- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
pramuriaan Saritem yang lebih sakti dari Satpol PP Bandung


TS
duta.pertamax
pramuriaan Saritem yang lebih sakti dari Satpol PP Bandung
Quote:

"Saritem, bagian dari denyut nadi Bandung yang selalu berdenyut denyut"
Reporter : Ramadhian Fadillah | Sabtu, 11 Januari 2014 06:41
Merdeka.com - Saritem sudah identik dengan Kota Bandung. Sama dengan Pasar Kembang di Yogyakarta dan Gang Dolly di Surabaya, lokalisasi tempat para wanita malam ini bahkan lebih tua dari umur Republik Indonesia.
Lokalisasi ini berada di pusaran pusat kota Bandung yang dihimpit tiga Jalan besar yakni Jalan Gardujati, Jalan Sudirman dan Jalan Kebonjati.
Ratusan perempuan berjejer di sela-sela gang. Mereka memperlihatkan kemolekan tubuh yang kemudian dilakukan tawar menawar untuk memuaskan hasrat pria hidung belang.
Banyak versi sejarah Saritem, ada yang menyebut karena seorang wanita bernama Nyi Sari, si cantik berkulit hitam manis. Kawasan ini mulai berkembang sejak awal 1906.Lebih ramai lagi saat zaman pendudukan Jepang. Di sinilah tempat serdadu Jepang dan pria hidung belang melampiaskan napsunya.
Sudah lama Pemkot Bandung ingin menutup lokalisasi ini. Namun tak juga berhasil. Saritem rupanya lebih sakti dari Satpol PP.
Dulu menurut Perda Kota Bandung No 11/1995, efektif mulai November 2006 semua kompleks lokalisasi akan mulai dihapuskan. Semua kegiatan lokalisasi Saritem akan diakhiri pada 17 April 2007 pukul 24.00 WIB dan Saritem akan ditutup pada 18 April 2007.
Nyatanya hingga hari ini Saritem masih tegak berdiri. Masjid Besar At Taubah di muka jalan itu tak berdaya menahan transaksi seks yang terjadi tiap malam.
Budi (32) salah satu calo PSK di Saritem mengaku menyediakan aneka macam wanita. "Ada yang Rp 150 ribu, Rp 200 ribu, bahkan Rp 500 ribu," katanya pada merdeka.com beberapa waktu lalu.
"Kalau yang Rp 500 ribu mah dijamin muda dan seger kang. Jiga artis (kaya artis-red)," kilahnya.
Dia pun mengaku tak takut meski secara resmi lokalisasi ini sudah resmi ditutup. "Aman kang. Moal aya nu ngagerebeg (tidak ada yang berani gerebek)," terangnya.
Wali Kota Bandung Ridwan Kamil mengakui tak mudah menutup Saritem. Namun Ridwan mengaku sudah punya program untuk mengatasi pramuriaan.
"Saritem saya laksanakan sesuai Perda. Lokalisasi kan sudah diputuskan untuk tidak ada. Sehingga secara tata ruang kegiatan itu tidak boleh ada lagi. Gagasan yang paling baik adalah membuat fungsi baru. Seperti lapangan, dan ruang terbuka lainnya," kata Ridwan Kamil di Bandung.
Cara itu diakui dia tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi keberadaan Saritem seolah menjadi identitas Bandung yang keberadaannya sudah ada sejak abad ke-19.
"Tidak mudah memang, tapi asalkan tahu bahwa pada dasarnya semua itu memiliki umur, mungkin ini harus memiliki fungsi baru," ujarnya.
Permasalahan Saritem, menurutnya menyangkut hajat orang banyak. Ribuan PSK masih beroperasi di tempat tersebut. Pria yang akrab disapa Emil telah menyiapkan konsep 'Jaga Lembur' atau dalam bahasa Indonesia berarti menjaga kampung halaman.
"Jadi nanti setiap lembur bisa menghasilkan produk kreatif, PSK di sana bisa diberdayakan, karena PR besar saya ada 500 ribu orang miskin yang harus saya bantu. Gerakan satu kampung satu produk kreatif, PSK masuk dalam konstalasi itu," tandasnya.
Sensus tahun 2010, tercatat ada sekitar 625 PSK dan germo yang beroperasi di Saritem. Jumlah ini diduga sedikit berkurang.
Dewi (27), salah seorang PSK beberapa waktu lalu mengaku sulit meninggalkan profesi ini. Alasan tak punya keahlian dan penghasilan yang cukup besar membuat mereka sulit beralih profesi.
Dewi mengaku memasang tarif Rp 300.000 sekali kencan. Namun dia hanya mendapat setengah karena diberikan pada germo untuk sewa kamar dan lain-lain. Semalam dia bisa melayani 3-5 pelanggan.
"Satu bulan rata-rata Rp 5-7 juta," kata Dewi.
http://www.merdeka.com/peristiwa/pra...p-bandung.html
Malam Hari, Gang-gang Kecil di Saritem Begitu 'Hidup'
Spoiler for :

Jakarta - Volume alunan musik bergenre techno diputar kencang dari dalam rumah berlantai dua. Derai tawa sekumpulan perempuan berbusana seksi terdengar sayup. Selepas azan Isya, suasana ingar bingar ini tergambar di kawasan lokalisasi Saritem. Bukti aktivitas prostitusi legendaris di Kota Bandung itu belum tamat.
Pantauan detikcom, Rabu (4/9/2013) malam, aktivitas lokalisasi Saritem tetap menggeliat. Namun tidak semarak tujuh tahun silam. Pemkot Bandung menutup kawasan tersebut sejak 17 April 2007. Seketika popularitas Saritem meredup hingga terdeteksi seantero negeri.
Insiden penembakan oleh oknum polisi personel Sabhara Polrestabes Bandung kepada seorang pria pada Sabtu lalu di Saritem, menyingkap tabir fakta denyut prostitusi masih berdetak. Pasca aksi koboi tersebut, seolah dianggap hembusan angin. Bisnis haram itu tak tiarap.
Menyusuri sebagian gang sempit Saritem, sejumlah bangunan permanen berjejer di kiri kanan. Gang yang bisa dilintasi dua sepeda motor itu ramai dengan lalu lalang orang-orang kalangan dewasa dan bocah. Tidak ada kesan remang-remang.
"Parkir di sini saja," ucap pemuda bertopi kepada tamu yang datang sambil menunjukan lahan parkir di tengah-tengah permukiman padat itu.
Sedikitnya delapan bangunan terlewati yang di antaranya begitu vulgar menampilan deretan perempuan muda dalam ruangan sambil duduk manis di sofa. Mereka menanti dibidik konsumen. Kaca jendela rumah sengaja tanpa penghalang tirai. Sebutan bekennya yakni akuarium. Lelaki yang lewat digoda matanya agar menatap 'etalase' yang memamerkan para pekerja seks komersil (PSK).
"Tarifnya bervariasi. Ada 200 ribu rupiah. Ada yang lebih 400 ribu rupiah. Itu termasuk sewa kamar," bisik salah satu tamu yang seminggu terakhir pernah menyambangi Saritem.
Tempat bordil di Saritem tak hanya berfisik satu lantai. Ada dua lantai, bahkan lebih. Biasanya lantai atas tersedia kamar. Penyisiran di lokasi, tiap rumah terlihat sedikitnya menawarkan lima PSK berpenampilan seronok. Namun tak semua bangunan di lokasi Saritem dipakai tempat ajang transaksi prostitusi. Banyak berdiri rumah warga yang menetap di kawasan tersebut.
Gerombolan calo pramuria yang mayoritas lelaki siap menyambut tamu dari tiap penjuru mata angin. Tak sulit membedakan mana sang perantara atau bukan. Tamu lelaki yang berjalan atau menunggangi sepeda motor masuk gang, pasti disapa.
"Bade kamana, nu didieu we (mau ke mana, yang di sini saja)," ucap pria bertubuh kurus itu memberikan isyarat.
[url]http://news.detik..com/read/2013/09/05/083441/2349797/10/malam-hari-gang-gang-kecil-di-saritem-begitu-hidup[/url]

ANTARA SORGA DAN NERAKA
Lokasinya yang berdekatan dengan stasiun kereta api yang kini dinamakan Stasiun Bandung itu diyakini Saritem sebagai lokasi melting pot (tempat berbaurnya masyarakat yang berbeda latar belakang dan asalnya).
Spoiler for :
Dicuplik dari katalog Common Ground, 2003:
"Tiga tahun yang lalu, di tengah-tengah kompleks lokalisasi Saritem --salah satu lokalisasi pramuriaan tertua di Indonesia setelah kompleks Dolly di Surabaya— pemerintah daerah kota Bandung membangun sebuah pondok pesantren dengan dana negara.
Pemerintah tampaknya berkeinginan untuk memberikan landasan agama Islam yang lebih kuat terhadap para pekerja seks yang ada di sana. Dalam istilah yang biasa dipakai: untuk mengembalikan mereka ke jalan yang benar.
Tetapi yang lebih menarik bagi saya adalah menyaksikan kompleksitas interaksi yang terjadi antara para pekerja seks dengan pondok pesantren dan warga sekitar lokalisasi tersebut.
Kompleksitas tersebut seringkali justru tidak terkatakan, tetapi muncul dari hal-hal yang bersifat sehari-hari –misalnya saat serombongan gadis-gadis yang berpupur tebal dan berpakaian seronok berpapasan dengan gadis berjilbab dan berpakaian serba tertutup; atau saat para orang tua –yang sebagian berprofesi sebagai germo atau pekerja seks— menjemput putra-putrinya yang bersekolah di pesantren.
Semua hal yang kontras sekaligus terjadi di lorong gang yang sama. Saya ingat ketika, dalam satu obrolan, seorang pekerja seks di Saritem berucap bahwa “perut dan agama adalah dua urusan yang sama sekali berbeda”.
Mereka mengerti bahwa jalan yang mereka tempuh mungkin merupakan jalan yang salah, tetapi mereka juga tidak bisa begitu saja keluar dari lingkungannya karena justru merekalah tumpuan hidup ekonomi keluarga mereka di desa.
Saya pribadi berpendapat bahwa hubungan kita dengan Tuhan adalah sepenuhnya urusan diri kita masing-masing. Tetapi justru dari lingkungan seperti Saritem inilah kita bisa melihat bagaimana orang-orang yang dipisahkan oleh batas-batasnya bisa berusaha hidup bersama dan, bahkan, menyatu –sebagaimana yang bisa kita lihat pada anak-anak yang memilih untuk meninggalkan profesi ayah-ibunya untuk belajar dan tumbuh sebagai santri."

Seorang ibu memperhatikan anaknya yang sedang bermain dan belajar di Pesantren Daar At-Taubah

Seorang pekerja seks bersama kedua anaknya yang menjadi santri di Pesantren Daar At-Taubah

Dua orang santri berpapasan dengan pekerja seks yang melintas di depan mesjid Daar At-Taubah, di tengah-tengah kompleks pramuriaan Saritem, Bandung

Santri laki-laki bergaul dengan kaumnya melihat pemandangan pagi hari ke arah kompleks lokalisasi
http://archive.ivaa-online.org/pelak...arizona-sudiro
"Tiga tahun yang lalu, di tengah-tengah kompleks lokalisasi Saritem --salah satu lokalisasi pramuriaan tertua di Indonesia setelah kompleks Dolly di Surabaya— pemerintah daerah kota Bandung membangun sebuah pondok pesantren dengan dana negara.
Pemerintah tampaknya berkeinginan untuk memberikan landasan agama Islam yang lebih kuat terhadap para pekerja seks yang ada di sana. Dalam istilah yang biasa dipakai: untuk mengembalikan mereka ke jalan yang benar.
Tetapi yang lebih menarik bagi saya adalah menyaksikan kompleksitas interaksi yang terjadi antara para pekerja seks dengan pondok pesantren dan warga sekitar lokalisasi tersebut.
Kompleksitas tersebut seringkali justru tidak terkatakan, tetapi muncul dari hal-hal yang bersifat sehari-hari –misalnya saat serombongan gadis-gadis yang berpupur tebal dan berpakaian seronok berpapasan dengan gadis berjilbab dan berpakaian serba tertutup; atau saat para orang tua –yang sebagian berprofesi sebagai germo atau pekerja seks— menjemput putra-putrinya yang bersekolah di pesantren.
Semua hal yang kontras sekaligus terjadi di lorong gang yang sama. Saya ingat ketika, dalam satu obrolan, seorang pekerja seks di Saritem berucap bahwa “perut dan agama adalah dua urusan yang sama sekali berbeda”.
Mereka mengerti bahwa jalan yang mereka tempuh mungkin merupakan jalan yang salah, tetapi mereka juga tidak bisa begitu saja keluar dari lingkungannya karena justru merekalah tumpuan hidup ekonomi keluarga mereka di desa.
Saya pribadi berpendapat bahwa hubungan kita dengan Tuhan adalah sepenuhnya urusan diri kita masing-masing. Tetapi justru dari lingkungan seperti Saritem inilah kita bisa melihat bagaimana orang-orang yang dipisahkan oleh batas-batasnya bisa berusaha hidup bersama dan, bahkan, menyatu –sebagaimana yang bisa kita lihat pada anak-anak yang memilih untuk meninggalkan profesi ayah-ibunya untuk belajar dan tumbuh sebagai santri."
Spoiler for :

Seorang ibu memperhatikan anaknya yang sedang bermain dan belajar di Pesantren Daar At-Taubah
Spoiler for :

Seorang pekerja seks bersama kedua anaknya yang menjadi santri di Pesantren Daar At-Taubah
Spoiler for :

Dua orang santri berpapasan dengan pekerja seks yang melintas di depan mesjid Daar At-Taubah, di tengah-tengah kompleks pramuriaan Saritem, Bandung
Spoiler for :

Santri laki-laki bergaul dengan kaumnya melihat pemandangan pagi hari ke arah kompleks lokalisasi
http://archive.ivaa-online.org/pelak...arizona-sudiro
0
77.7K
Kutip
151
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan