- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Tidak Kenal Indonesia


TS
kemalmahendra
Tidak Kenal Indonesia
Sering kita merasa bahwa Indonesia merupakan negeri yang dikenal di mancanegara. Keindahan, kekayaan alam, keramahtamahan orang Indonesia membuat orang pasti mengenal Indonesia. Namun kenyataannya banyak orang yang tidak mengenal Indonesia.
Itulah yang ditangkap ketika mengikuti perjalanan Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin ke Kanada. Para top eksekutif di Kanada memang pernah mendengar Indonesia. Tetapi seperti apa sebenarnya Indonesia itu mereka tidak banyak mengetahuinya.
Tidak usah heran apabila mereka memunyai bisnis di Indonesia, tetapi bisnis itu mereka jalankan dari Singapura. Dari sisi marketing, Singapura dikesankan sebagai kota yang lebih cocok dijadikan kantor perwakilan, sementara Indonesia hanya dilihat sebagai pasar.
Tepatlah ketika bertemu eksekutif produsen pembuat mesin pesawat terbang dan ruang angkasa Pratt & Whitney, Wamenhan meminta partnernya di Kanada itu untuk mengkaji hubungan bisnis yang dijalankan. Sjafrie meminta agar bisnis dilakukan secara langsung dengan pihak Indonesia tanpa harus melewati Singapura.
Kita memang harus proaktif untuk memperkenalkan Indonesia. Tidak bisa taken for granted bahwa dengan sendirinya orang mengenal Indonesia dan mau melakukan bisnisnya di sini. Bahkan kita harus merebut semua peluang demi kemajuan Indonesia.
Tanpa ada kesungguhan untuk melakukan itu, maka kita hanya dilihat sebelah mata oleh pihak luar. Kita hanya dijadikan pasar yang potensial, namun yang mendapatkan bisnis yang sesungguhnya lagi-lagi Singapura atau negara tetangga kita di ASEAN.
Kita pantas dijadikan tempat tujuan utama investasi di ASEAN karena perekonomian kita hampir 50 persen perekonomian ASEAN. Jumlah penduduk kita juga hampir 50 persen dari jumlah penduduk ASEAN. Jumlah kelas menengah Indonesia lebih besar dari seluruh jumlah kelas menengah yang ada di sembilan negara ASEAN lainnya.
Kita harus menjadi pemain utama di ASEAN. Kita tidak boleh lagi hanya menjadi pemain pinggiran dan membiarkan peluang itu diambil negara lain. Kita harus bisa meyakinkan bahwa peluang bisnis terbesar di ASEAN itu ada di Indonesia.
Sekarang ini kalau kita dilihat sebelah mata oleh orang lain karena kita tidak bisa meyakinkan orang-orang di luar siapa kita ini sebenarnya. Begitu banyaknya pekerjaan rumah yang tidak juga kita selesaikan membuat energi kita habis untuk mengurusi persoalan di dalam negeri, lupa untuk memperkenal siapa kita kepada orang lain.
Buruknya pencitraan tentang bisnis di Indonesia tidak terlepas dari cara kita melihat peluang. Terutama para birokrat kita belum lepas dari kebiasaan lama. Pengusaha masih dilihat sebagai obyek yang bisa diperas. Akibatnya bisnis belum jalan, berbagai pungutan sudah dilakukan.
Praktik seperti itu bukan hanya ada di daerah, tetapi juga masih banyak terjadi di pusat. Kasus yang melibatkan Kepala Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Rudi Rubiandini merupakan salah satu contoh kasus nyata. Belum lagi bisnisnya berjalan, pengusaha sudah harus memberikan upeti.
Kebiasaan yang hidup sejak zaman kolonial masih juga belum berubah. Kekuasaan dianggap sebagai hak istimewa, power is privilege. Pengusaha wajar untuk memberikan upeti kepada yang berkuasa, karena pengusaha bisa meminta upeti dari rakyat atas nama pemegang kekuasaan.
Inilah yang tidak terjadi seperti di Singapura. Semua aturan dibuat sejelas mungkin. Mereka yang mendapatkan kesempatan adalah mereka yang paling siap untuk mengerjakan peluang bisnis. Bukan siapa yang paling dekat dengan pusat kekuasaan.
Kita tidak perlu menutup-nutupi fakta itu, karena survai yang dilakukan Bank Dunia tentang "Doing Business" menempatkan kita pada posisi di bawah. Kita berada pada urutan ke-121, sementara Malaysia di urutan keenam dan Singapura di papan atas.
Kita tidak bisa lagi jual kecap. Kalau kita memang ingin menarik investasi masuk ke Indonesia kita hanya bisa memegang janji. Kita tidak bisa bersikap seperti politisi yang hanya melempar janji, deliver promise, tetapi harus seperti pengusaha yang memenuhi janji, promise delivered.
Tanpa ada perubahan mental, maka kita akan tetap seperti sekarang ini. Kongres Kebangsaan yang digelar Forum Pemred dua hari terakhir di Jakarta bertujuan untuk mengubah mental kita sebagai bangsa. Menghadapi 100 tahun kemerdekaan Indonesia, kita harus menjadi bangsa yang mampu melihat keluar, outward looking, tidak hanya berkutat ke dalam, inward looking.
Itulah yang ditangkap ketika mengikuti perjalanan Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin ke Kanada. Para top eksekutif di Kanada memang pernah mendengar Indonesia. Tetapi seperti apa sebenarnya Indonesia itu mereka tidak banyak mengetahuinya.
Tidak usah heran apabila mereka memunyai bisnis di Indonesia, tetapi bisnis itu mereka jalankan dari Singapura. Dari sisi marketing, Singapura dikesankan sebagai kota yang lebih cocok dijadikan kantor perwakilan, sementara Indonesia hanya dilihat sebagai pasar.
Tepatlah ketika bertemu eksekutif produsen pembuat mesin pesawat terbang dan ruang angkasa Pratt & Whitney, Wamenhan meminta partnernya di Kanada itu untuk mengkaji hubungan bisnis yang dijalankan. Sjafrie meminta agar bisnis dilakukan secara langsung dengan pihak Indonesia tanpa harus melewati Singapura.
Kita memang harus proaktif untuk memperkenalkan Indonesia. Tidak bisa taken for granted bahwa dengan sendirinya orang mengenal Indonesia dan mau melakukan bisnisnya di sini. Bahkan kita harus merebut semua peluang demi kemajuan Indonesia.
Tanpa ada kesungguhan untuk melakukan itu, maka kita hanya dilihat sebelah mata oleh pihak luar. Kita hanya dijadikan pasar yang potensial, namun yang mendapatkan bisnis yang sesungguhnya lagi-lagi Singapura atau negara tetangga kita di ASEAN.
Kita pantas dijadikan tempat tujuan utama investasi di ASEAN karena perekonomian kita hampir 50 persen perekonomian ASEAN. Jumlah penduduk kita juga hampir 50 persen dari jumlah penduduk ASEAN. Jumlah kelas menengah Indonesia lebih besar dari seluruh jumlah kelas menengah yang ada di sembilan negara ASEAN lainnya.
Kita harus menjadi pemain utama di ASEAN. Kita tidak boleh lagi hanya menjadi pemain pinggiran dan membiarkan peluang itu diambil negara lain. Kita harus bisa meyakinkan bahwa peluang bisnis terbesar di ASEAN itu ada di Indonesia.
Sekarang ini kalau kita dilihat sebelah mata oleh orang lain karena kita tidak bisa meyakinkan orang-orang di luar siapa kita ini sebenarnya. Begitu banyaknya pekerjaan rumah yang tidak juga kita selesaikan membuat energi kita habis untuk mengurusi persoalan di dalam negeri, lupa untuk memperkenal siapa kita kepada orang lain.
Buruknya pencitraan tentang bisnis di Indonesia tidak terlepas dari cara kita melihat peluang. Terutama para birokrat kita belum lepas dari kebiasaan lama. Pengusaha masih dilihat sebagai obyek yang bisa diperas. Akibatnya bisnis belum jalan, berbagai pungutan sudah dilakukan.
Praktik seperti itu bukan hanya ada di daerah, tetapi juga masih banyak terjadi di pusat. Kasus yang melibatkan Kepala Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Rudi Rubiandini merupakan salah satu contoh kasus nyata. Belum lagi bisnisnya berjalan, pengusaha sudah harus memberikan upeti.
Kebiasaan yang hidup sejak zaman kolonial masih juga belum berubah. Kekuasaan dianggap sebagai hak istimewa, power is privilege. Pengusaha wajar untuk memberikan upeti kepada yang berkuasa, karena pengusaha bisa meminta upeti dari rakyat atas nama pemegang kekuasaan.
Inilah yang tidak terjadi seperti di Singapura. Semua aturan dibuat sejelas mungkin. Mereka yang mendapatkan kesempatan adalah mereka yang paling siap untuk mengerjakan peluang bisnis. Bukan siapa yang paling dekat dengan pusat kekuasaan.
Kita tidak perlu menutup-nutupi fakta itu, karena survai yang dilakukan Bank Dunia tentang "Doing Business" menempatkan kita pada posisi di bawah. Kita berada pada urutan ke-121, sementara Malaysia di urutan keenam dan Singapura di papan atas.
Kita tidak bisa lagi jual kecap. Kalau kita memang ingin menarik investasi masuk ke Indonesia kita hanya bisa memegang janji. Kita tidak bisa bersikap seperti politisi yang hanya melempar janji, deliver promise, tetapi harus seperti pengusaha yang memenuhi janji, promise delivered.
Tanpa ada perubahan mental, maka kita akan tetap seperti sekarang ini. Kongres Kebangsaan yang digelar Forum Pemred dua hari terakhir di Jakarta bertujuan untuk mengubah mental kita sebagai bangsa. Menghadapi 100 tahun kemerdekaan Indonesia, kita harus menjadi bangsa yang mampu melihat keluar, outward looking, tidak hanya berkutat ke dalam, inward looking.
0
1.3K
6


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan