“The new Sherlock is awesome! w00t! #Sherlocked #SherlockIsAlive”

“Finally! #WeMetTheMother!”

“Community Season 5 is not cool… It’s cool cool cool… #SixSeasonAndAMovie”

Percaya atau tidak, beberapa tweet di atas ada di timeline Twitter saya, dan saya hampir tidak pernah mem-follow kawan-kawan dengan bahasa ibu selain bahasa Indonesia.

Saya yakin beberapa dari anda pernah melihat tweet seperti itu, terutama beberapa hari setelah sebuah film berseri dirilis di negeri Paman Sam.

“Perbedaan zona waktu menyebabkan saya tidak bisa menonton lanjutan serial ini tepat pada waktu penayangannya, karena saya sedang sibuk bekerja untuk membayar cicilan empat gadget terbaru saya” adalah alasan yang lumrah dijadikan jurus pamungkas untuk menjawab pertanyaan:


“Kenapa download sih?”

Saya sendiri tidak lepas dari “dosa” yang satu ini. External Harddisk saya penuh dengan film seri yang tertata rapi berdasarkan judul, musim, bahkan genre.

Dari mana saya mendapatkannya?

Dari sebuah anugerah Tuhan yang bernama Torrent.

Bagaimana cara kerjanya?

Saya akan menjawab dengan monolog dari Jordan Belfort di film The Wolf of Wall Street (yang saya tonton di bioskop, tapi tetap saya tunggu versi Torrent-nya karena alasan censorship yang keterlaluan): “Saya rasa kamu juga tidak akan mengerti bila saya jelaskan, tapi intinya adalah pertanyaan apakah ini legal?


Dan jawabannya: absolutely f*cking not.”

Ya, menggunakan Torrent adalah salah satu tindak pembajakan yang paling terang-terangan. Berbagai jenis data dapat ditemukan dengan mengetahui kata kunci yang tepat.

Dan umumnya, kita dapat melihat orang-orang yang bukan lagi “Torrent Virgin” dengan melihat reaksi mereka saat kita menanyakan mengenai beberapa istilah seperti BRRip, DVDRip, atau bahkan CamRip.

Bagi yang tidak tahu, ini adalah kode-kode kualitas film yang diunggah. Umumnya, orang menantikan versi BRRip, yang menyatakan bahwa konten diambil dari Bluray, sehingga menjanjikan kualitas yang sangat memanjakan.

Tapi saya harus mengakui satu hal, bahkan di antara sesama “penyedot” (jangan berpikiran kotor, saya hanya berusaha menerjemahkan istilah leech ke dalam bahasa Indonesia), terjadi kesenjangan sosial.

Segelintir orang menikmati angin surga konten ilegal ini dengan koneksi super cepat yang mereka peroleh dari koneksi internet broadband yang dibayar secara pribadi (termasuk 4G yang sedang ramai belakangan ini), sementara kebanyakan justru menjadi kaum 99%, bermodalkan secangkir kopi di sebuah kafe, berusaha menyedot sebanyak mungkin konten dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Maka, jika anda berada di sebuah kafe dan tiba-tiba koneksi terasa melambat, anda boleh sedikit curiga akan keberadaan golongan ini di sekitar anda.

Tahun 2009, pemilik The Pirate Bay, salah satu situs yang diklaim memiliki Torrent terlengkap diadili, dinyatakan bersalah, diminta membayar denda hingga 3,5 juta dolar, dan diputuskan untuk menyerahkan seluruh server kepada negara Swedia.

Sayangnya, bak Robin Hood, mereka justru dielu-elukan sebagai pahlawan rakyat kecil, atau di Indonesia, pahlawan kelas menengah (mengingat rakyat kecil lebih membutuhkan makanan, dengan maupun tanpa logo partai politik, daripada koneksi internet) yang menginginkan untuk menonton film atau konten berkualitas—sesuatu yang sudah hampir punah dari layar kaca, dengan biaya minim.

Apakah ini sesuatu yang benar dilakukan?

Secara mendasar, tidak. Apakah ini sesuatu yang boleh dilakukan?

Saya bukan polisi moral, saya tidak dalam posisi untuk menghakimi karena saya juga melakukannya, maka saya akan menjawab sediplomatis mungkin: Ketika kita mampu membeli konten orisinal, lakukanlah.

Ketika memang terpepet, ya sudah lah Torrent saja.

Karena sesungguhnya terpepet dapat dijadikan pembenaran di hampir semua hal.


Korupsi karena terpepet saja banyak yang kasusnya menguap, bukan?

Di rate yah Agan2 Aganwati, thanks