Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

LimalasAvatar border
TS
Limalas
Heboh 8 Fakta Bahwa Amerika dibalik Jatuhnya Suharto 1998!"
Sebagai Perbandingan dari Para penggegas : Penak Jamanku to Mbah

Yang paling menarik dalam deru gerakan reformasi yang menimbulkan gejolak hingga mundurnya Soeharto dari jabatan presiden adalah tak pernah disebut-sebutnya AS --atau paling tidak IMF-- sebagai pihak yang menyeng- sarakan rakyat banyak dan juga ikut terlibat dalam proses krisis ekonomi yang memicu gejolak politik dan sosial di Indonesia. Baik kalangan mahasiswa, pimpinan reformer (semacam Amien Rais atau Emil Salim), maupun dari kalangan pejabat baik sipil maupun militer tak pernah menyebut negara adidaya nomor satu di dunia itu turut andil dalam peristiwa bersejarah itu. Seolah-olah bahwa peristiwa yang terjadi kini murni produk dalam negeri dan tak ada keterkaitan dengan dunia internasional. Dan AS yang telah siap siaga dengan kapal induk Belleau Wood dan 2000 --rumor menyebut 10.000-- personil marinirnya di laut Cina Selatan (Kompas, 21/5/1998) tenang-tenang saja dan merasa aman.

Setelah mundurnya Suharto dan naiknya Wapres Habibie menjadi Presiden, baru mulai terkuak keterlibatan AS dengan seluruh peristiwa politik di negeri ini. Bermula dari analisis-analisis para pakar politik di luar negeri. Sebut saja analisis Trairat Soontornprapat dalam harian Daily News (Thailand): "Setiap orang akan yakin 100 persen bahwa CIA memainkan peranan di balik gejolak politik di Indonesia belakangan ini". Atau tulisan editorial harian berpengaruh Inggris, The Guardian: "Tekanan berat justru datang dari mereka di Washington, yang dulu merupakan pendukung setia Presiden Soeharto". Harian El Mundo Spanyol mengatakan bahwa yang dilakukan AS terhadap Presiden Soeharto adalah American coup de grace. Surat kabar itu menyebut bahwa selain tekanan internal, pengunduran Presiden Soeharto dipercepat sebuah ultimatum yang dikeluarkan Menlu AS, Albright. Dalam pernyataannya yang disiarkan jaringan televisi CNN dalam breaking news 10 jam sebelum Suharto mundur Albright mengatakan, langkah itu (pengunduran diri Suharto) semestinya diambil untuk memberi jalan bagi transisi demokratis negerinya. Apapun caranya, ini membuktikan coup de grace. Semua analisis di atas dikemukakan oleh staf redaksi Kompas, Budiarto Shambazy, yang menampik pendapat-pendapat di atas dan menulis bahwa teori keterlibatan AS dalam proses sejarah yang berpuncak pada suksesi 21 Mei 1998 itu tidak betul (Kompas, 24/5/1998).


Anehnya, tanpa ada yang menuduh AS atau mendemo kedubes AS di Jakarta guna memprotes keterlibatan AS dalam gejolak politik di dalam negeri Indonesia, pada hari berikutnya (Senin, 25/5) pemerintah AS melalui anggota Kongres sekaligus Chairman Subcommitee on International Operations and Human Right Christopher H Smith yang berkunjung di Indonesia menolak bahwa AS berada di belakang jatuhnya Soeharto (Kompas, 26/5/98). Selanjutnya anggota Konggres yang memberikan keterangan pers di kantor pusat PP Muhammadiyah Jakarta itu menambahkan, imbauan Menlu Albright beberapa jam sebelum Soeharto turun itu jangan ditafsirkan sebagai upaya campur tangan AS atas kedaulatan RI.

Lalu bagaimana yang sebenarnya terjadi? Benarkah AS memainkan peranan yang begitu besar di negeri ini? Sejauh mana masa depan pemerintahan Habibie? Bagaimana masa depan perpolitikan di Indonesia yang merupakan negeri dengan penduduk mayoritas muslim sekaligus negeri yang populasi umat Islamnya terbesar di dunia ini? Akankah Islam menjadi patokan hidup rakyat dan penguasanya dan sekaligus jiwa politik partai-partai yang beranggotakan kaum muslimin?





Bukti-bukti keterlibatan AS



Bukti nyata keterlibatan AS dalam kehidupan perpolitikan di Indonesia sebenarnya mudah dilihat --bahkan orang-orang luar negeri saja dapat dengan mudah memahaminya. Yang paling menyolok adalah pidato menlu AS, konon seorang wanita keturunan Yahudi, Madeline Albright, beberapa jam sebelum pengunduran diri Presiden Soeharto, yang mengisyaratkan supaya Presiden Soeharto mundur agar krisis terpecahkan. Bersamaan dengan itu, pemerintah AS mengumumkan telah mengirimkan sebuah kapal induk Belleau Wood yang dilengkapi dengan helikopter dan pesawat-pesawat jet tempur serta dua kapal pendukung, lengkap dengan 2000 serdadu marinir ke Teluk Jakarta untuk melakukan "evakuasi militer" (Kompas, 21/5/1998). Seo- rang pejabat tinggi AS menyebut ungkapan Albright agar pak Harto membuka pintu bagi demokrasi setelah memerintah secara otokrasi selama 32 tahun itu secara tegas berarti meminta pak Harto mundur. (Forum, nomor 5 tahun VII, 1998). Sebelumnya, tanggal 18/5/1998, di London, Presiden AS Bill Clinton mengisyaratkan kepuasannya terhadap apa yang sedang berlangsung di Indonesia seraya berkata: "Sesungguhnya Washington berupaya mendorong dimulainya dialog politik di daerah-daerah yang masih bersengketa". Juga katanya: "Namun penolakan Soeharto terhadap dialog politik dengan oposisi telah membuat situasi menjadi runyam". Sungguh apa yang dilakukan dua petinggi AS tersebut adalah campur tangan di dalam urusan dalam negeri orang lain yang tentu saja itu bertentangan dengan undang-undang Inter- nasional!

Setelah pak Harto mundur, Presiden AS Bill Clinton, sebagaimana dikutip Reuters mengatakan, "Kami menyambut baik keputusan Presiden Soeharto yang membuka jalan bagi transisi demokratis di Indonesia". Clinton juga menyebut bahwa turunnya Soeharto merupakan kesempatan bagi rakyat Indonesia untuk bersama-sama membangun demokrasi yang stabil (Forum, idem). Ungkapan Clinton yang senada dengan pernyataan Menlunya di atas menunjukkan adanya indikasi bahwa negara kapitalis kolonialis nomor satu di dunia itu memang punya kepentingan untuk mem- bentuk era baru, yaitu era demokratisasi, di Indonesia. Dan hal itu senada dengan apa yang dikemukakan oleh seluruh tokoh reformasi semacam Amien Rais, Nurcholis Majid, Emil Salim, dan Adnan Buyung Nasution. Termasuk ucapan mereka yang menjadi korban perjuangan demokratisasi semacam Sri Bintang Pamungkas dan Mochtar Pak- pahan. Bahkan juga Fachri Hamzah tokoh KAMMI yang berasal dari kalangan mahasiswa yang dikenal dari kelompok yang lebih kental keislamannya. Dan kaitan AS dalam proses reformasi yang sejatinya adalah perubahan suasana "otokratik" menjadi "demokratik" dapat dilihat dari laporan The International Herald Tribune, 21 Mei lalu, yang menyentil adanya bantuan US$ 26 Juta yang diberikan the US Agency for International Development (USAID) kepada sejumlah LSM di tanah air, sejak 1995 lalu, untuk menyokong HAM dan kebebasan berekspresi di Indonesia (Forum, idem).

Dan dalam kunjungan ke sini empat hari setelah jatuhnya Soeharto, anggota Kong- gres AS Christopher H Smith mencoba mencuci tangan AS sebagaimana diungkap dalam acara jumpa persnya di kantor PP Muham- madiyah. Ia menegaskan bahwa pemerintah AS tidak berada di belakang proses mundurnya Soeharto dari jabatannya. Tapi fakta menunjukkan bahwa pemerintah AS memang melakukan campur tangan atas kedaulatan RI. Bahkan Smith sendiri sebagai anggota kongres telah melakukan campur tangan terhadap keadaan di sini dengan melakukan pertemuan tertutup --ditemani Dubes AS J Stapleton Roy-- dengan Amien Rais yang dikenal luas sebagai salah seorang tokoh gerakan Reformasi --dengan berbagai gejolak politik dan sosial yang ditimbulkannya-- yang juga siap menjadi Presiden RI ke-4 dalam pemilu mendatang. Bahkan dalam kesempatan membantah adanya campur tangan AS dalam "penggulingan" Soeharto itu Smith dan 14 anggota Konggres AS lainnya yang menandatangani nota tertulis menyampaikan delapan imbauan (baca: tekanan) yang antara lain berisi permintaan agar pemerintahan Habibie segera membebaskan tanpa syarat --bahkan dengan menyebut nama satu persatu-- tahanan politik seperti Bintang Pamungkas dan Mukhtar Pakpahan (Kompas, 26/5/1998).

Harian Republika (26/5/98) menyebut kedelapan tuntutan AS itu sebagai berikut.



Pertama, masalah pembebasan tahanan politik, termasuk Sri Bintang, Pakpahan, Budiman Soedjatmiko, Xanana Gusmao, Andi Arief, Garda Sembiring,dll

Kedua, memantapkan prosedur, dengan jadwal yang jelas tentang pelaksanaan pemilu yang luber dan jurdil.

Ketiga, mewujudkan reformasi hukum seperti yang dijanjikan presiden Habibie, antara lain UU yang mendukung budaya oposisi dan pencabutan UU Subversi.

Keempat, mengawali dialog terbuka dan dengan itikad baik dengan rakyat Timor Timur dan Irian Jaya.

Kelima, memperluas partisipasi politik WNI, khususnya yang berada di luar Jawa.

Keenam, Pemerintah Indonesia diharapkan segera meratifikasi konvensi soal HAM.

Ketujuh, menghentikan tindak penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan ekstrayudisial terhadap aktivis politik. Serta segera menyelidiki kasus-kasus itu secara menyeluruh.

Kedelapan, meminta Habibie mengkaji ulang dwi fungsi ABRI.




Sungguh sandiwara politikus AS dan pemerintahan Clinton luar biasa. Sayangnya mayoritas bangsa Indonesia terbengong-bengong tak menyadarinya. Bahkan tak menyadari kekonyolan bantahan Smith di atas yang tak jelas ditujukan kepada siapa. Sebab tak satupun pejabat atau politisi di negeri ini yang mengungkapkan keprihatinan dan kekecewaan mereka atas campur tangan AS terhadap kedaulatan negeri ini. Juga tak ada aksi demonstrasi di kedubes AS yang memprotes keterlibatan AS dalam kasus suksesi ini. Bahkan tak ada bunyi dan aksi untuk itu sama sekali. Jadi apa yang diungkap Smith adalah bantahan sebelum orang Indonesia menuduh. Menggelikan dan licik sekali! Namun itu justru menambah keyakinan orang yang menganalisis keterlibatan AS di sini.

Dan seluruh tuntutan di atas memang sudah merupakan draft politik AS dalam rangka menjadikan demokrasi kapitalisme sebagai agama dunia setelah runtuhnya ideologi Komunis yang dikawal Uni Soviet pada tahun 1991. Dengan berbagai cara AS bermaksud menundukkan dunia agar berkiblat kepada kapitalisme.

Menarik disimak adalah pernyataan pakar ekonomi Theo F. Toemion yang mengungkapkan kepintaran IMF yang hanya pintar untuk menjatuhkan suatu pemerintahan (Kompas, 25/5/98) Ia menambahkan, resep-resep IMF mulai dari pelebaran pita intervensi dua minggu sebelum rupiah kena imbas, free float, meroketnya SBI yang pertama, mengundang masuk IMF, likuidasi bank pertama, meroketnya SBI kedua, likuidasi bank kedua, sampai pada kenaikan harga BBM dan listrik, akhirnya melengkapi jurus-jurus pamungkas untuk menjatuhkan pemerintah. Dalam bagian lainnya ia mengutip keyakinan bahwa IMF itu identik dengan AS. (Kompas, ibidem).

Masihkah realitas yang begitu jelas itu dipungkiri?

simber : http://www.angelfire.com/de/assalam/AsDibalik.html emoticon-Mad (S)
Diubah oleh Limalas 14-01-2014 08:21
0
9K
51
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan