- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Belajar pada Air


TS
iqbalalfahsi
Belajar pada Air
Mari bernostalgia dengan air. Ciptaan Allah SWT yang tidak pernah terhitung jasa dan
manfaatnya untuk seluruh umat manusia. Dahulu ketika kecil, sebagian dari kita mungkin
pernah mengalami jika ingin mendapatkan air minum, kita harus memasaknya terlebih dahulu.
Air mentah dari sumur dimasak, jika sudah suam kuku, air lalu dimasukkan ke dalam teko atau
kendi. Jika air baru saja dimasak, dan kita sangat haus, sering kali orangtua kita
mendinginkannya dengan cara dituangkan, dibolak-balikan dari gelas ke gelas. Begitu sabar
orang tua kita, begitu pun kita.
Kini, air sepertinya begitu mudah didapatkan, kita dapat menemukannya di depot-depot air isi
ulang, di super market. Air-air kemasan galonan menggantikan air sumur yang dimasak. Praktis
memang, tapi sepertinya ada yang hilang, tak ada lagi proses pendinginan dari gelas ke gelas,
tak ada lagi menunggu, tidak ada lagi pelajaran kesabaran.
Ada cerita unik soal air, dahulu, sewaktu masih nyantri di pesantren, setiap malam jumat saya
selalu mengikuti acara yang disebut “Manakib-an”, yaitu kenduri dan pembacaan shalawat
untuk Nabi Muhammad SAW, biasanya kami lakukan ini di masjid atau cukup di aula asrama.
Kami membentuk lingkaran, di tengah lingkaran kami meletakkan beberapa wadah yang berisi
air minum. Usai Manakib-an, air-air itu lalu diserbu demi mengalap berkah.
Konon, air yang diperdengarkan dengan bacaan–bacaan doa dan shalawat akan membuat air
tersebut berkah, jika diminum akan membuat otak cerdas, bermanfaat, dan sehat. Kepercayaan
yang sudah turun-temurun itu telah sejak lama diajarkan oleh para guru saya di pesantren.
Lalu saya bepikir dari mana ceritanya? Dari mana logikanya? Walaupun demikian, saya tetap
percaya dengan tradisi dan kepercayaan yang turun temurun itu; kepercayaan kuat akan
menghancurkan logika.
Benar saja, tahun 2003 Dr. Masaru Emoto seorang peneliti dari Hado Institute di Tokyo, Jepang melalui penelitiannya menemukan bahwa partikel molekul air ternyata dapat berubah-ubah
tergantung perasaan manusia di sekelilingnya; sejak saat itu kepercayaan saya perihal air
Manakib-an menjadi berbanding lurus dengan fakta saintifik yang dibuktikan oleh Dr. Emoto.
Logika ini pula yang kemudian membawa saya percaya bahwa air Zam-zam di tanah suci
Mekkah adalah air yang penuh dengan keberkahan karena sejak pancuran pertama dari kaki
Nabi Ismail AS sampai detik ini, air itu tak pernah lepas oleh lafadz-lapadz Tuhan.
Air itu seperti mata kuliah dengan SKS seumur hidup. Begitu banyak pelajaran yang dapat
diambil dari air. Air selalu membuat saya berpikir bagaimana mereka bisa begitu jernih, bisa
begitu keruh, bisa begitu sangat lemah, dan bisa begitu sangat kuat, begitu sangat diabaikan
dan begitu sangat diperlukan.
Air selalu saja menjadi pelajaran yang sangat berharga, bukan menebak-nebak, tapi
jangan-jangan kenapa hujan tetap saja turun saat kita menggelar hajatan itu dikarenakan
Tuhan tahu di saat yang bersamaan ada petani yang sedang mengharapkan hujan datang
untuk sawahnya yang kering. Tuhan juga tahu kita lebih memiliki kesabaran yang tinggi
ketimbang sang petani. Tuhan juga tahu sang petani lebih memiliki rasa syukur yang tulus
ketimbang kita; bisa saja.
Jadi, rasanya kurang tepat jika air selalu dijadikan biang keladi yang kerap diperbincangkan
ketika wabah kekeringan melanda atau banjir bandang datang tiba-tiba. Kenapa kita tidak
menengok ke diri kita? Jangan-jangan kesalahan ada di pihak manusia. Tak layak pula jika air
selalu menjadi kambing hitam atas nestapa dan malapetaka ketika air tumpah ruah di Tanah
Rencong, ketika air menggenang di daratan ibu kota. Sekali lagi, mari tengok ke diri kita sendiri.
Entah kenapa air terkadang disalahkan. Apalagi di musim hujan seperti saat ini, titik-titik air
yang berjatuhan dari udara itu selalu menjadi momok menakutkan bagi sebagian orang. Hujan
tak mengerti perasaanlah, hujan labil lah, hujan tak tahu waktu lah, hujan reseh lah, hujan
nanggung lah, abis nyuci motor kok kenapa hujan lah, jemur pakaian enggak kering-kering
gara-gara hujan lah, dan semua kalimat yang memosisikan hujan di titik yang tidak
mengenakkan.
Padahal, di balik itu semua, sesungguhnya hujan selalu mengajarkan tentang arti bersyukur
bagi manusia yang mengharapkannya, dan mengajarkan bersabar bagi yang tak
mengharapkannya. Siapkan saja jas hujan Anda jika hujan datang, sebab Tuhan tahu Anda ini
akan bisa belajar lebih banyak tentang arti bersabar jika hujan datang. (Hijrah S)
manfaatnya untuk seluruh umat manusia. Dahulu ketika kecil, sebagian dari kita mungkin
pernah mengalami jika ingin mendapatkan air minum, kita harus memasaknya terlebih dahulu.
Air mentah dari sumur dimasak, jika sudah suam kuku, air lalu dimasukkan ke dalam teko atau
kendi. Jika air baru saja dimasak, dan kita sangat haus, sering kali orangtua kita
mendinginkannya dengan cara dituangkan, dibolak-balikan dari gelas ke gelas. Begitu sabar
orang tua kita, begitu pun kita.
Kini, air sepertinya begitu mudah didapatkan, kita dapat menemukannya di depot-depot air isi
ulang, di super market. Air-air kemasan galonan menggantikan air sumur yang dimasak. Praktis
memang, tapi sepertinya ada yang hilang, tak ada lagi proses pendinginan dari gelas ke gelas,
tak ada lagi menunggu, tidak ada lagi pelajaran kesabaran.
Ada cerita unik soal air, dahulu, sewaktu masih nyantri di pesantren, setiap malam jumat saya
selalu mengikuti acara yang disebut “Manakib-an”, yaitu kenduri dan pembacaan shalawat
untuk Nabi Muhammad SAW, biasanya kami lakukan ini di masjid atau cukup di aula asrama.
Kami membentuk lingkaran, di tengah lingkaran kami meletakkan beberapa wadah yang berisi
air minum. Usai Manakib-an, air-air itu lalu diserbu demi mengalap berkah.
Konon, air yang diperdengarkan dengan bacaan–bacaan doa dan shalawat akan membuat air
tersebut berkah, jika diminum akan membuat otak cerdas, bermanfaat, dan sehat. Kepercayaan
yang sudah turun-temurun itu telah sejak lama diajarkan oleh para guru saya di pesantren.
Lalu saya bepikir dari mana ceritanya? Dari mana logikanya? Walaupun demikian, saya tetap
percaya dengan tradisi dan kepercayaan yang turun temurun itu; kepercayaan kuat akan
menghancurkan logika.
Benar saja, tahun 2003 Dr. Masaru Emoto seorang peneliti dari Hado Institute di Tokyo, Jepang melalui penelitiannya menemukan bahwa partikel molekul air ternyata dapat berubah-ubah
tergantung perasaan manusia di sekelilingnya; sejak saat itu kepercayaan saya perihal air
Manakib-an menjadi berbanding lurus dengan fakta saintifik yang dibuktikan oleh Dr. Emoto.
Logika ini pula yang kemudian membawa saya percaya bahwa air Zam-zam di tanah suci
Mekkah adalah air yang penuh dengan keberkahan karena sejak pancuran pertama dari kaki
Nabi Ismail AS sampai detik ini, air itu tak pernah lepas oleh lafadz-lapadz Tuhan.
Air itu seperti mata kuliah dengan SKS seumur hidup. Begitu banyak pelajaran yang dapat
diambil dari air. Air selalu membuat saya berpikir bagaimana mereka bisa begitu jernih, bisa
begitu keruh, bisa begitu sangat lemah, dan bisa begitu sangat kuat, begitu sangat diabaikan
dan begitu sangat diperlukan.
Air selalu saja menjadi pelajaran yang sangat berharga, bukan menebak-nebak, tapi
jangan-jangan kenapa hujan tetap saja turun saat kita menggelar hajatan itu dikarenakan
Tuhan tahu di saat yang bersamaan ada petani yang sedang mengharapkan hujan datang
untuk sawahnya yang kering. Tuhan juga tahu kita lebih memiliki kesabaran yang tinggi
ketimbang sang petani. Tuhan juga tahu sang petani lebih memiliki rasa syukur yang tulus
ketimbang kita; bisa saja.
Jadi, rasanya kurang tepat jika air selalu dijadikan biang keladi yang kerap diperbincangkan
ketika wabah kekeringan melanda atau banjir bandang datang tiba-tiba. Kenapa kita tidak
menengok ke diri kita? Jangan-jangan kesalahan ada di pihak manusia. Tak layak pula jika air
selalu menjadi kambing hitam atas nestapa dan malapetaka ketika air tumpah ruah di Tanah
Rencong, ketika air menggenang di daratan ibu kota. Sekali lagi, mari tengok ke diri kita sendiri.
Entah kenapa air terkadang disalahkan. Apalagi di musim hujan seperti saat ini, titik-titik air
yang berjatuhan dari udara itu selalu menjadi momok menakutkan bagi sebagian orang. Hujan
tak mengerti perasaanlah, hujan labil lah, hujan tak tahu waktu lah, hujan reseh lah, hujan
nanggung lah, abis nyuci motor kok kenapa hujan lah, jemur pakaian enggak kering-kering
gara-gara hujan lah, dan semua kalimat yang memosisikan hujan di titik yang tidak
mengenakkan.
Padahal, di balik itu semua, sesungguhnya hujan selalu mengajarkan tentang arti bersyukur
bagi manusia yang mengharapkannya, dan mengajarkan bersabar bagi yang tak
mengharapkannya. Siapkan saja jas hujan Anda jika hujan datang, sebab Tuhan tahu Anda ini
akan bisa belajar lebih banyak tentang arti bersabar jika hujan datang. (Hijrah S)
0
823
6


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan