- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Sebelum "Nyemplung" Ke Media Sosial, Pejabat Harus Paham Ilmu Ini


TS
shannon.elsan
Sebelum "Nyemplung" Ke Media Sosial, Pejabat Harus Paham Ilmu Ini
Selamat Siang Agan/Aganwati sekalian!!!
Ane nubie cuman mau berbagi info tentang
"Pejabat Yang Harus Paham Ilmu Sebelum "Nyemplung" Ke Media Sosial".
Mohon maaf kalo ternyata

Maaf juga kalo thread ane mungkin rada mirip dengan thread lain yang pernah agan/aganwati baca
Langsung dimulai aja gan!
Ane nubie cuman mau berbagi info tentang
"Pejabat Yang Harus Paham Ilmu Sebelum "Nyemplung" Ke Media Sosial".
Mohon maaf kalo ternyata

Maaf juga kalo thread ane mungkin rada mirip dengan thread lain yang pernah agan/aganwati baca
Langsung dimulai aja gan!
Quote:


Quote:
Saat ini pejabat negara atau public figure sedang tren membuat akun di media sosial agar bisa berinteraksi langsung dengan masyarakat. Namun kerap kali ada ketegangan yang terjadi antara kedua pihak.
Oleh karena itu ada baiknya para pejabat negara atau public figure mengerti ilmu komunikasi di media sosial.
Pengamat sosial dan budaya Universitas Indonesia (UI) Devie Rachmawati menuturkan, dalam komunikasi ada empat hal yang harus diperhatikan. Yaitu content (isi), context (situasi), culture (budaya) dan channel (saluran).
Isi pernyataan yang disampaikan dalam context yang tidak tepat, kemudian disalurkan dalam saluran yang salah serta direspon oleh orang dengan latar belakang budaya yang berbeda maka dapat menghasilkan komunikasi yang buruk (poor communication).
Devie mencontohkan pernyataan Ibu Negara Ani Yudhoyono yang dianggap negatif di media sosial, yakni soal pernyataan terakhir beliau terkait banjir. Ibu Ani sempat memberikan pernyataan (content) bahwa persoalan banjir semestinya tidak ditujukan kepada beliau namun ditujukan kepada Ibu Jokowi atau Ibu Ahok.
Content pernyataan tersebut sebenarnya relatif normal bila disampaikan dalam situasi, channel dan culture yang tepat semisal dalam pertemuan informal terbatas para ibu-ibu pejabat.
"Bila ini yang terjadi dalam budaya kekuasaan, seseorang yang memiliki kuasa lebih tinggi akan relevan bila melemparkan pernyataan seperti yang Ibu Ani sampaikan," kata Devie dalam perbincangan, Sabtu (18/1/2014).
Sayangnya, pernyataan tersebut disampaikan di media sosial. Padahal diketahui bahwa media sosial merupakan sebuah ruang publik yang sangat luas. Meskipun secara fisik terlihat sangat pribadi karena bisa diakses dalam gengaman dan sentuhan jari untuk berkomunikasi, namun setiap pernyataan akan diterima oleh berbagai kalangan dengan latar belakang budaya yang berbeda.
"Untuk itu, setiap orang, tidak terkecuali pejabat seperti Ibu Ani, harus memahami betul medan komunikasi dari media sosial," paparnya.
Jika tidak, sambung Devie, maka content yang sebenarnya relatif positif bisa jadi negatif. Karena disampaikan dalam context, culture dan channel yang tidak sesuai. "Sama halnya dengan membuat seseorang seperti melakukan bunuh diri komunikasi. Dalam hal ini sepertinya sama dengan yang terjadi pada Ibu Ani," tukas dosen Vokasi UI itu.
Lebih lanjut dijelaskan, secara umum apapun medium komunikasi yang digunakan, kita sering kali berpikir dahulu tentang "apa" (what to say) yang akan kita sampaikan atau bahkan tulis. Tapi, kita jarang sekali secara serius memperhatikan "bagaimana" (how to say) cara kita menyampaikan pesan kita. Untuk itu, kita harus mampu membangun sebuah gaya komunikasi (linguistic style) yang positif.
"Sehingga setiap pernyataan kita, baik verbal apalagi tulisan dapat meminimalkan gesekan dengan orang-orang yang menerima pesan kita," kata Devie.
Dikatakan Devie, dalam komunikasi seseorang sudah seharusnya mengenal dirinya sendiri. Setiap orang harus mampu menemukan apa yang menjadi kelemahannya dalam berinteraksi dengan karakter orang seperti apa dan dalam situasi bagaimana.
Misalnya, kalau kita adalah pribadi yang lembut, dan menyenangi berkomunikasi dengan orang-orang dengan karakter yang pasif maka sebaiknya kita membatasi diri dalam berkomunikasi dengan orang-orang yang agresif ataupun menyampaikan sebuah pesan yang dapat memancing agresifitas orang lain.
"Dalam social media pun kita bisa memilih saluran yang terbatas misalnya. Di mana dalam socmed itu kita memastikan hanya berisi orang-orang yang kita senangi dan memiliki pengertian yang sama dengan kita," kata dia.
Kalaupun tetap ingin memiliki komunikasi yang luas maka kita yang harus membatasi diri untuk tidak memancing agresifitas orang lain. Karena dalam media sosial adalah tempat bergabungnya orang dengan berbagai karakter dan budaya.
Kemudian, kita juga harus memahami bagaimana diri kita bereaksi ketika ada sesuatu yang tidak menyenangkan menimpa kita. "Sehingga, kita sudah berlatih untuk mengantisipasi situasi yang tidak kita sukai," tukasnya.
Secara teori, dia memaparkan beberapa prinsip dasar gaya komunikasi yang positif. Yaitu, tidak berorientasi terlalu banyak pada diri kita. Seperti penggunaan kata "saya". "Lebih baik menggunakan kata "kami" misalnya," saran dia.
Kemudian, yang juga harus dilakukan adalah membangun sikap rendah hati dalam berkomunikasi terlebih melalui tulisan. Karena tak jarang, bahasa tulisan itu diartikan berbeda tiap individu yang membacanya. Ketiga, banyak mendengarkan masukan. "Sikap-sikap positif itu akan membantu kita dalam menerapkan pola komunikasi yang baik. Terutama di jejaring sosial," katanya.
Selanjutnya, jangan ragu untuk meminta maaf. Serta yang kelima adalah membuat pernyataan bersifat merangkul. Maksudnya adalah membangun pernyataan yang tidak bersifat provokasi atau bersentimen oposisi.
"Kelima gaya komunikasi itu tetap harus memperhatikan empat prinsip dasar utama yaitu 4C (content, channel, context dan culture)," tutupnya.
Source
Oleh karena itu ada baiknya para pejabat negara atau public figure mengerti ilmu komunikasi di media sosial.
Pengamat sosial dan budaya Universitas Indonesia (UI) Devie Rachmawati menuturkan, dalam komunikasi ada empat hal yang harus diperhatikan. Yaitu content (isi), context (situasi), culture (budaya) dan channel (saluran).
Isi pernyataan yang disampaikan dalam context yang tidak tepat, kemudian disalurkan dalam saluran yang salah serta direspon oleh orang dengan latar belakang budaya yang berbeda maka dapat menghasilkan komunikasi yang buruk (poor communication).
Devie mencontohkan pernyataan Ibu Negara Ani Yudhoyono yang dianggap negatif di media sosial, yakni soal pernyataan terakhir beliau terkait banjir. Ibu Ani sempat memberikan pernyataan (content) bahwa persoalan banjir semestinya tidak ditujukan kepada beliau namun ditujukan kepada Ibu Jokowi atau Ibu Ahok.
Content pernyataan tersebut sebenarnya relatif normal bila disampaikan dalam situasi, channel dan culture yang tepat semisal dalam pertemuan informal terbatas para ibu-ibu pejabat.
"Bila ini yang terjadi dalam budaya kekuasaan, seseorang yang memiliki kuasa lebih tinggi akan relevan bila melemparkan pernyataan seperti yang Ibu Ani sampaikan," kata Devie dalam perbincangan, Sabtu (18/1/2014).
Sayangnya, pernyataan tersebut disampaikan di media sosial. Padahal diketahui bahwa media sosial merupakan sebuah ruang publik yang sangat luas. Meskipun secara fisik terlihat sangat pribadi karena bisa diakses dalam gengaman dan sentuhan jari untuk berkomunikasi, namun setiap pernyataan akan diterima oleh berbagai kalangan dengan latar belakang budaya yang berbeda.
"Untuk itu, setiap orang, tidak terkecuali pejabat seperti Ibu Ani, harus memahami betul medan komunikasi dari media sosial," paparnya.
Jika tidak, sambung Devie, maka content yang sebenarnya relatif positif bisa jadi negatif. Karena disampaikan dalam context, culture dan channel yang tidak sesuai. "Sama halnya dengan membuat seseorang seperti melakukan bunuh diri komunikasi. Dalam hal ini sepertinya sama dengan yang terjadi pada Ibu Ani," tukas dosen Vokasi UI itu.
Lebih lanjut dijelaskan, secara umum apapun medium komunikasi yang digunakan, kita sering kali berpikir dahulu tentang "apa" (what to say) yang akan kita sampaikan atau bahkan tulis. Tapi, kita jarang sekali secara serius memperhatikan "bagaimana" (how to say) cara kita menyampaikan pesan kita. Untuk itu, kita harus mampu membangun sebuah gaya komunikasi (linguistic style) yang positif.
"Sehingga setiap pernyataan kita, baik verbal apalagi tulisan dapat meminimalkan gesekan dengan orang-orang yang menerima pesan kita," kata Devie.
Dikatakan Devie, dalam komunikasi seseorang sudah seharusnya mengenal dirinya sendiri. Setiap orang harus mampu menemukan apa yang menjadi kelemahannya dalam berinteraksi dengan karakter orang seperti apa dan dalam situasi bagaimana.
Misalnya, kalau kita adalah pribadi yang lembut, dan menyenangi berkomunikasi dengan orang-orang dengan karakter yang pasif maka sebaiknya kita membatasi diri dalam berkomunikasi dengan orang-orang yang agresif ataupun menyampaikan sebuah pesan yang dapat memancing agresifitas orang lain.
"Dalam social media pun kita bisa memilih saluran yang terbatas misalnya. Di mana dalam socmed itu kita memastikan hanya berisi orang-orang yang kita senangi dan memiliki pengertian yang sama dengan kita," kata dia.
Kalaupun tetap ingin memiliki komunikasi yang luas maka kita yang harus membatasi diri untuk tidak memancing agresifitas orang lain. Karena dalam media sosial adalah tempat bergabungnya orang dengan berbagai karakter dan budaya.
Kemudian, kita juga harus memahami bagaimana diri kita bereaksi ketika ada sesuatu yang tidak menyenangkan menimpa kita. "Sehingga, kita sudah berlatih untuk mengantisipasi situasi yang tidak kita sukai," tukasnya.
Secara teori, dia memaparkan beberapa prinsip dasar gaya komunikasi yang positif. Yaitu, tidak berorientasi terlalu banyak pada diri kita. Seperti penggunaan kata "saya". "Lebih baik menggunakan kata "kami" misalnya," saran dia.
Kemudian, yang juga harus dilakukan adalah membangun sikap rendah hati dalam berkomunikasi terlebih melalui tulisan. Karena tak jarang, bahasa tulisan itu diartikan berbeda tiap individu yang membacanya. Ketiga, banyak mendengarkan masukan. "Sikap-sikap positif itu akan membantu kita dalam menerapkan pola komunikasi yang baik. Terutama di jejaring sosial," katanya.
Selanjutnya, jangan ragu untuk meminta maaf. Serta yang kelima adalah membuat pernyataan bersifat merangkul. Maksudnya adalah membangun pernyataan yang tidak bersifat provokasi atau bersentimen oposisi.
"Kelima gaya komunikasi itu tetap harus memperhatikan empat prinsip dasar utama yaitu 4C (content, channel, context dan culture)," tutupnya.
Source
Quote:
Pejabat atau public figure harus menyadari segala yang dilakukan pasti mendapat perhatian dari masyarakat, termasuk dalam hal media sosial. Karena dalam media sosial, ruang partisipasi semakin luas.
Sosiolog dari Universitas Indonesia Ida Ruwaida menuturkan, para pejabat atau public figure perlu menyadari media sosial bisa memberikan dampak yang positif. Karena kekuatan jaringan media sosial mampu menggerakkan kekuatan masyarakat.
Contoh, Mesir menggunakan media sosial sebagai alat penggerak utama politik. Karena membuka ruang yang bisa diakses tiap warga negara.
Di Indonesia sendiri, pengguna media sosial masih terhitung baru sehingga masyarakat lupa untuk menjunjung norma. Maksudnya, bagaimana cara kita mengungkapkan ekspresi melalui media sosial yang harus diperhatikan. Terlebih bagi public figure yang seharusnya menjadi role model bagi masyarakat.
"Yang penting untuk diingat adalah segala bentuk perilaku, sikap dan cara pandang public figure itu menjadi perhatian masyarakat. Yang kemudian sikap itu bisa saja dijadikan rujukan. Sehingga pada posisi tertentu, siapapun yang menjadi public figure harus sadar jika segala sesuatu yang dilakukannya berpeluang untuk direspon," kata Ida dalam suatu perbincangan, Sabtu (18/1/2014).
Untuk itu, dia menyarankan agar memiliki sikap bijak karena bagaimanapun ungkapan apapun yang diunggah melalui media sosial akan berpotensi besar untuk direspon. Respon yang diberikan pun bervariasi karena masyarakat Indonesia juga majemuk.
Ida menuturkan, karakteristik masyarakat Indonesia masih dalam taraf low context society. Artinya, contoh yang diberikan public figure maka itulah yang akan diikuti. Berbeda dengan negara yang sudah high context society, masyarakatnya lebih menyaring apa yang disajikan.
"Mereka lebih melek aksara dan makna. Mereka lebih bisa mengkritik dan menyaring. Dan sebagai public figure, seharusnya juga lebih menyadari lingkungan dan konteks masyarakatnya," saran dia.
Yang perlu dimiliki pula oleh public figure, sambung Ida, adalah kemampuan mendefinisikan kondisi sosial atau lebih dikenal dengan istilah social skill. Artinya, seseorang yang sudah mampu menguasai kondisi sosial maka dia akan bersikap sesuai kondisi yang ada.
Misalnya, dalam mengeluarkan simbol komunikasi maka harus disadari reaksi dari lingkungan sosialnya akan seperti apa. Dan lebih dalam lagi dikatakan, dalam mengungkapkan komunikasi di media sosial juga jangan mengedepankan sisi pribadi.
"Seseorang yang menjabat sebagai public figure harus menguasai sosialisasi antisipator. Artinya, dia harus sudah memahami do dan don't dan tidak mengedepankan individu expectation," paparnya.
Contoh sederhana, jika seorang guru ingin mengeluarkan simbol komunikasi maka dia harus menyadari jabatan yang melekat padanya. Kemudian, dia harus mengetahui respon apa yang diterima dan bagaimana jika anak muridnya merespon. Jika itu sudah disadari dan dikuasai barulah dia dikatakan memiliki social skill yang baik.
"Semakin tinggi jabatan yang diemban maka semakin tinggi social skill yang harus dimiliki," tutupnya.
Source
Sosiolog dari Universitas Indonesia Ida Ruwaida menuturkan, para pejabat atau public figure perlu menyadari media sosial bisa memberikan dampak yang positif. Karena kekuatan jaringan media sosial mampu menggerakkan kekuatan masyarakat.
Contoh, Mesir menggunakan media sosial sebagai alat penggerak utama politik. Karena membuka ruang yang bisa diakses tiap warga negara.
Di Indonesia sendiri, pengguna media sosial masih terhitung baru sehingga masyarakat lupa untuk menjunjung norma. Maksudnya, bagaimana cara kita mengungkapkan ekspresi melalui media sosial yang harus diperhatikan. Terlebih bagi public figure yang seharusnya menjadi role model bagi masyarakat.
"Yang penting untuk diingat adalah segala bentuk perilaku, sikap dan cara pandang public figure itu menjadi perhatian masyarakat. Yang kemudian sikap itu bisa saja dijadikan rujukan. Sehingga pada posisi tertentu, siapapun yang menjadi public figure harus sadar jika segala sesuatu yang dilakukannya berpeluang untuk direspon," kata Ida dalam suatu perbincangan, Sabtu (18/1/2014).
Untuk itu, dia menyarankan agar memiliki sikap bijak karena bagaimanapun ungkapan apapun yang diunggah melalui media sosial akan berpotensi besar untuk direspon. Respon yang diberikan pun bervariasi karena masyarakat Indonesia juga majemuk.
Ida menuturkan, karakteristik masyarakat Indonesia masih dalam taraf low context society. Artinya, contoh yang diberikan public figure maka itulah yang akan diikuti. Berbeda dengan negara yang sudah high context society, masyarakatnya lebih menyaring apa yang disajikan.
"Mereka lebih melek aksara dan makna. Mereka lebih bisa mengkritik dan menyaring. Dan sebagai public figure, seharusnya juga lebih menyadari lingkungan dan konteks masyarakatnya," saran dia.
Yang perlu dimiliki pula oleh public figure, sambung Ida, adalah kemampuan mendefinisikan kondisi sosial atau lebih dikenal dengan istilah social skill. Artinya, seseorang yang sudah mampu menguasai kondisi sosial maka dia akan bersikap sesuai kondisi yang ada.
Misalnya, dalam mengeluarkan simbol komunikasi maka harus disadari reaksi dari lingkungan sosialnya akan seperti apa. Dan lebih dalam lagi dikatakan, dalam mengungkapkan komunikasi di media sosial juga jangan mengedepankan sisi pribadi.
"Seseorang yang menjabat sebagai public figure harus menguasai sosialisasi antisipator. Artinya, dia harus sudah memahami do dan don't dan tidak mengedepankan individu expectation," paparnya.
Contoh sederhana, jika seorang guru ingin mengeluarkan simbol komunikasi maka dia harus menyadari jabatan yang melekat padanya. Kemudian, dia harus mengetahui respon apa yang diterima dan bagaimana jika anak muridnya merespon. Jika itu sudah disadari dan dikuasai barulah dia dikatakan memiliki social skill yang baik.
"Semakin tinggi jabatan yang diemban maka semakin tinggi social skill yang harus dimiliki," tutupnya.
Source
Thx buat agan/aganwati yang udah mampir!

Semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan.

Semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan.
0
6.1K
Kutip
80
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan