- Beranda
- Komunitas
- News
- Melek Hukum
PENDIDIKAN = BARANG DAGANGAN !!!


TS
triandaxxone
PENDIDIKAN = BARANG DAGANGAN !!!
Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) kembali diperingati oleh bangsa Indonesia pada tanggal 2 Mei 2010. Di tengah kegiatan dan acara bernuansa seremonial, ada kecemasan menyeruak dalam hati sebagian anak bangsa ketika memandang wajah pendidikan kini. Pendidikan,yang sejatinya merupakan prasyarat bagi kemajuan suatu bangsa dalam segala aspek serta wahana pencerdasan bangsa kini perlahan berubah fungsi menjadi “barang dagangan” atau komoditi.
Bidang pendidikan,khususnya pendidikan tinggi, turut terkena ‘wabah’ liberalisasi dan komersialisasi yang dijalankan pihak negara. Bermula dari diberlakukannya Peraturan Pemerintah RI Nomor 61/Tahun 1999 tentang penetapan perguruan tinggi negeri (PTN) sebagai badan hukum serta dikukuhkan oleh Undang undang sistem pendidikan nasional (UU Sisdiknas) No.20/2003, komersialisasi pendidikan berlangsung secara massif. Dibawah status hukum Badan Hukum Milik Negara (BHMN),otoritas PTN diberi keleluasaan menggali sumber-sumber ekonomis dari berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders).Kebebasan yang diberikan negara pada pihak PTN dilegitimasi dengan idiom-idiom “otonomi kampus” atau “desentralisasi pendidikan”,namun sejatinya adalah kebebasan bagi pihak kampus dalam mencari keuntungan ekonomi sebesar-besarnya dar berbagai kalangan, termasuk mahasiswa/calon mahasiswa.Hasilnya,muncul aneka ragam tarif yang dipasang PTN seluruh Indonesia sebagai biaya yang harus dibayar oleh calon mahasiswa dalam mengakses pendidikan tinggi. Tapi satu hal yang pasti,biaya pendidikan bukannya makin terjangkau, namun bagai melesat jauh ke “angkasa luar” sehingga tak mampu lagi diraih (bahkan untuk dipandang sekalipun) oleh mereka yang berkemampuan ekonomi rendah.Sebagai contoh, menjelang tahun ajaran baru 2010-2011 nanti beberapa PTN bergengsi di tanah air telah “memasang tarif” bagi jurusan atau program studi yang akan ‘dijual’ layaknya komoditi kepada calon mahasiswa sebagai konsumennya. Universitas Padjadjaran (Unpad), salah satu Universitas tersohor di Jawa Barat, memasang tarif masuk Rp.2 Juta bagi setiap mahasiswa baru. Saat kuliah semester pertama, setiap mahasiswa masih dibebani pula dana mahasiswa baru (DMB) sebesar Rp.2 Juta. Kemudian selama kuliah, mahasiswa harus membayar dana pengembangan (SKS dan laboratorium) Rp.2 Juta per semester. Jadi, total dana yang harus dikeluarkan oleh mahasiswa baru Unpad pada semester pertama ini ialah Rp.6 Juta. Dan juga mohon dicatat, semua itu akan dibebankan pada mahasiswa baru dari jalur reguler seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN), bukan dari jalur khusus (SMUP).Bagaimana dengan PTN lainnya? Untuk biaya masuk Universitas Indonesia (UI), telah ditetapkan melalui SK Rektor UI bahwa biaya pendidikan mahasiswa baru di UI berkisar antara Rp.5 Juta hingga Rp.25 Juta untuk program reguler. Dana itu ditambah Rp.7,5 Juta setiap semesternya guna pembiayaan operasional pendidikan. PTN pertama yang mendapat label BHMN ini menetapkan cost yang lebih tinggi lagi bagi program internasionalnya. PTN lainnya yang menawarkan ‘jasa’ di bidang pendidikan dengan tarif tinggi ialah Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto. Universitas ini memasang tarif sumbangan biaya operasional pendidikan dan pembangunan (BOPP) dari kisaran harga Rp.50 Juta hingga Rp.200 Juta. Dan perlu diingat lagi, semua biaya itu harus ditanggung mahasiswa baru yang lolos ujian SNMPTN atau SPMB lokal. Fantastis bukan ?! Sangat kontradiktif dengan kondisi sekitar 115 juta rakyat Indonesia atau hampir separuh (49%) dari jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan, yang hanya berpenghasilan di bawah Rp.20 ribu per hari (data World Bank).Tidak terbayangkan bagi mereka untuk dapat membayar biaya kuliah yang teramat mahal seperti yang dipatok oleh PTN-PTN tersebut.Beberapa contoh kasus tersebut menunjukan perubahan paradigma yang cukup drastis dalam penyelenggaraan pendidikan oleh negara. Paradigma “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945 telah berubah menjadi “memakmurkan kehidupan segelintir birokrat dan pemodal”. Logika akumulasi kapital yang dipakai negara dan para birokrat kampus dalam perumusan kebijakan di sektor pendidikan telah mengikuti “irama musik” yang dimainkan rezim ekonomi internasional (IMF dan WTO) melalui serangkaian kesepakatan dalam bingkai hukum internasional. Semenatra warisan pemikiran para founding fathers tentang pendidikan yang ilmiah, demokratis dan berwatak kerakyatan telah dibuang ke “tong sampah sejarah” bagaikan serpihan kertas tak bermakna.Saatnya perubahan paradigma pendidikan dilakukan , bersamaan dengan perubahan sistem ekonomi politik secara keseluruhan. Spirit Bung Karno tentang sistem pendidikan yang menguatkan kepribadian dan kemandirian bangsa, pemikiran Bung Hatta mengenai pendidikan yang dapat memperkuat azas gotong royong di antara anak bangsa, konsep Sjahrir soal pendidikan yang humanis serta paradigma pendidikan yang ‘membebaskan’ manusia sebagai buah pikir Tan Malaka perlu kembali ‘dipahat’ dalam dunia pendidikan dan kehidupan bernegara secara keseluruhan. Dan bila rezim kekuasaan tetap berpijak pada landasan yang sama seperti sekarang, maka giliran generasi baru Indonesia yang akan menunaikan tugas sejarah ini. Hal ini mutlak dibutuhkan, agar komersialisasi pendidikan tidak bermetamorfosa menjadi tragedi pendidikan.
Hiski Darmayana
Antropologi FISIP Universitas Padjadjaran
Kader GMNI Sumedang
Bidang pendidikan,khususnya pendidikan tinggi, turut terkena ‘wabah’ liberalisasi dan komersialisasi yang dijalankan pihak negara. Bermula dari diberlakukannya Peraturan Pemerintah RI Nomor 61/Tahun 1999 tentang penetapan perguruan tinggi negeri (PTN) sebagai badan hukum serta dikukuhkan oleh Undang undang sistem pendidikan nasional (UU Sisdiknas) No.20/2003, komersialisasi pendidikan berlangsung secara massif. Dibawah status hukum Badan Hukum Milik Negara (BHMN),otoritas PTN diberi keleluasaan menggali sumber-sumber ekonomis dari berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders).Kebebasan yang diberikan negara pada pihak PTN dilegitimasi dengan idiom-idiom “otonomi kampus” atau “desentralisasi pendidikan”,namun sejatinya adalah kebebasan bagi pihak kampus dalam mencari keuntungan ekonomi sebesar-besarnya dar berbagai kalangan, termasuk mahasiswa/calon mahasiswa.Hasilnya,muncul aneka ragam tarif yang dipasang PTN seluruh Indonesia sebagai biaya yang harus dibayar oleh calon mahasiswa dalam mengakses pendidikan tinggi. Tapi satu hal yang pasti,biaya pendidikan bukannya makin terjangkau, namun bagai melesat jauh ke “angkasa luar” sehingga tak mampu lagi diraih (bahkan untuk dipandang sekalipun) oleh mereka yang berkemampuan ekonomi rendah.Sebagai contoh, menjelang tahun ajaran baru 2010-2011 nanti beberapa PTN bergengsi di tanah air telah “memasang tarif” bagi jurusan atau program studi yang akan ‘dijual’ layaknya komoditi kepada calon mahasiswa sebagai konsumennya. Universitas Padjadjaran (Unpad), salah satu Universitas tersohor di Jawa Barat, memasang tarif masuk Rp.2 Juta bagi setiap mahasiswa baru. Saat kuliah semester pertama, setiap mahasiswa masih dibebani pula dana mahasiswa baru (DMB) sebesar Rp.2 Juta. Kemudian selama kuliah, mahasiswa harus membayar dana pengembangan (SKS dan laboratorium) Rp.2 Juta per semester. Jadi, total dana yang harus dikeluarkan oleh mahasiswa baru Unpad pada semester pertama ini ialah Rp.6 Juta. Dan juga mohon dicatat, semua itu akan dibebankan pada mahasiswa baru dari jalur reguler seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN), bukan dari jalur khusus (SMUP).Bagaimana dengan PTN lainnya? Untuk biaya masuk Universitas Indonesia (UI), telah ditetapkan melalui SK Rektor UI bahwa biaya pendidikan mahasiswa baru di UI berkisar antara Rp.5 Juta hingga Rp.25 Juta untuk program reguler. Dana itu ditambah Rp.7,5 Juta setiap semesternya guna pembiayaan operasional pendidikan. PTN pertama yang mendapat label BHMN ini menetapkan cost yang lebih tinggi lagi bagi program internasionalnya. PTN lainnya yang menawarkan ‘jasa’ di bidang pendidikan dengan tarif tinggi ialah Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto. Universitas ini memasang tarif sumbangan biaya operasional pendidikan dan pembangunan (BOPP) dari kisaran harga Rp.50 Juta hingga Rp.200 Juta. Dan perlu diingat lagi, semua biaya itu harus ditanggung mahasiswa baru yang lolos ujian SNMPTN atau SPMB lokal. Fantastis bukan ?! Sangat kontradiktif dengan kondisi sekitar 115 juta rakyat Indonesia atau hampir separuh (49%) dari jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan, yang hanya berpenghasilan di bawah Rp.20 ribu per hari (data World Bank).Tidak terbayangkan bagi mereka untuk dapat membayar biaya kuliah yang teramat mahal seperti yang dipatok oleh PTN-PTN tersebut.Beberapa contoh kasus tersebut menunjukan perubahan paradigma yang cukup drastis dalam penyelenggaraan pendidikan oleh negara. Paradigma “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945 telah berubah menjadi “memakmurkan kehidupan segelintir birokrat dan pemodal”. Logika akumulasi kapital yang dipakai negara dan para birokrat kampus dalam perumusan kebijakan di sektor pendidikan telah mengikuti “irama musik” yang dimainkan rezim ekonomi internasional (IMF dan WTO) melalui serangkaian kesepakatan dalam bingkai hukum internasional. Semenatra warisan pemikiran para founding fathers tentang pendidikan yang ilmiah, demokratis dan berwatak kerakyatan telah dibuang ke “tong sampah sejarah” bagaikan serpihan kertas tak bermakna.Saatnya perubahan paradigma pendidikan dilakukan , bersamaan dengan perubahan sistem ekonomi politik secara keseluruhan. Spirit Bung Karno tentang sistem pendidikan yang menguatkan kepribadian dan kemandirian bangsa, pemikiran Bung Hatta mengenai pendidikan yang dapat memperkuat azas gotong royong di antara anak bangsa, konsep Sjahrir soal pendidikan yang humanis serta paradigma pendidikan yang ‘membebaskan’ manusia sebagai buah pikir Tan Malaka perlu kembali ‘dipahat’ dalam dunia pendidikan dan kehidupan bernegara secara keseluruhan. Dan bila rezim kekuasaan tetap berpijak pada landasan yang sama seperti sekarang, maka giliran generasi baru Indonesia yang akan menunaikan tugas sejarah ini. Hal ini mutlak dibutuhkan, agar komersialisasi pendidikan tidak bermetamorfosa menjadi tragedi pendidikan.
Hiski Darmayana
Antropologi FISIP Universitas Padjadjaran
Kader GMNI Sumedang
Polling
0 suara
bagaimana menurutmu tentang kondisi pendidikan saat ini?
0
1.2K
6


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan