- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Yang Bisa Dibanggakan Oleh Orang Indonesia Kepada Bangsa Jepang


TS
MuslimAirForce
Yang Bisa Dibanggakan Oleh Orang Indonesia Kepada Bangsa Jepang
Tak enak menjadi orang yang selalu kalah. Sekali-kali atau syukur bisa sering menang adalah yang diharapkan, karena saat menang memberikan kegembiraan dan kebanggaan. Pengalaman itu biasa saya rasakan ketika bertanding atau sekedar latihan olah raga.
Saat menang bertanding sepakbola, bolavoli ataupun bulutangkis terasa menggembirakan, demikian sebaliknya jika kalah, maka ada sedikit rasa kecewa. Kekecewaan itu makin besar jika sebelum bertanding sudah merasa yakin bisa mengalahkan lawan dengan mudah. Sebaliknya, akan sangat gembira jika semula kita merasa kalah, tak dinyana bisa menang.
Pengalaman ‘yakin menang‘ itu sering saya tambatkan kepada Timnas sepakbola kita. Namun apa daya, saya bisa sangat kecewa karena tim pujaan kalah telak. Ingin rasanya melempar kaca tv sebagai pelampiasan kekecewaan, tapi kok ya masih terpikir acara Opera van Java kesukaan anak-anak saya. Itu sebabnya sekarang ini saya mengurangi menonton sepakbola nasional, lebih baik nonton yang bisa diharapkan menang, bulutangkis.
Namun, selama bertanding atau dalam proses melakukan olahraga itu, saya (juga olahragawan lainnya) sebetulnya sudah merasakanan kegembiraan. Jika menang saya anggap sebagai bonus kegembiraan, jika kalah sebagai cooling-down kegembiraan menuju kondisi normal, meski kecewa juga, hehehe.
Terhadap teman kerja ekspatriat Jepang, saya juga merasa banyak kalahnya, saya banyak belajar kepada mereka. Saya mengakui etos kerja mereka sangat tinggi. Tanggung jawab dan disiplinnya bisa kita acungi jempol. Kami ‘terpaksa’ mengikuti ritme irama kerja mereka. Bagi yang pertama kali bekerja bersama orang Jepang tentu akan kaget. Namun lama-lama bisa beradaptasi. Herannya, jika sudah tidak bekerja bersama mereka, kok ya kembali lagi ke kinerja aslinya.
Boleh jadi itu sifat bangsa kita, selain adaptif juga kuat dalam memegang prinsip. Orang Indonesia yang di luar negeri mudah mengikuti kebiasaan setempat. Di Jepang tanpa disuruh-suruh, orang Indonesia bisa antri dengan tertib, namun jika sudah pulang ke Indonesia ya kembali lagi, enggan antri. Walah, tak perlu nunggu sampai pulang ke Indonesia, lha masih di sana, di Kedutaan Besar Indonesia di Jepang pun saat harus antri kok ya kembali ke kelakuan semula. Itu cerita teman saya yang pernah ikut merayakan HUT RI di Kedutaan Indonesia di Meguro, Jepang.
Cerita teman tentang ketidak-disiplinan di Jepang itu sama seperti cerita teman yang pernah bekerja di Saudi Arabia. Jika di lingkungan bangsa sendiri, orang Indonesia kembali tak mau antri. Malah ada yang merasa tak antri itu lebih dinamis, ada seninya, pokoknya ‘ngangeni‘, dirindukan.
Betapa kita kalah dalam segala hal, ya ketrampilan, pengetahuan dan kelakuan dengan bangsa Jepang. Tak perlu kita terlalu berkecil hati, seluruh dunia juga mengakui bangsa Jepang memang bangsa unggul. Namun demikian, bangsa unggul itu ternyata mengakui juga kelebihan bangsa kita. Kelebihan yang membuat kita gembira dan bangga.
Ketika berombongan bekerja di Jepang, senior saya sengaja membawa satu album foto rumah tinggalnya di Cinere, Jakarta. Rumahnya lumayan besar dengan lingkungan sekitar yang asri terletak di perumahan elit. Rupanya album itu dipamerkan kepada rekan kerjanya yang orang Jepang. Ia merasa bangga mendapat decak kekaguman. Saya jadi teringat anak balita tetangga yang ngajak bermain bapak saya, “Pak De, sugih-sugihan yuk!”.
Kekaguman orang Jepang itu benar-benar tulus tanpa kepura-puraan. Yang saya tahu untuk memiliki rumah di Jepang tidaklah mudah. Harga tanah sangat tinggi, para pekerja biasa menyewa dan tinggal di apartemen-apartemen bertingkat. Bisa tinggal di rumah di atas tanah adalah sebuah kemewahan. Seorang karyawan meski menabung hingga pensiun belum tentu bisa membeli rumah seperti di Indonesia. Anekdotnya harga tanah dijual bukan per meter persegi, melainkan per luasan kartu pos.
Orang Jepang yang belum pernah ke Indonesia boleh saja kagum, namun tidak bagi yang sudah sering ke Indonesia. Mereka yang sudah lama bekerja di Indonesia (dari teman kerja yang saya kenal) biasanya kerasan dan mencari istri orang Indonesia, selanjutnya kemaruk membeli tanah yang cukup luas. O ya, banyak orang Indonesia yang menarik memikat hati, yang membuat orang Jepang (negara lain juga) pada jatuh cinta dan tak segan-segan memboyong ke negerinya.
Hal lain yang membuat mereka kerasan adalah merasa ‘diuwongke‘ (dimanusiakan). Di negerinya, pola pergerakan para pekerja seperti robot, dari apartemen, jalan kaki/naik sepeda ke halte bis atau stasiun kereta, naik kereta, turun kereta, jalan kaki menuju ke kantornya, demikian hampir setiap hari. Selama di perjalanan saling diam jika tak kenal. Berbeda dengan komunitas roker (rombongan kereta) di Indonesia yang terhadap siapapun yang belum dikenal bisa mengajak bercanda penuh tawa-ria.
Jika ada peristiwa skala nasional semacam gempa bumi atau berita politik, para pekerja jarang membahas berkepanjangan, karena merasa sudah ada pihak yang menanganinya. Berbeda dengan orang Indonesia, yang apa saja bisa dibicarakan dan dikomentari bahkan bisa menjadi perdebatan. Pernah dua orang teman kerja saling ngotot, berdebat mempertahankan keyakinannya tentang bangsa Yahudi. Saya cuma heran, lha lihat orang Yahudi saja mereka belum pernah, bisa-bisanya memperdebatkan sedemikian rupa.
Di Kompasiana juga sama, gara-gara Jokowi dan Ahok, sesama teman Kompasianer saling ribut dan berantem, lupa tujuan menulis di Kompasiana, yaitu sharing and connecting. Padahal saya yakin obyek keributan sedang baik-baik saja nonton metallica, tak tahu sedang diributkan.
Hal lain yang bisa kita banggakan kepada bangsa Jepang adalah hasil seni budaya Indonesia yang beragam. Banyak orang jepang yang belajar membuat kain batik, menjadi dalang, sinden, dll.
Hal-hal yang bisa dibanggakan kepada bangsa Jepang itu sungguh membuat saya ikut bangga. Kadang terpikir, kasihan orang Jepang itu yang keroyo-royo mencari nafkah sampai ke Indonesia (teringat juga TKI yang tersebar di luar negeri). Indonesia kaya sumber alamnya, hanya saja kurang bisa mengelola secara mandiri, membuat bangsa lain ngiler ingin mengambil-alih. Ya, ‘membuat ngiler‘ itu bukankah kebanggaan lainnya lagi? (Depok, 01 September 2013)
http://lifestyle.kompasiana.com/cata...ng-585644.html
Orang Jepang Di Jepang..............Kami Adalah Mesin
Orang Jepang Di Indonesia...............Kami Adalah Manusia.....
Bagi Orang jepang yg tinggal di indonesia.......kami senang bisa di anggap sebagai manusia..............In Japan We Are Just Robot
di indonesia mereka bisa hidup lebih tenang,santai....dan yg paling penting dapat di perlakukan sebagai manusia........
Dunia Kerja & Kehidupan Di Jepang Sangat Keras & Berat.............
Bersyukurlah orang indonesia bisa hidup lebih santai,tenang dan lebih bahagia....hoho
Tapi Jangan Malas......contohlah etos kerja rakyat jepang
Saat menang bertanding sepakbola, bolavoli ataupun bulutangkis terasa menggembirakan, demikian sebaliknya jika kalah, maka ada sedikit rasa kecewa. Kekecewaan itu makin besar jika sebelum bertanding sudah merasa yakin bisa mengalahkan lawan dengan mudah. Sebaliknya, akan sangat gembira jika semula kita merasa kalah, tak dinyana bisa menang.
Pengalaman ‘yakin menang‘ itu sering saya tambatkan kepada Timnas sepakbola kita. Namun apa daya, saya bisa sangat kecewa karena tim pujaan kalah telak. Ingin rasanya melempar kaca tv sebagai pelampiasan kekecewaan, tapi kok ya masih terpikir acara Opera van Java kesukaan anak-anak saya. Itu sebabnya sekarang ini saya mengurangi menonton sepakbola nasional, lebih baik nonton yang bisa diharapkan menang, bulutangkis.
Namun, selama bertanding atau dalam proses melakukan olahraga itu, saya (juga olahragawan lainnya) sebetulnya sudah merasakanan kegembiraan. Jika menang saya anggap sebagai bonus kegembiraan, jika kalah sebagai cooling-down kegembiraan menuju kondisi normal, meski kecewa juga, hehehe.
Terhadap teman kerja ekspatriat Jepang, saya juga merasa banyak kalahnya, saya banyak belajar kepada mereka. Saya mengakui etos kerja mereka sangat tinggi. Tanggung jawab dan disiplinnya bisa kita acungi jempol. Kami ‘terpaksa’ mengikuti ritme irama kerja mereka. Bagi yang pertama kali bekerja bersama orang Jepang tentu akan kaget. Namun lama-lama bisa beradaptasi. Herannya, jika sudah tidak bekerja bersama mereka, kok ya kembali lagi ke kinerja aslinya.
Boleh jadi itu sifat bangsa kita, selain adaptif juga kuat dalam memegang prinsip. Orang Indonesia yang di luar negeri mudah mengikuti kebiasaan setempat. Di Jepang tanpa disuruh-suruh, orang Indonesia bisa antri dengan tertib, namun jika sudah pulang ke Indonesia ya kembali lagi, enggan antri. Walah, tak perlu nunggu sampai pulang ke Indonesia, lha masih di sana, di Kedutaan Besar Indonesia di Jepang pun saat harus antri kok ya kembali ke kelakuan semula. Itu cerita teman saya yang pernah ikut merayakan HUT RI di Kedutaan Indonesia di Meguro, Jepang.
Cerita teman tentang ketidak-disiplinan di Jepang itu sama seperti cerita teman yang pernah bekerja di Saudi Arabia. Jika di lingkungan bangsa sendiri, orang Indonesia kembali tak mau antri. Malah ada yang merasa tak antri itu lebih dinamis, ada seninya, pokoknya ‘ngangeni‘, dirindukan.
Betapa kita kalah dalam segala hal, ya ketrampilan, pengetahuan dan kelakuan dengan bangsa Jepang. Tak perlu kita terlalu berkecil hati, seluruh dunia juga mengakui bangsa Jepang memang bangsa unggul. Namun demikian, bangsa unggul itu ternyata mengakui juga kelebihan bangsa kita. Kelebihan yang membuat kita gembira dan bangga.
Ketika berombongan bekerja di Jepang, senior saya sengaja membawa satu album foto rumah tinggalnya di Cinere, Jakarta. Rumahnya lumayan besar dengan lingkungan sekitar yang asri terletak di perumahan elit. Rupanya album itu dipamerkan kepada rekan kerjanya yang orang Jepang. Ia merasa bangga mendapat decak kekaguman. Saya jadi teringat anak balita tetangga yang ngajak bermain bapak saya, “Pak De, sugih-sugihan yuk!”.
Kekaguman orang Jepang itu benar-benar tulus tanpa kepura-puraan. Yang saya tahu untuk memiliki rumah di Jepang tidaklah mudah. Harga tanah sangat tinggi, para pekerja biasa menyewa dan tinggal di apartemen-apartemen bertingkat. Bisa tinggal di rumah di atas tanah adalah sebuah kemewahan. Seorang karyawan meski menabung hingga pensiun belum tentu bisa membeli rumah seperti di Indonesia. Anekdotnya harga tanah dijual bukan per meter persegi, melainkan per luasan kartu pos.
Orang Jepang yang belum pernah ke Indonesia boleh saja kagum, namun tidak bagi yang sudah sering ke Indonesia. Mereka yang sudah lama bekerja di Indonesia (dari teman kerja yang saya kenal) biasanya kerasan dan mencari istri orang Indonesia, selanjutnya kemaruk membeli tanah yang cukup luas. O ya, banyak orang Indonesia yang menarik memikat hati, yang membuat orang Jepang (negara lain juga) pada jatuh cinta dan tak segan-segan memboyong ke negerinya.
Hal lain yang membuat mereka kerasan adalah merasa ‘diuwongke‘ (dimanusiakan). Di negerinya, pola pergerakan para pekerja seperti robot, dari apartemen, jalan kaki/naik sepeda ke halte bis atau stasiun kereta, naik kereta, turun kereta, jalan kaki menuju ke kantornya, demikian hampir setiap hari. Selama di perjalanan saling diam jika tak kenal. Berbeda dengan komunitas roker (rombongan kereta) di Indonesia yang terhadap siapapun yang belum dikenal bisa mengajak bercanda penuh tawa-ria.
Jika ada peristiwa skala nasional semacam gempa bumi atau berita politik, para pekerja jarang membahas berkepanjangan, karena merasa sudah ada pihak yang menanganinya. Berbeda dengan orang Indonesia, yang apa saja bisa dibicarakan dan dikomentari bahkan bisa menjadi perdebatan. Pernah dua orang teman kerja saling ngotot, berdebat mempertahankan keyakinannya tentang bangsa Yahudi. Saya cuma heran, lha lihat orang Yahudi saja mereka belum pernah, bisa-bisanya memperdebatkan sedemikian rupa.
Di Kompasiana juga sama, gara-gara Jokowi dan Ahok, sesama teman Kompasianer saling ribut dan berantem, lupa tujuan menulis di Kompasiana, yaitu sharing and connecting. Padahal saya yakin obyek keributan sedang baik-baik saja nonton metallica, tak tahu sedang diributkan.
Hal lain yang bisa kita banggakan kepada bangsa Jepang adalah hasil seni budaya Indonesia yang beragam. Banyak orang jepang yang belajar membuat kain batik, menjadi dalang, sinden, dll.
Hal-hal yang bisa dibanggakan kepada bangsa Jepang itu sungguh membuat saya ikut bangga. Kadang terpikir, kasihan orang Jepang itu yang keroyo-royo mencari nafkah sampai ke Indonesia (teringat juga TKI yang tersebar di luar negeri). Indonesia kaya sumber alamnya, hanya saja kurang bisa mengelola secara mandiri, membuat bangsa lain ngiler ingin mengambil-alih. Ya, ‘membuat ngiler‘ itu bukankah kebanggaan lainnya lagi? (Depok, 01 September 2013)
http://lifestyle.kompasiana.com/cata...ng-585644.html
Orang Jepang Di Jepang..............Kami Adalah Mesin
Orang Jepang Di Indonesia...............Kami Adalah Manusia.....
Bagi Orang jepang yg tinggal di indonesia.......kami senang bisa di anggap sebagai manusia..............In Japan We Are Just Robot
di indonesia mereka bisa hidup lebih tenang,santai....dan yg paling penting dapat di perlakukan sebagai manusia........
Dunia Kerja & Kehidupan Di Jepang Sangat Keras & Berat.............
Bersyukurlah orang indonesia bisa hidup lebih santai,tenang dan lebih bahagia....hoho
Tapi Jangan Malas......contohlah etos kerja rakyat jepang
0
3.9K
21


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan