Sabtu, 25/01/2014 16:50 WIB
Kang Emil dan Gelombang Kepemimpinan Baru
![[ inilah! pemimpin yg mau menerima masukan ] Kang Emil & Gelombang Kepemimpinan Baru](https://dl.kaskus.id/sokocon.files.wordpress.com/2013/03/1715374981.jpg)
Den Haag - Bersyukur sekali bahwa malam itu saya bersama Paguyuban Sunda Nederland memiliki kesempatan bertemu langsung dengan Walikota Bandung Ridwan Kamil (Kang Emil) di sela-sela kegiatannya yang padat. Dalam enam hari Kang Emil harus menempuh perjalanan di 3 negara dan 8 kota, serta menjalankan 12 agenda, antara lain kesepakatan dana CSR senilai Rp 1,7 triliun dari beberapa perusahaan di Belanda dan Prancis, penjajakan ke perusahaan H-Bahn (monorail gantung) di Jerman, penandatanganan kerjasama dengan konsultan terkemuka PriceWaterhouseCooper untuk menjadi mitra Bandung, kerjasama kebudayaan dengan pemerintah Prancis, serta berpartisipasi pada pameran wisata Utrecht di mana 150 orang langsung memesan wisata ke Bandung.
Belum termasuk agenda yang sifatnya informal seperti pertemuan dengan kami, PPI Belanda, PPI Perancis, serta Jejaring Diaspora Indonesia di Belanda. Jangan dibayangkan jika itu semua dilakukan dalam satu rombongan kerja yang besar. Kang Emil hanya ditemani 2 orang staf ahli dan 1 orang asisten pribadi, mirip tim pasukan elit komando, yang bekerja cepat, dalam satuan kecil, senyap, dan mematikan.
Kang Emil menceritakan mimpinya untuk menjadikan Bandung liveable and loveable city. Dan saat ini tantangan Bandung adalah infrastruktur, pelayanan publik, serta pola pikir dan kebiasaan warganya. Kang Emil adalah bagian dari gelombang baru kepemimpinan Indonesia yang muncul dari daerah yang sama-sama memiliki ciri meritokratis yaitu progresif, mengandalkan kinerja bukan pencitraan, serta gaya kepemimpinan egaliter dan dekat dengan rakyat bukan kepemimpinan feodal dan berjarak. Sebelumnya kita mengenal kepemimpinan serupa seperti pada sosok Bu Risma di Surabaya, Pak Jokowi di Solo, atau Bu Rustriningsih di Kebumen.
Saya mencatat ada tiga hal yang menjadi kunci bagaimana Kang Emil kini menjadi sosok yang dicintai oleh warganya. Pertama, memimpin ialah menjadi hatinya masyarakat. Tak akan sanggup orang bekerja sekeras itu, jika bukan didorong oleh niat berbuat ikhlas untuk masyarakat. Salah satu hadits yang sering dikutip oleh Kang Emil adalah, Sebaik-baik manusia ialah yang bermanfaat untuk sesamanya. Selain keikhlasan, cinta adalah energi tak terbatas yang menjadikan seorang pemimpin rela berkorban untuk kebaikan warganya. Saya teringat ucapan Kang Emil mengenai cintanya pada Bandung, Buat saya Bandung bukan sekedar tempat, tetapi perasaan. Barangkali ini adalah alasan mengapa Kang Emil masih aktif menjawab mention-mention di Twitter. Nampaknya buat dia menyapa warganya bukanlah beban melainkan adalah sebuah kebutuhan, seperti orang sedang kasmaran.
Kedua, memimpin ialah menjadi kepalanya masyarakat. Kepala adalah simbol dari akal, kecerdasan, dan efektifitas. Kecerdasan Kang Emil bisa terlihat dari bagaimana dia gesit memanfaatkan jejaringnya dalam mencari sumber-sumber pendanaan alternatif di luar APBD. Karena sekadar menggunakan dana yang ada tidak akan cukup dalam mewujudkan rencana- rencananya. Turun ke lapangan adalah hal penting, tetapi belum cukup. Seorang pemimpin hendaknya mengetahui titik-titik ungkit (leverage) di mana dengan satu usaha yang sama bisa menghasilkan keluaran berkali-kali lipat. Di sini pentingnya kompetensi dan membangun tim, sehingga Bandung beruntung memiliki walikota, yang juga berlatar belakang tatakota.
Jika pun seorang pemimpin tak memiliki kompetensi teknis di bidangnya, karena tak mungkin ada pemimpin yang menjadi spesialis dalam semua hal, maka kuncinya ada pada pilihan siapa yang menjadi orang-orang terdekatnya. Bersiaplah sejak awal untuk mengakhiri jabatan dengan kegagalan jika orang-orang yang dipilih sekadar tim hore yang bermental asal bapak senang (ABS), penjilat, dan bermuka dua. Titik paling krusial dari sebuah kepemimpinan adalah seberapa baik timnya. Mereka haruslah orang yang kompeten, sevisi, dan tentu saja berintegritas bahkan berani mengatakan pendapat berbeda.
Ketiga, memimpin ialah menjadi tulang punggungnya masyarakat. Pada akhirnya semua rencana, kolaborasi, dan kepemimpinan kolektif harus diwujudkan dalam kerja. Kang Emil memberi contoh bagaimana pemimpin juga harus memperhatikan yang detail dan konkrit. Misalnya program-program tematik harian kota Bandung: Senin Bis Gratis, Selasa Tanpa Rokok, Rebo Nyunda, Kamis Inggris, dan Jumat bersepeda. Bagi saya sebetulnya ini bukan program strategis dan krusial, namun pesan yang penting ialah semua warga bandung merasa terlibat dalam membangun kotanya, serta dengan kebiasaan-kebiasaan kecil yang baiklah hal yang besar bisa dicapai.
Terakhir, saya tidak percaya sosok seperti Kang Emil merupakan ratu adil atau juru selamat yang turun dari langit. Kang Emil adalah pemimpin yang tumbuh bersama masyarakat. Menjadi bagian dari kita dan sama-sama merasakan susah senangnya. Oleh karena itu pemimpin tetap harus diingatkan dan diberi masukan. Termasuk ada satu pertanyaan yang saya lupa tanyakan pada beliau malam itu terkait apa kompensasi yang harus diberikan untuk program CSR perusahaan- perusahaan Belanda dan Prancis tersebut?
Bagaimanapun Kang Emil adalah sosok yang sama seperti kita yang memiliki kehidupan dengan keluarga, cita-cita, dan hobinya. Yang membedakan ialah Kang Emil punya mimpi yang besar untuk Bandung dan mau keluar dari zona nyamannya sebagai arsitek papan atas dan dosen di kampus elit untuk mau bobolokot ngesang beberes Bandung. Yuk, siapa mau ikut menjadi bagian dari gelombang baru ini?
Keterangan Penulis: Penulis adalah pelajar Indonesia di TU Delft, anggota Keluarga Besar Paguyuban Sunda Nederland
http://news.detik.com/read/2014/01/2...aru?n991101605
untuk yang tulisan
@red luar biasa sekali, sangatlah benar sosok duet kepemimpinan kang emil dan kang oded bukanlah sosok ratu adil atau satria piningit , mereka berdua bekerja membangun bandung dengan iklas dan berusaha ingin mengetahui seperti apa keinginan warganya untuk bandung yang liveable dan loveable
dan 1 lagi tulisan
@red yang bikin wa makin merasakan jiwa kepemimpinan kang emil, adalah pemimpin yang benar benar pemimpin adalah pemimpin yang tidak antikritik dan suka menerima masukan orang , semoga virus kepemimpinan nya ini dapat menular ke wilayah sekitarnya seperti jakarta, jawa tengah dan kalau bisa menular sampai ke seluruh provinsi yang ada di indonesia
===========================================
ini bukan prestasi tapi penghargaan langsung dari penilaian seseorang pengkritik tentang kepemimpinan kang emil dan kang oded di bandung yang awalnya seperti tidak percaya kepada mereka dan mau memojokkan tapi sebulan kemudian kritikan itu berubah menjadi pujian yang dilontarkan secara ikhlas tanpa ada iming iming ataupun kepentingan lain :
lihat saja awalanya kang emil dan kang oded di nilai negatip padahal baru beberapa minggu saja mereka memimpin :
Quote:
TENTU saja, bukan tanpa alasan banyak warga Kota Bandung memilih sosok Ridwan Kamil untuk menjadi wali kota pada Pilwalkot Bandung, tempo hari. Pertama, warga memang sudah mulai bosan dengan wajah-wajah lama, yang itu-itu saja yang nyaris berkarat dengan kebiasaan-kebiasaan lamanya. Kedua, warga rindu perubahan, dan wajah-wajah baru yang muda, segar, dan kaya inovasi, mulai menjadi harapan.
Ridwan Kamil dan pasangannya, Oded M Danial, sungguh memenuhi itu semua, setidaknya saat pasangan ini kampanye, beberapa bulan lalu. Janji-janji Ridwan yang muda, pintar, dan penuh inovasi benar-benar membius. Gebrakan spektakuler pasangan Gubernur DKI, Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama, menguatkannya, dan membuat warga semakin terhanyut.
Namun, sebulan lebih berjalan, bius mulai terasa hilang. Warga perlahan sadar, Ridwan bukan Jokowi. Warga juga terbangun, Oded tak selugas Ahok.
Sejak dilantik, pertengahan Oktober tahun lalu, pasangan Jokowi-Ahok memang langsung menggebrak, dan secara konsisten terus melakukannya hingga sekarang. Jokowi memenuhi janjinya untuk lebih banyak 'berkantor' di jalanan ketimbang di balik meja.
Wakilnya, Ahok, juga memenuhi janjinya lebih banyak bekerja dari Balai Kota. Sepak terjangnya yang lugas sebagai pengontrol SDM, pengatur administrasi, dan pengawas penggunaan anggaran membuat kita berdecak kagum. Hasilnya terasa, signifikan, dan membuat harapan itu menguat karena satu demi satu mulai terlihat mewujud.
Salah satu janji Jokowi-Ahok selama masa kampanye adalah menyediakan pendidikan dan kesehatan gratis untuk warga Jakarta. Kedua program itu mewujud dengan dikeluarkannya Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP). Hasilnya, antrean warga Jakarta di puskesmas-puskesmas dan rumah sakit-rumah sakit meningkat pesat.
Program lainnya yang juga terwujud adalah penataan kawasan kumuh dengan cara membangun kampung deret. Kelurahan Tanah Tinggi I RT 14/01 Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat, yang sebelumnya merupakan kawasan kumuh, kini menjadi bersih dan begitu tertata.
Keberhasilan lainnya yang juga dicapai Jokowi-Ahok dalam beberapa bulan kepemimpinannya adalah revitalisasi waduk, dengan Waduk Pluit sebagai pionir. Pemprov bukan saja mampu mengembalikan fungsi waduk ini sebagai pencegah banjir, namun juga membuatnya menjadi taman kota.
Namun, yang paling mengagumkan dan nyaris tak bisa dipercaya adalah kemampuan pasangan ini merelokasi PKL yang selama bertahun-tahun memenuhi kawasan Tanah Abang ke Pasar Tanah Abang. Relokasi ini membuat lalu lintas di Tanah Abang yang selalu macet menjadi lebih lancar. Sesuatu yang barangkali tak pernah bisa dibayangkan akan terjadi di kawasan ini.
Kita, warga Kota Bandung, tentu saja berharap, Ridwan Kamil-Oded bisa sehebat pasangan Jokowi-Ahok. Sayang, lebih sebulan sejak mereka memimpin Kota Bandung, tanda-tanda ke arah itu rupanya belum juga terlihat. Banyak programnya jalan di tempat, tak ada yang sungguh-sungguh menggebrak.
Program Jumat bersepeda bagi para PNS, sepertinya mandek karena yang "konsisten" bersepeda hanya sejumlah PNS, dan Ridwan sendiri. Program memberdayakan pengemis nyaris gagal total. Dari hampir seratusan gelandangan dan pengemis yang diberdayakan untuk menjadi penyapu jalan, sebagian besarnya malah memilih kabur. Padahal, gaji penyapu jalan ini juga tak kecil, Rp 40 ribu seharinya.
Di tataran birokrasi, langkah spektakuler Ridwan juga tak terlalu tampak. Para pejabat dinas masih itu-itu juga, tak ada mutasi, atau rotasi seperti lazimnya orang yang akan melakukan pergerakan dengan cepat.
Hal lain yang kinerjanya belum kentara adalah Satuan Tugas Khusus yang niat pempentukannya untuk menyelesaikan sejumlah masalah.
Lama-lama kita pun perlahan bosan, karena Bandung satu dua harian lalu, ternyata masih terlihat sama dengan dua bulan, tiga bulanan lalu.
Dan dalam sebulan lebih Kritikan negatip itu berubah menjadi harapan besar warga terahadap kepemimpinan kang emil dan kang oded , bukan main kan hati para pengkritiknya langsung di bolak balik dalam jangka waktu sebulan lebih dikit 

Quote:
MERUAKNYA kembali kondisi sendu di SD Negeri Sukarela 1 dan 2 di Jalan Mekarmulya No 40, Kelurahan Cipadung Kulon, Kecamatan Panyileukan, Kota Bandung, beberapa waktu lalu memang menyesakkan. Sesak bukan saja karena -- tak habis pikir -- fakta memilukan yang itu terjadi di ibu kota provinsi yang tak jauh dari pusat pemerintahan. Tapi juga karena nasib getir murid-murid SD yang terpaksa harus belajar di halaman terbuka, tanpa kursi, meja, bahkan papan tulis itu sebenarnya sudah diketahui sejak 2012 silam, ketika Wakil Wali Kota Bandung saat itu, Ayi Vivananda beserta rombongan, berkunjung ke lokasi SD di wilayah timur Kota Bandung tersebut.
Saat Ayi berkunjung, kondisi SD bahkan lebih memprihatinkan. Halaman sempit tempat anak-anak belajar secara lesehan itu benar-benar terbuka. Kanopi, sumbangan seorang dermawan ketika itu masih belum terpasang. Jika hujan tiba, kelas akan segera bubar karena semua harus berteduh.
Saat Wakil Wali Kota Bandung yang baru, Oded M Danial kembali meninjaunya, beberapa hari lalu, kondisinya memang sudah sedikit lebih baik, dalam artian, setidak-tidaknya murid- murid sudah tak terlalu lagi kepanasan jika belajar siang karena sudah ada kanopi. Tapi, kondisi koridor masih seperti dulu. Jumlah ruangan kelas masih sama, empat buah, ruang WC-nya satu, sementara jumlah murid mencapai sekitar 500 orang.
Andai saja sejumlah media tak lantas kembali mem-blow up-nya saat Kang Oded berkunjung, kisah muram ini sangat mungkin akan terus terlupa. Orang tak akan ingat bahwa di tengah beragam kemewahan dan limpahan bantuan dari berbagai sumber yang diterima segelintir SD-SD favorit di pusat kota, ada SD yang nyaris terpuruk, dan kita hampir-hampir saja tak tahu.
Di Kecamatan Payileukan sendiri, permasalahan serupa, yakni jumlah murid yang jauh melebihi daya tampung sekolah, sebenarnya juga menimpa SD negeri lainnya. Namun, karena jumlah kelasnya sedikit lebih banyak, "solusi" yang dipakai bukan belajar lesehan di halaman terbuka seperti yang terjadi di SDN Sukarela, melainkan dengan membagi jadwal sekolah menjadi empat sif, pagi hingga sore secara bergilir seminggu sekali, termasuk bagi murid-murid kelas satu.
Dampak psikologis pembagian sif ini jelas tak saja dirasakan anak-anak karena jadwal main, tidur siang, les, dan jadwal mengajinya menjadi kacau balau. Jadwal para ibu mengurus keluarganya juga menjadi terganggu. Belum lagi risiko sakit karena jadwal sekolah sore pada musim hujan seperti ini otomatis membuat kemungkinan anak-anak akan pulang dan pergi kehujanan akan lebih besar.
Selain masalah infrastruktur, soal sumber daya pendidik juga menjadi PR yang harus diselesaikan dengan segera, terutama karena mulai akan diberlakukannya kurikulum yang baru di semua sekolah secara merata mulai tahun depan.
Ini menjadi masalah, karena bagi para pendidik senior, pemberlakuan kurikulum baru ini mungkin akan terasa sulit. Bukan saja karena pola mengajarnya harus berubah, paradigma berpikirnya pun harus "menyesuaikan". Seperti kita tahu, aspek kompetensi lulusan pada kurikulum baru terdapat pada keseimbangan soft skills dan hard skills yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Adapun kurikulum lama, cenderung lebih menekankan kompetensi lulusannya hanya pada aspek pengetahuan.
Dengan kurikulum baru, para guru juga harus bersiap karena mata pelajaran menjadi lebih sedikit ketimbang pada kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Belum lagi pola tematik terpadu yang juga mengalami perubahan, atau hal-hal non teknis, seperti soal ketersediaan buku pegangan, alat-alat peraga, dan lain-lain.
Di luar itu semua, di garis depan, para pengawas dan para kepala sekolah juga harus bekerja lebih keras untuk memastikan bahwa segala sesuatunya telah berjalan pada rel yang seharusnya. Para pengawas, para kepala sekolah, termasuk juga para orang tua, tak boleh lagi terlalu toleran pada perkeliruan di dunia pendidikan ini, sekecil apapun itu. Apalagi jika sudah bersifat prinsip seperti merokok sambil mengajar di depan kelas, atau jual beli fotokopian bocoran soal ulangan, seperti yang belum lama ini juga terjadi di salah sebuah SD negeri di Kecamatan Panyileukan. (Syukurlah, sekarang bisnis oknum guru itu kabarnya sudah berhenti. Kepala SD tersebut akhirnya bertindak tegas setelah sejumlah teguran yang ia berikan sebelumnya, ternyata tak digubris. Kali ini ia menyita semua fotokopian bocoran soal yang sedianya akan dijual Rp 5 ribu per lembarnya itu).
Kita berharap, pelanggaran-pelanggaran seperti ini tak lagi terjadi di masa depan. Bandung Juara itu mimpi kita juga, Kang Emil, Kang Oded. Jadi jangan pernah ragu, kita tak boleh menyerah. Demi anak-anak kita.