Kaskus

Entertainment

Ekna85Avatar border
TS
Ekna85
Perbedaan Penetapan Awal Ramadan
met sore agan2 semua kali ini ane mau share tentang Penentuan awal Ramadan di Indonesia sering kali tidak satu suara.
(Mungkin) masuk akal karena banyak metode dilakukan untuk penentuannya. Apa yang membedakan metode hisab dan rukyat?

Secara fikih, metode mana yang lebih disarankan? Atau bisa dua-duanya mengingat banyak hadis yang mendukung kedua metode tersebut.
Hasyim Rudayat

Jawaban:
Hadis Kuraib mencatat, pada zaman para sahabat sudah terjadi perbedaan awal Ramadan antara Syam dan Madinah.

Kalau kita amati lebih dalam, penyebab perbedaan awal Ramadan (atau Idul Fitri dan Idul Adha) sebenarnya bukan perbedaan metode. Sebab sesama pengguna hisab pun bisa berbeda, begitu juga yang rukyat. Penyebab sebenarnya ada dua, yakni:

1) Haruskah ada keseragaman dalam memulai Ramadan dan Idul Fitri dalam satu negara? Apakah harus satu institusi tertentu saja, ataukah siapa saja boleh berpendapat sesukanya, dan otomatis pasti akan selalu berbeda?

2) Kalau harus ada keseragaman, lalu siapa yang berwenang untuk menetapkan jadwal Ramadan. Apakah pemerintah (menteri agama), atau musyawarah umat Islam?

Hingga hari ini, sebagian umat Islam di Indonesia menghendaki agar siapa saja boleh menetapkan awal Ramadan sendiri-sendiri. Tidak harus kompak, tidak harus bersatu. Dan kalau pun harus bersatu, jangan menteri agama yang menetapkan awal Ramadan.

Tetapi sayangnya kita tidak pernah diberitahu, apa sih latar belakang tidak menyatukan diri ini?

Apakah karena kurang sreg dengan sosok pribadi menteri agama, yang dianggap bukan ulama, sehingga kurang berilmu? Atau karena menteri agama adalah jabatan politis, bukan keahlian, sehingga kurang cakap menentukan awal Ramadan?

Ataukah memang karena doktrin yang diajarkan bahwa kita HARUS SELALU berbeda dan tidak mungkin disatukan — sebagaimana yang terjadi dengan jumlah rakaat Tarawih dan bacaan niat (ushalli) serta qunut Subuh?

Bercermin ke negeri Islam lain
Kewenangan menentukan awal Ramadan tidak pernah jadi bahan perdebatan, kalau kita tengok di negeri muslim yang lain, seperti Mesir dan Arab Saudi.

Mesir, yang rakyatnya kini terancam perpecahan dan perang saudara, punya begitu banyak kelompok yang saling memusuhi. Tak sedikit pula kelompok yang terang-terangan mengafirkan serta menghalalkan darah pemerintah.

Namun ceritanya jadi lain kalau sudah bicara kapan mulai Ramadan dan Idul Fitri. Mereka kompak-kompak saja dengan pemerintahnya, walaupun sikap politik berbeda. Buat rakyat Mesir, penetapan awal Ramadan memang wewenang pemerintah atau negara. Permusuhan dikesampingkan.

Demikian juga dengan Arab Saudi. Ada begitu banyak kelompok dan aliran di negeri itu. Dan tidak sedikit yang memusuhi pemerintah, bahkan sampai mengafirkan raja dan keluarganya. Dan tidak terhitung berapa jumlah orang yang ditangkapi polisi.

Namun saya belum pernah mendengar ada kelompok tertentu di Arab Saudi yang hobinya ngeyel atas keputusan jatuhnya Ramadan. Semua kompak-kompak saja, tidak ada yang puasa duluan atau belakangan.

Buktinya, saya belum pernah menemukan ada orang dari kelompok mana pun yang berinisiatif berwukuf di Arafah pada tanggal 8 atau 10 Dzulhijah, dengan alasan mereka beranggapan jatuhnya bulan Dzulhijjah lebih awal atau lebih lambat. Selalunya wukuf itu tanggal 9 Dzulhijjah dan kompak selalu.

Padahal wukuf itu dihadiri jutaan orang dari berbagai negara dan aliran (bahkan yang syiah ada juga). Tetapi mereka sepakat wukuf di hari yang sama, dan mereka mengakui bahwa yang berwenang untuk menetapkan jatuhnya tanggap 9 Dzulhijjah adalah negara atau pemerintah.

Sepanjang yang saya ketahui selama ini, cuma di Indonesia saja yang segelintir rakyatnya (atau atas nama organisasi masyarakat) kerap berpuasa dan berlebaran lebih dahulu dari ketetapan pemerintah. Dan sebaliknya, kadang mereka juga puasa atau Idul Fitri belakangan.

Penyebabnya ya itu tadi, karena sebagian dari anak bangsa kita masih saja ada yang berpikiran bahwa urusan kapan jatuhnya Ramadan itu boleh diputuskan oleh masing-maing orang sesuai keyakinan. Jadi siapa saja boleh menetapkan sendiri, baik secara pribadi, atau pun lewat kelompoknya masing-masing.

Untuk menentukan datangnya bulan Ramadan, ada dua cara:

Rukyatul hilal
Rukyat artinya melihat, hilal artinya bulan sabit (bulan pada fase awal, yang belum terlihat bulat dari Bumi).

Penentuan awal bulan (new moon) ditandai dengan munculnya penampakan (visibilitas) bulan sabit pertama kali (hilal) setelah bulan baru (konjungsi atau ijtima’). Pada fase ini, bulan muncul sesaat setelah terbenamnya matahari, sehingga posisi hilal berada di ufuk barat.

Jika hilal tidak terlihat pada hari ke-29, maka jumlah hari pada bulan tersebut dibulatkan menjadi 30 hari. Tidak ada aturan khusus bulan-bulan mana saja yang memiliki 29 hari, dan mana yang memiliki 30 hari. Semuanya tergantung penampakan hilal.

Rukyatul hilal adalah cara yang disyariatkan di dalam agama dan diperintahkan oleh Rasulullah SAW. Sebagaimana sabda beliau :

“Berpuasalah kamu saat melihatnya (hilal) dan berifthar (Idul Fitri) saat melihatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ulama semua mazhab telah bersepakat, hitungan bulan qamariyah (bulan-bulan Arab) hanya berkisar antara 29 hari atau 30 hari, sebagaimana sabda Nabi SAW (Ibnu Rusydi Al-Hafid, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, jilid 2 hal. 196).

“Kita adalah umat yang ummi, tidak menulis atau berhitung. Satu bulan itu adalah ini dan ini, maksudnya kadang-kadang 29 hari dan kadang-kadang 30 hari.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Apabila saat itu tampak bulan sabit meski sangat kecil dan hanya dalam waktu yang singkat, maka ditetapkan bahwa mulai malam itu, umat Islam sudah memasuki tanggal 1 bulan Ramadan. Jadi dalam kasus ini umur bulan Syaban hanya 29 hari bukan 30. Maka ditetapkan untuk melakukan ibadah Ramadan seperti salat Tarawih, makan sahur dan mulai berpuasa.

Ikmal
Ikmal atau istikmal adalah menggenapkan hitungan bulan menjadi 30 hari, pada saat hilal tidak tampak di tanggal 29 Syaban itu. Langit gelap, mendung, terhalang awan atau asap akan mengakibatkan mata telanjang tidak bisa melihat apakah hilal Ramadan memang ada atau belum ada.

Pada saat yang demikian, dan hal seperti ini telah diprediksi oleh Rasulullah SAW 14 abad yang lalu, beliau SAW bersabda :

Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Puasalah dengan melihat bulan dan berfithr (Idul Fitri) dengan melihat bulan, bila tidak tampak olehmu, maka sempurnakan hitungan Sya‘ban menjadi 30 hari.” (HR. Bukhari dan Muslim).

“Berpuasalah kamu dengan melihat hilal dan berbukalah kamu dengan melihatnya juga. Tetapi bila ada awan yang menghalangi, maka genapkanlah hitungan dan janganlah menyambut bulan baru.” (HR. An-Nasa’i dan Al-Hakim)

Jadi bulan Syaban digenapkan bilangannya menjadi 30 hari. Dan inilah pendapat kebanyakan jumhur ulama sepanjang masa.

Hisab
Namun ada sebagian kalangan, di antaranya Mutarrif bin Sakhir, yang berpendapat bahwa apabila hilal tidak tampak, digunakan hisab dan bukan dengan cara menggenapkan hitungan bulan menjadi 30 hari.

Pendapat hisab ini didasarkan atas penafsiran dari hadis lainnya, yaitu:

"Puasalah dengan melihat bulan dan berfithr (berIdul Fitri) dengan melihat bulan, bila tidak tampak olehmu, maka kadarkanlah". (HR. Bukhari dan Muslim)

Kata faqduru lahu ditafsirkan oleh kalangan ini sebagai perintah untuk menggunakan hisab. Karena Qadar atau ukuran artinya adalah hitungan (Ibnu Rusydi Al-Hafid, “Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid”, jilid 2 hal. 46-47).

Namun menurut jumhur ulama, makna faqduru lahu bukan perintah untuk menggunakan ilmu hisab, namun maknanya adalah genapkan usia bulan Syaban menjadi 30 hari, sebagaimana hadis sahih di atas.

Penggunaan hisab tidak disandingkan dengan rukyatul hilal, apalagi mengalahkannya.

Di sisi lain, justru banyak ulama yang mengharamkan metode hisab ini. Di antaranya mazhab Maliki. Mereka mengatakan, tidak sah penentuan awal Ramadan dengan mengikuti Al-Munajjim (ahli nujum), maksudnya adalah ahli falak. Apa yang mereka lakukan tidak berlaku, baik untuk diri mereka sendiri, apalagi untuk orang lain (“Asy-Syarhu Ash-Shaghir li Ad-Dardir”, jilid 1 hal. 241).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam “Majmu’ Fatawa” yang terkenal itu menegaskan, orang-orang yang berpegangan kepada hasil perhitungan (hisab) dalam penetapan hilal, hukumnya sesat di dalam syariah, dan merupakan bidah di dalam agama. (Ibnu Taimiyah, “Majmu’ Fatawa”, jilid 5 hal. 207)

Wallahu a'lam bishshawab,
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
baca selengkapnya di SUMBER
0
1.6K
8
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan