AkuCintaNaneaAvatar border
TS
AkuCintaNanea
Akhirnya, Media (spt TEMPO, KOMPAS,dll) Memang Bukan Tempat Menemukan Kebenaran Final
Akhirnya, Media Memang Bukan Tempat Menemukan Kebenaran Final
Thu, 14/11/2013 - 18:00 WIB

Refleksi dari kasus Jilbab Hitam vs Tempo: Beberapa waktu lalu cukup ramai dipergunjingkan tulisan dari akun ‘Jilbab Hitam’ di Kompasiana yang mengkonstruk sebuah opini provokatif; upaya pemerasan terhadap perusahaan BUMN oleh media ternama (Kini tulisan tersebut sudah diturunkan). Sebagai manusia yang melek media, saya fikir kita tidak perlu memihak opini mana yang benar (Media Pemeras itu atau Perusahaan yang diperas).

Tapi satu hal yang harus kita camkan; ‘Justification‘ informasi dari media tidak pernah bersifat final hanya dalam satu tulisan/pemberitaan bahkan episode saja, Karena sifat media yang bersifat dinamis, maka informasi yang diberikanya akan selalu berubah- ubah sehingga keberadaan informasi tersebut menjadi lebih confirmed, correction dan perivikatif! Sinetron yang dengan puluhan episode saja selalu berotasi peranya dari yang antagonis menjadi protagonist, dan seterusnya.

Apalagi jika menerapkan theory CDA analisis wacana Norman Fairclough, bahwa wacana (Media) adalah adaptasi realitas yang bersifat ‘permukaan’ (Ingat; Hanya pemukaan). Untuk mengexplorasi kebenaran inti (subtansialnya) harus dilakukan pendalalaman dengan analisa CDA; sosial, situasional, Institusional. Dengan demikian, media bukanlah ‘tempat dan alat yang baku (mutlak)’ untuk menemukan kebenaran. Karena itu tadi, untuk mencapai sebuah kebenaran yang ‘mendekati akurat’ sebuah wacana paling tidak manusia harus melakukan tiga tahapan CDA prespektif Norman Fairclough. Karena sudah barang tentu, sebuah Informasi yang dipublish pastinya juga dipengaruhi oleh tiga factor tersebut;

1.Institusional ; Bagaimana sebuah ideology, mainstream pemberitaan, pola manajeman sebuah institusi media ikut merencakanan dan mengkonstruk setiap Informasi yang masuk dan kemudian memilah dan memilih mana yang harus disebarkan. Selama ini, untuk topic- topic politik dan hukum, Tempo memang concern dengan ‘berita- berita opini’ yang diexploratif secara mendalam, bahkan seringkali kita menemukan informasi- informasi yang tidak populer namun memiliki news velue pada berita- berita majalah tersebutMajalah tersebut.

2.Sitasional; Hampir mirip dengan Sosial hanya saja ia lebih mikro, dan focus pada sebab Munculnya sebuah informasi, dan Akibatnya Jika Infoprmasi tersebut disebar luaskan. Akibat ini memiliki dua nilai; positif dan negative. Dia bersifat Internal (Media- Publik- Tempo)dan External (Bank Mandiri).

3.Sosial; Adalah sebuah factor analisa yang lebih luas (Makro) lagi dari situasional, biasanya ia meliputi kondisi social- cultural, ekonomi dan politik. Biasanya sebuah Informasi akan diexpose untuk kepentingan visi yang lebih jauh dan global, dan dampaknya akan dapat dilihat dirasakan setelah beberapa waktu, tidak seketika

Jika cara Norman Fairclough tersebut terasa rumit. make it simple; Ajak (juga) hati Nurani anda memikirkanya, jngan hanya akal dan Nafsu (ego) saja. Ingat Kita (Manusia) hanya punya Hak Subjective saja.

Tulisan ini saya buat, karena saya memang memiliki ‘kesan’ pada peristiwanya. Saya termasuk orang yang pernah belajar langsung Ilmu jurnalistik dari Mas Bambang Harimurti saat masih dibangku kuliah dulu.Apakah BHM memang sudah berubah jadi “seperti itu”?, mungkin itu bukan urusan saya. Atau anak- anak Tempo seperti itu? juga bukan urusan saya. Yang saya tau BHM Jurnalist senior yang memang handal. Dan yang lebih penting lagi, diera Informasi saat ini, semua kita harus lebih melek lagi dan sadar akan akan keberadaan media. Karena selain Tuhan dan para Malaikatnya.. ternyata masih ada ‘sosok’ lain yang senantiasa memonitor kehidupan ini; Ya, Media-lah yang juga akan selalu ikut ‘mengawasi’ kita semua, termasuk Kompasiana ini.

Jokowi Hater dan Jilbab Hitam
Jokowi hater dan jilbab hitam makhluk apa pula itu? Ya, beberapa hari ini Kompasiana dan media seperti Tempo,Kompas,dan media nasional lagi kebakaran jenggot eh kertas. Betapa tidak. Sebuah akun tidak terverifikasi menyaru di Kompasiana mengaku sebagai mantan wartawan Tempo dan menjelek-jelekan Tempo dan Kompas serta media nasional lainnya yang dituduh bermain uang sebagai media pencitraan. Media wartawan bodrex dan kecurangan jurnalisme lainnya.

Akun seperti jilbab hitam ini cukup banyak di kompasiana. Seperti halnya akun-akun Jokowi hater yang menulis artikel tentang Jokowi tetapi hanya menjelek-jelekan pak Jokowi saja. Paling hanya beberapa akun terverifikasi yang tulisannya bernada mengkritik Jokowi. Tapi selebihnya adalah akun yang dibuat berujuan untuk memfitnah pak Jokowi.

Fenomena ini akan semakin marak menjelang pemilu dan pilpres 2014 nanti. Jika Kompasiana tidak memperketat aturan terhadap akun yang belum terverifikasi, maka saya yakin akan muncul lebih banyak jilbab hitam-jilbab hitam lainnya di Kompasiana.

Hal ini bisa meruntuhkan kredibilitas Kompasiana sebagi media jurnalis warga yang bertanggung jawab. Jika fenomena ini terus dibiarkan, maka Kompasiana akan mirip seperti blog-blog tak jelas lainnya yang kadang memuat berita-berita dari sumber-sumber tak jelas dan penulis yang tak jelas juga.

Pengelola Kompasiana harus segera menyadari hal ini. Jangan hanya mementingkan rating sesaat namun mengorbankan apa yang sudah dibangun selama 5 tahun ini. Maraknya akun PKS Lover yang hobi copas dulu juga sempat membuat geger Kompaasiana. Sekarang malah muncul lagi Jokowi hater yang juga merupakan akun abal-abal dan tak bertanggung jawab.

Tulisan ini bukan karena saya sebagai pendukung Jokowi, namun saya menyayangkan dan mengkhawatirkan jika Kompasiana ini terpuruk akibat ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab seperti akun yang tak jelas identitasnya dan tak bertanggung jawab dalam setiap tulisannya.
http://www.rimanews.com/read/2013111...ebenaran-final

Tujuh Raja Media di Indonesia



Media dewasa ini sangat berperan sebagai pengontrol opini masyarakat untuk kepentingan pihak-pihak tertentu yang ingin berkuasa. Dia bagai dua mata sebuah pedang yang bisa digunakan untuk membangun atau menghancurkan. Fenomena ini membuat siapapun yang mampu menguasai media informasi akan memiliki power yang besar untuk menguasai serta mengarahkan cara pandang masyarakat luas. Sehingga tak heran jika kekuasaan media kini bahkan boleh dibilang lebih kuat dari pemerintah sekalipun. Berikut adalah 7 raja yang menguasai media-media di Indonesia :

1. Jacob Oetama

Dr. (HC) Jacob Oetama tergolong low profile dan jarang diekspos. Padahal, dia adalah penguasa dari Kompas Gramedia Group yang membawahi sejumlah media massa terkemuka di Indonesia, seperti harian Kompas, tabloid BOLA, tabloid Nova, majalah Bobo, majalah National Geographic, hingga majalah Hai, Chip, HotGame, Otomotif, dan tentu saja toko buku Gramedia, berikut penerbitan Elex Media Komputindo. Jacob Oetama lahir di Magelang, 27 September 1931. Karir jurnalistiknya dimulai ketika menjadi redaktur mingguan Penabur pada tahun 1956. Lulusan jurusan Publisistik Fisipol UGM ini kemudian mendirikan majalah intisari tahun 1963 bersama P.K Ojong. Bersama P.K Ojong pula, pada tanggal 28 Juni 1965 Jacob mendirikan harian Kompas. Pada era 1980-an, Kompas Gramedia berkembang pesat, hingga akhirnya mampu mendirikan sejumlah anak perusahaan seperti yang telah saya sebutkan tadi. Selain menjadi presiden direktur KG Group, Jacob saat ini juga menjabat sebagai penasihat Konfederasi Wartawan ASEAN.

2. Hary Tanoesudibjo

Kepiawaian Hary dalam berbisnis telah terlihat sejak dia masih duduk di bangku kuliah di Toronto, Kanada. Di sana, dia kerap bermain di bursa saham dan berkenalan dengan banyak investor handal. Sepulang ke Indonesia, dengan meminjam modal dari sang ayah, Hary mendirikan PT Bhakti Investama di Surabaya. Pria kelahiran 26 September 1965 ini kemudian banyak terlibat dalam kegiatan investment banking, serta aksi merger dan akuisisi. Perusahaan-perusahaan yang bermasalah diambil alihnya, kemudian diperbaiki dan dijual kembali. Hary juga pintar dalam membaca peluang serta mencari sumber dana. Aksi akuisisinya tidak dilakukan dengan modal sendiri, melainkan dengan cara mencari dana dari publik melalui konsorsium ataupun penawaran saham. Tahun 2002, Hary bergabung dengan Bimantara Citra atau Global Mediacom dan kemudian menjadi presiden direkturnya (Group Executive Chairman) hingga sekarang. Global Mediacom sendiri kemudian menguasai saham dari PT Media Nusantara Citra Tbk (MNC), yang membawahi 3 stasiun tv : RCTI, TPI (kini MNCtv), dan Global TV. Hary pun lantas menjadi Direktur Utama dan CEO PT tersebut sampai saat ini. Selain 3 stasiun tv itu, MNC juga memiliki PT Media Nusantara Informasi yang antara lain meliuputi Harian Seputar Indonesia, Tabloid Gennie, Mom & Kiddie, dan Realita. Kemudian dibangunnya pula rumah produksi SinemArt dan MD Entertainment, hingga situs online Okezone.com. Di samping itu, Hary juga menjabat sebagai komisaris Indovision.

3. Dahlan Iskan

Pria kelahiran Magetan Jawa Timur tahun 1951 ini saat ini tengah naik daun, setelah berturut ditunjuk sebagai direktur PLN, dan kemudian kini menjabat sebagai menteri BUMN Kabinet Indonesia Bersatu II. Gaya khasnya yang suka memakai sepatu kets ke manapun, tampil apa adanya, dan doyan bicara blak-blakan membuat makin banyak orang yang mengidolainya. Sebelum menjadi dirut PLN, Dahlan adalah CEO surat kabar Jawa Pos dan Jawa Pos News Network. Karir jurnalisnya dimulai ketika menjadi calon reporter di sebuah surat kabar kecil di Samarinda, pada tahun 1975. Tahun 1976 dia pindah bergabung menjadi wartawan di majalah Tempo. Tahun 1982, Dahlan Iskan mulai memimpin surat kabar Jawa Pos. Harian yang waktu itu hampir mati karena hanya beroplah 6.000 eksemplar, dalam waktu 5 tahun dibuatnya menjadi surat kabar beroplah 300.000 eksemplar. Lima tahun berselang, Jawa Pos News Network (JPNN) dibentuk dan menjadi salah satu jaringan surat kabar terbesar di Indonesia yang memiliki 80 surat kabar, tabloid, dan majalah, serta 40 jaringan percetakan di seluruh Indonesia. Tahun 2002, Dahlan mendirikan stasiun tv lokal JTV di Surabaya, diikuti Batam tv di Batam dan Riau tv di Pekanbaru.

4. Chairul Tanjung

Chairul Tanjung adalah bos PT Trans Corporation yang membawahi dua stasiun tv populer, Trans TV dan Trans 7. Chairul yang lahir di Jakarta, 16 Juni 1962 mulai berbisnis ketika kuliah di jurusan Kedokteran Gigi UI. Saat itu ia berbisnis kecil-kecilan dengan berdagang buku kuliah, kaos, serta membuka usaha fotokopi di kampusnya. Dia juga sempat membuka toko alat-alat kedokteran dan laboratorium di daerah Senen, tapi usaha itu bangkrut. Kegagalan itu memberinya pelajaran, hingga ketika lulus kuliah, Chairul sempat mendirikan PT Pariarti Sindhutama bersama 3 rekannya, yang usahanya memproduksi sepatu anak-anak untuk ekspor. Usaha ini terbilang sukses, hingga ia melebarkan bisnisnya ke industri genting, sandal, dan properti. Perbedaan visi kemudian membuat 2 rekan Chairul mengundurkan diri, dan dia harus menjalankan bisnisnya sendiri. Chairul kemudian mengakuisisi sebuah bank yang nyaris pailit, Bank Tugu. Chairul yang pernah belajar dari kegagalan, mampu mengubah bank tersebut kini menjadi Bank Mega yang memiliki omset di atas Rp 1 triliun. Bisnis Chairul makin meluas kebidang properti, keuangan, dan multimedia, hingga dia kemudian mendirikan Para Group. Melalui Para Group, Chairul mulai merambah bisnis hiburan dengan mendirikan Trans TV. Dia lalu membentuk anak perusahaan PT Trans Corp dengan tujuan mengambil alih TV7 yang menjadi milik Kompas Gramedia, untuk dihubungkan dengan Trans TV.

5. Surya Paloh

Surya Paloh telah terbiasa berbisnis sejak masih remaja di Pematang Siantar, Sumatra Utara. Sembari bersekolah, dia berdagang teh, ikan asin, karung goni, dan lain-lain. Menginjak SMA, dia bekerja menjadi manajer sebuah Travel Biro. Setamat SMA, sambil berkuliah di Fakultas Hukum USU (Universitas Sumatra Utara), Surya juga dipercaya mengelola sebuah wisma pariwisata. Pada saat yang bersamaan, Surya juga dipercaya menjadi direktur utama sebuah PT distributor mobil Ford dan Volkswagen di Medan. Kemudian pada 1975 ditunjuk pula menjadi kuasa usaha hotel Ika Darroy Aceh. Pria kelahiran Aceh 16 Juli 1951 ini kemudian merantau ke Jakarta pada 1977 untuk mulai berbisnis di sana. Sejak saat itu pula dia mulai terjun ke dunia publishing, antara lain dengan memimpin surat kabar Prioritas. Tahun 1987, Teuku Yousli Syah selaku pendiri surat kabar Media Indonesia menggandeng Surya untuk memimpin surat kabar tersebut dan membentuk manajemen baru di bawah PT Citra Media Nusa Permana. Surya Paloh semakin mengembangkan bisnis medianya itu dengan membentuk Media Group, termasuk di dalamnya mendirikan stasiun tv Metro TV pada 25 Oktober 1999, yang merupakan stasiun tv berita pertama di Indonesia. Selain bisnis, Surya juga aktif di dunia politik, termasuk mendirikan partai baru Nasional Demokrat. Di partai ini dia bersinergi dengan raja media lain, Hary Tanoesudibjo yang berhasil membawa partai ini menjadi satu-satunya partai baru yang lolos verifikasi KPU untuk pemilu 2014 walau akhirnya harus berpisah karena adanya perbedaan kepentingan diantara keduanya.

6. Abu Rizal Bakrie

Aburizal Bakrie lahir di Jakarta, 15 November 1946, Dia adalah anak sulung dari keluarga Achmad Bakrie, pendiri Kelompok Usaha Bakrie, dan akrab dipanggil Ical. Selepas menyelesaikan kuliah di Fakultas Elektro Institut Teknologi Bandung pada 1973, Ical memilih fokus mengembangkan perusahaan keluarga, dan terakhir sebelum menjadi anggota kabinet, dia memimpin Kelompok Usaha Bakrie (1992-2004). Dia menguasai media di Indonesia melalui anak sulungnya Anindya Bakrie, atau biasa dipanggil Anin. Pria muda kelahiran 10 November 1974 inilah yang menjabat sebagai presiden direktur dari Bakrie Telecom dan Visi Media Asia, yang mengelola stasiun tv ANTV dan TV One serta media online Vivanews.com.

7. Sariatmadja

Pemilik 99% saham SCTV adalah PT Surya Citra Media (SCM). Nah, sebanyak 77% saham SCM dikuasai oleh Keluarga Sariaatmadja lewat PT Abhimata Mediatama. Keluarga itu juga memiliki PT Elang Mahkota Teknologi (Emtek)—pemegang lisensi tunggal komputer merek Compaq di Indonesia—yang berkongsi dengan PT Mugi Rekso Abadi (MRA, bentukan pengusaha Adiguna Soetowo)—dalam mendirikan O Channel. You might also like:
http://www.unikgaul.com/2013/02/7-ra...indonesia.html



Dominasi Pemilik Media Terhadap Kebijakan Pemberitaan
April 23, 2013

Hanya sebagian jurnalis yang memahami Kode Etik Jurnalistik, demikian hasil penelitian Dewan Pers terhadap 1200 responden jurnalis berbagai jenis media di 33 provinsi. Hal tersebut disampaikan oleh Jimmy Silalahi, anggota Dewan Pers dan Pelaksana Harian Pengurus Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) dalam Seminar Dominasi Pemilik Media terhadap Kebijakan Pemberitaan, Rabu (17/04) di Hotel Horison Semarang.

Dalam seminar yang diselenggarakan atas kerja sama Monumen Pers Nasional dengan Jurusan Ilmu Komunikasi dan Magister Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro ini dihadiri sekitar 150 peserta terdiri dari para pengajar dan mahasiswa, instansi pemerintah, aktivis pers mahasiswa dan kalangan jurnalis lokal. Pembicara yang dihadirkan antara lain: Dr. Henry Subiakto, Staf Ahli Menteri Bidang Komunikasi dan Media Massa Kementerian Kominfo; Dr. Sunarto, Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro; dan Jimmy Silalahi, S.Pi.

Lebih lanjut menurut Jimmy, data pengaduan masyarakat ke Dewan Pers mayoritas mengeluhkan tentang pemberitaan yang tidak berimbang dan kekerasan terhadap jurnalis akibat pemberitaan. Kurangnya objektivitas jurnalis ini sering disebabkan arah pemberitaan yang disetir sesuai keinginan pemilik modal. Untuk itu regulator penyiaran sebagai pemegang amanat UU Penyiaran wajib bertindak tegas dalam penegakan hukum terkait adanya monopoli kepemilikan media.

Dr. Sunarto yang menyampaikan tentang dampak dominasi pemilik media juga memaparkan peta kepemilikan media di Indonesia. Kelompok usaha media dominan saat ini adalah Jawa Pos Group, Kompas Gramedia Group, dan Global Mediacom (MNC Group). Dalam hal pemilik media berperan sebagai pemimpin umum atau pemimpin redaksi, mereka berpengaruh langsung terhadap isi pemberitaan, apa saja yang boleh dan tidak boleh dipublikasikan oleh wartawannya. Kepentingan ekonomi dan politik para pemilik media pada akhirnya tampak lebih dominan dibandingkan dengan kebijakan redaksi mereka.semarang

Sedangkan Dr. Henry Subiakto menyoroti antisipasi monopoli media melalui RUU Penyiaran yang mengatur pelarangan aktor penyiaran menjadi pengurus partai politik, mengatur konten wajib netral dan berimbang, mengatur struktur yang melarang digunakan untuk mendahulukan partai politik tertentu, serta mengatur kepemilikan untuk menghindari konsentrasi dan monopoli. Revisi Undang-undang Penyiaran tersebut sudah memasuki tahap daftar isian masalah untuk dibahas bersama DPR.
http://mpn.kominfo.go.id/index.php/2...n-pemberitaan/

-----------------------------

Kalau saya sebagai seorang beragama, muslim, kebenaran itu tak perlu lagi dicari-cari di dunia ini (termasuk di media), karena sudah ada, tinggal mau pakai atau mau ditolak, yaitu Al-Qur'an

.....
Diubah oleh AkuCintaNanea 14-11-2013 15:04
0
5.3K
20
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan