- Beranda
- Komunitas
- Pilih Capres & Caleg
betapa kotornya politik di negara ini.


TS
p1n1ng1t
betapa kotornya politik di negara ini.
Quote:
Seri Propaganda Hitam Melawan Gita Wirjawan – bag 1) Soal Banjir Impor Beras Vietnam yang Ternyata Tak Ada
Quote:
Gita Wirjawan sedang menghadapi betapa kotornya politik di negara ini. Gita, yang dulu adalah seorang professional, mendirikan perusahaan nasional, menjadi ketua BKPM dan kemudian Menteri Perdagangan, kini belajar bahwa dalam politik, lawan-lawannya akan melakukan segala cara untuk menghancurkannya.
Salah satu senjata propaganda yang dihadapinya adalah: fitnah yang tidak nampak sebagai fitnah.
Kasus terakhir adalah soal beras Vietnam yang dikait-kaitkan dengan kemunduran dirinya sebagai Menteri Perdagangan awal Februari ini.
Berita ini dimulai oleh pernyataan seorang pedagang yang menyatakan ada banjir beras Vietnam yang menghancurkan harga pasar lokal. Berita ini muncul persis menjelang Gita mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Menteri Perdagangan. Berita ini kemudian ditanggapi banyak pihak.
Secara cepat publik dibuat percaya bahwa memang ada banjir beras Vietnam dan itu terjadi karena Gita mengizinkan impor yang menyengsarakan petani lokal. Publik diarahkan untuk percaya bahwa Gita berulah sehingga beras impor yang seharusnya dilakukan Bulog malah dialihkan kepada para importir swasta. Bahkan kemudian pusat pembicaraan beralih dari soal kebenaran adanya banjir beras illegal menjadi soal tanggungjawab Gita dan keterkaitannya dengan keputusan dia untuk mundur.
Seperti biasa sejumlah pemandu sorak muncul. Bambang Soesatyo (Golkar) menuduh Gita mencoba lari dari tanggungjawab dengan mundur sebagai Menteri. Ini diikuti sesama politisi Golkar, Firman Soebagyo yang meminta aparat hukum memeriksa keterlibatan Gita. Firman bahkan menyatakan praktek itu diduga dilakukan terkait dengan kebutuhan mendanai kampanye capres. Pesaing Gita di Konvensi Demokrat pun turut berkomentar miring. Ada sesama Menteri yang menuding-nuding Gita.
Dan sejumlah media pun dengan antusias menari mengikuti irama kendang yang menghajar Gita itu. Ini tercermin dalam banyak judul di media cetak, televisi dan online. Sebuah stasiun televisi menyajikan talk-show dengan judul: “Gita Mundur atau Kabur?”. Besoknya jaringan suratkabar milik seorang peserta konvensi Partai Demokrat menurunkan headline dengan judul besar yang sama. Sebuah koran lain menuduh Gita lari dari tanggungjawab. Sebuah majalah berita prestisius membuat laporan utama tentang banjir beras illegal Vietnam, dengan tudingan bahwa Gita adalah pihak yang bertanggungjawab atas kejahatan itu. Majalah itu menggunakan narasumber anonim yang dengan yakin menyatakan bahwa selama ini memang Gitalah yang bertanggungjawab dan mengeruk keuntungan dari impor beras illegal.
Ini terus diulang. Banyak media mengabaikan saja ketiadaan fakta yang membuktikan bahwa ada banjir beras illegal Vietnam. Media mengutip saja omongan-omongan kosong para narasumber. Lebih jauh lagi, banyak media mengabaikan saja fakta bahwa Gita sudah mengajukan permintaan mundur sejak Septrember 2013. Tak terbersit dalam benak banyak jurnalis pertanyaan: keuntungan apa yang diperoleh Gita dengan mundur di saat kasus ini menghangat? Kalau dikatakan cuci tangan, bagaimana ia mungkin melakukannya? Kalau ia memang bersalah, bagaimana ia bisa melindungi dirinya dengan tidak menjadi Menteri Perdagangan?
Tapi pertanyaan-pertanyaan semacam itu memang hanya relevan kalau kita berasumsi media massa adalah lembaga indendenden, objektif dan kritis. Karena asumsi itu tak terpenuhi, maka yang terjadi, Gita pun menjadi tertuduh utama.
Sekarang, beberapa minggu kemudian setelah huru-hara itu, kebenaran terkuak. Berbagai penelitian yang dilakukan baik oleh lembaga pemerintah maupun surveyor independen menunjukkan bahwa banjir beras illegal Vietnam itu tak ada.
Impor beras Vietnam memang terjadi. Tapi beras impor yang memperoleh izin dari Kementerian Perdagangan itu adalah sesuai dengan rekomendasi Kementerian Pertanian, yaitu beras premium Thai Hom Mali. Beras khusus ini adalah beras mahal yang digunakan untuk keperluan industri dan konsumen khusus, misalnya rumah sakit, rumah makan dan hotel. Jumlahnya pun sesuai dengan kesepakatan antar kementerian yaitu 492 ribu ton. Beras khusus ini jumlahnya terbatas, mahal dan tidak untuk dijual di pasar umum sehingga bisa mengancam beras lokal.
Lembaga survei independen (Sucofindo) menunjukkan bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan mereka, beras yang masuk ke Indonesia adalah memang beras premium bukan beras biasa. Dirjen bea Cukai memang menemukan adanya pengiriman beras Vietnam yang tidak sesuai dengan dokumen aslinya, namun itu sudah langsung ditahan di pelabuhan. Tiga Kementerian (Kemenkeu, Kementan dan Kemendag) serta Dirjen Bea Cukai bersepakat bahwa masalah dugaan adanya banjir beras Vietnam ilegal itu sudah selesai.
Tapi apakah setelah terbukti bahwa banjir beras Vietnam itu tak benar; mereka yang sudah memaki-maki, memfitnah, menuduh Gita meralat tuduhannya secara bertanggungjawab? Tentu saja tidak. Mungkin buat mereka, tindakan meminta maaf adalah pengecut. Apakah media, pengamat, aktivis, pesaing dan anggota DPR yang sudah menuduh Gita merasa perlu menjelaskan duduk perkara pada masyarakat? Tentu tidak. Buat mereka, penyerangan terhadap Gita memang tidak pernah bertujuan untuk kepentingan publik.
Dalam hal ini, sebagai seorang ilmuwan komunikasi saya teringat pada konsep ‘mind management’ yang lazim dikenal dalam kepustakaan tentang propaganda.
Strategi mind management lazim diterapkan untuk menghancurkan reputasi lawan dengan menyebarkan kebohongan dan fitnah yang tidak dilakukan dengan kasar. Yang penting, kebohongan yang memberikan imej buruk tentang objek sasaran itu terus diulang melalui beragam sarana sehingga masyarakat akan percaya bahwa informasi itu benar.
Prosesnya ini lazim dimulai dengan pernyataan bohong oleh seseorang, atau peristiwa kecil, yang kemudian diberitakan oleh satu atau beberapa media dan digandakan sebagai bahan pembicaraan publik. Begitu ramai diberitakan, akan hadir pula orang-orang lain untuk mengomentarinya, dilengkapi oleh komentator-komentator yang dianggap memiliki otoritas. Isu ini akan terus digulirkan dan digandakan: muncul di halaman satu koran, muncul di headline news, ramai dibicarakan melalui media sosial, dan seterusnya. Percakapan lewat media ini pada gilirannya digandakan di komunikasi-komunikasi kelompok atau publik dalam kehidupan sehari-hari. Ini semua mengakibatkan publik akan percaya begitu saja dengan kebohongan itu
Contoh paling terkenal dalam sepuluh tahun terakhir ini adalah invasi Amerika Serikat ke Irak. Serangan itu dimulai dengan sebuah pernyataan yang dikutip dalam media bergengsi bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal yang dapat menghancurkan Amerika. Berita itu kemudian dibenarkan oleh banyak pihak, termasuk pemerintah AS di bawah Bush. Ketika berita itu terus bergulir, publik pun akhirnya percaya bahwa Irak memang memiliki senjata pemusnah massal. Sejarah mencatat, AS benar-benar menyerang Irak dengan persetujuan publik yang luas .Ribuan orang tewas. Irak luluh lantak. Tapi sejarah juga mencatat, senjata pemusnah missal itu ternyata tak ada. Perang itu dimulai oleh sebuah kebohongan.
Kasus beras Vietnam memang tidak sedramatis itu. Tapi esensinya sama. Gita dihajar kanan kiri karena sebuah kebohongan sederhana yang terus diulang-ulang. Gita kini belajar bahwa lawan-lawan politiknya bersedia melakukan apa saja untuk menghancurkannya.
Hari ini saya menulis soal beras Vietnam. Di hari-hari berikut akan saya lanjutkan dengan kisah-kisah lain.
Salah satu senjata propaganda yang dihadapinya adalah: fitnah yang tidak nampak sebagai fitnah.
Kasus terakhir adalah soal beras Vietnam yang dikait-kaitkan dengan kemunduran dirinya sebagai Menteri Perdagangan awal Februari ini.
Berita ini dimulai oleh pernyataan seorang pedagang yang menyatakan ada banjir beras Vietnam yang menghancurkan harga pasar lokal. Berita ini muncul persis menjelang Gita mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Menteri Perdagangan. Berita ini kemudian ditanggapi banyak pihak.
Secara cepat publik dibuat percaya bahwa memang ada banjir beras Vietnam dan itu terjadi karena Gita mengizinkan impor yang menyengsarakan petani lokal. Publik diarahkan untuk percaya bahwa Gita berulah sehingga beras impor yang seharusnya dilakukan Bulog malah dialihkan kepada para importir swasta. Bahkan kemudian pusat pembicaraan beralih dari soal kebenaran adanya banjir beras illegal menjadi soal tanggungjawab Gita dan keterkaitannya dengan keputusan dia untuk mundur.
Seperti biasa sejumlah pemandu sorak muncul. Bambang Soesatyo (Golkar) menuduh Gita mencoba lari dari tanggungjawab dengan mundur sebagai Menteri. Ini diikuti sesama politisi Golkar, Firman Soebagyo yang meminta aparat hukum memeriksa keterlibatan Gita. Firman bahkan menyatakan praktek itu diduga dilakukan terkait dengan kebutuhan mendanai kampanye capres. Pesaing Gita di Konvensi Demokrat pun turut berkomentar miring. Ada sesama Menteri yang menuding-nuding Gita.
Dan sejumlah media pun dengan antusias menari mengikuti irama kendang yang menghajar Gita itu. Ini tercermin dalam banyak judul di media cetak, televisi dan online. Sebuah stasiun televisi menyajikan talk-show dengan judul: “Gita Mundur atau Kabur?”. Besoknya jaringan suratkabar milik seorang peserta konvensi Partai Demokrat menurunkan headline dengan judul besar yang sama. Sebuah koran lain menuduh Gita lari dari tanggungjawab. Sebuah majalah berita prestisius membuat laporan utama tentang banjir beras illegal Vietnam, dengan tudingan bahwa Gita adalah pihak yang bertanggungjawab atas kejahatan itu. Majalah itu menggunakan narasumber anonim yang dengan yakin menyatakan bahwa selama ini memang Gitalah yang bertanggungjawab dan mengeruk keuntungan dari impor beras illegal.
Ini terus diulang. Banyak media mengabaikan saja ketiadaan fakta yang membuktikan bahwa ada banjir beras illegal Vietnam. Media mengutip saja omongan-omongan kosong para narasumber. Lebih jauh lagi, banyak media mengabaikan saja fakta bahwa Gita sudah mengajukan permintaan mundur sejak Septrember 2013. Tak terbersit dalam benak banyak jurnalis pertanyaan: keuntungan apa yang diperoleh Gita dengan mundur di saat kasus ini menghangat? Kalau dikatakan cuci tangan, bagaimana ia mungkin melakukannya? Kalau ia memang bersalah, bagaimana ia bisa melindungi dirinya dengan tidak menjadi Menteri Perdagangan?
Tapi pertanyaan-pertanyaan semacam itu memang hanya relevan kalau kita berasumsi media massa adalah lembaga indendenden, objektif dan kritis. Karena asumsi itu tak terpenuhi, maka yang terjadi, Gita pun menjadi tertuduh utama.
Sekarang, beberapa minggu kemudian setelah huru-hara itu, kebenaran terkuak. Berbagai penelitian yang dilakukan baik oleh lembaga pemerintah maupun surveyor independen menunjukkan bahwa banjir beras illegal Vietnam itu tak ada.
Impor beras Vietnam memang terjadi. Tapi beras impor yang memperoleh izin dari Kementerian Perdagangan itu adalah sesuai dengan rekomendasi Kementerian Pertanian, yaitu beras premium Thai Hom Mali. Beras khusus ini adalah beras mahal yang digunakan untuk keperluan industri dan konsumen khusus, misalnya rumah sakit, rumah makan dan hotel. Jumlahnya pun sesuai dengan kesepakatan antar kementerian yaitu 492 ribu ton. Beras khusus ini jumlahnya terbatas, mahal dan tidak untuk dijual di pasar umum sehingga bisa mengancam beras lokal.
Lembaga survei independen (Sucofindo) menunjukkan bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan mereka, beras yang masuk ke Indonesia adalah memang beras premium bukan beras biasa. Dirjen bea Cukai memang menemukan adanya pengiriman beras Vietnam yang tidak sesuai dengan dokumen aslinya, namun itu sudah langsung ditahan di pelabuhan. Tiga Kementerian (Kemenkeu, Kementan dan Kemendag) serta Dirjen Bea Cukai bersepakat bahwa masalah dugaan adanya banjir beras Vietnam ilegal itu sudah selesai.
Tapi apakah setelah terbukti bahwa banjir beras Vietnam itu tak benar; mereka yang sudah memaki-maki, memfitnah, menuduh Gita meralat tuduhannya secara bertanggungjawab? Tentu saja tidak. Mungkin buat mereka, tindakan meminta maaf adalah pengecut. Apakah media, pengamat, aktivis, pesaing dan anggota DPR yang sudah menuduh Gita merasa perlu menjelaskan duduk perkara pada masyarakat? Tentu tidak. Buat mereka, penyerangan terhadap Gita memang tidak pernah bertujuan untuk kepentingan publik.
Dalam hal ini, sebagai seorang ilmuwan komunikasi saya teringat pada konsep ‘mind management’ yang lazim dikenal dalam kepustakaan tentang propaganda.
Strategi mind management lazim diterapkan untuk menghancurkan reputasi lawan dengan menyebarkan kebohongan dan fitnah yang tidak dilakukan dengan kasar. Yang penting, kebohongan yang memberikan imej buruk tentang objek sasaran itu terus diulang melalui beragam sarana sehingga masyarakat akan percaya bahwa informasi itu benar.
Prosesnya ini lazim dimulai dengan pernyataan bohong oleh seseorang, atau peristiwa kecil, yang kemudian diberitakan oleh satu atau beberapa media dan digandakan sebagai bahan pembicaraan publik. Begitu ramai diberitakan, akan hadir pula orang-orang lain untuk mengomentarinya, dilengkapi oleh komentator-komentator yang dianggap memiliki otoritas. Isu ini akan terus digulirkan dan digandakan: muncul di halaman satu koran, muncul di headline news, ramai dibicarakan melalui media sosial, dan seterusnya. Percakapan lewat media ini pada gilirannya digandakan di komunikasi-komunikasi kelompok atau publik dalam kehidupan sehari-hari. Ini semua mengakibatkan publik akan percaya begitu saja dengan kebohongan itu
Contoh paling terkenal dalam sepuluh tahun terakhir ini adalah invasi Amerika Serikat ke Irak. Serangan itu dimulai dengan sebuah pernyataan yang dikutip dalam media bergengsi bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal yang dapat menghancurkan Amerika. Berita itu kemudian dibenarkan oleh banyak pihak, termasuk pemerintah AS di bawah Bush. Ketika berita itu terus bergulir, publik pun akhirnya percaya bahwa Irak memang memiliki senjata pemusnah massal. Sejarah mencatat, AS benar-benar menyerang Irak dengan persetujuan publik yang luas .Ribuan orang tewas. Irak luluh lantak. Tapi sejarah juga mencatat, senjata pemusnah missal itu ternyata tak ada. Perang itu dimulai oleh sebuah kebohongan.
Kasus beras Vietnam memang tidak sedramatis itu. Tapi esensinya sama. Gita dihajar kanan kiri karena sebuah kebohongan sederhana yang terus diulang-ulang. Gita kini belajar bahwa lawan-lawan politiknya bersedia melakukan apa saja untuk menghancurkannya.
Hari ini saya menulis soal beras Vietnam. Di hari-hari berikut akan saya lanjutkan dengan kisah-kisah lain.
sumber
Quote:
Setelah membaca Kompasiana sebagai jurnalis Kompas yang bertransformasi menjadi sebuah media warga (citizen media) gimana tanggapan agan agan tentang tulisan yang di buat ade armandokalau menurut ane si apa yang di tulis TS ini memeng seperti itu FAKTANYA. Monggo kalau agan2 ada tanggapan lain dengan tulisan ini mari kita berdiskusi bareng.

gak nolak kalau di kasih

Diubah oleh p1n1ng1t 25-02-2014 10:51


anasabila memberi reputasi
1
1.4K
Kutip
8
Balasan
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan