- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Soe Hok Gie yang mulai dilupakan


TS
kartikacinta
Soe Hok Gie yang mulai dilupakan

Quote:
Saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan.
Sepenggal kalimat Soe Hok Gie di atas, bagi generasi muda 80-90-an sangatlah populer. Apalagi di kalangan kaum pergerakan dan dunia kampus.
Meski Soe Hok Gie meninggal dalam usia yang menginjak 27 tahun, namanya sangat dikenal di kalangan para aktivis karena tulisan-tulisan dan pemikirannya yang sangat fenomenal.
Selepas SMA di Kolese Kanisius, Soe Hok Gie melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia. Soe Hok Gie memilih ke Fakultas Sastra Jurusan Sejarah.
Di sanalah dia mulai berproses. Soe Hok Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini, gerakan Soe Hok Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rezim Orde Lama.
Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian.
Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul ‘Catatan Seorang Demonstran’. Seperti sepenggal kata-kata bijak dari prinsipnya untuk membela keadilan.
Who am I? Saya telah menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang ingin mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi ketidak-populeran, karena ada suatu yang lebih besar: kebenaran.
Namun jaman semakin berkembang, suara Soe Hok Gie mulai lemah terdengar. Meski masih ada sesayup yang mengumandangkan. Di dunia kampus yang dipenuhi remaja generasi 2000-an, nama Soe Hok Gie menjadi makhluk asing.
Meski masih ada mahasiswa aktivis pergerakan, namun nama Soe Hok Gie kalah pamor dengan sosok Karl Marx dan ikon pergerakan, Comrade Che Guevara.
Tak bisa dipungkiri, Che Guevara yang berjuang jauh di Argentina sana telah menjadi ikon pop para aktivis pergerakan terkini.
Lia, salah seorang mahasiswi Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Airlangga semester tiga mengaku baru pertama kali mendengar nama Soe Hok Gie.
Beberapa temannya yang lain juga mengatakan hal yang sama. “Wah, kita tidak tahu mas, kita aja baru dengar,” ujar Lia dan kawan-kawannya.
Nasib Soe Hok Gie juga cukup mengenaskan dalam hal literatur. Buku-buku Soe Hok Gie ternyata cukup minim hadir di toko-toko buku. Hanya di lapak-lapak pasar loak, buku Soe Hok Gie bisa didapat. Meski masih ada yang ingin bernostalgia dengannya.
Supervisor Toko Buku Toga Mas, Yudi mengaku karya Soe Hok Gie hingga kini masih banyak yang mencari, terutama orang-orang tua yang sudah berumur.
“Masih banyak peminatnya, padahal kami sudah tidak mendapatkan cetakan buku itu sejak tahun 2005. Mungkin kalau di pedagang buku bekas itu masih ada mas, karena itu salah satu buku langka,” katanya.
Di lain pihak, Feri seorang pedagang buku bekas di kawasan Kampung Ilmu mengaku setiap bulan dia masih mendapat kiriman buku karya Soe Hok Gie, baik buku bekas maupun cetakan baru.
Hal yang sama dia utarakan terkait peminat karya Soe Hok Gie. “Masih banyak yang nyari mas, tetapi ya harus sabar, karyanya laris, dari tiga puluh buku tentang dia, tidak ada satu bulan sudah habis terjual,” ujarnya.
Beruntungnya, dari suara modernisme yang membawa sikap instan dan individual saat ini, masih ada segelintir yang mencoba bergelut dengan idealisme.
Rahmat, seorang mahasiswa FISIP Universitas Airlangga Surabaya mengatakan, dirinya juga salah satu pengagum Soe Hok Gie. Masiswa semester sembilan ini kagum dengan keteguhan seorang Gie dalam membela prisip keadilan bagi semua orang. ”Pendiriannya kuat, meskipun sekelilingnya adalah orang-orang yang tidak suka pada sudut pandangnya,” tuturnya.
Melihat banyaknya organisasi pergerakan kampus yang salah, sebagai mahasiswa Rahmat setuju dengan pemikiran Gie. Dia ingin pergerakan kaum intelektual tidak lagi tersangkut dengan berbagai kepentingan.
“Pergerakan mahasiswa saat ini sarat dengan kepentingan, harusnya bisa seperti dulu, hanya membela keadilan rakyat kecil, tapi sayangnya jaman sekarang sulit,” ujarnya sembari membaca beberapa buku yang dia ambil dri rak buku perpustakaan Unair.
Soe Hok Gie dikenal sebagai penulis yang sangat cerdas. Sosoknya sangat terkenal karena tulisannya yang sangat kritis terhadap pemerintah orde lama dan orde baru. Bahkan, karya tulisnya hingga saat ini masih banyak diburu untuk menjadi referensi.
Sepenggal kalimat Soe Hok Gie di atas, bagi generasi muda 80-90-an sangatlah populer. Apalagi di kalangan kaum pergerakan dan dunia kampus.
Meski Soe Hok Gie meninggal dalam usia yang menginjak 27 tahun, namanya sangat dikenal di kalangan para aktivis karena tulisan-tulisan dan pemikirannya yang sangat fenomenal.
Selepas SMA di Kolese Kanisius, Soe Hok Gie melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia. Soe Hok Gie memilih ke Fakultas Sastra Jurusan Sejarah.
Di sanalah dia mulai berproses. Soe Hok Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini, gerakan Soe Hok Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rezim Orde Lama.
Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian.
Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul ‘Catatan Seorang Demonstran’. Seperti sepenggal kata-kata bijak dari prinsipnya untuk membela keadilan.
Who am I? Saya telah menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang ingin mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi ketidak-populeran, karena ada suatu yang lebih besar: kebenaran.
Namun jaman semakin berkembang, suara Soe Hok Gie mulai lemah terdengar. Meski masih ada sesayup yang mengumandangkan. Di dunia kampus yang dipenuhi remaja generasi 2000-an, nama Soe Hok Gie menjadi makhluk asing.
Meski masih ada mahasiswa aktivis pergerakan, namun nama Soe Hok Gie kalah pamor dengan sosok Karl Marx dan ikon pergerakan, Comrade Che Guevara.
Tak bisa dipungkiri, Che Guevara yang berjuang jauh di Argentina sana telah menjadi ikon pop para aktivis pergerakan terkini.
Lia, salah seorang mahasiswi Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Airlangga semester tiga mengaku baru pertama kali mendengar nama Soe Hok Gie.
Beberapa temannya yang lain juga mengatakan hal yang sama. “Wah, kita tidak tahu mas, kita aja baru dengar,” ujar Lia dan kawan-kawannya.
Nasib Soe Hok Gie juga cukup mengenaskan dalam hal literatur. Buku-buku Soe Hok Gie ternyata cukup minim hadir di toko-toko buku. Hanya di lapak-lapak pasar loak, buku Soe Hok Gie bisa didapat. Meski masih ada yang ingin bernostalgia dengannya.
Supervisor Toko Buku Toga Mas, Yudi mengaku karya Soe Hok Gie hingga kini masih banyak yang mencari, terutama orang-orang tua yang sudah berumur.
“Masih banyak peminatnya, padahal kami sudah tidak mendapatkan cetakan buku itu sejak tahun 2005. Mungkin kalau di pedagang buku bekas itu masih ada mas, karena itu salah satu buku langka,” katanya.
Di lain pihak, Feri seorang pedagang buku bekas di kawasan Kampung Ilmu mengaku setiap bulan dia masih mendapat kiriman buku karya Soe Hok Gie, baik buku bekas maupun cetakan baru.
Hal yang sama dia utarakan terkait peminat karya Soe Hok Gie. “Masih banyak yang nyari mas, tetapi ya harus sabar, karyanya laris, dari tiga puluh buku tentang dia, tidak ada satu bulan sudah habis terjual,” ujarnya.
Beruntungnya, dari suara modernisme yang membawa sikap instan dan individual saat ini, masih ada segelintir yang mencoba bergelut dengan idealisme.
Rahmat, seorang mahasiswa FISIP Universitas Airlangga Surabaya mengatakan, dirinya juga salah satu pengagum Soe Hok Gie. Masiswa semester sembilan ini kagum dengan keteguhan seorang Gie dalam membela prisip keadilan bagi semua orang. ”Pendiriannya kuat, meskipun sekelilingnya adalah orang-orang yang tidak suka pada sudut pandangnya,” tuturnya.
Melihat banyaknya organisasi pergerakan kampus yang salah, sebagai mahasiswa Rahmat setuju dengan pemikiran Gie. Dia ingin pergerakan kaum intelektual tidak lagi tersangkut dengan berbagai kepentingan.
“Pergerakan mahasiswa saat ini sarat dengan kepentingan, harusnya bisa seperti dulu, hanya membela keadilan rakyat kecil, tapi sayangnya jaman sekarang sulit,” ujarnya sembari membaca beberapa buku yang dia ambil dri rak buku perpustakaan Unair.
Soe Hok Gie dikenal sebagai penulis yang sangat cerdas. Sosoknya sangat terkenal karena tulisannya yang sangat kritis terhadap pemerintah orde lama dan orde baru. Bahkan, karya tulisnya hingga saat ini masih banyak diburu untuk menjadi referensi.
www.lensaindonesia.co.id/2014/01/16/soe-hok-gie-yang-mulai-dilupakan.html
sifatnya yang selalu teguh hati mempertahankan prinsip2nya patut ditiru ya gan

dialah aktivis pergerakan sesungguhnya

0
5.8K
Kutip
34
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan