Sindiran dan Pujian

Beberapa minggu yang lalu saya sempat ngobrol dengan teman saya tentang pengalamannya sekolah di Inggris. Sebut saja namanya Fajri (bukan nama palsu). Fajri sempat menempuh pendidikan sampai kelas 2 SD di Inggris dan kemudian pindah ke Indonesia. Salah satu kendalanya saat baru pindah ke Indonesia adalah masalah bahasa. Fajri tidak bisa berbahasa Indonesia, hanya bisa bahasa Inggris. Tapi, menurutnya bukan itu masalah terbesar yang dia hadapi saat itu. Ada hal lain yang membuatnya lebih shock ketimbang masalah bahasa.

Hal itu adalah dukungan dari lingkungan sekitarnya. Dia mengambil contoh, sewaktu SD di Inggris, dia pernah berniat menginisiasi suatu hal dan mengutarakan niat tersebut ke gurunya. Kemudian gurunya mendukung hal tersebut dan mengumumkannya di dalam kelas, jadi banyak teman-temannya yang tertarik. Bukan hanya diumumkan, tapi juga mempersilahkan untuk tampil di depan kelas untuk diapresiasi. Bahkan kadang-kadang diminta tampil di kelas lain untuk apresiasi tambahan kalau yang dibuat memang betul-betul hebat (seperti bikin kartun-kartunan dari dua lembar kertas).

Hal yang berbeda dijumpainya di Indonesia. Begitu dia mengutarakan niatnya ke gurunya, gurunya cuma bilang ”Oh, yaa”, kata-kata yang netral dan tidak ada kandungan positifnya. Dan juga tidak ada tindak lanjut sama sekali dari gurunya.

Berbicara mengenai dukungan dari lingkungan sekitar mengingatkan akan hal yang saya juga alami. Sewaktu menempuh pendidikan di Makassar, sangat banyak hal yang menghambat perkembangan diri. Contoh kecil, kalau kita belajar padahal ujian masih jauh, biasanya teman-teman akan menyindir, “tawwa, rajinnya” dengan nada yang agak tidak enak (ungkapan ekspresinya kira-kira seperti “rajin banget sih”). Atau kalau misalnya si A lagi sinis dengan siswa B yang punya pencapaian lebih, tidak jarang akan terdengar kata-kata “ngapamoe anak ranking satu,” ("iya deh yang ranking satu") tentunya dengan nada yang menyindir juga.

Contoh lain juga, kalau kita dapat pencapaian tertentu, biasanya teman-teman kita yang dulu bilang, “sombong mi, nda pernah mi na sapa ki” (~”udah sombong lu ya, ga pernah nyapa kita-kita lagi”). Padahal tidak pernah sekalipun ada maksud mengabaikan teman-teman lama.

Sindiran-sindiran yang saya temui dulu sering sekali membawa-bawa pencapaian-pencapaian seseorang. Seolah-olah kamu tidak boleh punya pencapaian melebihi teman-teman kamu. Kalau kondisinya seperti ini, siswa jadi enggan untuk melakukan sesuatu yang lebih.

Sangat berbeda dengan suasana yang saya dapatkan saat kuliah. Saat di kuliah, ketika melihat orang yang belajar jauh sebelum masa ujian atau melihat orang yang punya pencapaian lebih, yang terdengar biasanya adalah pujian. “Keren banget sih lo.” Bahkan biasanya ada juga ucapan menyemangati. Mungkin ada juga yang menyindir, tapi frekuensinya jauh lebih sedikit daripada yang saya temui sebelum kuliah. Suasana positif seperti inilah yang membuat orang-orang secara tidak sadar ingin belajar atau berbuat sesuatu yang lebih.

Belajar dari hal-hal yang saya dengar dan saya alami di atas, ada hal yang dapat saya pelajari. Kita sebagai manusia (mungkin) punya potensi yang sama untuk berkembang. Tapi seberapa besar potensi itu bisa berkembang, sangat dipengaruhi dengan lingkungan kita. Jadi, untuk perbaikan ke diri kita semua, termasuk saya sendiri, janganlah kita iri, menyindir, atau punya pikiran yang negatif ke orang-orang yang punya pencapaian lebih. Bisa jadi nanti kita yang akan berada di posisi orang tersebut.

P.S.: kalau ada yang punya cerita semacam ini, mangga di-share. nuhun nya!

sumber