- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
apakah ini "the next of gunung padang"? (masih di jawa barat)


TS
geekypedia
apakah ini "the next of gunung padang"? (masih di jawa barat)
Quote:
Saran ane, siapin kopi, cemilan, atau apapun itu. karena ini akan menjadi bacaan yang bisa dibilang cukup panjang tetapi akan membuat agan penasaran dan ingin menuntaskan ampe akhir cerita.
selamat membaca 


Quote:
BATU TONGGAK DI GUNUNG CADAS NANGTUNG PASANGGRAHAN, SUMEDANG SELATAN, SITUS BCB-KAH ATAU SEKEDAR HASIL PROSES GEOLOGI SEMATA ?
Oleh: Richadiana Kadarisman Kartakusuma
Quote:
Pepatah mengatakan “Lain Lubuk Lain Ikannya, Lain Padang Lain Pula Belalangnya” , ungkapan peribahasa yang menunjukkan betapa tajamnya nenek moyang kita di dalam mengngungkapkan masalah anekaragam data istiadat masing-masing daerah pada berbagai wilayah di (Kepulauan) Nusantara ini.
Secara sadar ataupun nirsadar sebenarnya ungkapan itu merupakan suatu cerminan tindakan sangat hati-hati bila kita mendatangi atu menilai daerah (baca: etnis) lain di dalam lingkungan masyarakat dan kebudayaan yang bersifat ‘mukti etnis’; yang menampilkan cara yang berbeda–beda pula, baik dalam proses pembentukan maupun pembekuan unsur-unsur tradisionalnya.
Berbicara tentang fenomena warisan aktivitas kebudayaan di Tatar Sunda (BCB), secara langsung berhadapan kepada berbagai permasalahan epistemologis yang fundamental:
- Apakah kita, bertolak dari keyakinan bahwa gagasan teoritis dalam pengetahuan Ilmu Sosial Budaya universal, seperti Ilmu Pengetahuan Alam, atau terikat kepada kebudayaan dimana gagasan itu dicanangkan? Ataukah harus diteruskan dengan pertanyaan
- “Apakah kebudayaan suatu masyarakat/individu/ kelompok sosial merupakan suatu sistem yang dihayati warganya sehingga pemahaman tentang lingkungan sosial dan biofisika harus dianggap seragam?”
- Ataukah pula masing-masing warga memiliki pemahaman sendiri-sendiri yang tidak perlu dan belum tentu sama dari satu warga ke warga yang lain ?
Layaknya pepatah kuna mengatakan “ciri sabumi cara sadesa” menyiratkan pengertian amat mendalam bahwa setiap masyarakat pendukung budaya di Nusantara mengembangkan kelengkapan ‘supraorganik’ atau perlatan ‘nonragawi’ yang merupakan perwujudan atas seluruh tanggapan aktifnya terhadap lingkungan hidupnya. Variasi lingkungan hidup di berbagai wilayah tersebut menimbulkan aneka-ragam cara memahami, memperkirakan dan menilai lingkungan serta menentukan nilai dan gagasan vital yang menjadi pedoman pola tingkah laku anggota masyarakat.
Maka dalam rangka IDENTIFIKASI SITUS sekalipun, ‘ntah yang dimengerti oleh atau secara umum atau ke dalam ujudnya yang lebih formal (akademis), harus dipandang dan diselaraskan sesuai kepada latar kebudayaan tiap-tiap alam lingkungan kebudayaan dan kerangka waktu pendukung budayanya.
Sebagaimana umumnya masyarakat Nusantara, masyarakat Tatar Sunda sejak sebelum masa Tarumanagara (protosejarah) hingga hadirnya berbagai inovasi, akrab dan mandiri dengan ciri budaya berladang dengan segenap perangkat kepercayaannya. Ciri khas budaya berladang adalah orientasi kuat terhadap lingkungan alam dengan segala kandungannya (kesuburan), serta iklim.
Karena masyarakat dengan budaya berladang memenuhi hidupnya secara langsung terlibat dengan memnafaatkan lingkungan alam, sehingga mereka berusaha mendekatkan diri dengan lingkungannya. Yang selanjutnya dibakukan ke dalam konsep (pikukuh) pemeliharaan bumi dengan segala isinya yang hakekatnya adalah simbolisasi hubungan antara dirinya kepada PenciptaNYA.
Secara sadar ataupun nirsadar sebenarnya ungkapan itu merupakan suatu cerminan tindakan sangat hati-hati bila kita mendatangi atu menilai daerah (baca: etnis) lain di dalam lingkungan masyarakat dan kebudayaan yang bersifat ‘mukti etnis’; yang menampilkan cara yang berbeda–beda pula, baik dalam proses pembentukan maupun pembekuan unsur-unsur tradisionalnya.
Berbicara tentang fenomena warisan aktivitas kebudayaan di Tatar Sunda (BCB), secara langsung berhadapan kepada berbagai permasalahan epistemologis yang fundamental:
- Apakah kita, bertolak dari keyakinan bahwa gagasan teoritis dalam pengetahuan Ilmu Sosial Budaya universal, seperti Ilmu Pengetahuan Alam, atau terikat kepada kebudayaan dimana gagasan itu dicanangkan? Ataukah harus diteruskan dengan pertanyaan
- “Apakah kebudayaan suatu masyarakat/individu/ kelompok sosial merupakan suatu sistem yang dihayati warganya sehingga pemahaman tentang lingkungan sosial dan biofisika harus dianggap seragam?”
- Ataukah pula masing-masing warga memiliki pemahaman sendiri-sendiri yang tidak perlu dan belum tentu sama dari satu warga ke warga yang lain ?
Layaknya pepatah kuna mengatakan “ciri sabumi cara sadesa” menyiratkan pengertian amat mendalam bahwa setiap masyarakat pendukung budaya di Nusantara mengembangkan kelengkapan ‘supraorganik’ atau perlatan ‘nonragawi’ yang merupakan perwujudan atas seluruh tanggapan aktifnya terhadap lingkungan hidupnya. Variasi lingkungan hidup di berbagai wilayah tersebut menimbulkan aneka-ragam cara memahami, memperkirakan dan menilai lingkungan serta menentukan nilai dan gagasan vital yang menjadi pedoman pola tingkah laku anggota masyarakat.
Maka dalam rangka IDENTIFIKASI SITUS sekalipun, ‘ntah yang dimengerti oleh atau secara umum atau ke dalam ujudnya yang lebih formal (akademis), harus dipandang dan diselaraskan sesuai kepada latar kebudayaan tiap-tiap alam lingkungan kebudayaan dan kerangka waktu pendukung budayanya.
Sebagaimana umumnya masyarakat Nusantara, masyarakat Tatar Sunda sejak sebelum masa Tarumanagara (protosejarah) hingga hadirnya berbagai inovasi, akrab dan mandiri dengan ciri budaya berladang dengan segenap perangkat kepercayaannya. Ciri khas budaya berladang adalah orientasi kuat terhadap lingkungan alam dengan segala kandungannya (kesuburan), serta iklim.
Karena masyarakat dengan budaya berladang memenuhi hidupnya secara langsung terlibat dengan memnafaatkan lingkungan alam, sehingga mereka berusaha mendekatkan diri dengan lingkungannya. Yang selanjutnya dibakukan ke dalam konsep (pikukuh) pemeliharaan bumi dengan segala isinya yang hakekatnya adalah simbolisasi hubungan antara dirinya kepada PenciptaNYA.
Quote:
Ini tentang Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan, Sumedang. Gunung/Pasir Reungit secara geografis (GPS) pada koordinat 06° 51’ 43”-51°43” Lintang Selatan (LS) dan 107° 53’59,9” Bujur Timur (BT) ketinggian dari permukaan laut (dpl) 525 m. Terletak di Kampung Seulareuma (dahulu Salareuma) menempati lahan tertinggi dari sekitarnya diapit dua kampung lainnya yang mengisi dataran lebih rendah yaitu Kampung Lebak Huni (sebelah barat) dan Kampung Legok Bungur (sebelah timur). Lokasi yang dirujuk berupa suatu bukit yang oleh penduduk bersangkutan disebut Pasir (Sunda: Pasir=gunung kecil) di lingkungan pegunungan Perbukitan Sumedang Selatan yang terdiri dari
Gunung/Pasir Nangtung,
Gunung/Pasir Konci, Pasir Peti,
Gunung/Pasir Ciguling,
Gunung/Pasir Palasari dan Gunung Palasari.
Di lingkungan perbukitan tersebut hingga kini terdapat Makam Kuno Karamat Eyang Jagabhaya di Gunung/Pasir Nangtung dan Batukorsi (Stonesit ) Gunung/Pasir Ciguling.
Pasir Reungit merupakan salah satu bukit (Pasir) di lingkungan Sumedang Selatan yang kini dalam kondisi digali khususnya lereng dan dinding bukit bagian selatan (menghadap jalan raya Sumedang–Bandung). Penggalian berkaitan dengan usaha penambangan sumberdaya bahan bangunan rumah dan alat-alat sehari-hari diprakarsai oleh Perusahaan Bangunan CV. Stone-House. Sekitar 50 % lahan bukit bagian selatan nampak terbuka oleh hasil pengupasan sengaja pihak perusahaan bersangkutan, dan memperlihatkan sejumlah besar bongkahan batu dengan bentuk khas berupa sejumlah besar tonggak dengan ukuran yang spektakuler.

Dari catatan ringkas (arsip PolWil Priangan) tentang Gunung/Pasir Reungit diberikan oleh seorang bernama Rohman (Bojongmenje-Cangkuang, Rancaekek, Bandung) yang berkunjung pada 17 Oktober 2002. Ia membuat catatan ringkas (arsip Polwil Priangan BripKa.Asep Harijadi) tentang Gunung/Pasir Reungit atas dasar apa yang dilihatnya dengan dilengkapi keterangan wawancara dengan sesepuh penduduk setempat bernama Aki Jenar (87 tahun). Selain bongkah batu tonggak di Gunung/Pasir Reungit ditemukan terowongan dari sungai Cipeles yang menembus hingga ke Pasir Reungit, di dalam terowongan ada jalan berupa teras-teras undakan yang disusun menuju ke atas bukit, dan berfungsi sebagai pintu gerbang.
Disebutkan oleh Aki Jenar kepada Rochman bahwa pada tiap-tiap bulan (Islam) Maulud dan bulan Rajab khususnya di malam Jum’at di puncak Gunung/Pasir Reungit ini kerap muncul cahaya berkilauan seperti cahaya lampu neon. Maka Rochman menambahkan pada bagian akhir catatannya gunung/Pasir Reungit adalah “situs”:
1) ada keajaiban berupa cahaya pada lahan tertinggi Gunung/Pasir Reungit;
2) ada lubang berupa terowongan dari Sungai Cipeles hingga tembus ke lokasi tumpukan batu–batu di atas, dan batu-batu yang berbentuk “persegi” adalah buatan manusia.
Keterangan yang sama diperoleh dari penduduk bernama Sukandar (43 tahun), ketika ayahnya masih hidup (Juned bin Juned meninggal dalam usia 74 tahun) menceritakan Pasir Reungit semula leuweung geledegan – hutan rimba mulai digali dan diketahui mengandung batu-batu tonggak ketika pada tahun 1954 membuka lahan ini untuk pertanian. Pada bagian selatan lahan kawasan Pasir Reungit terpotong jalan raya Sumedang-Bandung terdapat irigasi (sungai) Cipeles guna mengairi lahan permukiman dan persawahan penduduk Kampung Seulareuma. Diantara irigasi menuju lahan Pasir Reungit terdapat terowongan tanah yang menembus hingga ke bagian dalam Pasir Reungit.
Dari kondisi yang telah ditampakkan CV Stone-House Gunung/Pasir Reungit mengandung sumberdaya alam berupa batu-batu tonggak dalam jumlah besar; yang ketika digali posisinya demikian tersusun rapi, jenis batuan andesit yang keras dan kokoh, dan berwarna hitam. Maka permasalahan yang hadir “apakah kawasan Pasir Reungit ini hasil karya manusia (artefak) ataukah hadir semata karena gejala alam?”
Karena alasan kondisi inilah pihak keamanan setempat yang berwenang di wilayah Pringan Timur – PolWil.Priangan dipimpin (KaPolWil.Priangan) Kolonel Anton, menimbang dan mencurigai kemungkinan tidaknya Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan sebagai “Situs Bersejarah”.
Menegaskannya, perlu Tenaga Ahli yang secara profesional memiliki latarbelakang pengetahuan disiplin ilmu bersangkutan. Bersamaan dengan itu penyidik dari pihak PolWil Priangan mengundang beberapa Tenaga Ahli (Ilmuwan) dari berbagai disiplin ilmu, yang khusus dimintai pendapatnya tentang identifikasi dan status Pasir Reungit dengan kandungan sumberdaya alam yang tampak sebagaimana adanya kini.
Keterangan disampaikan beberapa oleh Tenaga Ahli tersebut direkam sesuai proses verbal menurut pihak Kepolisian Wilayah dan disimpan sebagai bukti saksi (istilah penyidik PolWil) atas status Pasir Reungit. Secara lisan diterangkan oleh Kompol Elman Limbong (salah seorang penyidik PolWil.Priangan) bahwa pihak PolWil.Priangan belum memperoleh ketegasan tentang status Gunung/Pasir Reungit.
Permasalahan yang menanti jawaban adalah identifikasi Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan dengan seluruh kandungan sumberdayanya yang dinilai cukup mencurigakan itu apakah dapat dikaitkan dengan warisan aktivitas budaya yang disebu “SITUS” atau harus dipandang sebagai gejala alam hasil proses geologis semata?
Penggalian CV.Stone House telah menampakkan Gunung/Pasir Reungit dengan kandungan sumberdaya alam berupa bongkah-bongkah batu andesit yang berbentuk tonggak dengan ukuran sangat besar dan kokoh. Lahan bukit yang telah ditampakkan tersebut sekitar 50 %, beberapa dintaranya dibaringkan di bagian bawah bukit di halaman rumah milik Ade Rahmawati (30 tahun), satu-satunya bangunan rumah yang berada di lereng Pasir Reungit; sebagian besar lainnya lagi masih berada pada tempatnya (intax sesuai matrixnya).
Sejumlah besar batu yang telah nampak ditemukan sebelum dijadikan tambang bangunan telah banyak dipergunakan penduduk setempat selain dijadikan bahan bangunan rumah mereka, juga untuk menyanggah tebing sungai (Cipeles). Pemanfaatan batu-batu tonggak baik oleh perusahaan maupun masyarakat setempat karena jenis batunya sangat keras tidak mudah retak meskipun dibanting dan dijatuhkan dengan keras, namun belakangan Perusahaan CV.Stone-House menggunakan mesin berat dan besar yaitu Buldozer yang kini masih terparkir di halaman rumah penduduk.
Ketika diamati lebih seksama batu tonggak memiliki bentuk hampir serupa namun dengan ukuran tinggi dan diameter berbeda-beda. Batu-batu tonggak yang masih terletak utuh pada tempatnya, berposisi “seakan-akan’ sengaja disusun berbaris dan menyandar pada dinding (lereng) Gunung/Pasir Reungit dengan tatanan yang cenderung miring 60° ke arah timur. Dari pengamatan Batu Tonggak yang telah dipindahkan dan berada di halaman rumah penduduk, ujung badan bagian bawah (menempel ke tanah) bentuknya rata “seperti usai dipangkas” sedangkan ujung badan bagian batu tonggak yang menghadap atas bentuk- nya “kerucut semu” seperti sengaja dipangkas kasar. Ukuran panjang batu-batu tonggak berkisar antara 7 – 8 m; sedangkan diameternya antara 60-70 cm.

Pada bagian lereng bawah Gunung/Pasir Reungit (dibawah susunan batu tonggak) masih terhampar kerakal andesit dan kericak sebagian masih tersusun rapih seperti lantai dan sebagian lagi terserak bercampur kerikil (kerikcak). Dibalik dinding susunan batu tonggak ditemukan tatanan batu lainnya seperti “susunan kue lapis” yang mengisi bagian dalam Gunung/Pasir Reungit.
Lahan paling atas tatanan batu tertutup tanah dengan partikel padat sekitar 50 cm dari batas tatanan batu, diikuti hamparan pasir pada bagian permukaan. Bagian selatan kawasan Gunung/Pasir Reungit kurang lebih 1-1.5 km mengalir sungai besar disebut Cipeles, aliran sungai tersebut mengalir arah timur-barat dan bermuara di Cimanuk.
Diantara dinding ruas jalan (Sumedang – Bandung) dan sungai Cipeles terdapat sungai irigasi yang sekaligus menjadi batas lahan Gunung/Pasir Reungit. Pada lahan ini ditemukan lubang terowongan (diameter terowongan 80-100 cm) Kendati besaran ukurannya cukup untuk dimasuki manusia, namun keadaannya kini telah terisi tanah dan bahkan kerap berisi air dan dihuni binatang (sero) sehingga sulit untuk diamati.
Hasil pengamatan terhadap Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan menunjukkan:
- lahan terbuka yang masih intax lekat pada matrixnya, dan yang tidak mungkin dipindahtempatkan atau diubah oleh manusia
- Mengandung sumberdaya alam sangat potensial berupa batu andesit dari bahan yang sangat keras juga dari berbagai bentuk diantaranya bentuk tonggak dalam jumlah yang sangat banyak memenuhi bukitnya; kerakal dan kerikil juga dengan jumlah yang banyak; kandungan pasir dan tanah - Gunung/Pasir Reungit terletak di lingkungan pegunungan atau perbukitan yang masih termasuk ke
dalam jajaran pegunungan Dataran Tinggi Parahiyangan
- Didekatnya mengalir sungai besar Cipeles yang bermuara di Cimanuk
Dapat disebutkan bahwa Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan lebih merupakan lingkungan dengan kandungan batuan, tanah, air dan tetumbuhan sebagai sumberdaya aalm yang dibutuhkan oleh manusia demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Sumberdaya alam yang bukan merupakan ciptaan atau dibuat oleh manusia, namun berkenaan dengan upaya dan usaha kehidupan berkebudayaan, manusia sebagai makhluk historis manusia memanfaatkan sumberdaya alam tersebut, dan tinggal dalam lingkungan dengan seluruh kandungan sumberdaya tersebut, sebagaimana adanya sekarang. Lalu bagaimana situasi dan kondisi pemanfaatan lahan Gunung/Pasir Reungit dan keberada- annya? Ke dalam pengertian Gunung/Pasir Reungit di dalam tatanan ruang budaya Sumedang Larang sejak awal hingga sekarang?
Karena manusia di dalam upaya memanfaatkan lingkungan pada dasarnya selalu mempertimbangkan pemilihan lahan atau lokasi dari manusia menempatkan dirinya dalam suatu lingkungan fisik. Pertimbangan ini mencerminkan bahwa dalam batas-batas tertentu masyarakat mengikuti aturan umum yang berlaku (normative), sehingga tidak berperilaku acak dalam memilih suatu lahan atau lokasi pemukiman, melainkan berpola, maka pemolaan aktivitas manusia tercermin pada keruangannya, waktu dengan ciri dan karakter budaya dalam suatu lingkungan tertentu.
Gunung/Pasir Nangtung,
Gunung/Pasir Konci, Pasir Peti,
Gunung/Pasir Ciguling,
Gunung/Pasir Palasari dan Gunung Palasari.
Di lingkungan perbukitan tersebut hingga kini terdapat Makam Kuno Karamat Eyang Jagabhaya di Gunung/Pasir Nangtung dan Batukorsi (Stonesit ) Gunung/Pasir Ciguling.
Pasir Reungit merupakan salah satu bukit (Pasir) di lingkungan Sumedang Selatan yang kini dalam kondisi digali khususnya lereng dan dinding bukit bagian selatan (menghadap jalan raya Sumedang–Bandung). Penggalian berkaitan dengan usaha penambangan sumberdaya bahan bangunan rumah dan alat-alat sehari-hari diprakarsai oleh Perusahaan Bangunan CV. Stone-House. Sekitar 50 % lahan bukit bagian selatan nampak terbuka oleh hasil pengupasan sengaja pihak perusahaan bersangkutan, dan memperlihatkan sejumlah besar bongkahan batu dengan bentuk khas berupa sejumlah besar tonggak dengan ukuran yang spektakuler.

Dari catatan ringkas (arsip PolWil Priangan) tentang Gunung/Pasir Reungit diberikan oleh seorang bernama Rohman (Bojongmenje-Cangkuang, Rancaekek, Bandung) yang berkunjung pada 17 Oktober 2002. Ia membuat catatan ringkas (arsip Polwil Priangan BripKa.Asep Harijadi) tentang Gunung/Pasir Reungit atas dasar apa yang dilihatnya dengan dilengkapi keterangan wawancara dengan sesepuh penduduk setempat bernama Aki Jenar (87 tahun). Selain bongkah batu tonggak di Gunung/Pasir Reungit ditemukan terowongan dari sungai Cipeles yang menembus hingga ke Pasir Reungit, di dalam terowongan ada jalan berupa teras-teras undakan yang disusun menuju ke atas bukit, dan berfungsi sebagai pintu gerbang.
Disebutkan oleh Aki Jenar kepada Rochman bahwa pada tiap-tiap bulan (Islam) Maulud dan bulan Rajab khususnya di malam Jum’at di puncak Gunung/Pasir Reungit ini kerap muncul cahaya berkilauan seperti cahaya lampu neon. Maka Rochman menambahkan pada bagian akhir catatannya gunung/Pasir Reungit adalah “situs”:
1) ada keajaiban berupa cahaya pada lahan tertinggi Gunung/Pasir Reungit;
2) ada lubang berupa terowongan dari Sungai Cipeles hingga tembus ke lokasi tumpukan batu–batu di atas, dan batu-batu yang berbentuk “persegi” adalah buatan manusia.
Keterangan yang sama diperoleh dari penduduk bernama Sukandar (43 tahun), ketika ayahnya masih hidup (Juned bin Juned meninggal dalam usia 74 tahun) menceritakan Pasir Reungit semula leuweung geledegan – hutan rimba mulai digali dan diketahui mengandung batu-batu tonggak ketika pada tahun 1954 membuka lahan ini untuk pertanian. Pada bagian selatan lahan kawasan Pasir Reungit terpotong jalan raya Sumedang-Bandung terdapat irigasi (sungai) Cipeles guna mengairi lahan permukiman dan persawahan penduduk Kampung Seulareuma. Diantara irigasi menuju lahan Pasir Reungit terdapat terowongan tanah yang menembus hingga ke bagian dalam Pasir Reungit.
Dari kondisi yang telah ditampakkan CV Stone-House Gunung/Pasir Reungit mengandung sumberdaya alam berupa batu-batu tonggak dalam jumlah besar; yang ketika digali posisinya demikian tersusun rapi, jenis batuan andesit yang keras dan kokoh, dan berwarna hitam. Maka permasalahan yang hadir “apakah kawasan Pasir Reungit ini hasil karya manusia (artefak) ataukah hadir semata karena gejala alam?”
Karena alasan kondisi inilah pihak keamanan setempat yang berwenang di wilayah Pringan Timur – PolWil.Priangan dipimpin (KaPolWil.Priangan) Kolonel Anton, menimbang dan mencurigai kemungkinan tidaknya Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan sebagai “Situs Bersejarah”.
Menegaskannya, perlu Tenaga Ahli yang secara profesional memiliki latarbelakang pengetahuan disiplin ilmu bersangkutan. Bersamaan dengan itu penyidik dari pihak PolWil Priangan mengundang beberapa Tenaga Ahli (Ilmuwan) dari berbagai disiplin ilmu, yang khusus dimintai pendapatnya tentang identifikasi dan status Pasir Reungit dengan kandungan sumberdaya alam yang tampak sebagaimana adanya kini.
Keterangan disampaikan beberapa oleh Tenaga Ahli tersebut direkam sesuai proses verbal menurut pihak Kepolisian Wilayah dan disimpan sebagai bukti saksi (istilah penyidik PolWil) atas status Pasir Reungit. Secara lisan diterangkan oleh Kompol Elman Limbong (salah seorang penyidik PolWil.Priangan) bahwa pihak PolWil.Priangan belum memperoleh ketegasan tentang status Gunung/Pasir Reungit.
Permasalahan yang menanti jawaban adalah identifikasi Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan dengan seluruh kandungan sumberdayanya yang dinilai cukup mencurigakan itu apakah dapat dikaitkan dengan warisan aktivitas budaya yang disebu “SITUS” atau harus dipandang sebagai gejala alam hasil proses geologis semata?
Penggalian CV.Stone House telah menampakkan Gunung/Pasir Reungit dengan kandungan sumberdaya alam berupa bongkah-bongkah batu andesit yang berbentuk tonggak dengan ukuran sangat besar dan kokoh. Lahan bukit yang telah ditampakkan tersebut sekitar 50 %, beberapa dintaranya dibaringkan di bagian bawah bukit di halaman rumah milik Ade Rahmawati (30 tahun), satu-satunya bangunan rumah yang berada di lereng Pasir Reungit; sebagian besar lainnya lagi masih berada pada tempatnya (intax sesuai matrixnya).
Sejumlah besar batu yang telah nampak ditemukan sebelum dijadikan tambang bangunan telah banyak dipergunakan penduduk setempat selain dijadikan bahan bangunan rumah mereka, juga untuk menyanggah tebing sungai (Cipeles). Pemanfaatan batu-batu tonggak baik oleh perusahaan maupun masyarakat setempat karena jenis batunya sangat keras tidak mudah retak meskipun dibanting dan dijatuhkan dengan keras, namun belakangan Perusahaan CV.Stone-House menggunakan mesin berat dan besar yaitu Buldozer yang kini masih terparkir di halaman rumah penduduk.
Ketika diamati lebih seksama batu tonggak memiliki bentuk hampir serupa namun dengan ukuran tinggi dan diameter berbeda-beda. Batu-batu tonggak yang masih terletak utuh pada tempatnya, berposisi “seakan-akan’ sengaja disusun berbaris dan menyandar pada dinding (lereng) Gunung/Pasir Reungit dengan tatanan yang cenderung miring 60° ke arah timur. Dari pengamatan Batu Tonggak yang telah dipindahkan dan berada di halaman rumah penduduk, ujung badan bagian bawah (menempel ke tanah) bentuknya rata “seperti usai dipangkas” sedangkan ujung badan bagian batu tonggak yang menghadap atas bentuk- nya “kerucut semu” seperti sengaja dipangkas kasar. Ukuran panjang batu-batu tonggak berkisar antara 7 – 8 m; sedangkan diameternya antara 60-70 cm.

Pada bagian lereng bawah Gunung/Pasir Reungit (dibawah susunan batu tonggak) masih terhampar kerakal andesit dan kericak sebagian masih tersusun rapih seperti lantai dan sebagian lagi terserak bercampur kerikil (kerikcak). Dibalik dinding susunan batu tonggak ditemukan tatanan batu lainnya seperti “susunan kue lapis” yang mengisi bagian dalam Gunung/Pasir Reungit.
Lahan paling atas tatanan batu tertutup tanah dengan partikel padat sekitar 50 cm dari batas tatanan batu, diikuti hamparan pasir pada bagian permukaan. Bagian selatan kawasan Gunung/Pasir Reungit kurang lebih 1-1.5 km mengalir sungai besar disebut Cipeles, aliran sungai tersebut mengalir arah timur-barat dan bermuara di Cimanuk.
Diantara dinding ruas jalan (Sumedang – Bandung) dan sungai Cipeles terdapat sungai irigasi yang sekaligus menjadi batas lahan Gunung/Pasir Reungit. Pada lahan ini ditemukan lubang terowongan (diameter terowongan 80-100 cm) Kendati besaran ukurannya cukup untuk dimasuki manusia, namun keadaannya kini telah terisi tanah dan bahkan kerap berisi air dan dihuni binatang (sero) sehingga sulit untuk diamati.
Hasil pengamatan terhadap Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan menunjukkan:
- lahan terbuka yang masih intax lekat pada matrixnya, dan yang tidak mungkin dipindahtempatkan atau diubah oleh manusia
- Mengandung sumberdaya alam sangat potensial berupa batu andesit dari bahan yang sangat keras juga dari berbagai bentuk diantaranya bentuk tonggak dalam jumlah yang sangat banyak memenuhi bukitnya; kerakal dan kerikil juga dengan jumlah yang banyak; kandungan pasir dan tanah - Gunung/Pasir Reungit terletak di lingkungan pegunungan atau perbukitan yang masih termasuk ke
dalam jajaran pegunungan Dataran Tinggi Parahiyangan
- Didekatnya mengalir sungai besar Cipeles yang bermuara di Cimanuk
Dapat disebutkan bahwa Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan lebih merupakan lingkungan dengan kandungan batuan, tanah, air dan tetumbuhan sebagai sumberdaya aalm yang dibutuhkan oleh manusia demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Sumberdaya alam yang bukan merupakan ciptaan atau dibuat oleh manusia, namun berkenaan dengan upaya dan usaha kehidupan berkebudayaan, manusia sebagai makhluk historis manusia memanfaatkan sumberdaya alam tersebut, dan tinggal dalam lingkungan dengan seluruh kandungan sumberdaya tersebut, sebagaimana adanya sekarang. Lalu bagaimana situasi dan kondisi pemanfaatan lahan Gunung/Pasir Reungit dan keberada- annya? Ke dalam pengertian Gunung/Pasir Reungit di dalam tatanan ruang budaya Sumedang Larang sejak awal hingga sekarang?
Karena manusia di dalam upaya memanfaatkan lingkungan pada dasarnya selalu mempertimbangkan pemilihan lahan atau lokasi dari manusia menempatkan dirinya dalam suatu lingkungan fisik. Pertimbangan ini mencerminkan bahwa dalam batas-batas tertentu masyarakat mengikuti aturan umum yang berlaku (normative), sehingga tidak berperilaku acak dalam memilih suatu lahan atau lokasi pemukiman, melainkan berpola, maka pemolaan aktivitas manusia tercermin pada keruangannya, waktu dengan ciri dan karakter budaya dalam suatu lingkungan tertentu.
LANJUT DIBAWAH
Diubah oleh geekypedia 22-01-2014 15:17
0
3.9K
Kutip
20
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan