- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Potret Toleransi Pengungsi Banjir dan Pengurus Gereja Koinonia
TS
yokono
Potret Toleransi Pengungsi Banjir dan Pengurus Gereja Koinonia
Quote:
Potret Toleransi Pengungsi Banjir dan Pengurus Gereja Koinonia
Written By : Sindu Dharmawan | 31 January 2014 |14:50
KBR68H - Lebih dari seribu pengungsi banjir di Jakarta
Timur ditampung Gereja Koinonia. Tanpa melihat latar
belakang agama , suku, ras dan antar-golongan,
pengurus gereja melayani pengungsi dengan ikhlas.
KBR68H datang ke sana berbincang dengan pengungsi
dan pengurus gereja.
Mendung menggelayuti langit Jakarta. Pagi itu,
sejumlah pengungsi banjir yang berada di halaman
gereja Koinonia Jatinegara, Jakarta Timur duduk
bergerombol. Tua-muda, lelaki-perempuan, dan anak-
anak. Sebagian barang pengungsi yang dikemas dalam
kotak kardus dan tas plastik berserakan di lantai dan
sudut bangunan. Pengungsi ini berasal dari Jatinegara,
Bukit Duri dan Kebon Pala.
Dua pengungsi banjir beragama Islam menceritakan
kesannya tinggal sementara di gereja. “Di sini
(halaman gereja, red). Kalau sore gelar (tikar untuk
istirahat) gitu. Kira-kira jam 8 malam, mulai digelar,
kalau pagi beres-beres. (KBR68H: Kalau di lantas atas
bangunan gereja penuh pengungsi, Bu?) Penuh, lantai
dua, lantai tiga. Ini lantai utama. Enak saja di sini,
tinggal makan. (Enggak ada yang kurang, atau
dikeluhkan?) Enggak ada. Alahmdulillah. Apa-apa
masalah nasi juga enggak kekurangan, pakaian,” kata
Imas, sambil memangku anaknya.
Rani menimpali, “Pada nerima itu, asli yang punya
gereja sini. (Ibu senang bisa diterima di sini?) Senang,
senang. (Pelayanannya pihak gereja bagaimana, Bu?)
Baik-baik. Ini dikasih makan, gitu. (Apa saja yang
diperoleh di sini?) Ya, makan, obat-obatan, gitu. (Ibu
ada menderita demam selama ini?) Ya, ada sih,
namanya kehujanan terus, kehujanan. (Ibu tidur di
bawah?) Enggak, saya di atas, lantai 3,” ujar
perempuan 58 tahun ini.
Gedung serba guna gereja yang berukuran sekitar 5
kali 10 meter digunakan khusus untuk menampung
pengungsi yang tengah hamil atau baru melahirkan.
Pengungsi dari Bukit Duri, Lia Rosanti yang baru
melahirkan anak keempatnya menuturkan. “Ya, campur.
Ada sedih, ada senang, campur deh. Senangnya itu kita
kesusahan enggak sendiri, kesusahan itu rame-rame.
Ya, sedihnya begitu. Senangnya itu banyak yang bantu
dari macam-macam. Banyak yang merhatiin lah,”
ungkap Lia di samping bayi laki-lakinya.
Muslimah ini mengaku kagum dengan pihak gereja yang
menerima baik semua pengungsi, tanpa memandang
latar belakang agama.“Saya sebelumnya memang
sudah sangat benar-benar berterima kasih dengan
pihak gereja, sudah membantu kita semua di sini.
Terutama kan bayi-bayi yang masih, maksudnya
diutamakan lah. Dari kesehatan, makanan, pakaian,
semua mereka bantu, tanpa memandang agama, kaya
atau miskin, atau apa, yang penting niat dia
membantu,” ungkap Lia sembari memakan nasi
bungkus yang baru dibagikan oleh pihak gereja, “ kata
Lia.
Di ruang sekretariat gereja, para pengurus rumah
ibadah Nasrani sibuk menata dan mengatur bantuan
yang mengalir untuk pengungsi. Pelaksana Harian
Majelis Jemaat Gereja Koinonia, Eddy Suranto
menjelaskan lebih dari sepekan para pengungsi
ditampung .
“Dari hari pertama tanggal 13 ya itu, sampai sekarang.
Jadi,awal mulai banjir, bencana, sampai sekarang.
(Ditampung di mana saja ini, Pak?)Di pendopo, lantai
satu, dua, gedung serbaguna, dan halaman. Jadi,
kurang lebih 1200. Per lantai itu kurang lebih 300-400,
itu banyak itu. Jadi, yaang di sini itu di serbaguna kita
khususkan untuk balita, dan ibu yang hamil ,” jelas pria
dari Jawa Tengah tersebut.
Jemaat gereja merasa tak terganggu dengan kehadiran
pengungsi banjir yang melanda warga Ibu Kota . Yuce
Isbandi menuturkan acara ibadah tetap berjalan seperti
biasanya. Namun acara seperti pemberkatan
pernikahan untuk sementara dibatalkan. “Si empunya
pesta menyingkirkan pestanya ke gedung lain, ini tetap
untuk pengungsi. Jadi, didahulukan orang yang sedang
menikah, daripada dia buat pesta di sini,” kata
perempuan ini.
Pelaksana gereja Eddy Suranto menegaskan upaya
membantu pengungsi banjir semata-mata atas dasar
kemanusiaan. “Merupakan program untuk pelayanan
dan kesaksian kita. Jadi, untuk membagi kasih kepada
orang-orang yang tertimpa musibah ini. Jadi, kita tidak
ada tendensi apa-apa. Tanpa memandang suku,
agama, ras, apa. Yang penting kita kemanusiaan, dia
membutuhkan, kita bantu. (Apa yang ingin ditunjukkan
Gereja kepada masyarakat luas?) Kita sebetulnya.
Sebagai kesaksian saja, kita sebagai, sama-sama di
dalam kehidupan kita kan saling membutuhkan lah,
saling membutuhkan antar kehidupan manusia lah,”
tegasnya.
Pengurus gereja kata Eddy tak melarang pengungsi
beragama Islam beribadah di lingkungan gereja. Pihak
gereja bahkan mengingatkan pengungsi yang sebagian
besar Muslim untuk beribadah ketika waktu sholat tiba.
Semua itu dilakukan atas nama kemanusiaan dan
kepedulian kepada sesama.
Editor: Taufik Wijaya
SUMBER
Written By : Sindu Dharmawan | 31 January 2014 |14:50
KBR68H - Lebih dari seribu pengungsi banjir di Jakarta
Timur ditampung Gereja Koinonia. Tanpa melihat latar
belakang agama , suku, ras dan antar-golongan,
pengurus gereja melayani pengungsi dengan ikhlas.
KBR68H datang ke sana berbincang dengan pengungsi
dan pengurus gereja.
Mendung menggelayuti langit Jakarta. Pagi itu,
sejumlah pengungsi banjir yang berada di halaman
gereja Koinonia Jatinegara, Jakarta Timur duduk
bergerombol. Tua-muda, lelaki-perempuan, dan anak-
anak. Sebagian barang pengungsi yang dikemas dalam
kotak kardus dan tas plastik berserakan di lantai dan
sudut bangunan. Pengungsi ini berasal dari Jatinegara,
Bukit Duri dan Kebon Pala.
Dua pengungsi banjir beragama Islam menceritakan
kesannya tinggal sementara di gereja. “Di sini
(halaman gereja, red). Kalau sore gelar (tikar untuk
istirahat) gitu. Kira-kira jam 8 malam, mulai digelar,
kalau pagi beres-beres. (KBR68H: Kalau di lantas atas
bangunan gereja penuh pengungsi, Bu?) Penuh, lantai
dua, lantai tiga. Ini lantai utama. Enak saja di sini,
tinggal makan. (Enggak ada yang kurang, atau
dikeluhkan?) Enggak ada. Alahmdulillah. Apa-apa
masalah nasi juga enggak kekurangan, pakaian,” kata
Imas, sambil memangku anaknya.
Rani menimpali, “Pada nerima itu, asli yang punya
gereja sini. (Ibu senang bisa diterima di sini?) Senang,
senang. (Pelayanannya pihak gereja bagaimana, Bu?)
Baik-baik. Ini dikasih makan, gitu. (Apa saja yang
diperoleh di sini?) Ya, makan, obat-obatan, gitu. (Ibu
ada menderita demam selama ini?) Ya, ada sih,
namanya kehujanan terus, kehujanan. (Ibu tidur di
bawah?) Enggak, saya di atas, lantai 3,” ujar
perempuan 58 tahun ini.
Gedung serba guna gereja yang berukuran sekitar 5
kali 10 meter digunakan khusus untuk menampung
pengungsi yang tengah hamil atau baru melahirkan.
Pengungsi dari Bukit Duri, Lia Rosanti yang baru
melahirkan anak keempatnya menuturkan. “Ya, campur.
Ada sedih, ada senang, campur deh. Senangnya itu kita
kesusahan enggak sendiri, kesusahan itu rame-rame.
Ya, sedihnya begitu. Senangnya itu banyak yang bantu
dari macam-macam. Banyak yang merhatiin lah,”
ungkap Lia di samping bayi laki-lakinya.
Muslimah ini mengaku kagum dengan pihak gereja yang
menerima baik semua pengungsi, tanpa memandang
latar belakang agama.“Saya sebelumnya memang
sudah sangat benar-benar berterima kasih dengan
pihak gereja, sudah membantu kita semua di sini.
Terutama kan bayi-bayi yang masih, maksudnya
diutamakan lah. Dari kesehatan, makanan, pakaian,
semua mereka bantu, tanpa memandang agama, kaya
atau miskin, atau apa, yang penting niat dia
membantu,” ungkap Lia sembari memakan nasi
bungkus yang baru dibagikan oleh pihak gereja, “ kata
Lia.
Di ruang sekretariat gereja, para pengurus rumah
ibadah Nasrani sibuk menata dan mengatur bantuan
yang mengalir untuk pengungsi. Pelaksana Harian
Majelis Jemaat Gereja Koinonia, Eddy Suranto
menjelaskan lebih dari sepekan para pengungsi
ditampung .
“Dari hari pertama tanggal 13 ya itu, sampai sekarang.
Jadi,awal mulai banjir, bencana, sampai sekarang.
(Ditampung di mana saja ini, Pak?)Di pendopo, lantai
satu, dua, gedung serbaguna, dan halaman. Jadi,
kurang lebih 1200. Per lantai itu kurang lebih 300-400,
itu banyak itu. Jadi, yaang di sini itu di serbaguna kita
khususkan untuk balita, dan ibu yang hamil ,” jelas pria
dari Jawa Tengah tersebut.
Jemaat gereja merasa tak terganggu dengan kehadiran
pengungsi banjir yang melanda warga Ibu Kota . Yuce
Isbandi menuturkan acara ibadah tetap berjalan seperti
biasanya. Namun acara seperti pemberkatan
pernikahan untuk sementara dibatalkan. “Si empunya
pesta menyingkirkan pestanya ke gedung lain, ini tetap
untuk pengungsi. Jadi, didahulukan orang yang sedang
menikah, daripada dia buat pesta di sini,” kata
perempuan ini.
Pelaksana gereja Eddy Suranto menegaskan upaya
membantu pengungsi banjir semata-mata atas dasar
kemanusiaan. “Merupakan program untuk pelayanan
dan kesaksian kita. Jadi, untuk membagi kasih kepada
orang-orang yang tertimpa musibah ini. Jadi, kita tidak
ada tendensi apa-apa. Tanpa memandang suku,
agama, ras, apa. Yang penting kita kemanusiaan, dia
membutuhkan, kita bantu. (Apa yang ingin ditunjukkan
Gereja kepada masyarakat luas?) Kita sebetulnya.
Sebagai kesaksian saja, kita sebagai, sama-sama di
dalam kehidupan kita kan saling membutuhkan lah,
saling membutuhkan antar kehidupan manusia lah,”
tegasnya.
Pengurus gereja kata Eddy tak melarang pengungsi
beragama Islam beribadah di lingkungan gereja. Pihak
gereja bahkan mengingatkan pengungsi yang sebagian
besar Muslim untuk beribadah ketika waktu sholat tiba.
Semua itu dilakukan atas nama kemanusiaan dan
kepedulian kepada sesama.
Editor: Taufik Wijaya
SUMBER
Quote:
semoga enggak, hari ini ngungsi besok nyegel
kempez memberi reputasi
1
2.1K
Kutip
27
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan