turtlejuniorAvatar border
TS
turtlejunior
Korupsi Kepala Daerah dan Pemerintahan Terbuka
Kasus korupsi kepala daerah biasanya masih ambigu untuk diterima masyarakat.

Status tersangka yang disematkan kepada Bupati Karanganyar, Rina Iriani Sri Ratnaningsih, merupakan bagian dari sekuel betapa ganasnya korupsi yang berlangsung dalam ranah lokal.

Menurut data dari Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK), terungkap perbandingannya sekitar 1,6 kali lebih besar di daerah ketimbang di pusat, yang hanya 1,1 kali.

Hal inilah yang acap kali menyulitkan kerja hampir 94 persen auditor daerah untuk mengelola dan mengawasi implementasi anggaran dalam bentuk progam kebijakan.

Perilaku korupsi daerah biasanya bersumber pada empat hal yakni:

1. Pengadaan barang jasa,
2. Upaya penggelembungan (mark up) nilai harga barang jasa,
3. Penggelembungan anggaran untuk belanja sosial/hibah, dan,
4. Adanya mekanisme tender proyek pemerintahan daerah yang serba tidak transparan.


Keempat sumber koruptif itulah yang kini sering melatarbelakangi banyak kepala daerah terjerat korupsi baik masih terduga, tersangka, maupun terdakwa.

Kemendagri mencatat selama diterapkannya desentralisasi tahun 2004-2013, sudah terdapat 309 kepala daerah yang menjadi terdakwa korupsi. Angka tersebut belum digabungkan dengan indikasi terduga korupsi yang tentunya melewati besaran angka tersebut.

Kisah korupsi kepala daerah, selain Bupati Rina yang terjerat kasus korupsi Griya Lawu Asri sebesar Rp 11 miliar, lebih besar lagi. Mantan Bupati Bantul Idham Samawi terjerat korupsi Rp 12,5 miliar hibah olahraga, Bupati Gunung Mas Hambit Bintih yang terkena kasus suap, dan masih banyak lagi.

Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa angka korupsi di daerah semakin lama semakin bertambah dari tahun ke tahun?

Secara logika demokrasi, praktik korupsi di tingkat daerah sebenarnya tabu dilakukan kepala daerah karena itu sama saja mematikan langkah politik dan kredibilitasnya. Jika terjerat korupsi, otomatis masyarakat akan apatis tidak akan memilihnya lagi.

Analogi lain, korupsi kepala daerah sebenarnya merupakan aib karena kepala daerah terikat kontrak politik dengan masyarakat untuk sungguh-sungguh menjalankan pemerintahan secara baik dan maksimal. Namun, nyata nalar demokrasi tersebut justru diacuhkan, ditabrak secara frontal demi kepentingan oligarki pribadi maupun kelompok.

Dalam hal ini, kasus korupsi kepala daerah biasanya masih ambigu untuk diterima masyarakat di daerahnya. Mayoritas masyarakat mungkin tidak percaya kepala daerahnya korupsi, atau bahkan ada yang menganggap itu rekayasa politik bagi lawan politik sang bupati untuk menjatuhkan kekuasaanya. Namun, segilintir masyarakat yang kritis sudah bisa menerima fakta bahwa kepala daerahnya melakukan korupsi dari berbagai sumber informasi yang mereka dapatkan.

Beberapa kasus korupsi kepala daerah menciptakan adanya resistensi dari kalangan masyarakat, bahwa kepala daerahnya tidak korupsi dengan melakukan aksi demo, blokir jalan, bahkan demo ke Jakarta dengan meneriakkan dizalimi dan dikhianati. Masyarakat kritis justru dimusuhi karena dinilai tidak solider terhadap kepala daerahnya.

Artinya, dalam berbagai kasus korupsi kepala daerah, tercipta proses asimetrisasi informasi yang diterima masyarakat perihal jalannya pemerintahan yang selama ini dijalankan. Meski sekarang sudah era keterbukaan informasi, makna pemerintahan bukanlah sebagai penguasa (government), melainkan lebih mengarah menjadi mitra (governance). Namun, tetap saja jalannya pemerintahan daerah selama ini berlangsung tertutup untuk diketahui publik.

Hal itulah yang menjadikan praktik korupsi yang dilakukan sang kepala daerah tidak diketahui publik secara luas. Kepala daerah juga memiliki strategi untuk menutupi praktik korupsi, dengan memperbesar anggaran belanja sosial untuk diberikan kepada publik. Hal inilah yang menjadikan wajah bopeng korupsi kepala daerah kemudian berubah menjadi figur populis instan dan artifisial.

Oleh karena itu, tujuan korupsi kemudian berkembang menjadi dua sumber, yakni sebagai,

1. Investasi ekonomi dengan mengeruk anggaran daerah untuk digunakan secara pribadi maupun kelompok, atau,

2. Investasi politik mengamankan jalan untuk meraih elektabilitas tinggi dalam event pemilu.


Faktor Sistem

Intinya, kebutuhan korupsi daerah adalah keharusan yang diwajibkan sistem. Korupsi adalah jalan menuju kekuasaan dan korupsi adalah jalan menuju kemakmuran.

Pada akhirnya, kini kita akan mendapati jalannya pemerintahan acap kali tidak dirasakan merata oleh masyarakat. Kepala daerah memang bekerja, namun bekerjanya tidak melayani publik, tapi melayani diri sendiri. Tidaklah mengherankan bila kasus korupsi daerah sulit diberantas, bahkan terkesan dihalang-halangi jajaran birokrasi maupun masyarakat lokal.

Gagasan pemerintahan terbuka, yaitu,

1. Kepala daerah adalah mitra bagi masyarakat dan masyarakat berhak mengawasi pemerintahan, perlu diimplementasikan.

2. Keterbukaan informasi yang ada selama ini hanya berupa selebrasi formal dan kurang menyentuh hal-hal yang dinilai sensitif, seperti pengadaan maupun lelang proyek barang dan jasa.


Korupsi kepala daerah perlu dijadikan momentum perbaikan bagi jalannya pemerintahan daerah, bahwa berkuasa bukanlah mengejar materi, melainkan untuk melayani.

*Penulis adalah Peneliti di Center for Politic and Media Research, Yogyakarta.


Sumber: Sinar Harapan


Quote:






Quote:



emoticon-Blue Guy Cendol (L)emoticon-Blue Guy Cendol (L) emoticon-Blue Guy Cendol (L)
Diubah oleh turtlejunior 19-11-2013 22:34
0
4.6K
20
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan