- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Bandung, surga belanja makin tak nyaman
TS
bubs
Bandung, surga belanja makin tak nyaman
Quote:
Original Posted By
Merdeka.com - Hampir setiap bulan, Cristin (25) selalu menyediakan waktunya di akhir pekan untuk berkunjung ke Kota Bandung, Jawa Barat. Tujuannya bukan berlibur ke objek wisata alam tapi berburu baju dan makanan.
"Biasanya ke daerah Dago atau Cihampelas. Kan di sana banyak factory outlet. Habis belanja biasanya cari makanan di deket situ juga," ujar Cristin saat berbincang dengan merdeka.com, Sabtu (11/1).
Dia mengaku puas dengan kualitas barang-barang yang dijual di factory outlet yang sudah menjamur di Bandung. Beragam model busana fashion terbaru terhampar di depan mata. Soal harga, diakuinya jauh lebih murah dibanding di Jakarta.
"Bandung itu sudah seperti surga buat belanja. Apapun bisa dicari dan didapat di sana," katanya.
Predikat surga belanja memang melekat pada Bandung. Setiap akhir pekan, jalan RE Martadinata (Riau), Jalan Ir. H. Juanda (Dago), Jalan Cihampelas hingga Jalan Setiabudi, selalu dipenuhi mobil-mobil pelat B.
Pemandangan itu sudah tidak aneh lagi. Image sebagai surga belanja dan kota mode menjadikan Bandung dijuluki Parijs Van Java.
Tidak dipungkiri, fashion dan kuliner menjadi magnet dan daya tarik bagi wisatawan asing maupun domestik untuk singgah ke Kota Kembang. Barang-barang yang ditawarkan mulai dari barang impor berlabel ternama sampai produk kreatif khas Bandung.
Secara tidak langsung, keberadaan Tol Cipularang sejak 2005 turut berperan penting mengukuhkan Bandung sebagai tujuan wisata belanja dan kuliner. Tol ini memperpendek waktu dan jarak tempuh kendaraan Jakarta-Bandung dari 4 jam menjadi 2 jam saja. Jadi tidak heran jika banyak warga Jakarta menyerbu Bandung untuk berburu fashion terbaru.
Bagai dua sisi mata uang, kondisi ini juga melahirkan persoalan baru. Bandung dikepung kendaraan. Kemacetan terjadi hampir di semua titik yang ada di Kota Bandung. Bahkan, persoalan kemacetan sudah semakin kronis dan membuat tidak nyaman. Kondisi itu tidak hanya dirasakan warga lokal tapi juga wisatawan.
"Masalahnya kalau belanja di Bandung ya macet di mana-mana kalau weekend. Kadang waktunya malah justru habis di jalan gara-gara macet,"
ucap Cristin.
Pelaku bisnis di Kota Bandung juga merasakan hal itu. Salah satunya Fiki Chikara Satari, Chairman Kreative Independent Clothing Kommunity (KICK). Dia kerap mendengar keluhan dari pelanggannya mengenai kondisi Bandung yang semakin macet.
"Ini masalah yang semakin lama semakin membahayakan. Banyak yang sudah mengeluhkan dan bete kalau belanja di Bandung pasti kena macet," ujar Fiki.
Di sisi lain, Fiki menyadari kondisi ini seperti semacam fatamorgana dari geliat bisnis di Kota Kembang. Kemacetan menjadi paramater kencangnya denyut bisnis di Bandung. Sayangnya, kemacetan justru membuat wisatawan yang hobi belanja, hanya singgah di FO besar dan tidak sempat mampir ke toko-toko ritel yang menjual produk kreatif khas Bandung.
Fiki tidak menampik, geliat bisnis menjadi urat nadi perekonomian Kota Bandung. "Ekonomi tumbuh sekitar 9 persen dan ini luar biasa," ucapnya.
Di balik itu dia menyadari persoalan infrastruktur yang tak memadai. Kemacetan, kondisi jalan yang berlubang, banjir karena sistem drainase yang buruk, bisa membesar dan menjadi bola salju permasalahan Bandung. Kondisi seperti ini menjadi ancaman bagi predikat Bandung sebagai surga wisata belanja.
"Ada kekhawatiran kalau macet, wisatawan jenuh lalu pergi. Apalagi sekarang banyak kota-kota mandiri yang juga menawarkan wisata yang sama. Infrastruktur kita harapkan ada perbaikan. Supaya konsumen puas dan tidak bete," tutupnya
Merdeka.com - Hampir setiap bulan, Cristin (25) selalu menyediakan waktunya di akhir pekan untuk berkunjung ke Kota Bandung, Jawa Barat. Tujuannya bukan berlibur ke objek wisata alam tapi berburu baju dan makanan.
"Biasanya ke daerah Dago atau Cihampelas. Kan di sana banyak factory outlet. Habis belanja biasanya cari makanan di deket situ juga," ujar Cristin saat berbincang dengan merdeka.com, Sabtu (11/1).
Dia mengaku puas dengan kualitas barang-barang yang dijual di factory outlet yang sudah menjamur di Bandung. Beragam model busana fashion terbaru terhampar di depan mata. Soal harga, diakuinya jauh lebih murah dibanding di Jakarta.
"Bandung itu sudah seperti surga buat belanja. Apapun bisa dicari dan didapat di sana," katanya.
Predikat surga belanja memang melekat pada Bandung. Setiap akhir pekan, jalan RE Martadinata (Riau), Jalan Ir. H. Juanda (Dago), Jalan Cihampelas hingga Jalan Setiabudi, selalu dipenuhi mobil-mobil pelat B.
Pemandangan itu sudah tidak aneh lagi. Image sebagai surga belanja dan kota mode menjadikan Bandung dijuluki Parijs Van Java.
Tidak dipungkiri, fashion dan kuliner menjadi magnet dan daya tarik bagi wisatawan asing maupun domestik untuk singgah ke Kota Kembang. Barang-barang yang ditawarkan mulai dari barang impor berlabel ternama sampai produk kreatif khas Bandung.
Secara tidak langsung, keberadaan Tol Cipularang sejak 2005 turut berperan penting mengukuhkan Bandung sebagai tujuan wisata belanja dan kuliner. Tol ini memperpendek waktu dan jarak tempuh kendaraan Jakarta-Bandung dari 4 jam menjadi 2 jam saja. Jadi tidak heran jika banyak warga Jakarta menyerbu Bandung untuk berburu fashion terbaru.
Bagai dua sisi mata uang, kondisi ini juga melahirkan persoalan baru. Bandung dikepung kendaraan. Kemacetan terjadi hampir di semua titik yang ada di Kota Bandung. Bahkan, persoalan kemacetan sudah semakin kronis dan membuat tidak nyaman. Kondisi itu tidak hanya dirasakan warga lokal tapi juga wisatawan.
"Masalahnya kalau belanja di Bandung ya macet di mana-mana kalau weekend. Kadang waktunya malah justru habis di jalan gara-gara macet,"
ucap Cristin.
Pelaku bisnis di Kota Bandung juga merasakan hal itu. Salah satunya Fiki Chikara Satari, Chairman Kreative Independent Clothing Kommunity (KICK). Dia kerap mendengar keluhan dari pelanggannya mengenai kondisi Bandung yang semakin macet.
"Ini masalah yang semakin lama semakin membahayakan. Banyak yang sudah mengeluhkan dan bete kalau belanja di Bandung pasti kena macet," ujar Fiki.
Di sisi lain, Fiki menyadari kondisi ini seperti semacam fatamorgana dari geliat bisnis di Kota Kembang. Kemacetan menjadi paramater kencangnya denyut bisnis di Bandung. Sayangnya, kemacetan justru membuat wisatawan yang hobi belanja, hanya singgah di FO besar dan tidak sempat mampir ke toko-toko ritel yang menjual produk kreatif khas Bandung.
Fiki tidak menampik, geliat bisnis menjadi urat nadi perekonomian Kota Bandung. "Ekonomi tumbuh sekitar 9 persen dan ini luar biasa," ucapnya.
Di balik itu dia menyadari persoalan infrastruktur yang tak memadai. Kemacetan, kondisi jalan yang berlubang, banjir karena sistem drainase yang buruk, bisa membesar dan menjadi bola salju permasalahan Bandung. Kondisi seperti ini menjadi ancaman bagi predikat Bandung sebagai surga wisata belanja.
"Ada kekhawatiran kalau macet, wisatawan jenuh lalu pergi. Apalagi sekarang banyak kota-kota mandiri yang juga menawarkan wisata yang sama. Infrastruktur kita harapkan ada perbaikan. Supaya konsumen puas dan tidak bete," tutupnya
sumur
"Bandung, Parijs van Java kini macet dan 'sarekseuk'."
Quote:
Original Posted By
Merdeka.com - Tahun 1808 Daendels membangun Jalan Raya Pos yang menghubungkan Anyer-Panarukan. Jalan ini melewati Kota Bandung. Jalur kereta api Batavia-Bandung dibangun tahun 1884.
121 Tahun kemudian, Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri membangun jalan Tol Cipularang. Jalan Tol Cikampek, Purwakarta, Padalarang yang dibangun tahun 2005, meringkas waktu perjalanan dari Jakarta menuju Bandung kurang dari 2 jam.
Sebelumnya Jakarta-Bandung ditempuh lewat Puncak atau Jonggol, waktu tempuhnya lebih dari 5 jam.
Wisatawan membanjiri Bandung. Jika tahun 2005, jumlahnya sekitar 2 juta orang, tahun 2013 melonjak dua kali lipat. Menembus angka 4 juta lebih.
Maraknya wisatawan ini berimbas pada pembangunan hotel, restoran dan pusat perbelanjaan. Tahun 2005 ada 225 buah hotel, tahun 2012 melonjak menjadi 327 kamar. Jumlah ini belum ditambah homestay dan indekos yang dialihfungsikan jadi hotel saat Sabtu dan Minggu.
Setiap akhir pekan, Bandung pun macet total. Tak kurang dari 15.000-20.000 kendaraan masuk Bandung setiap Sabtu dan Minggu.
Namun masalah Bandung bukan hanya dari wisatawan. Sudah lama kota ini salah tata kelola. Kawasan resapan air berubah jadi perumahan, hotel atau restoran.
Jalanan Bandung yang tak selebar Jakarta, tak berdaya dibanjiri kendaraan. Apalagi Bandung sama sekali tak punya transportasi massal. Trans Metro Bandung tak memberikan banyak solusi.
"Kawasan Puncrut, Dago Atas yang letaknya di atas 700 mdpl harusnya jadi kawasan penyerap air, malah dialihfungsikan. Tak heran kini Bandung panas dan banjir. Suhu udara naik drastis dalam 15 tahun. Dulu rata-rata suhu 23 derajat, kini 26-28 derajat," kata Leni Dewi, aktivis lingkungan yang mengajar pendidikan lingkungan di beberapa sekolah di Bandung ini.
Bandung kini macet, panas dan 'sarekseuk', istilah dalam Bahasa Sunda untuk menyebut sesak, gerah kumuh dan tak nyaman. Nyaris tak ada kenangan sebagai kota paling nyaman di era kolonial.
Prayitna (61) mengenang 35 tahun lalu dia masih mengenakan mantel saat kuliah di IKIP Bandung. Pukul 06.00 WIB, kabut masih menyelimuti Dago, Setiabudhi dan kawasan Bandung atas lain. Bandung sangat menyenangkan kala itu.
"Sekarang saya bandingkan kalau pagi, Bandung dan Jakarta seperti sama saja," kata pendaki gunung tua ini.
Namun ada harapan baru untuk Bandung. Wali Kota Ridwan Kamil menjanjikan banyak perubahan untuk Bandung. Kang Emil, panggilan akrabnya, dikenal sebagai seorang arsitek bertaraf internasional. Sosok Emil, bisa dibandingkan dengan Jokowi-Ahok di Jakarta serta Risma, wali kota Surabaya.
Wali Kota Bandung sebelumnya Dada Rosada, sudah ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia diduga terlibat suap Hakim Setyabudi Tedjocahyono terkait pengurusan perkara bantuan sosial.
Ridwan Kamil punya PR besar mengubah Bandung yang sarekseuk menjadi Bandung yang nyaman, indah dan kreatif.
Simak tematik merdeka.com yang mengupas berbagai permasalahan Kota Bandung hari ini. Selamat membaca.
Merdeka.com - Tahun 1808 Daendels membangun Jalan Raya Pos yang menghubungkan Anyer-Panarukan. Jalan ini melewati Kota Bandung. Jalur kereta api Batavia-Bandung dibangun tahun 1884.
121 Tahun kemudian, Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri membangun jalan Tol Cipularang. Jalan Tol Cikampek, Purwakarta, Padalarang yang dibangun tahun 2005, meringkas waktu perjalanan dari Jakarta menuju Bandung kurang dari 2 jam.
Sebelumnya Jakarta-Bandung ditempuh lewat Puncak atau Jonggol, waktu tempuhnya lebih dari 5 jam.
Wisatawan membanjiri Bandung. Jika tahun 2005, jumlahnya sekitar 2 juta orang, tahun 2013 melonjak dua kali lipat. Menembus angka 4 juta lebih.
Maraknya wisatawan ini berimbas pada pembangunan hotel, restoran dan pusat perbelanjaan. Tahun 2005 ada 225 buah hotel, tahun 2012 melonjak menjadi 327 kamar. Jumlah ini belum ditambah homestay dan indekos yang dialihfungsikan jadi hotel saat Sabtu dan Minggu.
Setiap akhir pekan, Bandung pun macet total. Tak kurang dari 15.000-20.000 kendaraan masuk Bandung setiap Sabtu dan Minggu.
Namun masalah Bandung bukan hanya dari wisatawan. Sudah lama kota ini salah tata kelola. Kawasan resapan air berubah jadi perumahan, hotel atau restoran.
Jalanan Bandung yang tak selebar Jakarta, tak berdaya dibanjiri kendaraan. Apalagi Bandung sama sekali tak punya transportasi massal. Trans Metro Bandung tak memberikan banyak solusi.
"Kawasan Puncrut, Dago Atas yang letaknya di atas 700 mdpl harusnya jadi kawasan penyerap air, malah dialihfungsikan. Tak heran kini Bandung panas dan banjir. Suhu udara naik drastis dalam 15 tahun. Dulu rata-rata suhu 23 derajat, kini 26-28 derajat," kata Leni Dewi, aktivis lingkungan yang mengajar pendidikan lingkungan di beberapa sekolah di Bandung ini.
Bandung kini macet, panas dan 'sarekseuk', istilah dalam Bahasa Sunda untuk menyebut sesak, gerah kumuh dan tak nyaman. Nyaris tak ada kenangan sebagai kota paling nyaman di era kolonial.
Prayitna (61) mengenang 35 tahun lalu dia masih mengenakan mantel saat kuliah di IKIP Bandung. Pukul 06.00 WIB, kabut masih menyelimuti Dago, Setiabudhi dan kawasan Bandung atas lain. Bandung sangat menyenangkan kala itu.
"Sekarang saya bandingkan kalau pagi, Bandung dan Jakarta seperti sama saja," kata pendaki gunung tua ini.
Namun ada harapan baru untuk Bandung. Wali Kota Ridwan Kamil menjanjikan banyak perubahan untuk Bandung. Kang Emil, panggilan akrabnya, dikenal sebagai seorang arsitek bertaraf internasional. Sosok Emil, bisa dibandingkan dengan Jokowi-Ahok di Jakarta serta Risma, wali kota Surabaya.
Wali Kota Bandung sebelumnya Dada Rosada, sudah ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia diduga terlibat suap Hakim Setyabudi Tedjocahyono terkait pengurusan perkara bantuan sosial.
Ridwan Kamil punya PR besar mengubah Bandung yang sarekseuk menjadi Bandung yang nyaman, indah dan kreatif.
Simak tematik merdeka.com yang mengupas berbagai permasalahan Kota Bandung hari ini. Selamat membaca.
sumur 2
Quote:
Original Posted By TS
"Macet udah jadi kebiasaan kota Bandung sekarang ini di tambah kasus geng motor yang makin nambah angker tuh kota....ane kalo kesana pasti mesti berangkat pagi banget...rindu Bandung yang dulu...
"
"Macet udah jadi kebiasaan kota Bandung sekarang ini di tambah kasus geng motor yang makin nambah angker tuh kota....ane kalo kesana pasti mesti berangkat pagi banget...rindu Bandung yang dulu...
"
Diubah oleh bubs 11-01-2014 02:38
0
3K
Kutip
28
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan