H + 7 Idul Fitri. Tiba juga kami pada hari yang telah ditunggu-tunggu. Sebuah perjalanan yang berawal dari gurauanku sendiri saat mengganti foto sampul di Facebook. Foto yang memperlihatkan indahnya matahari terbit di balik Bukit Serelo. Seorang teman lalu berkomentar, minta diajak bila saya akan pergi ke sana. Rencanaku, perjalanan ke tempat itu baru dilakukan saat hutang ini sudah benar-benar selesai, hutang untuk menamatkan kuliah –yang hingga sekarang belum juga terbayar. Lalu dengan sekenanya saya menjawab, saya akan ke sana setelah Lebaran.

Isu itu lalu berkembang saat komunitas tempat saya bermain, Beguyur Bae, menggelar buka bersama. Ya, kami sepakati akan menggelar perjalanan ke sana setelah Lebaran, 16 Agustus 2013. Hari itu pun tiba.


16 Agustus 2013
Dari sekian banyak anggota kami, hanya delapan orang yang bisa bergabung ikut. Saya, Kak Ifik, Mbak Rika, Dedy, Riani, Risna, Endah, dan Diana. Lima orang pertama berangkat dari Palembang, sementara dua terakhir menyusul dari Muara Enim dan Lahat. Dari Palembang, kami berangkat pukul 08.00 pagi.4 jam lebih kami melintasi Jalan Lintas Palembang-Muaraenim dalam Suzuki APV, mobil ‘travel’ yang akan mengantar kami sampai tujuan. :

Di antara kami berdelapan, tak ada seorang pun yang pernah mengunjungi Bukit Serelo sebelumnya . Untuk bisa sampai ke lokasi, kami hanya mengandalkan informasi dari teman yang pernah ke sana dan internet.

Kami sempat berputar-putar saat akan mencapai desa di mana titik perjalanan awal dimulai . Beberapa kali kami turun bertanya kepada warga setempat, ke arah mana bila ingin mendaki Bukit Serelo. Ada yang menunjuk ke arah Desa Telatang yang letaknya ke arah Muara Enim, lainnya menunjuk ke Desa Ulak Pandan yang letaknya ke arah Lahat .

Usut punya usut, ternyata ada dua desa yang biasa disinggahi sebagai patokan awal menuju Bukit Serelo . Bila via Desa Telatang, kita akan berhenti di Tugu Gajah. Dari sini, kita akan menaiki angkutan desa (angdes) dan akan melewati tempat pelatihan gajah. Sementara bila via Desa Ulak Pandan, perjalanan menjadilebih dekat. Kami akhirnya memutuskan untuk menuju Desa Ulak Pandan. Hari sudah Ashar saat kami tiba di sana. Kami langsung menuju rumah Kepala Desa untuk bersilaturahmi, mengorek informasi, sekaligus memutuskan rencana selanjutnya .

Hari sudah semakin sore saat rintik gerimis turun. Bu Kades menyuruh kami untuk beristirahat sejenak di rumah panggungnya itu . Rencananya, malam ini kami akan berkemah dekat Jembatan Gantung di tepi Sungai Lematang dan perjalanan akan dilakukan usai Maghrib. Sembari yang lain beristirahat, dua orang dari kami-saya dan K Ifik- memutuskan untuk survey jalur lebih dulu. Di bawah rintik hujan, kami menyusur jalan di tepi Lematang.

Beberapa kali kami berpapasan dengan warga setempat yang baru pulang berkebun. Sekitar 15 menit berjalan, kami akhirnya sampai di Jembatan Gantung. Kami pun menyeberang dan “meraba-raba” jalan yang harus dilalui untuk menuju ke Serelo esoknya.

Satu jam lebih kemudian, kami pulang ke rumah Kades dan “melaporkan” hasil survey tadi. Rencananya, lokasi kemah kami berada di areal perkebunan milik seorang warga yang hanya sepelemparan batu dari tepi sungai. saya bersama Dedy, ditemani anak Pak Kades, lantas menyambangi sang pemilik kebun, meminta izin untuk meminjam kebunnya malam ini. Izin pun didapat, bahkan ia bersedia meminjamkan pondokan di kebun :.

Usai Magrib, kami memulai perjalanan. Gerimis sore tadi menyisakan tanah yang becek dan hawa yang dingin . Malam cukup terang oleh sinar bulan muda. Sesampainya di kebun, kami langsung menggelar tenda untuk tempat tidur rombongan perempuan. Sementara tiga laki-laki sisanya akan tidur di bale-bale pondokan. Api dinyalakan untuk membakar ikan nila yang dibawa seorang teman. Tenda telah berdiri. saya pun telah menyiapkan komposisi ciamik untuk proyek foto malam itu; tenda yang bercahaya, berlatar siluet malam Bukit Serelo, dan taburan bintang di sekitarnya .

Di tengah asyiknya membakar ikan, sekonyong-konyong datanglah beberapa pemuda setempat . Kami menyambut mereka dengan simpatik, dan berlanjut dengan obrolan akrab diselipi canda tawa. Beberapa asyik mengobrol sesama mereka sendiri dan menyalakan petasan di keheningan malam itu. Cukup lama waktu berlalu hingga mereka berpamitan kembali ke desa.

Kedatangan para pemuda itu-yang di luar dugaan-memang mendatangkan sedikit kecemasan. Ya, kecemasan yang beralasan. Sebagai “orang luar” dan baru pertama kali ke sini, tak ada yang kami kenal atau mengenal kami di desa ini. Tak ada pula yang dapat kami percayai, selain Kepala Desa :.

Mengantisipasi hal yang tidak diinginkan, tetua kami, Ifik, memutuskan untuk packing darurat. Kami harus segera kembali ke desa, tepatnya menuju rumah Kepala Desa, malam ini juga . Untuk keamanan, headlamp tidak dinyalakan. Entah kenapa, sinar bulan muda yang temaram itu sepertinya cukup untuk diandalkan.

Di rumahnya, Pak Kades bersama warga masih asyik mengobrol. Ia mempersilahkan kami beristirahat di rumahnya, setelah cerita kami dalam bahasa yang diplomatis tentunya. Malam itu, cukup lama kami berdiskusi ditemani ikan bakar yang tak berbentuk lagi. Tentang para pemuda itu, tentang rencana keesokan harinya.

17 Agustus 2013

Hari ini usia Indonesia genap 68 tahun . Seluruh negeri menyambutnya dengan suka cita. Warga desa Ulak Pandan pun tak mau ketinggalan. Akan ada banyak kemeriahan lomba pada hari ini.Seperti warga negara lainnya, kami merayakan kemerdekaan ini dengan cara kami sendiri.

Pagi-pagi sekali tadi, Bu Kades telah meminta dua orang warga untuk menemani kami menuju Serelo. Karena akan kembali sore ini juga, kami hanya membawa dua buah daypack berisi makanan dan jas hujan. Usai berpamitan dengan Pak Kades, perjalanan pun dimulai. :

Butuh lebih kurang 3 jam untuk mencapai Kedaton II-bagian tertinggi Bukit Serelo yang dapat digapai dengan tangan kosong. Di atas Kedaton II, pendakian hanya bisa dilakukan dengan teknik pemanjatan dengan peralatan khusus. Konon, warga setempat dapat melakukannya tanpa bantuan alat.
Trek menuju Bukit Serelo memang tidak begitu sulit. Jalan melintasi perkebunan warga masih cukup landai. Memasuki hutan, jalanan semakin menanjak dengan kemiringan 30-40 derajat. : Kemiringan makin bertambah saat memasuki area terbuka, berupa rerumputan dan ilalang.

Sekitar pukul 10.00 lebih, kami sampai di Kedaton I. Di atas sana, di Kedaton II, tampak beberapa pendaki yang melakukan upacara bendera. Suara lantang mereka bergema memantul ke dinding tebing yang kokoh itu. Tak lama kemudian, mereka turun duluan.

Karena sebagian tim sudah kelelahan, diputuskan untuk tidak melanjutkan sampai Kedaton II . Kompor langsung digelar. saya asyik sendiri dengan kamera, mengabadikan pemandangan spektakuler dari atas Bukit Serelo. Bukit ini memang tidak terlalu tinggi, hanya 900 mdpl, tapi areanya yang terbuka membuatnya worthed untuk didatangi .


Di sebelah barat, meander Sungai Lematang berkelok mengular dalam hijau hutan dan perkebunan. Tak jauh dari situ, terdapat pemandangan kontras yang membuat miris, tanah liat cokelat yang merupakan area pertambangan batubara.

Tidak lama kami berada di sini, karena dari Utara mendung kelabu datang perlahan membawa kabar buruk. Butir hujan menyapa satu-persatu, hingga menjadi beribu. Kami segera berkemas, mengenakan jas hujan, lalu turun .

Jalanan tanah yang miring itu kini menjadi semakin licin, semakin sulit dilewati. Di ketinggian Serelo itu, rumput ilalang yang kecil nan rapuh menjadi teman untuk kami berpegang. Sesekali saya terperosok karena tapak sepatu tak lagi sanggup mencengkeram tanah .

Hujan berangsur reda. Meski demikian, beberapa dari kami masih setia mengenakan jas hujannya. Nanggung.


Akhirnya kami sampai kembali ke Sungai Lematang saat hari sudah beranjak sore. Langit terlihat mendung, tapi rasanya belum ingin segera pulang ke desa. Kami pun turun ke tepi sungai sembari menyelesaikan makan siang yang tadi sempat diinterupsi oleh hujan. Hehe.

Usai makan dan puas foto-foto kami kembali ke desa. Perjalanan hari ini luar biasa :.

18 Agustus 2013
Tadi malam kami sudah bersepakat untuk kembali ke tepi Lematang saat fajar. Yup, apalagi kalau bukan untuk menyaksikan matahari terbit. Maka, usai salat Subuh kami segera bergegas saat hari sudah mulai terang. Hampir saja momen itu terlewatkan.

Langit Timur memperlihatkan wajahnya yang jingga. Di pagi yang hening itu, air Sungai Lematang mengalir begitu tenang. Pemandangan pagi yang indah. Tanpa diperintah, tiap orang sudah mengabadikan momen tersebut lewat kamera dan hape masing-masing. Dan seperti biasa, ini waktunya untuk narsis

Waktu fajar yang merupakan golden hour memang jadi waktu favorit bagi para penghobi jeprat-jepret, termasuk saya. Tripod yang sudah saya siapkan jadi sangat berguna di saat-saat seperti ini, terutama saat kami ingin foto keluarga di mana seluruh anggota tim harus masuk frame.


Puas berfoto, merenung, bermain air, kami melangkah gontai. Waktunya pulang. Di rumah Kades, sudah terhidang sarapan yang disiapkan oleh Bu Kades. Kami jadi tidak enak hati. Usai itu, waktunya bersiap untuk kembali ke Palembang.

Tengah hari, mobil travel carteran pun tiba menjemput. Kami lalu berpamitan setelah sebelumnya berfoto bersama (lagi) dengan Pak Kades.Mari kita pulang...