- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
LIPI Tawarkan Solusi Jakarta Bebas Banjir


TS
noviaputrii
LIPI Tawarkan Solusi Jakarta Bebas Banjir

Quote:
Peneliti Senior Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Profesor Jan Sopaheluwakan, mengatakan sudah pernah menawarkan solusi kepada pemerintah agar Jakarta tahan bencana. Solusi ini dibuat dalam rangka sayembara yang diadakan Kementerian Pekerjaan Umum.
"Konsep ini harusnya sudah diketahui PU, minimal pejabat eselon satu dan Jokowi," kata Jan dalam konferensi pers, Kamis, 23 Januari 2014. Menurut dia, solusi itu dibuat dengan belajar dari pengalaman kota-kota di Asia, seperti Tokyo, Osaka, Seoul, Manila, Taipei, dan Bangkok.
Konsep yang ditelurkan LIPI bernama Blue-Green Metropolis Jakarta 2030. Secara garis besar, idenya menjadikan Jakarta sebagai kota yang di tengahnya berupa perairan. Wilayah tengah ini adalah daerah yang kerap tergenang."Itu di perpotongan Kali Sekretaris, Kali Pesanggrahan, dan Cengkareng Drain."
Saat ini di dalam kawasan tersebut, tata guna lahan berubah. "Yang untuk permukiman jadi untuk industri, padahal industrinya kurang beri nilai tambah dan terus kebanjiran."
Menurut dia, daripada terus kebanjiran, wilayah itu bisa sekalian menjadi kolam besar seluas 200 hektare yang dalamnya 200 meter. Kemudian, di sekitarnya dibangun permukiman vertikal bagi kelas menengah.
Ini untuk mengembalikan kelas menengah atas ke tengah kota. Tidak seperti sekarang, ketika kelas menengah tersebar di pinggir kota dan harus commuting, misalnya dari BSD ke pusat Kota Jakarta memakan waktu 2,5 jam. "Sekarang yang di tengah kota itu kalau tidak kaya sekali, ya, miskin sekali," kata Jan. Ia menyebut kelas menengah bisa dikembalikan ke tengah kota dengan memberi subsidi berupa bunga apartemen rendah.
Di luar lingkaran permukiman kelas menengah, bisa disediakan permukiman kelas menengah-bawah, sehingga tidak jauh dari lokasi kerja mereka. "Tetap ada keselarasan antara fisik, lingkungan, dengan sosial." Warga kelas menengah-bawah tinggal di sekitar kota, sehingga tidak perlu pergi jauh untuk bekerja.
Untuk memulai konsep ini, industri yang sekarang menduduki wilayah tak efektif itu harus ditindak. Dengan begitu, daerah banjir bisa dikonversi menjadi kota. Di sekitar kota dengan perairan itu dirancang sistem transportasi yang bisa menjangkau wilayah strategis, termasuk transportasi air. Bahkan, bisa dilakukan aqua-farming.
Jan yakin konsep ini bisa diterapkan. "Ini bukan mimpi. Saya optimistis karena kita tidak kurang keahlian," katanya. Tapi konsep ini hanya akan berjalan jika ditawarkan ke dua gubernur yang konsisten dalam dua periode.
Meski demikian, dia belum memperhitungan biaya konsep tersebut. Selain itu, pelaksanaannya pun perlu otoritas khusus yang lebih besar dari Jakarta. "Dan perlu pengawasan publik."
"Konsep ini harusnya sudah diketahui PU, minimal pejabat eselon satu dan Jokowi," kata Jan dalam konferensi pers, Kamis, 23 Januari 2014. Menurut dia, solusi itu dibuat dengan belajar dari pengalaman kota-kota di Asia, seperti Tokyo, Osaka, Seoul, Manila, Taipei, dan Bangkok.
Konsep yang ditelurkan LIPI bernama Blue-Green Metropolis Jakarta 2030. Secara garis besar, idenya menjadikan Jakarta sebagai kota yang di tengahnya berupa perairan. Wilayah tengah ini adalah daerah yang kerap tergenang."Itu di perpotongan Kali Sekretaris, Kali Pesanggrahan, dan Cengkareng Drain."
Saat ini di dalam kawasan tersebut, tata guna lahan berubah. "Yang untuk permukiman jadi untuk industri, padahal industrinya kurang beri nilai tambah dan terus kebanjiran."
Menurut dia, daripada terus kebanjiran, wilayah itu bisa sekalian menjadi kolam besar seluas 200 hektare yang dalamnya 200 meter. Kemudian, di sekitarnya dibangun permukiman vertikal bagi kelas menengah.
Ini untuk mengembalikan kelas menengah atas ke tengah kota. Tidak seperti sekarang, ketika kelas menengah tersebar di pinggir kota dan harus commuting, misalnya dari BSD ke pusat Kota Jakarta memakan waktu 2,5 jam. "Sekarang yang di tengah kota itu kalau tidak kaya sekali, ya, miskin sekali," kata Jan. Ia menyebut kelas menengah bisa dikembalikan ke tengah kota dengan memberi subsidi berupa bunga apartemen rendah.
Di luar lingkaran permukiman kelas menengah, bisa disediakan permukiman kelas menengah-bawah, sehingga tidak jauh dari lokasi kerja mereka. "Tetap ada keselarasan antara fisik, lingkungan, dengan sosial." Warga kelas menengah-bawah tinggal di sekitar kota, sehingga tidak perlu pergi jauh untuk bekerja.
Untuk memulai konsep ini, industri yang sekarang menduduki wilayah tak efektif itu harus ditindak. Dengan begitu, daerah banjir bisa dikonversi menjadi kota. Di sekitar kota dengan perairan itu dirancang sistem transportasi yang bisa menjangkau wilayah strategis, termasuk transportasi air. Bahkan, bisa dilakukan aqua-farming.
Jan yakin konsep ini bisa diterapkan. "Ini bukan mimpi. Saya optimistis karena kita tidak kurang keahlian," katanya. Tapi konsep ini hanya akan berjalan jika ditawarkan ke dua gubernur yang konsisten dalam dua periode.
Meski demikian, dia belum memperhitungan biaya konsep tersebut. Selain itu, pelaksanaannya pun perlu otoritas khusus yang lebih besar dari Jakarta. "Dan perlu pengawasan publik."
sumber: TEMPO
sepertinya boleh juga nih idenya, memang Jakarta butuh tempat penampungan air besar2an ya, bagaimana pendapat kalian?


Quote:
LIPI: Pemerintah Tidak Kompak Atasi Banjir
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menyebut pemerintah belum kompak mengatasi akar masalah banjir. Peneliti senior Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Profesor Jan Sopaheluwakan, mengatakan ini terjadi di tingkat pemerintah pusat dengan daerah maupun antardaerah dan kota.
"Ini masalah penataan kewenangan. Kewenangan sekarang terpotong-potong antara pemerintah pusat dengan provinsi dan kotamadya," katanya di sela konferensi pers, Kamis, 23 Januari 2014. Menurut dia, sekarang antara pemerintah provinsi dan pemerintah kota berlomba membangun daerahnya tanpa harmonisasi.
Bukti teranyar adalah beda pendapat antara Pemerintah Provinsi DKI dan Pemerintah Kota Depok soal ide sodetan Cisadane untuk mengatasi banjir di Ibu Kota. "Mereka masih lihat kepentingannya masing-masing."
Padahal Jan menyebutkan kekompakan masyarakat tercermin dari cara mengatur air, seperti di Bali. "Masyarakat yang mau bekerja sama itu, lihat dari airnya. Misalnya di Bali, semua mau kasih lewat air."
Tapi Jan maklum masih ada egoisme karena belum jelas pembagian keuntungan di antara pemerintah provinsi dan pemerinah kota jika pembangunan dikombinasikan. "Transfer of benefit-nya belum ketemu, pemkot akan dapat keuntungan dari mana kalau mereka tidak membangun sendiri?"
Adapun dia memandang pemerintah pusat belum mengkoordinasi pembangunan secara menyeluruh, baru berada di tataran niat. "Saya lihat keinginannya ada, tapi realisasi perlu waktu."
Namun Jan tak banyak berharap pada tahun politik ini. "Sekarang tahun pemilu. Jadi sementara mungkin mikirnya bagaimana biar rumah enggak kebanjiran. Jika terus begini, wilayah tergenang akan makin luas, makin dalam, dan makin lama."
sumber: TEMPO
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menyebut pemerintah belum kompak mengatasi akar masalah banjir. Peneliti senior Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Profesor Jan Sopaheluwakan, mengatakan ini terjadi di tingkat pemerintah pusat dengan daerah maupun antardaerah dan kota.
"Ini masalah penataan kewenangan. Kewenangan sekarang terpotong-potong antara pemerintah pusat dengan provinsi dan kotamadya," katanya di sela konferensi pers, Kamis, 23 Januari 2014. Menurut dia, sekarang antara pemerintah provinsi dan pemerintah kota berlomba membangun daerahnya tanpa harmonisasi.
Bukti teranyar adalah beda pendapat antara Pemerintah Provinsi DKI dan Pemerintah Kota Depok soal ide sodetan Cisadane untuk mengatasi banjir di Ibu Kota. "Mereka masih lihat kepentingannya masing-masing."
Padahal Jan menyebutkan kekompakan masyarakat tercermin dari cara mengatur air, seperti di Bali. "Masyarakat yang mau bekerja sama itu, lihat dari airnya. Misalnya di Bali, semua mau kasih lewat air."
Tapi Jan maklum masih ada egoisme karena belum jelas pembagian keuntungan di antara pemerintah provinsi dan pemerinah kota jika pembangunan dikombinasikan. "Transfer of benefit-nya belum ketemu, pemkot akan dapat keuntungan dari mana kalau mereka tidak membangun sendiri?"
Adapun dia memandang pemerintah pusat belum mengkoordinasi pembangunan secara menyeluruh, baru berada di tataran niat. "Saya lihat keinginannya ada, tapi realisasi perlu waktu."
Namun Jan tak banyak berharap pada tahun politik ini. "Sekarang tahun pemilu. Jadi sementara mungkin mikirnya bagaimana biar rumah enggak kebanjiran. Jika terus begini, wilayah tergenang akan makin luas, makin dalam, dan makin lama."
sumber: TEMPO
Diubah oleh noviaputrii 03-02-2014 11:10
0
3.4K
Kutip
35
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan