1. Dihapuskannya ketentuan penyelidikan.
2. KUHAP berlaku terhadap tindak pidana yang diatur di luar KUHP.
3. Penghentian penuntutan suatu perkara.
4. Tidak adanya kewenangan memperpanjang penahanan dalam tahap penyidikan.
5. Masa penahanan tersangka lebih singkat.
6. Hakim dapat menangguhkan penahanan yang dilakukan penyidik.
7. Penyitaan harus mendapat izin hakim.
8. Penyadapan harus mendapat izin hakim.
9. Penyadapan (dalam keadaan mendesak) dapat dibatalkan oleh hakim.
10. Putusan Bebas tidak dapat dikasasi di Mahkamah Agung.
11. Putusan Mahkamah Agung tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi.
12. Ketentuan pembuktian terbalik tidak diatur.
TEMPO.CO, Jakarta - Seluruh fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui pembentukan Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Sikap mereka tertuang dalam Daftar Isian Masalah Revisi KUHAP yang diajukan tiap fraksi kepada panitia kerja revisi beleid ini.
Anggota Komisi Hukum Dewan dari Fraksi Golkar, Bambang Soesatyo, membenarkan ihwal sikap partainya yang menyetujui pembentukan Hakim Pemeriksaan Pendahuluan. Tapi Bambang berdalih, “Meski ada dalam DIM, sikap Fraksi Golkar belum final karena menunggu pembahasan DIM berikutnya,” ujar dia di gedung Dewan, kemarin.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Eva Sundari, memberi alasan yang sama dengan Bambang. “Jangan anggap sikap semua fraksi yang tertuang dalam DIM sama, yaitu ingin melemahkan KPK.”
Hakim pemeriksa adalah hakim tunggal yang menjadi lembaga baru yang diusulkan dalam revisi KUHAP. Dalam revisi itu, hakim ini berwenang menetapkan atau memutuskan sah-tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, atau penyadapan. Lalu, kewenangan memutuskan sah-tidaknya penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan; sah-tidaknya perolehan alat bukti, ganti rugi karena salah penangkapan, penahanan, penyitaan, untuk pemohon; layak-tidaknya penanganan perkara oleh penyidik; serta layak-tidaknya perkara yang telah dilakukan gelar perkara.
Peneliti dari Indonesian Legal Roundtable, Erwin Natosmal Oemar, khawatir akan kewenangan hakim pemeriksa yang begitu besar berpotensi menghambat upaya penanganan korupsi di KPK. "Dengan kewenangan yang besar, upaya pemberantasan korupsi pasti bakal terhambat," kata Erwin saat dihubungi kemarin.
Apalagi, dia melanjutkan, hakim pemeriksa ini merupakan hakim pengadilan negeri di bawah Mahkamah Agung. "Saat ini kita ketahui, MA tidak dalam kondisi sehat," katanya.Tkp
RABU, 19 FEBRUARI 2014 | 20:56 WIB Abraham Samad: KPK Akan Berlari meski dengan Satu Kaki
Spoiler for :
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad menyatakan KPK akan tetap "berlari" untuk memberantas korupsi meski hanya dengan satu kaki. Pernyataan Abraham menanggapi pembahasan RUU KUHP dan KUHAP yang mengarah pada pelemahan komisi antirasuah ini.
"Kami akan tetap berjalan di jalurnya meski ada pihak yang berkepentingan untuk memotong sebelah kaki KPK sehingga lari tertatih. Insya Allah kami tetap berjalan dengan sebelah kaki," kata Abraham di kantor KPK, Jakarta, Rabu, 19 Februari 2014.
Ketua KPK mengatakan publik tidak perlu khawatir terhadap adanya potensi bahwa upaya pembongkaran korupsi bakal mandek jika RUU KUHP dan KUHAP, yang terus dibahas anggota DPR hingga kini, disahkan. "Tidak usah khawatir pada kemungkinan tidak berjalannya upaya membongkar korupsi," katanya.(baca:Semua Fraksi di DPR Sokong Pelemahan KPK)
Meski begitu, KPK akan tetap mengupayakan pencegahan potensi pelemahan komisi antirasuah itu dengan mengusulkan penundaan pembahasan RUU KUHP dan KUHAP. "Surat sudah kami kirimkan hari ini ke pemerintah dan DPR" ujarnya.
Tentu, kata Abraham Samad, KPK akan menunggu respons Presiden dan seyogianya berpikir positif bahwa rekomendasi yang diajukan Komisi itu akan diikuti. Abraham berharap pemerintah mengambil langkah yang konstruktif, bukannya destruktif, seperti menarik pembahasan itu.(baca: Menteri Amir: Revisi KUHAP Tak Lemahkan KPK)
"KPK dalam posisi menunggu apakah surat yang direkomendaasikan ditindaklanjuti pemerintah. Kami berharap bahwa langkah-langkah pemberantasan korupsi berjalan dengan kecepatan yang diinginkan," katanya.Tkp
KPK: RUU KUHP Disahkan, KPK Terancam Bubar
Spoiler for :
JAKARTA, KOMPAS.com — Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menolak sejumlah poin dalam rancangan undang-undang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHP) yang dianggap dapat melemahkan pemberantasan tindak pidana korupsi. Salah satu poin yang dianggap dapat melemahkan pemberantasan korupsi adalah dimasukkannya delik tindak pidana korupsi dalam KUHP.
Menurut Ketua KPK Abraham Samad, sifat kejahatan korupsi yang luar biasa akan hilang jika dimasukkan dalam RUU KUHP. Abraham menilai delik korupsi dan kejahatan luar biasa lainnya, seperti narkotika, dan terorisme sedianya diatur dalam undang-undang khusus, bukan dimasukkan dalam KUHP.
"Kalau sifat kejahatan luar biasa hilang, maka konsekuensinya, lembaga-lembaga yang punya kompetensi seperti KPK, PPATK, dan BNN tidak relevan lagi atau bisa dikatakan lembaga bubar bila kejahatan luar biasa itu dipaksakan masuk ke buku II," kata Abraham dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (19/2/2014).
Hadir pula dalam jumpa pers tersebut Wakil Ketua KPK Zulkarnain dan Juru Bicara KPK Johan Budi. Senada dengan Abraham, Zulkarnain menyatakan, hal itu merupakan suatu kemunduran. Pasalnya, sebelum ini delik korupsi sengaja dikeluarkan dari KUHP karena dianggap sebagai tindak pidana luar biasa.
"Dulu bagian tindak pidana korupsi dari KUHP dikeluarkan menjadi tindak pidana khusus, jadi tipikor seperti suap-menyuap dan lain-lain, hukuman diperberat, cakupan diperluas, pembuktian diperkuat, ada pembuktian terbalik dan terbatas. Kalau dikembalikan ke KUHP berarti mundur dari sisi perundangan," tutur Zulkarnain.
Apalagi, lanjutnya, saat ini tindak pidana korupsi di Indonesia berkembang masif. Hal itu, katanya, bisa dilihat dari perkara-perkara yang ditangani KPK dengan modus yang semakin canggih dan nekat.
"Lalu, apa mungkin ditangani secara biasa? Lantas ukuran lain adalah IPK (indeks persepsi korupsi) kita komponen yang dipakai cukup canggih, masih 32 dari 100, masih di bawah rata-rata dunia yang 43, kemudian juga yang KPK lakukan tiap tahun survei integritas nasional dan daerah masih banyak yang di bawah kewajaran, di bawah 6," ucap Zulkarnain.
Selain soal delik korupsi, KPK mengkritisi aturan dalam RUU KUHP yang menyebutkan bahwa suap atau gratifikasi tidak masuk dalam delik korupsi melainkan kejahatan yang berhubungan dengan jabatan.
"Oleh karena itu kalau penyelenggara negara terima suap, tidak bisa disidik KPK. Kalau kejahatan suap-menyuap dimasukkan dalam delik tindak pidana jabatan, tidak masuk lagi delik-delik korupsi," ucap Abraham.
KPK juga menemukan sejumlah poin yang berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Poin pertama, berkaitan dengan peniadaan tahap penyelidikan sehingga kewenangan KPK melakukan penyadapan dalam tahap penyelidikan kemungkinan akan ikut hilang.
Poin berikutnya, lanjut Abraham, wacana aturan mengenai penyadapan yang harus mendapatkan izin dari hakim pendahuluan, serta aturan yang menyebutkan putusan bebas murni tidak bisa digugat melalui upaya hukum selanjutnya.
Zulkarnain juga mengatakan, banyak aturan dalam RUU KUHAP yang sulit diimplementasikan, termasuk aturan mengenai batas maksimal penahanan yang hanya lima hari sebelum berkas perkara dilimpahkan ke tahap penuntutan.
"Enak sekali lima hari, kalau libur tiga hari, tinggal dua hari, buat surat penangkapannya habis ke pengadilan, itu tidak aplikatif. Kalau ditanya di ujung Indonesia, sanggup tidak penyidik bisa melakukan tugas yang diberikan? Kalau tidak sanggup akan mengakibatkan tindak pidana dibiarkan terjadi. Jangan enak di atas kerja kalau diimplementasikan mustahil. Makanya bikin undang-undang harus ada pengkajian, harus dilihat kelemahan KUHAP yang lalu," kata Zulkarnain.
Atas dasar itulah, KPK mengirimkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pimpinan DPR, dan ketua panitia kerja pembahasan RUU KUHP/KUHAP di DPR. Surat tersebut berisi permintaan agar pembahasan dua RUU ini di DPR dihentikan.