelumnya dari Pram.
Hari cabut gigipun akhirnya datang juga. Pram sudah berulangkali menawari Diandra untuk menemani. Tapi Diandra menolak. Kini Ia merasa tak nyaman dengan laki-laki itu. Justru dengan Rakalah rasa nyaman itu ia dapatkan. Terkadang dalam sebuah hubungan tak cukup hanya cinta tapi rasa nyaman itu juga sangat dibutuhkan.
Sore ini Diandra datang ke rumah sakit itu lagi dengan ditemani Raka tentunya. Raka dengan sabar duduk disamping Diandra yang sedang dicabut giginya. Raka juga mencermati betul setiap penjelasan dokter mengenai makanan-makanan yang harus dihindari Diandra pasca cabut gigi. Serta obat apa saja yang harus diminum Diandra, Raka mencermati betul itu semua. Diandra seolah merasa diperhatikan, Ia tak pernah mendapatkan perhatian seperti ini sebelumnya dari Pram.
Spoiler for Mahasiswi makin jauh dari pacarnya dan dekat dengan cowok baru itu:
Semakin hari hubungan Diandra dengan Pram semakin renggang. Banyak pertengkaran yang terjadi diantara mereka. Hingga akhirnya Diandra memilih untuk memutuskan hubungannya dengan Pram. Pram tak terima dengan keputusan Diandra yang seperti itu. Laki-laki itu masih berusaha untuk merebut kembali hati Diandra.
Sementara itu, hubungan Diandra dan Raka semakin dekat. Dimana ada Raka disitu pasti ada Diandra begitu sebaliknya. Hingga banyak dari teman-teman kampusnya yang mengira Diandra dan Raka sudah berpacaran. Namun mereka berdua sama-sama menampiknya, karena hingga kini belum ada kata sepakat untuk pacaran dari kedua belah pihak. Terutama dari Raka.
“Ka, kamu itu baik banget ya mau nemenin aku kemana-mana. Aku malah jadi gak enak sendiri sama kamu.” Ucap Diandra ketika sedang makan di warung sate padang favoritnya.
“Santai aja kali Di, aku ikhlas kok nemenin kamu.”
“Ya, tapi… apa kamu gak ngerasa aneh dengan omongan temen-temen?”
“Maksud kamu?” Ujar Raka sembari menatap perempuan berwajah sendu itu dari balik kacamatanya.
“Maksudku.. hmm.. kamu gak ngerasa risih gitu dengan status yang sering dipertanyakan teman-teman?” Tanya Diandra hati-hati.
Rakapun meletakkan sendoknya, menghentikan acara makannya lalu menatap perempuan berambut panjang itu lekat-lekat. “Di, dengar ya. Status itu buatku gak penting, yang penting aku suka jalan sama kamu. Dan selama aku jalan sama kamu, kamu cuma ada buatku dan aku cuma ada buatmu. Gak ada yang lain.”
Diandra masih belum mengerti dengan maksud perkataan Raka itu. Ini sudah sekian kalinya Diandra memancing-mancing Raka untuk membahas status hubungan mereka, tapi jawaban Raka selalu mengelak. Ia selalu menghindar dan cenderung mengganti topik pembicaraan Diandra. Selama ini Diandra selalu nyaman jika disamping Raka, tapi jika laki-laki itu tak bisa memberinya sebuah komitmen iapun juga merasa gusar.
Lelah rasanya jika Diandra memikirkan itu. Di satu sisi ia begitu nyaman dengan Raka, karena laki-laki itu dengan sabarnya mau menuruti semua permintaanya. Namun disisi lain laki-laki itu juga tidak memberinya sebuah komitmen yang jelas. Berbeda dengan Pram. Laki-laki itu sangat cuek, ia kurang sabar jika sedang menghadapi Diandra yang merengek untuk ditemani kesana kemari. Tapi Pram justru bisa memberikan sebuah komitmen pada Diandra. Hingga sampai saat inipun laki-laki itu masih saja berusaha untuk membujuk Diandra agar mau kembali kepelukannya.
Sementara itu, hubungan Diandra dan Raka semakin dekat. Dimana ada Raka disitu pasti ada Diandra begitu sebaliknya. Hingga banyak dari teman-teman kampusnya yang mengira Diandra dan Raka sudah berpacaran. Namun mereka berdua sama-sama menampiknya, karena hingga kini belum ada kata sepakat untuk pacaran dari kedua belah pihak. Terutama dari Raka.
“Ka, kamu itu baik banget ya mau nemenin aku kemana-mana. Aku malah jadi gak enak sendiri sama kamu.” Ucap Diandra ketika sedang makan di warung sate padang favoritnya.
“Santai aja kali Di, aku ikhlas kok nemenin kamu.”
“Ya, tapi… apa kamu gak ngerasa aneh dengan omongan temen-temen?”
“Maksud kamu?” Ujar Raka sembari menatap perempuan berwajah sendu itu dari balik kacamatanya.
“Maksudku.. hmm.. kamu gak ngerasa risih gitu dengan status yang sering dipertanyakan teman-teman?” Tanya Diandra hati-hati.
Rakapun meletakkan sendoknya, menghentikan acara makannya lalu menatap perempuan berambut panjang itu lekat-lekat. “Di, dengar ya. Status itu buatku gak penting, yang penting aku suka jalan sama kamu. Dan selama aku jalan sama kamu, kamu cuma ada buatku dan aku cuma ada buatmu. Gak ada yang lain.”
Diandra masih belum mengerti dengan maksud perkataan Raka itu. Ini sudah sekian kalinya Diandra memancing-mancing Raka untuk membahas status hubungan mereka, tapi jawaban Raka selalu mengelak. Ia selalu menghindar dan cenderung mengganti topik pembicaraan Diandra. Selama ini Diandra selalu nyaman jika disamping Raka, tapi jika laki-laki itu tak bisa memberinya sebuah komitmen iapun juga merasa gusar.
Lelah rasanya jika Diandra memikirkan itu. Di satu sisi ia begitu nyaman dengan Raka, karena laki-laki itu dengan sabarnya mau menuruti semua permintaanya. Namun disisi lain laki-laki itu juga tidak memberinya sebuah komitmen yang jelas. Berbeda dengan Pram. Laki-laki itu sangat cuek, ia kurang sabar jika sedang menghadapi Diandra yang merengek untuk ditemani kesana kemari. Tapi Pram justru bisa memberikan sebuah komitmen pada Diandra. Hingga sampai saat inipun laki-laki itu masih saja berusaha untuk membujuk Diandra agar mau kembali kepelukannya.
Spoiler for Dilema:
Kini Diandra mengalami dilema. Ia merasa bimbang untuk memilih diantara kedua lelaki itu. Haruskah ia tetap bersama Raka dengan suatu komitmen yang tak jelas? Atau kembali dengan Pram, laki-laki yang mau memberinya sebuah komitmen dengan emosi dan egonya yang masih tinggi? Entahlah…
Cerita di atas sama persis dengan yang di sampaikan oleh Primadita, seorang mahasiswi di kampus Bulaksumur Yogyakarta. Ane tidak mengada-ada, Gan. Silakan cek sendiri di Sumbernya. Klik di sini
Terima kasih untuk agan Hesica


Spoiler for Cendol ini segaaaar betul:

Diubah oleh iogia 15-04-2014 16:04
0
17.8K
Kutip
177
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan