- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
[ LIMITED EDITION ] CATATAN HARIAN PRESIDEN SOEKARNO


TS
matii.rasa
[ LIMITED EDITION ] CATATAN HARIAN PRESIDEN SOEKARNO
![[ LIMITED EDITION ] CATATAN HARIAN PRESIDEN SOEKARNO](https://s.kaskus.id/images/2014/02/06/6284988_20140206094428.gif)
Quote:
Spoiler for bagian 1:
DARI jenis binatang pra sejarah yang digali di kepulauan kami, ahli‐ahli purbakala membuktikan bahwa setengah juta tahun yang lalu pulau Jawa sudah didiami orang. Kebudayaan kami adalah kebudayaan purba. Bukalah buku Ramayana. Di dalamnya o...rang akan membaca keterangan mengenai “Negeri Suarna Dwipa yang mempunyai tujuh buah kerajaan besar”. Suarna Dwipa, yang berarti pulau‐pulau emas, adalah nama negeri kami pada waktu ia diabadikan dalam cerita‐cerita klasik Hindu duaribu limaratus
tahun yang lalu. Dari abad kesembilan ketika negeri kami bernama Keradjaan Sriwijaya sampai abad keempatbelas waktu negeri kami bernama Majapahit, kami punya “negeri yang terkenal makmur telah mencapai tingkatan ilmu yang demikian tinggi sehingga menjadi pusat ilmu pengetahuan bagi seluruh
dunia beradab”. Demikianlah keterangan yang terdapat dalam surat‐surat, gulung perkamen yang berharga dari negeri Tiongkok dan menurut dugaan adalah bibit dari kebudayaan seluruh Asia. Negeri kami masih tersohor dalam lingkungan internasional ketika Christopher Columbus mencari kepulauan.
Rempah‐rempah gugusan pulau‐pulau yang sekarang kita namakan Kepulauan Maluku. Seumpama Columbus tidak berlayar mencari jahe, buah pala, lada dan cengkeh kami dan tidak sesat pula di jalan, tentu dia tidak akan menemukan benua Amerika. Ketika jalan laut menudju Hindia akhirnya ditemukan orang, modal asing mengerumuni pantai kami, seperti semut mengerumuni tempat gula. Dari Lisboa datanglah Vasco’da Gama. Dari negeri Belanda Cornelis de Houtman: Ini merupakan titik tanda dimulainya “Revolusi Perdagangan” di Eropa.
Kapitalisme ini tumbah hingga ia mengenyangkan lapangan eksploitasi dalam masyarakat mereka sendiri. Barang‐barang yang sebelumnya diimpor dari Timur, sekarang sudah diekspor ke Timur; jadi Timur menjadi pasar‐pasar tambahan untuk barang‐barang berlebih. Daerah Timur menjadi suatu pasar untuk modal berlebih yang tidak lagi bisa memperoleh jalan keluar. Liberalisme dalam ekonomi lalu membawa Liberalisme dalam politik. Untuk mengendalikan ekonomi dari negara lain, terlebih dulu negara itu harus ditaklukkan. Pedagang‐pedagang menjadi penakluk; bangsa‐bangsa Asia‐Afrika dijajah dan kelobaan ini membuka pintu kepada jaman Imperialisme. Jawa diduduki diabad ke 16; Maluku diabad ke 17 dan lambat laun Negeri Belanda menguasai kepulauan kami secara berturut‐turut hingga ke Bali yang baru dikuasai di tahun 1906. Dengan cepat kekuasaan asing menanamkan akar‐akarnya. Mereka
mengambil kekayaan kami, mengikis kepribadian kami dan musnalah Putera‐puteri harapan bangsa dari suatu Bangsa yang Besar yang pandai melukis, mengukir, membuat lagu, menciptakan tari. Kami tidak
lagi dikenal oleh dunia luar, kecuali oleh penghisap‐penghisap dari Barat yang mencari kemewahan di Hindia. Akibat daripada Imperialisme sungguh jahat sekali. Orang laki‐laki diambil dari rumahnya dan dipaksa menjadi budak di pulau‐pulau yang jauh, dimana terdapat kekurangan tenaga manusia.
Perempuan‐perempuan dipaksa bekerja di kebun tarum dan mereka tidak boleh menghentikan pekerjaannya, sekalipun melahirkan pada waktu menanam. Tempe adalah bungkah yang lunak dan murah terbuat dari kacang kedele yang diberi ragi. Negeri tempe berarti negeri yang lemah.
Itulah kami jadinya. Kami terus‐menerus dikatakan sebagai bangsa yang mempunyai otak seperti kapas. Kami menjadi pengecut; takut duduk, takut berdiri, karena apapun yang kami lakukan selalu salah. Kaml menjadi rakyat seperti dodol dengan hati yang kecil. Kami lemah seperti katak dan lembut seperti kapok. Kami menjadi suatu bangsa yang hanya dapat membisikkan, “Ya tuan”, Sampai sekarang orang Indonesia masih terbawa‐bawa oleh sifat rendah diri, yang masih saja mereka pegang teguh secara tidak sadar. Hal itu menyebabkan kemarahanku baru‐baru ini. Wanita‐wanita dari kabinetku selalu menyediakan jualan makanan Eropa. “Kita mempunyai panganan enak kepunyaan kita sendiri,” kataku dengan marah.
tahun yang lalu. Dari abad kesembilan ketika negeri kami bernama Keradjaan Sriwijaya sampai abad keempatbelas waktu negeri kami bernama Majapahit, kami punya “negeri yang terkenal makmur telah mencapai tingkatan ilmu yang demikian tinggi sehingga menjadi pusat ilmu pengetahuan bagi seluruh
dunia beradab”. Demikianlah keterangan yang terdapat dalam surat‐surat, gulung perkamen yang berharga dari negeri Tiongkok dan menurut dugaan adalah bibit dari kebudayaan seluruh Asia. Negeri kami masih tersohor dalam lingkungan internasional ketika Christopher Columbus mencari kepulauan.
Rempah‐rempah gugusan pulau‐pulau yang sekarang kita namakan Kepulauan Maluku. Seumpama Columbus tidak berlayar mencari jahe, buah pala, lada dan cengkeh kami dan tidak sesat pula di jalan, tentu dia tidak akan menemukan benua Amerika. Ketika jalan laut menudju Hindia akhirnya ditemukan orang, modal asing mengerumuni pantai kami, seperti semut mengerumuni tempat gula. Dari Lisboa datanglah Vasco’da Gama. Dari negeri Belanda Cornelis de Houtman: Ini merupakan titik tanda dimulainya “Revolusi Perdagangan” di Eropa.
Kapitalisme ini tumbah hingga ia mengenyangkan lapangan eksploitasi dalam masyarakat mereka sendiri. Barang‐barang yang sebelumnya diimpor dari Timur, sekarang sudah diekspor ke Timur; jadi Timur menjadi pasar‐pasar tambahan untuk barang‐barang berlebih. Daerah Timur menjadi suatu pasar untuk modal berlebih yang tidak lagi bisa memperoleh jalan keluar. Liberalisme dalam ekonomi lalu membawa Liberalisme dalam politik. Untuk mengendalikan ekonomi dari negara lain, terlebih dulu negara itu harus ditaklukkan. Pedagang‐pedagang menjadi penakluk; bangsa‐bangsa Asia‐Afrika dijajah dan kelobaan ini membuka pintu kepada jaman Imperialisme. Jawa diduduki diabad ke 16; Maluku diabad ke 17 dan lambat laun Negeri Belanda menguasai kepulauan kami secara berturut‐turut hingga ke Bali yang baru dikuasai di tahun 1906. Dengan cepat kekuasaan asing menanamkan akar‐akarnya. Mereka
mengambil kekayaan kami, mengikis kepribadian kami dan musnalah Putera‐puteri harapan bangsa dari suatu Bangsa yang Besar yang pandai melukis, mengukir, membuat lagu, menciptakan tari. Kami tidak
lagi dikenal oleh dunia luar, kecuali oleh penghisap‐penghisap dari Barat yang mencari kemewahan di Hindia. Akibat daripada Imperialisme sungguh jahat sekali. Orang laki‐laki diambil dari rumahnya dan dipaksa menjadi budak di pulau‐pulau yang jauh, dimana terdapat kekurangan tenaga manusia.
Perempuan‐perempuan dipaksa bekerja di kebun tarum dan mereka tidak boleh menghentikan pekerjaannya, sekalipun melahirkan pada waktu menanam. Tempe adalah bungkah yang lunak dan murah terbuat dari kacang kedele yang diberi ragi. Negeri tempe berarti negeri yang lemah.
Itulah kami jadinya. Kami terus‐menerus dikatakan sebagai bangsa yang mempunyai otak seperti kapas. Kami menjadi pengecut; takut duduk, takut berdiri, karena apapun yang kami lakukan selalu salah. Kaml menjadi rakyat seperti dodol dengan hati yang kecil. Kami lemah seperti katak dan lembut seperti kapok. Kami menjadi suatu bangsa yang hanya dapat membisikkan, “Ya tuan”, Sampai sekarang orang Indonesia masih terbawa‐bawa oleh sifat rendah diri, yang masih saja mereka pegang teguh secara tidak sadar. Hal itu menyebabkan kemarahanku baru‐baru ini. Wanita‐wanita dari kabinetku selalu menyediakan jualan makanan Eropa. “Kita mempunyai panganan enak kepunyaan kita sendiri,” kataku dengan marah.
Spoiler for bagian2:
“Mengapa tidak itu saja dihidangkan?”. “Ma’af, Pak,” kata mereka dengan penyesalan, “Tentu bikin malu kita saja. Kami rasa orang Barat memandang rendah pada makanan kita yang melarat.” Ini adalah suatu pemantulan kembali dan pada jaman dima...na Belanda masih berkuasa. Itulah perasaan rendah diri kami yang telah berabad‐abad umurnya kembali memperlihatkan diri. Ejekan yang terus‐menerus dipompakan oleh pemerintah Hindia Belanda tentang ketidakmampuan kami, menyebabkan kami yakin akan hal tersebut. Dan keyakinan bahwa engkau bangsa yang hina, lagi bodoh adalah suatu senjata yang ada dalam tangan penjajah. lmperialisme adaIah kumpulan kekuatan jahat yang nampak dan yang tidak nampak. Penindasan yang sudah demikian lama dirasakan menyebabkan bangkitnya suatu masa para pelopor. Sun Yat Sen mendirikan Gerakan Nasional Tiongkok di tahun 1885. Kongres Nasional India: di tahun 1887. Aguinaldo dan Rizal membangkitkan Filipina. Di tahun‐tahun permulaan abad ke‐20.
Seluruh Asia bangkit dan di abad keduapulah yang megah ini, dalam mana isolasi tidak akan terjadi lagi, maka bangsa Indonesia yang lemah dan pemalu itupun dapat merasakan gelora daripada kebangkitan ini. Dalam bulan Mei 1908 para pemimpin di Jawa menyusun partai nasional yang pertama dengan nama “Budi Utomo”, yang artinya “Usaha yang Suci”. Di tahun 1912 organisasi ini memberi jalan kepada Sarekat Islam yang mempunyai anggota sebanyak dua setengah juta orang dibawah pimpinan H.O.S. Tjokro Aminoto. Bangsa Indonesia yang menderita secara perseorangan sekarang mulai menyatukan diri dan persatuan nasional mulai tersebar.
Ia lahir di Jakarta, akan tetapi sang bayi baru pertamakali melangkahkan kakinya di Surabaya. Di tahun 1916 maka Surabaya merupakan kota pelabuhan yang sangat sibuk dan ribut, lebih menyerupai kota New York. Pelabuhannya baik dan menjadi pusat perdagangan yang aktif. Ia menjadi suatu kota industri yang penting dengan pertukaran yang cepat dalam perdagangan gula, teh, tembakau, kopi. Ia menjadi kota tempat perlombaan dagang yang kuat dan orang‐orang Tionghoa yang cerdas ditambah dengan arus yang besar dan para pelaut dan pedagang yang membawa berita‐berita dari segala penjuru dunia. Penduduknya semakin bertambah, terdiri dari pekerja pelabuhan dan pekerja bengkel yang masih muda‐muda dan yang bersemangat menyala‐nyala. la
menjadi kota dimana bergolak persaingan, pemboikotan, perkelahian di jalan‐jalan. Kota itu bergolak dengan ketidakpuasan dari orang‐orang revolusioner. Ke tengah‐tengah kancah yang mendidih demikian itulah seorang anak ibu berumur 15 tahun masuk dengan menjinjing sebuah tas kecil.
Keluarga Tjokroaminoto terdiri dari enam orang. Yaitu Pak dan Bu Tjokro, anak‐anaknya Harsono yang 12 tahun lebih muda daripadaku, Anwar 10 tahun lebih muda, puteri mereka Utari lima tahun lebih muda dan seorang bayi, Pak Tjokro semata‐mata bekerja sebagai Ketua Sarekat Islam dan penghasilannya tidak banyak. Dia tinggal di kampung yang penuh sesak tidak jauh dari sebuah kali. Menyimpang dari jalanan yang sejajar dengan kali itu ada sebuah gang dengan deretan rumah dikiri‐kanannya dan ia terlalu sempit untuk jalan mobil. Gang kami namanya Gang 7 Peneleh. Pada seperempat jalan jauhnya masuk ke gang itu berdirilah sebuah rumah buruk dengan paviliun setengah melekat. Rumah itu dibagi menjadi sepuluh kamar‐kamar kecil, termasuk ruang loteng. Keluarga Pak Tjokro tinggal di depan; kami yang bayar makan di belakang. Sungguhpun semua kamar sama melaratnya, akan tetapi anak‐anak yang sudah bertahun‐tahun bayar makan mendapat kamar yang namanya saja lebih baik. Kamarku tidak pakai jendela sama sekali. Dan tidak berpintu. Di dalam sangat gelap, sehingga aku terpaksa menghidupkan lampu terus‐menerus sekalipun di siang hari.
Duniaku yang gelap ini mempunyai sebuah meja goyah tempatku menyimpan buku, sebuah kursi kayu, sangkutan baju dan sehelai tikar rumput. Tidak ada kasur. Dan tidak ada bantal. Surabaya di waktu itu sudah menikmati kemegahan lampu listrik. Setiap kamar mempunyai fitting dan setiap pembajar‐makan membajar ekstra untuk lampu. Hanya kamarku yang tidak punya. Aku tidak punya uang untuk membeli bolanya. Aku belajar sampai jauh malam dengan memakai pelita. Bahkan akupun tidak mampu membeli kelambu untuk menutupi balai‐balai dan supaya terhindar dari nyamuk. Kamar itu kecil seperti kandang ayam. Tidak ada udara segar dan menjadi sarang serangga. Akan tetapi karena tak ada orang lain yang mau tinggal denganku di kamar yang gelap itu, maka setidak‐tidaknya aku dapat memilikinya untuk diriku sendiri.
Sewanya 11 rupiah, termasuk makan. Atau secara perhitungan kasarnya empat dolar sebulan. Bapak mengirimiku uang duabelas rupiah setengah, dengan sisanya limapuluh sen untuk uang saku. Di tahun 1917 bapak dipindahkan ke Blitar. Karena pemindahan ini merupakan kenaikan jabatan, nasib bapak berubah sedikit. Oleh sebab itu ia dapat mengirimiku $ 1,50 untuk uang saku setiap bulannya. Memang sukar bagi seorang inlander untuk memasuki H.B.S. Disamping $ 15,00 sebulan untuk uang sekolah dan pet seragam bertuliskan H.B.S., kami harus membayar lagi $ 75,00 setiap tahun untuk uang buku. Aku ingat betul jumlah ini, karena aku menghitung setiap rupiahnya. Kujaga agar jangan ada yang terpakai secara tidak disengaja. Walaupun aku anak yang patuh, harus kuakui, bahwa aku menulis surat pulang hanya kalau dalam kesempitan saja. Kukira ini sama saja dengan setiap anak muda, bukan?
Dengan tidak usah membuka surat‐suratku terlebih dulu bapakpun sudah tahu isinya, bahwa si Karno minta uang. Suratku kepada orangtuaku selalu dimulai dengan kalimat manis yang itu‐itu juga dan tidak pernah berubah‐ubah: “Bapak dan lbu yang tercinta saya berada dalam keadaan sehat‐sehat saja dan harapan saja tentu agar Bapak dan Ibu keduanya demikian pula hendaknya.”
Kemudian setelah salam itu, dibaris yang ketiga aku langsung menyampaikan maksud yang terpenting.Aku menulis, “Sekarang saya sedang kekurangan uang. Apakah Bapak dan lbu dapat mengirimi barang sedikit?” Disamping ibuku yang penyayang itu selalu mengirimiku secara diam‐diam satu atau dua rupiah bila ia punya uang, akupun mengusahakan sumber lain. Pak Poegoeh, suami kakakku. Mereka tinggal sekira 50 kilometer dari Surabaya dan Pak Poegoeh selalu memberiku uang lima rupiah untuk ongkos pulang. Karena uang itu tidak habis semua untuk ongkos perjalanan, maka aku sering menemui mereka.
Pak Poegoeh enam tahun lebih tua daripadaku dan bekerja di kantor irigasi dari Departemen Pekerjaan Umum. Sekalipun kami seperti kakak beradik, aku tak pernah minta bantuan uang kepadanya secara terang‐terangan. Cara orang Jawa kebanyakan tidak langsung. Kuminta kepada kakakku yang
menyampaikannya pula kepadanya. Dan permintaan ini kupikirkan lebih dulu semasak‐masaknya. Aku tak pernah meminta di luar batas yang kuperkirakan dapat diperoleh dengan mudah.
Seluruh Asia bangkit dan di abad keduapulah yang megah ini, dalam mana isolasi tidak akan terjadi lagi, maka bangsa Indonesia yang lemah dan pemalu itupun dapat merasakan gelora daripada kebangkitan ini. Dalam bulan Mei 1908 para pemimpin di Jawa menyusun partai nasional yang pertama dengan nama “Budi Utomo”, yang artinya “Usaha yang Suci”. Di tahun 1912 organisasi ini memberi jalan kepada Sarekat Islam yang mempunyai anggota sebanyak dua setengah juta orang dibawah pimpinan H.O.S. Tjokro Aminoto. Bangsa Indonesia yang menderita secara perseorangan sekarang mulai menyatukan diri dan persatuan nasional mulai tersebar.
Ia lahir di Jakarta, akan tetapi sang bayi baru pertamakali melangkahkan kakinya di Surabaya. Di tahun 1916 maka Surabaya merupakan kota pelabuhan yang sangat sibuk dan ribut, lebih menyerupai kota New York. Pelabuhannya baik dan menjadi pusat perdagangan yang aktif. Ia menjadi suatu kota industri yang penting dengan pertukaran yang cepat dalam perdagangan gula, teh, tembakau, kopi. Ia menjadi kota tempat perlombaan dagang yang kuat dan orang‐orang Tionghoa yang cerdas ditambah dengan arus yang besar dan para pelaut dan pedagang yang membawa berita‐berita dari segala penjuru dunia. Penduduknya semakin bertambah, terdiri dari pekerja pelabuhan dan pekerja bengkel yang masih muda‐muda dan yang bersemangat menyala‐nyala. la
menjadi kota dimana bergolak persaingan, pemboikotan, perkelahian di jalan‐jalan. Kota itu bergolak dengan ketidakpuasan dari orang‐orang revolusioner. Ke tengah‐tengah kancah yang mendidih demikian itulah seorang anak ibu berumur 15 tahun masuk dengan menjinjing sebuah tas kecil.
Keluarga Tjokroaminoto terdiri dari enam orang. Yaitu Pak dan Bu Tjokro, anak‐anaknya Harsono yang 12 tahun lebih muda daripadaku, Anwar 10 tahun lebih muda, puteri mereka Utari lima tahun lebih muda dan seorang bayi, Pak Tjokro semata‐mata bekerja sebagai Ketua Sarekat Islam dan penghasilannya tidak banyak. Dia tinggal di kampung yang penuh sesak tidak jauh dari sebuah kali. Menyimpang dari jalanan yang sejajar dengan kali itu ada sebuah gang dengan deretan rumah dikiri‐kanannya dan ia terlalu sempit untuk jalan mobil. Gang kami namanya Gang 7 Peneleh. Pada seperempat jalan jauhnya masuk ke gang itu berdirilah sebuah rumah buruk dengan paviliun setengah melekat. Rumah itu dibagi menjadi sepuluh kamar‐kamar kecil, termasuk ruang loteng. Keluarga Pak Tjokro tinggal di depan; kami yang bayar makan di belakang. Sungguhpun semua kamar sama melaratnya, akan tetapi anak‐anak yang sudah bertahun‐tahun bayar makan mendapat kamar yang namanya saja lebih baik. Kamarku tidak pakai jendela sama sekali. Dan tidak berpintu. Di dalam sangat gelap, sehingga aku terpaksa menghidupkan lampu terus‐menerus sekalipun di siang hari.
Duniaku yang gelap ini mempunyai sebuah meja goyah tempatku menyimpan buku, sebuah kursi kayu, sangkutan baju dan sehelai tikar rumput. Tidak ada kasur. Dan tidak ada bantal. Surabaya di waktu itu sudah menikmati kemegahan lampu listrik. Setiap kamar mempunyai fitting dan setiap pembajar‐makan membajar ekstra untuk lampu. Hanya kamarku yang tidak punya. Aku tidak punya uang untuk membeli bolanya. Aku belajar sampai jauh malam dengan memakai pelita. Bahkan akupun tidak mampu membeli kelambu untuk menutupi balai‐balai dan supaya terhindar dari nyamuk. Kamar itu kecil seperti kandang ayam. Tidak ada udara segar dan menjadi sarang serangga. Akan tetapi karena tak ada orang lain yang mau tinggal denganku di kamar yang gelap itu, maka setidak‐tidaknya aku dapat memilikinya untuk diriku sendiri.
Sewanya 11 rupiah, termasuk makan. Atau secara perhitungan kasarnya empat dolar sebulan. Bapak mengirimiku uang duabelas rupiah setengah, dengan sisanya limapuluh sen untuk uang saku. Di tahun 1917 bapak dipindahkan ke Blitar. Karena pemindahan ini merupakan kenaikan jabatan, nasib bapak berubah sedikit. Oleh sebab itu ia dapat mengirimiku $ 1,50 untuk uang saku setiap bulannya. Memang sukar bagi seorang inlander untuk memasuki H.B.S. Disamping $ 15,00 sebulan untuk uang sekolah dan pet seragam bertuliskan H.B.S., kami harus membayar lagi $ 75,00 setiap tahun untuk uang buku. Aku ingat betul jumlah ini, karena aku menghitung setiap rupiahnya. Kujaga agar jangan ada yang terpakai secara tidak disengaja. Walaupun aku anak yang patuh, harus kuakui, bahwa aku menulis surat pulang hanya kalau dalam kesempitan saja. Kukira ini sama saja dengan setiap anak muda, bukan?
Dengan tidak usah membuka surat‐suratku terlebih dulu bapakpun sudah tahu isinya, bahwa si Karno minta uang. Suratku kepada orangtuaku selalu dimulai dengan kalimat manis yang itu‐itu juga dan tidak pernah berubah‐ubah: “Bapak dan lbu yang tercinta saya berada dalam keadaan sehat‐sehat saja dan harapan saja tentu agar Bapak dan Ibu keduanya demikian pula hendaknya.”
Kemudian setelah salam itu, dibaris yang ketiga aku langsung menyampaikan maksud yang terpenting.Aku menulis, “Sekarang saya sedang kekurangan uang. Apakah Bapak dan lbu dapat mengirimi barang sedikit?” Disamping ibuku yang penyayang itu selalu mengirimiku secara diam‐diam satu atau dua rupiah bila ia punya uang, akupun mengusahakan sumber lain. Pak Poegoeh, suami kakakku. Mereka tinggal sekira 50 kilometer dari Surabaya dan Pak Poegoeh selalu memberiku uang lima rupiah untuk ongkos pulang. Karena uang itu tidak habis semua untuk ongkos perjalanan, maka aku sering menemui mereka.
Pak Poegoeh enam tahun lebih tua daripadaku dan bekerja di kantor irigasi dari Departemen Pekerjaan Umum. Sekalipun kami seperti kakak beradik, aku tak pernah minta bantuan uang kepadanya secara terang‐terangan. Cara orang Jawa kebanyakan tidak langsung. Kuminta kepada kakakku yang
menyampaikannya pula kepadanya. Dan permintaan ini kupikirkan lebih dulu semasak‐masaknya. Aku tak pernah meminta di luar batas yang kuperkirakan dapat diperoleh dengan mudah.
Spoiler for bagian 3:
Sebagai hasil dari kebijaksanaan semacam ini aku kadang‐kadang mendapat lebih dari pada yang kuminta. Terasa hari libur sangat menyenangkan apabila hadiah itu datang karena aku lalu bisa menjamu kawan‐kawanku dengan kopi atau jajan. H.B.S. ...terletak satu kilometer dari Gang Paneleh. Setiap anak mempunyai sepeda. Aku sendiri yang tidak. Biasanya aku membonceng dengan salah seorang kawan atau berjalan kaki. Aku mulai menabung dan menabung terus dan ketika uangku terkumpul delapan rupiah, kubeli Fongers yang hitam mengkilat, sepeda keluaran Negeri Belanda. Aku merawatnya bagai seorang ibu. Ia kugosok‐gosok. Kupegang‐pegang. Kubelai‐belai. Pada suatu kali Harsono yang berumur tujuh tahun secara diam‐diam memakai sepedaku itu dan menabrakkannya ke pohon kayu. Seluruh bagian mukanya patah. Harsono ketakutan. Ia tidak berani mengatakan padaku, dan ketika aku
mendengar berita itu, kusepak pantatnya dengan keras. Kasihan Harsono. Ia menangis. Ia berteriak. Berminggu‐minggu lamanya aku tergoncang oleh Fongersku yang hitam mengkilat itu yang sekarang sudah bengkok‐bengkok. Akhirnya aku dapat mengumpulkan delapan rupiah lagi dan membeli lagi
sepeda yang lain tapi untuk Harsono. Sekali dalam seminggu aku menikmati satu‐satunya kesenanganku Film, Aku sangat menyukaina. Betapapun, caraku menonton sangat berbeda dengan anak‐anak Belanda. Aku duduk ditempat yang paling murah. Coba pikir, keadaanku begitu melarat, sehingga aku hanya dapat menyewa tempat di belakang layar. Kaudengar?, Di belakang layar!! Di waktu itu belum ada film bicara, jadi aku harus membaca teksnya dan terbalik dan masih dalam bahasa Belanda! lama‐kelamaan aku menjadi biasa dengan keadaan itu sehingga aku dapat dengan cepat membaca teks itu dari kanan ke kiri. Aku tidak peduli, karena tak ada cara lain lagi. Bahkan aku bersyukur karena masih bisa menyaksikannya. Saat satu‐satunya yang menyebabkan aku kecewa ialah, bila dipertunjukkan film adu tinju. Aku sama
sekali tak dapat menaksir, tangan siapa yang melakukan pukulan.
Dimasa itu “Yankee Doodle” yang menjadi lagu kegemaranku. Mereka memutarnya pada tiap istirahat dan sambil duduk seorang diri dalam gelap di belakang layar aku menyanjikannya dengan lunak untuk diriku sendiri. Sampai sekarang aku masih menyanyikan lagu itu. Pada suatu kali sebuah sirkus datang ke kota kami. Dalam pertunjukan itu mereka melepaskan merpati‐merpati dan kalau ada yang hinggap di bahu seseorang, itulah yang memenangkan hadiah. Kami segera mengetahui bahwa, ketika burung itu
hinggap pada teman kami, yang sama‐sama bayar makan, hadiahnya seekor kuda. Jadi berkupullah kami, Suarli pemenang yang beruntung itu, kami pemuda lainnya sebanyak setengah lusin dan seekor kuda tua yang sudah letih. Kami tidak dapat akal akan diapakan kuda itu. Tapi kami harus membawanya keluar, karena itu kami bawa ia pulang. Di bagian belakang rumah ada pekarangan, akan tetapi tidak ada jalan untuk bisa sampai ke tempat itu kecuali melalui tengah rumah. Dengan tenang kami buka pintu serambi muka dan rumah Pemimpin Besar Rakyat Jawa dan mempawaikan kuda kami melalui kamar duduk, terus ke halaman belakang dimana ia ditambatkan ke batang sawo.
Tak seorangpun di antara kami yang punya uang untuk membeli makan mulut orang lain, sekalipun mulut itu kepunyaan seekor kuda. Begitulah, dua hari kemudian Suarli menjualnya. Kecuali satu sirkus dan film, masa itu bukanlah masa yang menggembirakan bagiku. Aku tidak mempunyai kesenangan semasa mudaku. Aku terlalu serius. Aku tidak mengikuti kesenangan seperti yang dialami oleh anak‐anak sekolah yang lain. Mungkin apa yang dinamakan tindakan kegila‐gilaan sebagaimana yang dituduhkan kepadaku sekarang, adalah semacam imbangan untuk mengejar kerugian di masa muda. Tidak ada kesenangankesenangan yang menyegarkan dalam kehidupanku hingga aku berumur 50 tahun. Kegembiraan yang kucari sekarang mungkin sebagai usahaku untuk menutupi segala sesuatu yang tidak pernah kunikmati di masa muda, sebelum waktunya terlambat. Aku tidak tahu dengan pasti. Aku tak pernah memikirkannya hingga datang waktunya bagiku untuk menjalankan pembedahan diri dengan jalan otobiografi ini.
Bagaimanapun juga, ini adalah percakapan antara kita antara engkau, pembaca, denganku. Dan karena aku berbicara dan gelora hati yang meluap‐luap, kemudian merenungkan semua ini sebagai kesedihanku
di masa yang silam, aku merasa mungkin juga benar bahwa aku sedang berusaha mengimbangi kekurangan diriku sendiri sekarang. Pendeknya, aku tidak mengalami masa senang di Surabaya. Pada waktu aku mula datang, aku menangis setiap hari. Ah, aku sangat kehilangan ibu tak dapat kuceritakan kepadamu betapa Wanita senantiasa memberikan pengaruh yang besar dalam hidupku. Sekarang, aku tidak punya ibu, tidak ada nenek untuk membujukku yang selamanya mengagumiku, tidak ada Sarinah yang dengan tekun menjagaku. Aku merasa sebatang kara. Bu Tjokro adalah seorang wanita yang manis dengan perawakan kecil bagus. Dia sendirilah yang mengumpulkan uang makan kami saban minggu. Dialah yang membuat peraturan seperti: (l) Makan malam jam sembilan dan barangsiapa yang datang terlambat tidak dapat makan. (2) Anak sekolah sudah harus ada di kamarnya jam 10 malam. (3) Anak sekolah harus bangun jam empat pagi untuk belajar. (4) Main‐main dengan anak gadis dilarang. Aku memelihara hubungan rapat dengan Bu Tjokro, akan tetapi dia terlalu sibuk untuk dapat memperhatikanku sebagai seorang ibu. Karena memerlukan hati seorang perempuan, aku menoleh pada
Mbok Tambeng, perempuan pembantu rumah tangga, untuk menghiburku. Dia menjadi pengganti ibuku. Dia menambal celanaku. Dia tahu bahwa gado‐gado adalah kegemaranku, karena itu dia suka menyusupkan ekstra untukku. Mbok sayang kepadaku, tapi ah! aku sangat merindukan kasih sayang itu. Masih saja si Mbok tidak bisa menjadi penghibur yang cukup bagi seorang anak yang halus perasaannya. Jiwaku menjerit‐jerit mencari kepercayaan hati, bahkan hati seorang bapak kemana aku dapat menoleh. Pak Tjokro bukanlah orangnya.
mendengar berita itu, kusepak pantatnya dengan keras. Kasihan Harsono. Ia menangis. Ia berteriak. Berminggu‐minggu lamanya aku tergoncang oleh Fongersku yang hitam mengkilat itu yang sekarang sudah bengkok‐bengkok. Akhirnya aku dapat mengumpulkan delapan rupiah lagi dan membeli lagi
sepeda yang lain tapi untuk Harsono. Sekali dalam seminggu aku menikmati satu‐satunya kesenanganku Film, Aku sangat menyukaina. Betapapun, caraku menonton sangat berbeda dengan anak‐anak Belanda. Aku duduk ditempat yang paling murah. Coba pikir, keadaanku begitu melarat, sehingga aku hanya dapat menyewa tempat di belakang layar. Kaudengar?, Di belakang layar!! Di waktu itu belum ada film bicara, jadi aku harus membaca teksnya dan terbalik dan masih dalam bahasa Belanda! lama‐kelamaan aku menjadi biasa dengan keadaan itu sehingga aku dapat dengan cepat membaca teks itu dari kanan ke kiri. Aku tidak peduli, karena tak ada cara lain lagi. Bahkan aku bersyukur karena masih bisa menyaksikannya. Saat satu‐satunya yang menyebabkan aku kecewa ialah, bila dipertunjukkan film adu tinju. Aku sama
sekali tak dapat menaksir, tangan siapa yang melakukan pukulan.
Dimasa itu “Yankee Doodle” yang menjadi lagu kegemaranku. Mereka memutarnya pada tiap istirahat dan sambil duduk seorang diri dalam gelap di belakang layar aku menyanjikannya dengan lunak untuk diriku sendiri. Sampai sekarang aku masih menyanyikan lagu itu. Pada suatu kali sebuah sirkus datang ke kota kami. Dalam pertunjukan itu mereka melepaskan merpati‐merpati dan kalau ada yang hinggap di bahu seseorang, itulah yang memenangkan hadiah. Kami segera mengetahui bahwa, ketika burung itu
hinggap pada teman kami, yang sama‐sama bayar makan, hadiahnya seekor kuda. Jadi berkupullah kami, Suarli pemenang yang beruntung itu, kami pemuda lainnya sebanyak setengah lusin dan seekor kuda tua yang sudah letih. Kami tidak dapat akal akan diapakan kuda itu. Tapi kami harus membawanya keluar, karena itu kami bawa ia pulang. Di bagian belakang rumah ada pekarangan, akan tetapi tidak ada jalan untuk bisa sampai ke tempat itu kecuali melalui tengah rumah. Dengan tenang kami buka pintu serambi muka dan rumah Pemimpin Besar Rakyat Jawa dan mempawaikan kuda kami melalui kamar duduk, terus ke halaman belakang dimana ia ditambatkan ke batang sawo.
Tak seorangpun di antara kami yang punya uang untuk membeli makan mulut orang lain, sekalipun mulut itu kepunyaan seekor kuda. Begitulah, dua hari kemudian Suarli menjualnya. Kecuali satu sirkus dan film, masa itu bukanlah masa yang menggembirakan bagiku. Aku tidak mempunyai kesenangan semasa mudaku. Aku terlalu serius. Aku tidak mengikuti kesenangan seperti yang dialami oleh anak‐anak sekolah yang lain. Mungkin apa yang dinamakan tindakan kegila‐gilaan sebagaimana yang dituduhkan kepadaku sekarang, adalah semacam imbangan untuk mengejar kerugian di masa muda. Tidak ada kesenangankesenangan yang menyegarkan dalam kehidupanku hingga aku berumur 50 tahun. Kegembiraan yang kucari sekarang mungkin sebagai usahaku untuk menutupi segala sesuatu yang tidak pernah kunikmati di masa muda, sebelum waktunya terlambat. Aku tidak tahu dengan pasti. Aku tak pernah memikirkannya hingga datang waktunya bagiku untuk menjalankan pembedahan diri dengan jalan otobiografi ini.
Bagaimanapun juga, ini adalah percakapan antara kita antara engkau, pembaca, denganku. Dan karena aku berbicara dan gelora hati yang meluap‐luap, kemudian merenungkan semua ini sebagai kesedihanku
di masa yang silam, aku merasa mungkin juga benar bahwa aku sedang berusaha mengimbangi kekurangan diriku sendiri sekarang. Pendeknya, aku tidak mengalami masa senang di Surabaya. Pada waktu aku mula datang, aku menangis setiap hari. Ah, aku sangat kehilangan ibu tak dapat kuceritakan kepadamu betapa Wanita senantiasa memberikan pengaruh yang besar dalam hidupku. Sekarang, aku tidak punya ibu, tidak ada nenek untuk membujukku yang selamanya mengagumiku, tidak ada Sarinah yang dengan tekun menjagaku. Aku merasa sebatang kara. Bu Tjokro adalah seorang wanita yang manis dengan perawakan kecil bagus. Dia sendirilah yang mengumpulkan uang makan kami saban minggu. Dialah yang membuat peraturan seperti: (l) Makan malam jam sembilan dan barangsiapa yang datang terlambat tidak dapat makan. (2) Anak sekolah sudah harus ada di kamarnya jam 10 malam. (3) Anak sekolah harus bangun jam empat pagi untuk belajar. (4) Main‐main dengan anak gadis dilarang. Aku memelihara hubungan rapat dengan Bu Tjokro, akan tetapi dia terlalu sibuk untuk dapat memperhatikanku sebagai seorang ibu. Karena memerlukan hati seorang perempuan, aku menoleh pada
Mbok Tambeng, perempuan pembantu rumah tangga, untuk menghiburku. Dia menjadi pengganti ibuku. Dia menambal celanaku. Dia tahu bahwa gado‐gado adalah kegemaranku, karena itu dia suka menyusupkan ekstra untukku. Mbok sayang kepadaku, tapi ah! aku sangat merindukan kasih sayang itu. Masih saja si Mbok tidak bisa menjadi penghibur yang cukup bagi seorang anak yang halus perasaannya. Jiwaku menjerit‐jerit mencari kepercayaan hati, bahkan hati seorang bapak kemana aku dapat menoleh. Pak Tjokro bukanlah orangnya.
Spoiler for bagian4:
Seorang pemimpin hanya tertarik pada soal‐soal politik. Bahunya bukanlah tempat bersandar untuk menangis. Atau tangannya bukanlah tempat merebahkan diri dengan enak. Sekalipun demikian Pak Tjokro sangat senang kepadaku. Kasih sajangnya ini ...dinyatakannya terutama di musim kemarau tahun 1918. Biasanya aku pulang mengunjungi orang tuaku dalam waktu libur. Dalam dua bulan libur tinggal di Blitar aku merencanakan pergi ke tempat kawan‐kawan untuk sehari di Wlingi, yang jaraknya 20 kilometer dari Blitar. Semua rencana telah disiapkan dan dengan keinginan yang besar menghadapi tujuan aku melambai kepada bapak, mencium ibu dan memulai perjalananku. Aku baru saja sampai di rumah kawan‐kawanku ketika bahana menggemuruh yang menakutkan memenuhi angkasa dan tanah bergoncang‐goncang di bawah kakiku. Perempuan‐perempuan tua yang ketakutan, anak‐anak yang menjerit dan para pekerja yang letih oleh membanting tulang terpencar keluar dari pondok‐pondok mereka menuju kampung yang penuh sesak. Ketakutan, kebingungan dan kekacauan menghinggapi rakyat kampung.
Raksasa Gunung Kelud, gunung berapi di Blitar, mencari saat itu untuk menunjukkan kemurkaan dari Dewa‐dewa. Langit menjadi hitam oleh arang dan abu bermil‐mil jauhnya. Di mana‐mana ledakan lahar. Daerah itu diselubungi oleh asap, api dan racun. Dengan kekuatan yang hebat lahar yang mendidih‐didih mencurah menuruni lereng gunung ke tempat yang lebih rendah dan menggenang di sana antara Blitar dan Wlingi. Banyak orang yang mati. Aku sangat kuatir karena kutahu orang tuaku tentu sangat susah memikirkan diriku …. Hidupkah dia …. Matikah dia. Mereka sadar, bahwa anaknya berada tepat di jalan dimana gunung itu memuntahkan isinya dan mereka tidak dapat memperoleh berita.Sementara itu aku mendengar, bahwa separo negeri kami telah kena landa, karena itu pikiranku dilumpulkan oleh kekuatiran tentang apakah yang mungkin terjadi terhadap orang tuaku. Aku harus kembali secepat mungkin, akan tetapi tidak ada kendaraan yang bagaimanapun bentuknya yang dapat menyeberangi lautan lahar yang menggelora itu. Akhirnja, satu‐satunya jalan yang harus ditempuh ialah dengan mengarunginya berjalan kaki. Selagi lahar masih agak panas, aku mulai melangkahkan kaki menuju jalan pulang. Aku masih jauh ketika mereka menampakku, lalu datang berlari‐lari menyongsongku di tengah jalan. Mereka memelukku. Mereka menciumku.
Raksasa Gunung Kelud, gunung berapi di Blitar, mencari saat itu untuk menunjukkan kemurkaan dari Dewa‐dewa. Langit menjadi hitam oleh arang dan abu bermil‐mil jauhnya. Di mana‐mana ledakan lahar. Daerah itu diselubungi oleh asap, api dan racun. Dengan kekuatan yang hebat lahar yang mendidih‐didih mencurah menuruni lereng gunung ke tempat yang lebih rendah dan menggenang di sana antara Blitar dan Wlingi. Banyak orang yang mati. Aku sangat kuatir karena kutahu orang tuaku tentu sangat susah memikirkan diriku …. Hidupkah dia …. Matikah dia. Mereka sadar, bahwa anaknya berada tepat di jalan dimana gunung itu memuntahkan isinya dan mereka tidak dapat memperoleh berita.Sementara itu aku mendengar, bahwa separo negeri kami telah kena landa, karena itu pikiranku dilumpulkan oleh kekuatiran tentang apakah yang mungkin terjadi terhadap orang tuaku. Aku harus kembali secepat mungkin, akan tetapi tidak ada kendaraan yang bagaimanapun bentuknya yang dapat menyeberangi lautan lahar yang menggelora itu. Akhirnja, satu‐satunya jalan yang harus ditempuh ialah dengan mengarunginya berjalan kaki. Selagi lahar masih agak panas, aku mulai melangkahkan kaki menuju jalan pulang. Aku masih jauh ketika mereka menampakku, lalu datang berlari‐lari menyongsongku di tengah jalan. Mereka memelukku. Mereka menciumku.
Diubah oleh matii.rasa 06-02-2014 05:52
0
16K
Kutip
90
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan