Sheikh Muszaphar Shukor Al Masrie bin Sheikh Mustapha (lahir 27 Juli 1972) adalah pakar kesehatan Malaysia berdarah Arab-Minang-Melayu dan orang Malaysia pertama yang pergi ke luar angkasa, diumumkan oleh Perdana Menteri Abdullah Badawi pada 25 September 2007.
Ia, bersama Yuri Malenchenko (Rusia) dan Peggy Whitson (AS), telah lepas landas pada 10 Oktober 2007 dengan Soyuz TMA-11 yang diluncurkan menuju Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) dalam program kerjasama dengan Rusia dan akan kembali ke Bumi bersama Fyodor Yurchikhin dan Oleg Kotov.
Ia dilahirkan di Kuala Lumpur, Malaysia, Sheikh Muszaphar menamatkan pendidikan sekolah tinggi di MARA di Muar, kemudian melanjutkan ke Kolej Perubatan Kasturba, Manipal. Ia menjadi doktor ortopedi di Universiti Kebangsaan Malaysia, dan sebelum itu di Hospital Seremban (1998), Hospital Besar Kuala Lumpur (1999), dan Hospital Selayang (2000-2001).
Meski di Luar Angkasa Sheikh Muszaphar tetap menunaikan shalat
Penelitian bukanlah satu-satunya misi Sheikh Muszafhar di luar angkasa. Ia juga membawa misi relijius yang sangat penting. Ia ingin melaksanakan shalat di luar angkasa, sekaligus mengabarkan kepada dunia bahwa shalat adalah ibadah yang sangat agung. Ibadah yang tidak boleh ditinggalkan kapan dan di mana saja, termasuk ketika berada di luar angkasa.
Bersama tiga astronot lainnya, ia mengangkasa selama 12 hari. Waktu itu umat Islam di bumi sedang menjalankan ibadah puasa. Sebagai orang Islam, Sheikh tetap menjalankan ibadah itu meski berada ribuan mil dari bumi. Dan ia mengaku, berpuasa di langit jauh lebih nyaman dan khusyuk. Selain karena tidak merasa haus, lapar, atau lelah, ia juga bisa melihat beragam tanda-tanda kekuasaan Allah.
Di angkasa, Sheikh menjalankan sejumlah eksperimen yang diamanahkan kepadanya. Di atas sana, ia menjalankan fungsinya sebagai dokter dengan penelitian-penelitian biologis dan kimiawinya. Menurut Sheikh, 12 hari ternyata tidak cukup panjang untuk menjalankan semua eksperimennya.
Sheikh tidak bisa menyembunyikan rasa puas dari perjalanannya ini. Bukan saja karena ia berhasil melakukan penelitian, sebagaimana yang ia rencanakan. Di luar angkasa ia bisa menjumpai banyak sekali tanda kekuasaan Allah. Yang tak mungkin terlupakan, ketika ia mendengar suara adzan di sana.
Jadi bagi Dr. Sheikh Muszaphar Shukor, ibadah puasa yang sedang dijalaninya di bumi saat ini dan lebaran nantinya tetap akan dilaksanakan walaupun dirinya berada di luar angkasa. Uniknya, penentuan waktu Sholat, arah kiblat, imsak dan berbuka selama berada disana tidak sama dengan dibumi. Karena Stasiun antariksa mengelilingi Bumi sebanyak 16 kali dalam 24 jam! Dan itu berarti Ia akan menemui 16 kali matahari terbit dan terbenam, yang sama halnya 16 kali bertemu waktu imsak dan berbuka dalam sehari (waktu dibumi) Dan waktu sholatnya pun bisa berlipat hingga 80 kali dalam sehari.
Kalau begitu puasanya cuma 1,5 jam.
Bagaimana hukum melaksanakan ibadah di luar angkasa?
Quote:
Publikasi 03/11/2004
hayatulislam.net – Soal: Ustadz saya ingin bertanya. Bagaimana hukum sholat bagi para astronot yang sedang di luar angkasa? Misalnya ketika mereka mendarat di bulan? Apakah mereka tetap sholat? Dan bagaimana hukum sholat bagi mereka yang tinggal di daerah kutub yang memiliki karakter waktu yang tidak tepat? Setahu saya kadang2 di kutub siangnya sangat panjang dan kadang2 malamnya yang panjang. Mohon penjelasannya.
Quote:
Jawab: Para fuqaha telah memahami bahwa tatkala Allah SWT mensyariatkan hukum bagi seorang mukallaf, Ia juga telah menetapkan sejumlah imarah (indikasi) yang menunjukkan kapan, dan dalam kondisi apa hukum tersebut dikerjakan atau dilaksanakan. Indikasi-indikasi (imarah) tersebut adalah sebab-sebab syar’iyyah dilaksanakannya sebuah hukum. Topik mengenai pelaksanaan hukum ini dikategorikan dalam pembahasan ahkaam al-wadli’y, dimana salah satu bagian dari ahkam al-wadl’iy adalah al-sabab (sebab).
Muhammad Abu Zahrah dalam kitab Ushul Fiqh-nya, hal. 56, menyatakan, “Sebab-sebab bukanlah termasuk bagian dari perbuatan seorang mukallaf. Akan tetapi, ia telah ditetapkan oleh Allah SWT sebagai tanda (imarah) untuk melaksanakan sebuah hukum, misalnya keberadaan waktu dijadikan sebab (al-sabab) bagi pengerjaan sholat; atau kondisi darurat sebagai sebab dibolehkannya memakan bangkaiS E N S O Ran sebagainya.”
Contohnya, sebab dikerjakannya sholat Dzuhur adalah tergelincirnya matahari. Dalam al-Qur’an dinyatakan:
“Dirikanlah sholat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malan dan dirikanlah pula sholat Shubuh. Sesungguhnya sholat Shubuh itu disaksikan oleh para malaikat.” (Qs. al-Isrâ’ [17]: 78).
Dalam sebuah hadits dituturkan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
“Jika matahari telah tergelincir, maka sholatlah.” [HR. ath-Thabarani].
Dalam riwayat lain, Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya Rasulullah Saw mendirikan sholat Maghrib tatkala matahari telah terbenam dan bersembunyi dalam tirainya.” [HR. Imam Lima, kecuali an-Nasâ’i[/b]].
Dalam riwayat Muslim dinyatakan, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
“Waktu Dzuhur ialah apabila telah tergelincir matahari hingga jadilah bayangan seseorang itu sama dengan panjangnya selama belum dating waktu ‘Ashar, dan waktu ‘Ashar itu selama belum kuning matahari dan waktu sholat Maghrib selama belum terbenam syafaq dan waktu ‘Isya’ hingga separuh malam dan waktu sholat Shubuh dari terbit fajar selama belum terbit matahari. Apabila telah terbit matahari, maka janganlah kamu mendirikan sholat, karena sesungguhnya matahari terbit itu diantara dua tanduk setan.” (Bulughul Maram: 36).
Namun demikian, waktu-waktu di atas hanya terwujud pada daerah-daerah yang ada di bumi saja, dan tidak pernah terwujud di sebuah lokal yang berada di luar bumi; misalnya bulan. Padahal, syara’ telah menetapkan waktu-waktu di atas sebagai sebab dilaksanakan sholat lima waktu. Jika sebab-sebab di atas tidak terwujud, tentunya sholat tidak bisa dilaksanakan oleh seorang muslim. Bukan berarti bahwa hukum sholat lima waktu telah berubah, akan tetapi sebab pelaksanaannya tidak terwujud, sehingga menghalangi seseorang untuk mengerjakannya.
Untuk itu, sholat tiga waktu, yakni Maghrib, ‘Isya’ dan Shubuh di kutub, dimana hampir setengah tahun siang, dan setengah tahunnya malam, tidak wajib dilaksanakan. Sebab, sebab dilaksanakannya ketiga sholat tersebut tidak pernah terwujud, yakni tergelincirnya matahari, terbenamnya matahari, dan terbitnya fajar tidak pernah terwujud.
Sebagian orang berpendapat bahwa sholat lima waktu tetap harus dikerjakan dimanapun saja berada, baik di kutub maupun luar angkasa meskipun sebab-sebab pengerjaannya tidak terwujud. Mereka mengetengahkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya, tentang peristiwa datangnya Dajjal. Dalam hadits itu dituturkan, bahwasanya ketika Dajjal datang, satu hari seperti satu tahun. Lantas, para shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bukankah anda menyatakan bahwa pada saat itu, satu hari sama dengan satu tahun, lantas apakah kami harus menghentikan sholat?” Rasulullah Saw menjawab, “Jangan, tapi perkirakanlah.” Hadits ini absah digunakan dalil atas wajibnya mengerjakan sholat di luar angkasa, dan daerah kutub, atau daerah-daerah yang “sebab-sebab” pelaksanaan sholat tidak terwujud.
Imam Fudlail bin ‘Iyadl berkata, “Ini adalah ketentuan hukum khusus pada hari itu saja, yang telah disyariatkan Allah atas kita. Seandainya tidak ada hadits ini, tentunya kami akan berijtihad untuk tidak mengerjakan sholat lima waktu pada hari itu.” Setelah menjelaskan komentar Imam Fudlail, Imam an-Nawawi berkata, “Maksud perkataan dari Rasulullah “perkirakanlah” pada hadits riwayat at-Tirmidzi di atas adalah, ‘Jika terbit fajar telah berlalu, maka perkirakanlah antara sholat Shubuh dengan sholat Dzuhur di setiap harinya, lalu kerjakanlah sholat Dzuhur.’ Begitu seterusnya….sampai hari itu berlalu.” (Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 18/66).
Kita bisa memahami, bahwa para ‘ulama telah bersepakat jika sebab-sebab syar’iy dilaksanakannya sebuah hukum tidak terwujud, maka dengan sendirinya hukum tersebut tidak bisa dilaksanakan atau didirikan. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Original Posted By Mr.XilentReader►Trus nentuin arah Kiblatnya Gimana gan
Orang-orang yang berada di luar angkasa, apabila ia berdiri pada arah bumi maka ia berdiri mengarah kepada kiblat. Namun apabila ia tidak mampu mengidentifikasi dan menentukan arah bumi maka ia harus mengerjakan shalat keempat arah (apabila mungkin). Jika tidak memungkinkan, maka cukup baginya untuk mengerjakan shalat seberapa arah pun yang ia mampu. Source