- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Novel Detektif buatan Ane yang siap terbit. Kangen genre ini? Masuk gan/wati


TS
naunad
Novel Detektif buatan Ane yang siap terbit. Kangen genre ini? Masuk gan/wati
Assalamualaikum gan 
Alhamdulillah ane berhasil nyelesain sebuah novel dengan genre Detektif gitu dan niatnya sih mau di self-publish. Tapi ane nubie gan jadi ane butuh banget kiranya kritik/komentar dari agan atau aganwati sekalian
Maaf kalo salah kamar mod/min/gan/wati
Tujuan ane moga aja kaskuser yang nongkrong di The Lounge bisa terhibur dengan cerita ane
silahkan disimak gan
Maaf gan itu cuma satu bab kurang. takut dibajak hoho
Maaf lagi ga ada indent
aslinya mah ada kok
Ane ga ngarepin
ane mnta komengnya aja gan
Jangan di
apalgi di bully ya gan 
semoga terhibur dan selamat malam semua

Alhamdulillah ane berhasil nyelesain sebuah novel dengan genre Detektif gitu dan niatnya sih mau di self-publish. Tapi ane nubie gan jadi ane butuh banget kiranya kritik/komentar dari agan atau aganwati sekalian

Maaf kalo salah kamar mod/min/gan/wati

Tujuan ane moga aja kaskuser yang nongkrong di The Lounge bisa terhibur dengan cerita ane

silahkan disimak gan

Quote:
Kembali ke Rumah
Embun membasahi wajah Naufal dan kelima temannya tepat saat mereka baru saja turun dari pesawat. Mereka harus menyipitkan mata saat berjalan karena matahari terik yang baru saja muncul dan mereka berjalan tepat ke arahnya. Puluhan orang berbaris di pintu masuk bandara. Sebagian dari mereka memegang karton bertuliskan nama orang yang hendak mereka jemput, dan sebagian lagi hanya diam menunggu. Naufal, Aji, dan yang lainnya langsung tau dimana orang yang menjemput mereka berada saat melihat karton putih besar teracung ke atas dengan tulisan besar ‘I’m here, six elves’, yang berarti ‘aku disini, enam anak nakal’.
Benar saja, seorang pria tua yang memegang karton itu tersenyum ramah saat mereka berenam menghampirinya. Pria tua itu lumayan tinggi dengan hidung sedikit bengkok sebagai ciri khasnya. Chris Moqu, mafia paling diburu di Amerika, adalah orang yang memberikan pukulan keras ke wajahnya saat ia dan timnya dulu melakukan penyergapan terbuka dua puluh delapan tahun lalu. Chris sendiri ditembak mati oleh pria ini saat itu. Tapi sekarang, pria tua ini tak ubahnya seorang pelayan di keluarga Naufal. Meskipun ia selalu membantah hal itu dengan menyebutkan kalau dirinya adalah asisten pribadi Naufal dan dia sangat bangga akan hal itu. Ayahnya Naufal adalah atasannya dulu saat dia masih bekerja di agensi detektif.
“Kami pulang, Houchi. Untuk apa kau membuat karton sebesar itu? Kami tidak akan tersesat di kota kami sendiri,” ejek Dj.
“Sebenarnya, nak,” Houchi menggulung karton yang diangkatnya tadi menjadi gulungan kecil lalu memukul kepala Dj dengan benda itu. “Aku membuatnya agar kalian tidak perlu repot mencariku.”
Naufal dan yang lainnya tertawa melihat tingkah mereka berdua. “Oh, ayolah, Houchi. Kau seperti tidak mengenal Dj saja. Begitulah caranya mengucapkan terima kasih.”
Houchi menatap Dj kemudian mendengus pelan. “Kalau begitu pukulan tadi sebagai ucapan kembali kasihku, Dj.”
Mereka berenam lalu mengikuti Houchi menuju mobil hitam yang terparkir lumayan jauh dari sana.
“Ada kejadian menarik apa selama kami pergi, Houchi?” tanya Dolphy.
“Harga cabai naik,” jawab Houchi cepat seolah sudah tahu pertanyaan itu akan dilontarkan.
“Lalu apa yang membuat hal itu menjadi menarik?” ejek Dj.
“Harga makanan yang menggunakan bahan dasar cabai juga ikut naik. Karena hampir semua masakan disini menggunakan cabai, itu berarti hampir semua makanan yang dijual disini mengalami kenaikan harga,” jelas Aji. Dj menggembungkan pipinya seperti katak untuk menghargai jawaban itu.
“Oh, ya tuan,” ujar Houchi pada Naufal saat ia membukakan garasi mobilnya supaya koper Naufal bisa masuk. “Agenda digital anda hari ini berbunyi.”
“Dan apa yang tertulis disana, Houchi?”
“Lie’s Birthday,” jawab Houchi singkat namun cukup membuat Naufal terkejut.
“Tujuh belas Mei,” tambah Adyth saat dia melirik jam tangannya.
“Oh, tidak. Bagaimana mungkin aku bisa lupa,” gumam Naufal pelan.
“Kurang tidur, terlalu banyak pikiran, penuaan dini, atau mungkin kau terinfeksi AIDS...”
“Itu bukan pertanyaan, Dolphy,” potong Naufal. “Kalian pergilah duluan. Aku pergi ke rumah Leli dulu sekarang.”
“Oke, hati-hati,” ujar Ilman yang baru saja membuka earphonenya. Naufal hanya melambaikan tangan sebagai balasan.
“Houchi!” teriak Naufal dari jauh. “Buatkan tart coklat dua tingkat! Pakai warna merah untuk topping karena dia suka warna merah! Jangan gunakan selai strawberri!”
“Tart coklat warna merah? Topping merah tapi jangan pakai selai strawberri?” ulang Houchi heran. “Apa kepala anak itu sempat terbentur sesuatu saat kalian menjalankan misi kemarin?”
Ilman yang kebetulan ada disampingnya tertawa kecil kemudian menjawab, “jangan bilang kau akan pakai cabai.”
“Tentu saja. Cabai sedang naik harganya,” timpal Houchi sambil ikut tertawa.
***
Naufal berjalan menyusuri barisan perkantoran dan rumah makan disana. Jalanan sudah lumayan ramai meskipun saat itu matahari belum naik betul. Beberapa pedagang kaki lima tampak sudah menjajakan dagangan mereka. Kue kering, penukaran uang tua, majalah bekas, dan masih banyak kios kecil disana. Naufal berhenti tepat di depan seorang ibu yang sedang merangkai beberapa mawar menjadi satu ikat. Sungguh cantik bentuknya dengan dibungkus plastik bening.
“Saya beli yang Ibu rangkai itu ya?” pinta Naufal dengan ramah.
“Ini tidak dijual, nak,” jawab Ibu itu. “Ibu hanya iseng merangkainya. Rangkaian asal seperti ini mana punya harga jual.”
“Ibu berikan saja harganya, dan kita lihat apa benar benda itu tidak punya harga jual.”
“Seratus lima puluh ribu deh,” jawab Ibu itu sambil tertawa. Naufal lalu mengeluarkan uang sejumlah itu dari sakunya dan meletekannya tepat di depan penjual bunganya.
“Ibu hanya bercanda, nak,” jawab Ibu itu cepat. “Ini tidak akan lebih mahal dari lima puluh ribu.”
“Tak apa, Bu,” jawab Naufal. Naufal segera pergi dari tempat itu setelah mengucapkan terima kasih.
Belum sampai satu blok dia berjalan, perhatiannya kembali tersita saat melihat kumpulan orang dan beberapa polisi disana. Dia berusaha menyeruak masuk ke tengah, mencari tahu apa yang terjadi disana.
Seorang perempuan berumur setidaknya dua puluhan sedang berdiri ditengah kumpulan orang itu. Tangan kanannya menggenggam pistol yang diarahkan tepat pada seorang laki-laki sebaya didepannya. Perempuan itu menangis terisak, sedangkan laki-laki didepannya hanya bisa diam sambil mengangkat tangannya. Polisi terlalu takut untuk mendekat, mengingat mungkin saja si perempuan itu nekat menembakkan pistol ditangannya.
“Sipil tidak boleh mendekat, nak,” ujar seorang polisi berkulit putih sambil menahan tubuh Naufal yang hendak berjalan ke arah perempuan gila didepannya.
“Oh, aku detektif,” ujar Naufal sambil mengeluarkan tanda pengenal detektif dari saku jaketnya. Polisi itu menurunkan tangannya dan meminta maaf.
“Ada apa ini?” tanya Naufal. Dari tempatnya berdiri, dia bisa melihat perempuan itu menangis sambil terus mengerutkan dahinya ke bawah, tanda kalau ia sedang menahan rasa sakit.
“Kami pun belum tahu,” jawab polisi itu. “Kami sedari tadi sibuk membubarkan keramaian orang disini. Bisa sangat berbahaya jika perempuan itu menembakkan pistolnya.”
“Oh, lupakan hal itu,” ujar Naufal saat melihat tangan perempuan yang memegang pistol itu gemetar dan bahunya turun. “Dia tidak akan menembak.”
Naufal berjalan mendekat dengan santai. Ketika dirinya hampir sampai ke perempuan itu, mulut pistol langsung berpindah mengarah padanya.
“Siapa kau!” teriak perempuan itu. Tangisnya mendadak berhenti saat ia berteriak.
“Ow, ow, santai nona,” jawab Naufal ringan.
“Kau mau apa?! Membujukku dengan bunga?!”
Naufal melirik bunga mawar di tangan kanannya. Langsung saja dia meletakannya di aspal dan kemudian mengangkat kedua tangannya. “Sejujurnya itu milik pacarku.”
“Jangan membuatku marah atau kau kutembak!” teriak perempuan itu. Orang-orang disana mulai cumiik ketakutan. Beberapa dari mereka segera pergi meskipun sebagian besar tetap diam menyaksikan.
“Aku kemari karena aku ingin tahu apa yang kalian berdua bicarakan disini,” jawab Naufal tanpa rasa takut padahal moncong pistol hanya setengah meter dari wajahnya.
“Dia menuduhku...”
“Aku tidak menuduhmu, kau memang melakukannya!” potong perempuan itu saat laki-laki didepannya membuka mulut. Moncong pistolnya berubah arah sekarang.
“Aku tidak melakukannya!” laki-laki itu balas berteriak. “Kau menuduh orang yang salah!”
“Oh, pertengkaran dalam sebuah hubungan memang biasa terjadi,” komentar Naufal ringan dengan wajah ramah.
“Kami tidak punya hubungan apa-apa!” teriak mereka berdua bersamaan pada Naufal.
“Lalu ada apa dengan kalian?!” Naufal balas berteriak sambil menyeka tetesan ludah diwajahnya.
“Dia merudapaksa adik perempuanku!”
“Aku tidak pernah merudapaksa siapapun!”
“Kalau polisi itu tidak menangkapmu, aku sendirilah yang akan menghukummu!” teriak perempuan itu. Dia menarik pelatuknya dan jelas terdengar suara decitan kecil dari pistol itu. Kerumunan itu semakin membesar, mungkin karena mereka berpikir itu adalah pengambilan gambar adegan dari sebuah drama action. Sayangnya mereka tidak menyadari kalau yang sedang mereka lihat itu adalah nyata dan salah satu dari mereka bisa menjadi korban.
“Hey, jangan gila!” teriak laki-laki itu lagi. “Kau sama sekali tidak punya bukti apapun!”
Laki-laki itu berkeringat hebat seperti baru saja diguyur hujan. Wajahnya jelas menunjukkan ketakutan yang amat sangat.
Naufal berjalan menuju moncong pistol itu. Dia lalu mengeluarkan pistol putihnya sendiri dan menyodorkan ujungnya ke hidung si perempuan. Pupilnya melebar, alisnya turun bersamaan dan dia menunjukkan rasa takut yang sama seperti si laki-laki.
“Kau terkejut saat melihatku melawan,” kata Naufal sambil memasukkan pistolnya kembali ke pinggang. “Kau takut, dan kau menunjukkan rasa malu.”
Perempuan itu kembali menangis setelah mendengar analisa psikologis Naufal.
“Bahumu turun saat mengacungkan pistol, tanda kalau kau tidak berniat untuk menembak. Kau juga gemetar tapi tetap menggunakan satu tangan. Jika kau berniat menembak, kau akan menggunakan dua tangan untuk mengencangkan genggaman. Tapi kau bersungguh-sungguh saat mengucapkan polisi, menangkapmu, menghukum. Sepertinya kau memang butuh bantuan. Tapi sebelum itu, bisakah aku minta pistolmu?”
Perempuan itu menyodorkan pistol ditangannya pada Naufal. Naufal dengan cepat mengambilnya dan melemparnya pada salah satu polisi disana.
“Aku heran bagaimana bisa kau punya pistol itu,” ujar Naufal. “Oh, tapi itu tidak penting. Ngomong-ngomong, aku seorang detektif. Aku akan bantu menangkap pelakunya.”
“Aku melaporkan hal ini pada polisi setengah tahun lalu! Lalu apa yang mereka katakan padaku dan adikku?! Mereka bilang pada adikku untuk berdoa supaya Tuhan saja yang menghukumnya! Hukum macam apa yang negara ini terapkan!”
Naufal menghela nafas pendek. “Kenapa kau menuduh orang ini sebagai pelakunya?”
“Adikku bersumpah bahwa pelakunya adalah anggota geng Cobra,” jawabnya.
“Aku memang geng Cobra tapi aku tidak merudapaksa adikmu!” teriak laki-laki tadi. Naufal dengan jelas melihatnya menelan ludah saat berteriak barusan. Jelas, hal ini berarti segalanya.
“Kau mungkin memang tidak melakukannya,” ujar Naufal yang kini berjalan mendekati anggota geng Cobra itu. “Tapi kau tahu orang yang melakukannya.”
Dia menelan ludah lagi saat mendengar pernyataan itu. Naufal tersenyum kecil melihatnya.
“Ada yang tahu nama-nama anggota geng itu?” teriak Naufal.
“Aku ingat sebagian,” jawab salah satu polisi. Naufal menggunakan isyarat tangan agar ia mendekat.
“Tolong sebutkan,” pinta Naufal sementara laki-laki di depannya tampak gugup.
“Otis, Andi, Shu, Agu, Yori, Quin, Powel, Hidra, Karmen, Joe,...”
“Itu dia,” potong Naufal saat orang di depannya menelan ludah lagi saat mendengar nama Joe disebutkan. “Joe itu.”
“Joenathan Carry. Kau yakin?” tanya polisi itu ragu.
“Tentu,” jawab Naufal santai.
“Tolong jangan katakan aku yang memberitahu kalian!” pinta laki-laki tadi. “Aku bisa dibunuh oleh mereka!”
“Kau tidak mengatakannya,” jawab Naufal. “Aku membacanya.”
Naufal berjalan mengambil bunga yang diletakannya di aspal. Perempuan yang dibantunya tadi hanya bisa menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
“Terima kasih,” katanya. “Aku tidak tahu harus membayarmu berapa. Adikku pasti akan senang sekali mendengar kalau pelakunya sudah ditemukan.”
“Aku tidak menerima bayaran dari kasus yang kebetulan muncul seperti ini,” ujar Naufal. “Begini saja. Cukup berbohong sedikit pada adikmu, katakan kaulah yang menangkap pelakunya.”
“Kenapa? Aku sama sekali tidak membantu. Aku hanya menimbulkan kekacauan.”
“Adikmu memiliki seorang kakak yang sangat menyayanginya. Kasih sayang kaulah yang membuatmu berani menimbulkan kekacauan seperti ini. Tanpa kekacauan ini, mungkin aku tidak akan datang dan pelakunya tidak akan ditemukan.”
“Oh, satu hal lagi. Saat kau menodongkan pistol kosong pada orang lain, jangan tarik pelatuknya. Bunyinya akan berbeda dengan pistol yang berisi peluru.”
Embun membasahi wajah Naufal dan kelima temannya tepat saat mereka baru saja turun dari pesawat. Mereka harus menyipitkan mata saat berjalan karena matahari terik yang baru saja muncul dan mereka berjalan tepat ke arahnya. Puluhan orang berbaris di pintu masuk bandara. Sebagian dari mereka memegang karton bertuliskan nama orang yang hendak mereka jemput, dan sebagian lagi hanya diam menunggu. Naufal, Aji, dan yang lainnya langsung tau dimana orang yang menjemput mereka berada saat melihat karton putih besar teracung ke atas dengan tulisan besar ‘I’m here, six elves’, yang berarti ‘aku disini, enam anak nakal’.
Benar saja, seorang pria tua yang memegang karton itu tersenyum ramah saat mereka berenam menghampirinya. Pria tua itu lumayan tinggi dengan hidung sedikit bengkok sebagai ciri khasnya. Chris Moqu, mafia paling diburu di Amerika, adalah orang yang memberikan pukulan keras ke wajahnya saat ia dan timnya dulu melakukan penyergapan terbuka dua puluh delapan tahun lalu. Chris sendiri ditembak mati oleh pria ini saat itu. Tapi sekarang, pria tua ini tak ubahnya seorang pelayan di keluarga Naufal. Meskipun ia selalu membantah hal itu dengan menyebutkan kalau dirinya adalah asisten pribadi Naufal dan dia sangat bangga akan hal itu. Ayahnya Naufal adalah atasannya dulu saat dia masih bekerja di agensi detektif.
“Kami pulang, Houchi. Untuk apa kau membuat karton sebesar itu? Kami tidak akan tersesat di kota kami sendiri,” ejek Dj.
“Sebenarnya, nak,” Houchi menggulung karton yang diangkatnya tadi menjadi gulungan kecil lalu memukul kepala Dj dengan benda itu. “Aku membuatnya agar kalian tidak perlu repot mencariku.”
Naufal dan yang lainnya tertawa melihat tingkah mereka berdua. “Oh, ayolah, Houchi. Kau seperti tidak mengenal Dj saja. Begitulah caranya mengucapkan terima kasih.”
Houchi menatap Dj kemudian mendengus pelan. “Kalau begitu pukulan tadi sebagai ucapan kembali kasihku, Dj.”
Mereka berenam lalu mengikuti Houchi menuju mobil hitam yang terparkir lumayan jauh dari sana.
“Ada kejadian menarik apa selama kami pergi, Houchi?” tanya Dolphy.
“Harga cabai naik,” jawab Houchi cepat seolah sudah tahu pertanyaan itu akan dilontarkan.
“Lalu apa yang membuat hal itu menjadi menarik?” ejek Dj.
“Harga makanan yang menggunakan bahan dasar cabai juga ikut naik. Karena hampir semua masakan disini menggunakan cabai, itu berarti hampir semua makanan yang dijual disini mengalami kenaikan harga,” jelas Aji. Dj menggembungkan pipinya seperti katak untuk menghargai jawaban itu.
“Oh, ya tuan,” ujar Houchi pada Naufal saat ia membukakan garasi mobilnya supaya koper Naufal bisa masuk. “Agenda digital anda hari ini berbunyi.”
“Dan apa yang tertulis disana, Houchi?”
“Lie’s Birthday,” jawab Houchi singkat namun cukup membuat Naufal terkejut.
“Tujuh belas Mei,” tambah Adyth saat dia melirik jam tangannya.
“Oh, tidak. Bagaimana mungkin aku bisa lupa,” gumam Naufal pelan.
“Kurang tidur, terlalu banyak pikiran, penuaan dini, atau mungkin kau terinfeksi AIDS...”
“Itu bukan pertanyaan, Dolphy,” potong Naufal. “Kalian pergilah duluan. Aku pergi ke rumah Leli dulu sekarang.”
“Oke, hati-hati,” ujar Ilman yang baru saja membuka earphonenya. Naufal hanya melambaikan tangan sebagai balasan.
“Houchi!” teriak Naufal dari jauh. “Buatkan tart coklat dua tingkat! Pakai warna merah untuk topping karena dia suka warna merah! Jangan gunakan selai strawberri!”
“Tart coklat warna merah? Topping merah tapi jangan pakai selai strawberri?” ulang Houchi heran. “Apa kepala anak itu sempat terbentur sesuatu saat kalian menjalankan misi kemarin?”
Ilman yang kebetulan ada disampingnya tertawa kecil kemudian menjawab, “jangan bilang kau akan pakai cabai.”
“Tentu saja. Cabai sedang naik harganya,” timpal Houchi sambil ikut tertawa.
***
Naufal berjalan menyusuri barisan perkantoran dan rumah makan disana. Jalanan sudah lumayan ramai meskipun saat itu matahari belum naik betul. Beberapa pedagang kaki lima tampak sudah menjajakan dagangan mereka. Kue kering, penukaran uang tua, majalah bekas, dan masih banyak kios kecil disana. Naufal berhenti tepat di depan seorang ibu yang sedang merangkai beberapa mawar menjadi satu ikat. Sungguh cantik bentuknya dengan dibungkus plastik bening.
“Saya beli yang Ibu rangkai itu ya?” pinta Naufal dengan ramah.
“Ini tidak dijual, nak,” jawab Ibu itu. “Ibu hanya iseng merangkainya. Rangkaian asal seperti ini mana punya harga jual.”
“Ibu berikan saja harganya, dan kita lihat apa benar benda itu tidak punya harga jual.”
“Seratus lima puluh ribu deh,” jawab Ibu itu sambil tertawa. Naufal lalu mengeluarkan uang sejumlah itu dari sakunya dan meletekannya tepat di depan penjual bunganya.
“Ibu hanya bercanda, nak,” jawab Ibu itu cepat. “Ini tidak akan lebih mahal dari lima puluh ribu.”
“Tak apa, Bu,” jawab Naufal. Naufal segera pergi dari tempat itu setelah mengucapkan terima kasih.
Belum sampai satu blok dia berjalan, perhatiannya kembali tersita saat melihat kumpulan orang dan beberapa polisi disana. Dia berusaha menyeruak masuk ke tengah, mencari tahu apa yang terjadi disana.
Seorang perempuan berumur setidaknya dua puluhan sedang berdiri ditengah kumpulan orang itu. Tangan kanannya menggenggam pistol yang diarahkan tepat pada seorang laki-laki sebaya didepannya. Perempuan itu menangis terisak, sedangkan laki-laki didepannya hanya bisa diam sambil mengangkat tangannya. Polisi terlalu takut untuk mendekat, mengingat mungkin saja si perempuan itu nekat menembakkan pistol ditangannya.
“Sipil tidak boleh mendekat, nak,” ujar seorang polisi berkulit putih sambil menahan tubuh Naufal yang hendak berjalan ke arah perempuan gila didepannya.
“Oh, aku detektif,” ujar Naufal sambil mengeluarkan tanda pengenal detektif dari saku jaketnya. Polisi itu menurunkan tangannya dan meminta maaf.
“Ada apa ini?” tanya Naufal. Dari tempatnya berdiri, dia bisa melihat perempuan itu menangis sambil terus mengerutkan dahinya ke bawah, tanda kalau ia sedang menahan rasa sakit.
“Kami pun belum tahu,” jawab polisi itu. “Kami sedari tadi sibuk membubarkan keramaian orang disini. Bisa sangat berbahaya jika perempuan itu menembakkan pistolnya.”
“Oh, lupakan hal itu,” ujar Naufal saat melihat tangan perempuan yang memegang pistol itu gemetar dan bahunya turun. “Dia tidak akan menembak.”
Naufal berjalan mendekat dengan santai. Ketika dirinya hampir sampai ke perempuan itu, mulut pistol langsung berpindah mengarah padanya.
“Siapa kau!” teriak perempuan itu. Tangisnya mendadak berhenti saat ia berteriak.
“Ow, ow, santai nona,” jawab Naufal ringan.
“Kau mau apa?! Membujukku dengan bunga?!”
Naufal melirik bunga mawar di tangan kanannya. Langsung saja dia meletakannya di aspal dan kemudian mengangkat kedua tangannya. “Sejujurnya itu milik pacarku.”
“Jangan membuatku marah atau kau kutembak!” teriak perempuan itu. Orang-orang disana mulai cumiik ketakutan. Beberapa dari mereka segera pergi meskipun sebagian besar tetap diam menyaksikan.
“Aku kemari karena aku ingin tahu apa yang kalian berdua bicarakan disini,” jawab Naufal tanpa rasa takut padahal moncong pistol hanya setengah meter dari wajahnya.
“Dia menuduhku...”
“Aku tidak menuduhmu, kau memang melakukannya!” potong perempuan itu saat laki-laki didepannya membuka mulut. Moncong pistolnya berubah arah sekarang.
“Aku tidak melakukannya!” laki-laki itu balas berteriak. “Kau menuduh orang yang salah!”
“Oh, pertengkaran dalam sebuah hubungan memang biasa terjadi,” komentar Naufal ringan dengan wajah ramah.
“Kami tidak punya hubungan apa-apa!” teriak mereka berdua bersamaan pada Naufal.
“Lalu ada apa dengan kalian?!” Naufal balas berteriak sambil menyeka tetesan ludah diwajahnya.
“Dia merudapaksa adik perempuanku!”
“Aku tidak pernah merudapaksa siapapun!”
“Kalau polisi itu tidak menangkapmu, aku sendirilah yang akan menghukummu!” teriak perempuan itu. Dia menarik pelatuknya dan jelas terdengar suara decitan kecil dari pistol itu. Kerumunan itu semakin membesar, mungkin karena mereka berpikir itu adalah pengambilan gambar adegan dari sebuah drama action. Sayangnya mereka tidak menyadari kalau yang sedang mereka lihat itu adalah nyata dan salah satu dari mereka bisa menjadi korban.
“Hey, jangan gila!” teriak laki-laki itu lagi. “Kau sama sekali tidak punya bukti apapun!”
Laki-laki itu berkeringat hebat seperti baru saja diguyur hujan. Wajahnya jelas menunjukkan ketakutan yang amat sangat.
Naufal berjalan menuju moncong pistol itu. Dia lalu mengeluarkan pistol putihnya sendiri dan menyodorkan ujungnya ke hidung si perempuan. Pupilnya melebar, alisnya turun bersamaan dan dia menunjukkan rasa takut yang sama seperti si laki-laki.
“Kau terkejut saat melihatku melawan,” kata Naufal sambil memasukkan pistolnya kembali ke pinggang. “Kau takut, dan kau menunjukkan rasa malu.”
Perempuan itu kembali menangis setelah mendengar analisa psikologis Naufal.
“Bahumu turun saat mengacungkan pistol, tanda kalau kau tidak berniat untuk menembak. Kau juga gemetar tapi tetap menggunakan satu tangan. Jika kau berniat menembak, kau akan menggunakan dua tangan untuk mengencangkan genggaman. Tapi kau bersungguh-sungguh saat mengucapkan polisi, menangkapmu, menghukum. Sepertinya kau memang butuh bantuan. Tapi sebelum itu, bisakah aku minta pistolmu?”
Perempuan itu menyodorkan pistol ditangannya pada Naufal. Naufal dengan cepat mengambilnya dan melemparnya pada salah satu polisi disana.
“Aku heran bagaimana bisa kau punya pistol itu,” ujar Naufal. “Oh, tapi itu tidak penting. Ngomong-ngomong, aku seorang detektif. Aku akan bantu menangkap pelakunya.”
“Aku melaporkan hal ini pada polisi setengah tahun lalu! Lalu apa yang mereka katakan padaku dan adikku?! Mereka bilang pada adikku untuk berdoa supaya Tuhan saja yang menghukumnya! Hukum macam apa yang negara ini terapkan!”
Naufal menghela nafas pendek. “Kenapa kau menuduh orang ini sebagai pelakunya?”
“Adikku bersumpah bahwa pelakunya adalah anggota geng Cobra,” jawabnya.
“Aku memang geng Cobra tapi aku tidak merudapaksa adikmu!” teriak laki-laki tadi. Naufal dengan jelas melihatnya menelan ludah saat berteriak barusan. Jelas, hal ini berarti segalanya.
“Kau mungkin memang tidak melakukannya,” ujar Naufal yang kini berjalan mendekati anggota geng Cobra itu. “Tapi kau tahu orang yang melakukannya.”
Dia menelan ludah lagi saat mendengar pernyataan itu. Naufal tersenyum kecil melihatnya.
“Ada yang tahu nama-nama anggota geng itu?” teriak Naufal.
“Aku ingat sebagian,” jawab salah satu polisi. Naufal menggunakan isyarat tangan agar ia mendekat.
“Tolong sebutkan,” pinta Naufal sementara laki-laki di depannya tampak gugup.
“Otis, Andi, Shu, Agu, Yori, Quin, Powel, Hidra, Karmen, Joe,...”
“Itu dia,” potong Naufal saat orang di depannya menelan ludah lagi saat mendengar nama Joe disebutkan. “Joe itu.”
“Joenathan Carry. Kau yakin?” tanya polisi itu ragu.
“Tentu,” jawab Naufal santai.
“Tolong jangan katakan aku yang memberitahu kalian!” pinta laki-laki tadi. “Aku bisa dibunuh oleh mereka!”
“Kau tidak mengatakannya,” jawab Naufal. “Aku membacanya.”
Naufal berjalan mengambil bunga yang diletakannya di aspal. Perempuan yang dibantunya tadi hanya bisa menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
“Terima kasih,” katanya. “Aku tidak tahu harus membayarmu berapa. Adikku pasti akan senang sekali mendengar kalau pelakunya sudah ditemukan.”
“Aku tidak menerima bayaran dari kasus yang kebetulan muncul seperti ini,” ujar Naufal. “Begini saja. Cukup berbohong sedikit pada adikmu, katakan kaulah yang menangkap pelakunya.”
“Kenapa? Aku sama sekali tidak membantu. Aku hanya menimbulkan kekacauan.”
“Adikmu memiliki seorang kakak yang sangat menyayanginya. Kasih sayang kaulah yang membuatmu berani menimbulkan kekacauan seperti ini. Tanpa kekacauan ini, mungkin aku tidak akan datang dan pelakunya tidak akan ditemukan.”
“Oh, satu hal lagi. Saat kau menodongkan pistol kosong pada orang lain, jangan tarik pelatuknya. Bunyinya akan berbeda dengan pistol yang berisi peluru.”
Maaf gan itu cuma satu bab kurang. takut dibajak hoho

Maaf lagi ga ada indent

Ane ga ngarepin




semoga terhibur dan selamat malam semua

0
2.7K
Kutip
28
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan