Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

aryasaketiAvatar border
TS
aryasaketi
Pengaruh Syiah pada Budaya di Indonesia
A Hasjmy yang menyatakan (kira-kira) bahwa Islam yang pertama menyebar di Indonesia ialah Islam aliran Syiah. Bahkan Hasjmy menulis bahwa Kerajaan Perlak adalah kerajaan Islam pertama di Nusantara

Pengaruh SYIAH pada Budaya di Indonesia:

1. Di Pariaman, Sumatera Barat, misalnya, ada tradisi arak-arakkan yang dinamakan “Hayok Tabui” pada setiap Muharram. Tradisi ini sangat kental dipengaruhi oleh Syiah ketimbang Sunni. Arak-arakan semacam itu dikenal di kalangan muslim Syiah sebagai peringatan terhadap tragedi berdarah yang menimpa cucu Nabi Saww, Sayyidina Husain.

2. Dalam tradisi Jawa “Grebeg Suro” kita juga menemukan adanya pengaruh Syiah. Kebiasaan orang Jawa yang lebih menganggap Muharram sebagai bulan nahas merupakan pengaruh dari Syiah yang juga menganggap Muharram sebagai bulan nahas dengan tewasnya Sayyidina Husain. Karenanya, orang-orang Jawa berpantang menggelar perayaan nikah atau membangun rumah pada bulan “Suro” atau Muharram.

3. Di tatar Sunda, daerah penulis lahir dan berdiam, pada bulan Muharram dikenal tradisi mengadakan bubur “beureum-bodas” (merah-putih), dan dikenal dengan istilah bibur Suro. Konon, “merah” pada bubur perlambang darah syahid Sayyidina Husain, dan putih perlambang kesucian nurani Sayyidina Husain.
Demikian pula dengan cerita-cerita perihal “Tongkat Ali” (ingat kisah Prabu Kian Santang) dan “rumput Fatimah”, jelas sangat kental pengaruh Syiah ketimbang Sunni.

4. Rentetan pengaruh Syiah dalam tradisi-tradisi keagamaan di Nusantara akan bertambah panjang dengan bahasan mengenai Marhaba, Shalawatan Diba’, Tahlil Arwah, Haul, Kenduri. Khusus kenduri, sangat nyata dipengaruhi oleh tradisi Syiah. Karena dipungut dari bahasa Persia, “Kanduri”, yang berarti tradisi makan-makan untuk memperingati Fatimah Az-Zahrah, puteri Nabi Muhammad Saw.

Di Bengkulu, misalnya, anda akan menemukan pengaruh Syiah dalam tradisi Tabut. Demikian pula pengaruh Syiah tercermin jelas dalam tari Saman di Aceh. Bahkan universitas di Aceh bernama Syiah Kuala.

Sedangkan di Tatar Sunda, pengaruh kental Syiah dirasakan melalui tradisi “bubur Syuro”, yang mewakilkan darah Husain dengan warna merah, dan sucinya ke-syahidan Imam Husain dengan warna putih. Sejarawan Agus Sunyoto bahkan menambahkan tradisi Tahlil dan kenduri di Indonesia sebagai warisan dari tradisi Syiah di Indonesia.

Sehingga sangat tepat jika Alm. Gus Dur pernah berujar bahwa NU adalah Syiah secara kultural. Satu-satunya yang membedakannya adalah paham mengenai Imamah, yang dianut oleh Syiah, tetapi tidak oleh NU. (Meskipun dalam kitab-kitab hadis yang dipelajari oleh santri NU memuat hadis mengenai “imamah”).

Di pesantren tempat penulis menimba ilmu saat ini pun, kitab-kitab yang dikarang oleh penulis ber-madzhab Syiah dipelajari dan dikaji secara mendalam. “Nailul Awthor”, misalnya, dikarang syi`ah oleh Asy-Syaukani yang diduga bermadzhab Syiah.

Padahal penulis sendiri menimba ilmu di pesantren yang berafiliasi ke NU. Suatu perkara yang membuktikan bahwa Syiah memang telah eksis sedari dulu di Indonesia.

Di kemudian hari, kitab-kitab karya ulama besar Syiah mendapat sambutan hangat dari mayoritas cendekiawan Indonesia. Tafsir “Al-Mizan”, misalnya, kerap menjadi rujukan bagi Quraisy Syihab dalam menulis tafsir fenomenalnya, “Al-Misbah”. Demikian pula dengan karya-karya dari Murthado Muthahari dan Ali Syariati sangat mempengaruhi pola pikir muslim progresif di Tanah Air. Konon, mantan Ketum Muhammadiyah sangat menggandrungi karya-karya dari Ali Syariati.

Sedangkan untuk konteks yang lebih besar, kontribusi Syiah bagi dunia sangat jelas terlihat. Universitas Al-Azhar, misalnya, adalah warisan dari Dinasti Fathimiyyah, yang bercorak Syiah. Al-Azhar -hingga saat in- diakui sebagai universitas Islam tertua sekaligus terkemuka di dunia.

Di luar itu, ada banyak pemikir Islam utama yang dipercaya sebagai penganut madzhab Syiah. Nama-nama seperti Al-Farabi (ahli filsafat), Ibn Sina (kedokteran), Al-Khawarizmi (ahli astronomi), Jabir bin Hayyan (penemu aljabar), dan At-Thusi (penggagas observatorium) adalah contoh dari sekian nama-nama yang turut mengubah peradaban dunia.

Hal-hal tersebut menunjukkan kepada kita bahwa Syiah bukanlah madzhab kemarin sore. Dan mungkin karena ini pula, maka MUI dan NU pusat (catat: NU pusat-pen) tak pernah menerbitkan fatwa sesat terhadap Syiah.
Diubah oleh aryasaketi 02-11-2013 12:34
0
18.1K
70
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan