- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Tragedi Terbesar di Negeri Samba (World Cup 1950 Brazil)
TS
satria125
Tragedi Terbesar di Negeri Samba (World Cup 1950 Brazil)
Piala Dunia, sebentar lagi dihelat, beragam cara dilakukan Official Broadcast untuk menyemarakannya. Mulai dari iklan2 para pemain masa kini, sampai melibatkan para Legenda seperti sebuah iklan salah satu produk sponsor yang menampilkan cuplikan Gol pembunuh Brazil yang dilesakkan Paolo Rossi pada PD 1982, yang membuat para penonton masa kini Brazil sangat membencinya bahkan ditampilkan scene melempar TV), namun di akhir tayangan menampilkan scene Yazid Zenedine Zidane yang masuk ke dalam ruangan Barbershop di Brazil yang menjadi latar cerita iklan tersebut yang penuh dengan orang-orang marah tersebut. Lucu, Ironi dan Tragedi.
Ya, Masyarakat Brasil menganggap Sepak Bola bukan hanya sebagai olahraga, namun mereka menganggap itu sebagai agama, dan sebagai agama mereka mempunyai 'Dewa' yang mereka panggil dengan sebutan 'Pele' dan juga seorang 'Lucifer' dengan nama 'Ademir' si Fallen Angel agama Sepak Bola Brazil dan juga seorang Dajjal yang dinamakan Moacir Barbossa.
Begitu banyak tragedi dalam Sepakbola, namun tidak ada yang lebih tragis dari apa yang terjadi di Maracana, 16 July 1950.
Dan, inilah tragedi terbesar yang pernah terjadi di altar sepakbola Brazil..
MARACANA, GEREJA SEPAK BOLA BRAZIL YANG BERUBAH MENJADI KATAKOMBE.
ADA SAMBUNGANNYA GAANN .. TUNGGU YEE.. UNDER CONSTRUCTION MASIH BERLANJUT YE GANN
Ya, Masyarakat Brasil menganggap Sepak Bola bukan hanya sebagai olahraga, namun mereka menganggap itu sebagai agama, dan sebagai agama mereka mempunyai 'Dewa' yang mereka panggil dengan sebutan 'Pele' dan juga seorang 'Lucifer' dengan nama 'Ademir' si Fallen Angel agama Sepak Bola Brazil dan juga seorang Dajjal yang dinamakan Moacir Barbossa.
Begitu banyak tragedi dalam Sepakbola, namun tidak ada yang lebih tragis dari apa yang terjadi di Maracana, 16 July 1950.
Dan, inilah tragedi terbesar yang pernah terjadi di altar sepakbola Brazil..
MARACANA, GEREJA SEPAK BOLA BRAZIL YANG BERUBAH MENJADI KATAKOMBE.
Quote:
Original Posted By satria125►Sebuah Tragedi di Tanah Brasil
Minggu pagi 16 Juli 1950, suasana persiapan pesta terlihat di hampir seluruh penjuru Brasil. Sedari pagi, bangsa yang menyejajarkan sepakbola dengan agama itu, terutama di sekitaran Maracana, sudah menyiapkan segala sesuatunya. Kembang api, karnaval, makanan dan minuman khas pesta mulai disiapkan. Beberapa makanan dan minuman ada yang habis duluan. Guna mengisi perut untuk berangkat ke stadion.
Sementara di stadion, panitia tak mau kalah sigap. Mulai pukul 07:00 pagi waktu setempat, semua sudah bersiap-siap. Rela lembur dan bekerja lebih pagi demi pertandingan penting bagi seluruh rakyat Brasil pukul 15:00 sorenya; partai pamungkas sekaligus penentuan juara Piala Dunia 1950 antara Brasil melawan Uruguay.
Pada bagian dalam stadion, semua yang menjadi panitia sibuk dengan tugas-tugasnya. Di sebuah ruangan, tiga-empat orang sibuk memeriksa kembali dengan jeli 22 medali. Diperiksanya berulang-ulang setiap medali Piala Dunia 1950 yang sudah terlebih dahulu diukir dengan nama skuat Brasil. Padahal, kala itu FIFA belum memiliki tradisi memberikan medali pada pemenang Piala Dunia.
Di tribun VIP, petugas kebersihan mulai membersihkan bangku-bangku untuk para pejabat. Sementara di pinggir lapangan, para panitia sibuk dengan gladi resiknya. Bukan untuk seremonial sebelum pertandingan, karena memang sudah menjadi rutinitas selama sebulan ini, tapi untuk persiapan "pesta" setelah pertandingan.
Podium mana untuk pembagian medali dan angkat trofi, siapa saja yang harus berdiri di sana, kapan Julies Rimet (Presiden FIFA) memberikan pidatonya, di mana spot terbaik bagi fotografer mengambil gambarnya dan persiapan sejenisnya, semua disusun, diatur dan disiapkan dengan rapih.
Pihak kemanan yang terdiri dari 5.000 polisi dan didukung beberapa satuan militer juga bersiap. Meski pengamanannya dibagi dengan yang di luar stadion, namun konsentrasi lebih difokuskan ke tribun. Mereka tak mau insiden 2 orang meninggal dan sekitar 260 orang cedera karena jatuh di stadion Kamis minggu sebelumnya, saat Brasil mengalahkan Spanyol 6-1, terulang.
Sedangkan untuk di luar stadion, pihak keamanan juga memeriksa tas demi tas yang dibawa pendukung Brasil. Tak boleh ada kembang api dan petasan lagi di dalam stadion, meski pada akhirnya beberapa lolos juga.
Kembali ke luar area stadion, sekitar jam 9:00 pagi, jalan-jalan di Rio de Janeiro kian padat. Lalu lalang trem yang penuh sesak mengangkut calon penonton membuat pemandangan di jalan terlihat sibuk. Karnaval spontan ini lebih sibuk dan padat dari karnaval-karnaval yang pernah ada sebelumnya.
Ratusan ribu orang, yang sebagian besar mengenakan setelan putih-putih, menyelaraskan dirinya dengan warna jersey Brasil kala itu, berjalan menuju Maracana. Chant "Brasil Juara" nyaring terdengar dari mulut mereka.
Dua jam berselang, atau sekitar empat jam sebelum peluit panjang dibunyikan, stadion sudah dipenuhi hampir 200 ribu orang --dari hasil penjualan tiket tercatat 173.830, catatan lainnya sekitar 210.000. Pendukung-pendukung Brasil itu mengklaim dirinya beruntung karena bisa masuk ke stadion, meski sebenarnya melebihi kapasitas yang ada.
Mereka merasa beruntung menjadi bagian dari pemecahan rekor jumlah penonton terbesar dalam sejarah sepakbola. Beruntung, karena sebentar lagi menjadi saksi sejarah sepakbola Brasil yang mengangkat trofi Piala Dunia untuk kali pertama.
Penuh sesak tak dirasa. Berjemur di bawah mentari berjam-jam menunggu kick-off juga tetap terasa sejuk karena berlindung di bawah nyanyian juara. Semua itu dilakukan demi menyambut gelar juara dunia.
Ya, mereka menganggap tinggal menyambut, tidak untuk merebut. Meskipun faktanya pertandingan belum dimulai.
Di atas kertas Brasil memang sudah dibilang juara. Brasil hanya butuh hasil seri dari Uruguay di pertandingan terakhir dari final round ini. Faktor tuan rumah dan sukses mencetak 21 gol dari lima pertandingan sebelumnya cukup kuat untuk membuat mereka percaya diri.
Gemuruh gempita Maracana kian meninggi beberapa menit sebelum kick-off. Terutama saat selecao (pemain pilihan) disemangati oleh walikota Rio saat itu, Angelo Mendes de Moraes, usai balon seremonial dengan poster bertuliskan "Viva O Brasil" dilepas ke udara.
"Kalian, para pemain yang dalam beberapa jam ke depan akan dipuji sebagai juara oleh jutaan pendukungmu, kalian tak akan punya pesaing lagi di belahan bumi ini. Kalian lah juara dunia," kata Moraes melalui loudspeaker seperti yang dituliskan Alex Bellos dalam buku 'Futebol'.
Persiapan juara dan gegap gempita di stadion itu memang sedikit membuat skuat Uruguay nerveous. Nyali mereka menciut. Adanya kabar kalau mereka akan didukung 280-an suporter sedikit membuat mereka tersenyum. Tapi suara suporter Uruguay yang hanya segelintir membuat senyum mereka terasa getir.
Pertandingan, yang menurut pendukung Brasil hanyalah formalitas karena hasilnya sudah dapat ditebak, ini pun dimulai. Seorang wasit asal Inggris, George Reader memimpin laga ini dengan ditemani dua asistennya, yakni rekan senegaranya Arthur Ellis sebagai asisten 1, dan asisten 2 George Mitchell dari Skotlandia.
Babak pertama pertandingan ini pun berjalan sesuai yang diprediksikan. Brasil mengurung pertahanan Uruguay. Gemuruh di Maracana seringkali meninggi kala tim asuhan Flavio Rodrigues da Costa itu mendapatkan peluang. Tapi paruh pertama tetap berakhir tanpa gol.
Gegap gempita stadion yang awalnya bernama Estadio Mario Filho itu pun mencapai puncaknya saat babak kedua baru berjalan dua menit. Brasil semakin dekat dengan tangga juara kala Friaca menaklukkan kiper Uruguay, Roque Maspoli. Friaca yang lepas dari jebakan offside berhadapan one on one dengan penjaga gawang dan dengan mudah membawa Brasil memimpin 1-0.
Matahari masih ada, tapi kembang api dan petasan terlihat menyala di tribun. Mereka bernyanyi dan pesta dini. Merayakan gol tersebut sekaligus mengejek barisan keamanan yang lengah memeriksa mereka.
Tapi siapa sangka, gol tadi malah melecut semangat Uruguay. Mereka berbalik menguasai jalannya laga dan membuat pertahanan Brasil kocar-kacir. Tepat di menit ke-66, Juan Alberto Schiaffino, yang lepas dari sisi kanan mampu menyamakan kedudukan dengan menaklukkan kiper Brasil, Moacir Barbosa. Skor Brasil 1-1 Uruguay.
Momen gol Schiffiano tadi ini belum mampu membungkam Brasil, sebab selecao hanya membutuhkan hasil seri untuk juara. Tapi, Uruguay punya pegangan usai gol tersebut, yaitu kelemahan di sisi kiri pertahanan Brasil.
Memasuki menit ke-79, giliran Alcides Edgardo Ghiggia yang lepas di sisi kanan. Pertahanan Brasil memang buruk di sisi ini. Ghiggia kembali mengulangi apa yang dilakukan Schiaffino, mengarahkan bola ke sisi kiri Barbosa.
"Gooool untuk Uruguay!... Gol untuk Uruguay?" teriak Luiz Mendes, penyiar radio Globo Brasil dalam siaran langsungnya kala itu. Dua kalimat sama tapi dengan intonasi berbeda. Yang pertama berseru, sementara yang kedua sedikit bertanya dan tak percaya karena Uruguay mampu berbalik memimpin 2-1.
Pertandingan tersisa 10 menit, wajah-wajah pendukung Brasil di Maracana berubah menjadi was-was. Kepalan jari tangan dan tinju ke udara mereka mulai terbuka. Jemari berubah fungsi dalam sekejap. Menutupi raut muka cemas, menopang dagu, dibiarkan digigit-gigit pelan seraya tersenyum getir.
Peluit panjang kemudian ditiup George Reader dan kedua tim sama-sama menangis. Tapi tangis bahagia menjadi milik Uruguay, sementara Brasil tangis duka. Senja juara yang dinantikan berubah menjadi senja pilu. Senja yang kelam menuju gelap, sama persis dengan suasana hati pendukung Brasil di Maracana.
Minggu pagi 16 Juli 1950, suasana persiapan pesta terlihat di hampir seluruh penjuru Brasil. Sedari pagi, bangsa yang menyejajarkan sepakbola dengan agama itu, terutama di sekitaran Maracana, sudah menyiapkan segala sesuatunya. Kembang api, karnaval, makanan dan minuman khas pesta mulai disiapkan. Beberapa makanan dan minuman ada yang habis duluan. Guna mengisi perut untuk berangkat ke stadion.
Sementara di stadion, panitia tak mau kalah sigap. Mulai pukul 07:00 pagi waktu setempat, semua sudah bersiap-siap. Rela lembur dan bekerja lebih pagi demi pertandingan penting bagi seluruh rakyat Brasil pukul 15:00 sorenya; partai pamungkas sekaligus penentuan juara Piala Dunia 1950 antara Brasil melawan Uruguay.
Pada bagian dalam stadion, semua yang menjadi panitia sibuk dengan tugas-tugasnya. Di sebuah ruangan, tiga-empat orang sibuk memeriksa kembali dengan jeli 22 medali. Diperiksanya berulang-ulang setiap medali Piala Dunia 1950 yang sudah terlebih dahulu diukir dengan nama skuat Brasil. Padahal, kala itu FIFA belum memiliki tradisi memberikan medali pada pemenang Piala Dunia.
Di tribun VIP, petugas kebersihan mulai membersihkan bangku-bangku untuk para pejabat. Sementara di pinggir lapangan, para panitia sibuk dengan gladi resiknya. Bukan untuk seremonial sebelum pertandingan, karena memang sudah menjadi rutinitas selama sebulan ini, tapi untuk persiapan "pesta" setelah pertandingan.
Podium mana untuk pembagian medali dan angkat trofi, siapa saja yang harus berdiri di sana, kapan Julies Rimet (Presiden FIFA) memberikan pidatonya, di mana spot terbaik bagi fotografer mengambil gambarnya dan persiapan sejenisnya, semua disusun, diatur dan disiapkan dengan rapih.
Pihak kemanan yang terdiri dari 5.000 polisi dan didukung beberapa satuan militer juga bersiap. Meski pengamanannya dibagi dengan yang di luar stadion, namun konsentrasi lebih difokuskan ke tribun. Mereka tak mau insiden 2 orang meninggal dan sekitar 260 orang cedera karena jatuh di stadion Kamis minggu sebelumnya, saat Brasil mengalahkan Spanyol 6-1, terulang.
Sedangkan untuk di luar stadion, pihak keamanan juga memeriksa tas demi tas yang dibawa pendukung Brasil. Tak boleh ada kembang api dan petasan lagi di dalam stadion, meski pada akhirnya beberapa lolos juga.
Kembali ke luar area stadion, sekitar jam 9:00 pagi, jalan-jalan di Rio de Janeiro kian padat. Lalu lalang trem yang penuh sesak mengangkut calon penonton membuat pemandangan di jalan terlihat sibuk. Karnaval spontan ini lebih sibuk dan padat dari karnaval-karnaval yang pernah ada sebelumnya.
Ratusan ribu orang, yang sebagian besar mengenakan setelan putih-putih, menyelaraskan dirinya dengan warna jersey Brasil kala itu, berjalan menuju Maracana. Chant "Brasil Juara" nyaring terdengar dari mulut mereka.
Dua jam berselang, atau sekitar empat jam sebelum peluit panjang dibunyikan, stadion sudah dipenuhi hampir 200 ribu orang --dari hasil penjualan tiket tercatat 173.830, catatan lainnya sekitar 210.000. Pendukung-pendukung Brasil itu mengklaim dirinya beruntung karena bisa masuk ke stadion, meski sebenarnya melebihi kapasitas yang ada.
Mereka merasa beruntung menjadi bagian dari pemecahan rekor jumlah penonton terbesar dalam sejarah sepakbola. Beruntung, karena sebentar lagi menjadi saksi sejarah sepakbola Brasil yang mengangkat trofi Piala Dunia untuk kali pertama.
Penuh sesak tak dirasa. Berjemur di bawah mentari berjam-jam menunggu kick-off juga tetap terasa sejuk karena berlindung di bawah nyanyian juara. Semua itu dilakukan demi menyambut gelar juara dunia.
Ya, mereka menganggap tinggal menyambut, tidak untuk merebut. Meskipun faktanya pertandingan belum dimulai.
Di atas kertas Brasil memang sudah dibilang juara. Brasil hanya butuh hasil seri dari Uruguay di pertandingan terakhir dari final round ini. Faktor tuan rumah dan sukses mencetak 21 gol dari lima pertandingan sebelumnya cukup kuat untuk membuat mereka percaya diri.
Gemuruh gempita Maracana kian meninggi beberapa menit sebelum kick-off. Terutama saat selecao (pemain pilihan) disemangati oleh walikota Rio saat itu, Angelo Mendes de Moraes, usai balon seremonial dengan poster bertuliskan "Viva O Brasil" dilepas ke udara.
"Kalian, para pemain yang dalam beberapa jam ke depan akan dipuji sebagai juara oleh jutaan pendukungmu, kalian tak akan punya pesaing lagi di belahan bumi ini. Kalian lah juara dunia," kata Moraes melalui loudspeaker seperti yang dituliskan Alex Bellos dalam buku 'Futebol'.
Persiapan juara dan gegap gempita di stadion itu memang sedikit membuat skuat Uruguay nerveous. Nyali mereka menciut. Adanya kabar kalau mereka akan didukung 280-an suporter sedikit membuat mereka tersenyum. Tapi suara suporter Uruguay yang hanya segelintir membuat senyum mereka terasa getir.
Pertandingan, yang menurut pendukung Brasil hanyalah formalitas karena hasilnya sudah dapat ditebak, ini pun dimulai. Seorang wasit asal Inggris, George Reader memimpin laga ini dengan ditemani dua asistennya, yakni rekan senegaranya Arthur Ellis sebagai asisten 1, dan asisten 2 George Mitchell dari Skotlandia.
Babak pertama pertandingan ini pun berjalan sesuai yang diprediksikan. Brasil mengurung pertahanan Uruguay. Gemuruh di Maracana seringkali meninggi kala tim asuhan Flavio Rodrigues da Costa itu mendapatkan peluang. Tapi paruh pertama tetap berakhir tanpa gol.
Gegap gempita stadion yang awalnya bernama Estadio Mario Filho itu pun mencapai puncaknya saat babak kedua baru berjalan dua menit. Brasil semakin dekat dengan tangga juara kala Friaca menaklukkan kiper Uruguay, Roque Maspoli. Friaca yang lepas dari jebakan offside berhadapan one on one dengan penjaga gawang dan dengan mudah membawa Brasil memimpin 1-0.
Matahari masih ada, tapi kembang api dan petasan terlihat menyala di tribun. Mereka bernyanyi dan pesta dini. Merayakan gol tersebut sekaligus mengejek barisan keamanan yang lengah memeriksa mereka.
Tapi siapa sangka, gol tadi malah melecut semangat Uruguay. Mereka berbalik menguasai jalannya laga dan membuat pertahanan Brasil kocar-kacir. Tepat di menit ke-66, Juan Alberto Schiaffino, yang lepas dari sisi kanan mampu menyamakan kedudukan dengan menaklukkan kiper Brasil, Moacir Barbosa. Skor Brasil 1-1 Uruguay.
Momen gol Schiffiano tadi ini belum mampu membungkam Brasil, sebab selecao hanya membutuhkan hasil seri untuk juara. Tapi, Uruguay punya pegangan usai gol tersebut, yaitu kelemahan di sisi kiri pertahanan Brasil.
Memasuki menit ke-79, giliran Alcides Edgardo Ghiggia yang lepas di sisi kanan. Pertahanan Brasil memang buruk di sisi ini. Ghiggia kembali mengulangi apa yang dilakukan Schiaffino, mengarahkan bola ke sisi kiri Barbosa.
"Gooool untuk Uruguay!... Gol untuk Uruguay?" teriak Luiz Mendes, penyiar radio Globo Brasil dalam siaran langsungnya kala itu. Dua kalimat sama tapi dengan intonasi berbeda. Yang pertama berseru, sementara yang kedua sedikit bertanya dan tak percaya karena Uruguay mampu berbalik memimpin 2-1.
Pertandingan tersisa 10 menit, wajah-wajah pendukung Brasil di Maracana berubah menjadi was-was. Kepalan jari tangan dan tinju ke udara mereka mulai terbuka. Jemari berubah fungsi dalam sekejap. Menutupi raut muka cemas, menopang dagu, dibiarkan digigit-gigit pelan seraya tersenyum getir.
Peluit panjang kemudian ditiup George Reader dan kedua tim sama-sama menangis. Tapi tangis bahagia menjadi milik Uruguay, sementara Brasil tangis duka. Senja juara yang dinantikan berubah menjadi senja pilu. Senja yang kelam menuju gelap, sama persis dengan suasana hati pendukung Brasil di Maracana.
Quote:
Original Posted By satria125►
Ketika Selecao Berduka Seumur Hidup
Seusai kekalahan dari Uruguay, stadion yang digadang-gadang menjadi gereja sepakbola dunia itu sunyi. Teriakan kegembiraan Uruguay tak terdengar meski seisi stadion senyap karena tangis duka. "Kesunyian yang menyesakkan," ujar Julies Rimet menggambarkan suasana Maracana usai laga itu.
Sang presiden FIFA kala itu sigap dan bijak. Ia enggan menyakiti Brasil yang sudah terluka. Rimet memang menyerahkan trofi Piala Dunia ke Uruguay, tapi tanpa podium dan seremoni pengalungan medali. Bahkan tak ada panitia dalam prosesi itu sehingga Rimet sendiri yang harus memanggil Varela. Tropi pun diberikan Rimet kepada Varela dengan kesan sembunyi-sembunyi.
Julius Rimet juga membatalkan sesi pidato sebelum pemberian trofi. Pidato berbahasa Portugal, yang sudah ia siapkan untuk kemenangan Brasil, itu sama nasibnya dengan ke-22 medali yang terukir nama pemain Selecao. Tak pernah disampaikan hingga kini.
Tangis di Maracana kian tragis usai Uruguay menerima trofi. Dua orang ditemukan tewas bunuh diri dengan meloncat dari atas tribun yang penuh sesak. Tiga orang yang meninggal karena serangan jantung. Petugas medis stadion mencatat ada 165 orang yang mereka rawat. Sebagian besar dari mereka pingsan karena histeris dengan kekalahan menyakitkan. Yang jatuh karena berdesakan di stadion tercatat hanya enam dan langsung dilarikan ke rumah sakit.
Duka itu ternyata berkepanjangan bagi rakyat Brasil. Laga itu pun menjadi tragedi yang teramat sulit diterima secara kolektif. Maka, untuk meredakan kemarahan dan kesedihan tersebut, perlu ada kambing hitam yang bisa dikorbankan. Kiranya mesti amarah di dada jutaan penduduk Brasil itu diarahkan pada satu hal: para pemain.
Tak heran setelah Piala Dunia itu pemain-pemain Selecao dikucilkan, sementara para pemain utama akhirnya pensiun diam-diam dari sepakbola.
Sepanjang sejarah sepakbolanya, Brasil sebenarnya sering kali mengalami kekalahan yang berbekas. Salah satu kuat terbaiknya sepanjang masa dikalahkan oleh Italia pada Piala Dunia 1982. Sementara pada final 1998 Il Phenomeno jatuh dan terkena penyakit yang aneh. Demikian pula dengan kekalahan menyesakkan dari Belanda pada 1974 atau pada 1990 dari rival terberatnya, Argentina.
Namun memang tak ada yang mampu menyamai skala kepedihan yang ditimbulkan oleh Maracazano. Saking pilunya duka yang ditanggung oleh rakyat Brasil, bahkan sang pencetak gol kemenangan Uruguay, Ghiggia, pun bersedih untuk rakyat Brasil. "Saya memang senang mencetak gol. Tapi, ketika melihat ke tribun-tribun stadion, saya melihat orang-orang menangis tidak terkontrol. Saya tidak bisa tidak merasa sedih," ujar Ghiggia.
Federasi sepakbola Brasil, CBF, yang masih marah membuat beberapa aturan baru. Peraturan yang sebenarnya bertujuan untuk melupakan aib itu. Warna putih-putih dihilangkan dari jersey mereka dan digantikan oleh kuning-biru.
.Kiper berkulit hitam dilarang menjadi penjaga gawang tim nasional. Pemain-pemain yang pernah turun, meski hanya sebagai pemain pengganti beberapa menit, dilarang membela tim nasional di Piala Dunia. Mereka yang masih dianggap bertaji seperti Ademir dan Zizinho, hanya boleh membela Timnas di level Copa America.
Dari seluruh skuat Brasil 1950, hanya terpilih dua pemain muda ke Piala Dunia berikutnya, yakni pemain muda Nilton Santos and Carlos Jose Castilho. Itu pun karena mereka tak pernah bermain sekalipun di turnamen tragis itu. Tapi keduanya tetap dianggap punya dosa lama. Santos dan Castilho tak diberi medali Piala Dunia 1958 dan 1962. Meski keduanya jelas-jelas ikut turun di dua edisi tersebut.
Butuh berpuluh-puluh tahun bagi rakyat Brasil dan CBF untuk berinstropeksi. Mereka mulai sadar dan memaklumi luka tersebut setelah di tahun 2006 resmi ditunjuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2014. Mereka mengakui aib itu tak semata karena pemain tapi pengurus dan petinggi CBF untuk Piala Dunia 1950 juga sedikit banyak bisa disalahkan. Terutama karena permintaan mereka akan format kompetisi.
Kala itu penunjukkan tuan rumah Piala Dunia usai Perang Dunia Kedua membuat bargaining position Brasil tinggi di mata FIFA, sehingga CBF mengajukan format anyar. Mereka tak mau format turnamen di Piala Dunia 1934 dan 1938 digunakan kembali. Sebab dua Piala Dunia sebelumnya, yang menganut fase knock out, hanya menghasilkan total 16 pertandingan. Itu pun sudah menghitung partai final.
Format yang diajukan Brasil adalah 16 tim dibagi ke dalam empat grup di babak penyisihan. Selanjutnya, juara grup diadu lagi dan saling bertemu di putaran final. Tak ada fase knock out. Pemimpin klasemen dari putaran final-lah yang akan menjadi juara.
Julies Rimet awalnya menolak karena permintaan tersebut didasari strategi bisnis dan pengeruk keuntungan semata. Jumlah pertandingan yang lebih banyak memang akan berbanding lurus dengan tiket yang terjual. Namun ia dan FIFA terpaksa mengabulkan permintaan itu karena CBF mengancam akan mundur sebagai tuan rumah Piala Dunia.
Permintaan itu disadari oleh pengurus CBF dan Brasil sekarang sebagai kesalahan. Kekalahan Brasil dari Uruguay tak lepas dari terkurasnya stamina mereka yang merupakan imbas dari sistem round robin usai penyisihan. Memang, faktanya sebelum di laga pamungkas, Brasil bertanding dua kali lebih banyak ketimbang sang lawan.
Kini, beberapa usaha untuk mengobati luka dan memulihkan nama baik pemain yang pernah dicaci terus dilancarkan CBF dan Brasil. Yang paling menarik adalah 2007 lalu, atau tepat setahun usai mereka ditunjuk menjadi tuan rumah Piala Dunia. CBF memberikan medali anumerta kepada Nilton Santos dan Carlos Castilho sebagai pengganti medali Piala Dunia 1958 dan 1962.
Tapi, sejauh apapun usaha Brasil itu, Maracazano memang sulit untuk dilupakan. Yang bisa dilakukan Brasil saat ini adalah menahan ekspektasi tinggi seperti sebelum final 1950. Itu jika memang mereka tak ingin mendapatkan luka yang sama.
Ketika Selecao Berduka Seumur Hidup
Seusai kekalahan dari Uruguay, stadion yang digadang-gadang menjadi gereja sepakbola dunia itu sunyi. Teriakan kegembiraan Uruguay tak terdengar meski seisi stadion senyap karena tangis duka. "Kesunyian yang menyesakkan," ujar Julies Rimet menggambarkan suasana Maracana usai laga itu.
Sang presiden FIFA kala itu sigap dan bijak. Ia enggan menyakiti Brasil yang sudah terluka. Rimet memang menyerahkan trofi Piala Dunia ke Uruguay, tapi tanpa podium dan seremoni pengalungan medali. Bahkan tak ada panitia dalam prosesi itu sehingga Rimet sendiri yang harus memanggil Varela. Tropi pun diberikan Rimet kepada Varela dengan kesan sembunyi-sembunyi.
Julius Rimet juga membatalkan sesi pidato sebelum pemberian trofi. Pidato berbahasa Portugal, yang sudah ia siapkan untuk kemenangan Brasil, itu sama nasibnya dengan ke-22 medali yang terukir nama pemain Selecao. Tak pernah disampaikan hingga kini.
Tangis di Maracana kian tragis usai Uruguay menerima trofi. Dua orang ditemukan tewas bunuh diri dengan meloncat dari atas tribun yang penuh sesak. Tiga orang yang meninggal karena serangan jantung. Petugas medis stadion mencatat ada 165 orang yang mereka rawat. Sebagian besar dari mereka pingsan karena histeris dengan kekalahan menyakitkan. Yang jatuh karena berdesakan di stadion tercatat hanya enam dan langsung dilarikan ke rumah sakit.
Duka itu ternyata berkepanjangan bagi rakyat Brasil. Laga itu pun menjadi tragedi yang teramat sulit diterima secara kolektif. Maka, untuk meredakan kemarahan dan kesedihan tersebut, perlu ada kambing hitam yang bisa dikorbankan. Kiranya mesti amarah di dada jutaan penduduk Brasil itu diarahkan pada satu hal: para pemain.
Tak heran setelah Piala Dunia itu pemain-pemain Selecao dikucilkan, sementara para pemain utama akhirnya pensiun diam-diam dari sepakbola.
Sepanjang sejarah sepakbolanya, Brasil sebenarnya sering kali mengalami kekalahan yang berbekas. Salah satu kuat terbaiknya sepanjang masa dikalahkan oleh Italia pada Piala Dunia 1982. Sementara pada final 1998 Il Phenomeno jatuh dan terkena penyakit yang aneh. Demikian pula dengan kekalahan menyesakkan dari Belanda pada 1974 atau pada 1990 dari rival terberatnya, Argentina.
Namun memang tak ada yang mampu menyamai skala kepedihan yang ditimbulkan oleh Maracazano. Saking pilunya duka yang ditanggung oleh rakyat Brasil, bahkan sang pencetak gol kemenangan Uruguay, Ghiggia, pun bersedih untuk rakyat Brasil. "Saya memang senang mencetak gol. Tapi, ketika melihat ke tribun-tribun stadion, saya melihat orang-orang menangis tidak terkontrol. Saya tidak bisa tidak merasa sedih," ujar Ghiggia.
Federasi sepakbola Brasil, CBF, yang masih marah membuat beberapa aturan baru. Peraturan yang sebenarnya bertujuan untuk melupakan aib itu. Warna putih-putih dihilangkan dari jersey mereka dan digantikan oleh kuning-biru.
.Kiper berkulit hitam dilarang menjadi penjaga gawang tim nasional. Pemain-pemain yang pernah turun, meski hanya sebagai pemain pengganti beberapa menit, dilarang membela tim nasional di Piala Dunia. Mereka yang masih dianggap bertaji seperti Ademir dan Zizinho, hanya boleh membela Timnas di level Copa America.
Dari seluruh skuat Brasil 1950, hanya terpilih dua pemain muda ke Piala Dunia berikutnya, yakni pemain muda Nilton Santos and Carlos Jose Castilho. Itu pun karena mereka tak pernah bermain sekalipun di turnamen tragis itu. Tapi keduanya tetap dianggap punya dosa lama. Santos dan Castilho tak diberi medali Piala Dunia 1958 dan 1962. Meski keduanya jelas-jelas ikut turun di dua edisi tersebut.
Butuh berpuluh-puluh tahun bagi rakyat Brasil dan CBF untuk berinstropeksi. Mereka mulai sadar dan memaklumi luka tersebut setelah di tahun 2006 resmi ditunjuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2014. Mereka mengakui aib itu tak semata karena pemain tapi pengurus dan petinggi CBF untuk Piala Dunia 1950 juga sedikit banyak bisa disalahkan. Terutama karena permintaan mereka akan format kompetisi.
Kala itu penunjukkan tuan rumah Piala Dunia usai Perang Dunia Kedua membuat bargaining position Brasil tinggi di mata FIFA, sehingga CBF mengajukan format anyar. Mereka tak mau format turnamen di Piala Dunia 1934 dan 1938 digunakan kembali. Sebab dua Piala Dunia sebelumnya, yang menganut fase knock out, hanya menghasilkan total 16 pertandingan. Itu pun sudah menghitung partai final.
Format yang diajukan Brasil adalah 16 tim dibagi ke dalam empat grup di babak penyisihan. Selanjutnya, juara grup diadu lagi dan saling bertemu di putaran final. Tak ada fase knock out. Pemimpin klasemen dari putaran final-lah yang akan menjadi juara.
Julies Rimet awalnya menolak karena permintaan tersebut didasari strategi bisnis dan pengeruk keuntungan semata. Jumlah pertandingan yang lebih banyak memang akan berbanding lurus dengan tiket yang terjual. Namun ia dan FIFA terpaksa mengabulkan permintaan itu karena CBF mengancam akan mundur sebagai tuan rumah Piala Dunia.
Permintaan itu disadari oleh pengurus CBF dan Brasil sekarang sebagai kesalahan. Kekalahan Brasil dari Uruguay tak lepas dari terkurasnya stamina mereka yang merupakan imbas dari sistem round robin usai penyisihan. Memang, faktanya sebelum di laga pamungkas, Brasil bertanding dua kali lebih banyak ketimbang sang lawan.
Kini, beberapa usaha untuk mengobati luka dan memulihkan nama baik pemain yang pernah dicaci terus dilancarkan CBF dan Brasil. Yang paling menarik adalah 2007 lalu, atau tepat setahun usai mereka ditunjuk menjadi tuan rumah Piala Dunia. CBF memberikan medali anumerta kepada Nilton Santos dan Carlos Castilho sebagai pengganti medali Piala Dunia 1958 dan 1962.
Tapi, sejauh apapun usaha Brasil itu, Maracazano memang sulit untuk dilupakan. Yang bisa dilakukan Brasil saat ini adalah menahan ekspektasi tinggi seperti sebelum final 1950. Itu jika memang mereka tak ingin mendapatkan luka yang sama.
ADA SAMBUNGANNYA GAANN .. TUNGGU YEE.. UNDER CONSTRUCTION MASIH BERLANJUT YE GANN
Diubah oleh satria125 28-02-2014 04:18
0
3.9K
Kutip
12
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan