ZIna, ya siapa sih yang berani bilang hal ini halal?
adakah? saya rasa tidak akan pernah ada yang berani bilang bahwa hal ini halal, meskipun orang itu bejat sekalian,..
maaf gan, ane cuma aneh aja melihat beberapa masyarakat di negeri ini dan salah satu golongan yang mengaku islam tetapi pada dasarnya bukan islam. Jujur ane bukan orang alim yang paham agama gan, tetapi mengetahuinya saja membuat ane ngeri gan kalo sampe hal tersebut kejadian ama ane,...
langsung aja deh gan, simak kisah berikut ini..
berikut adalah beberapa kisah nikah mut'ah alias kimpoi kontrak yang dihalalkan oleh syiah, tapi.......
Spoiler for Kisah Pertama:
Seorang perempuan datang kepada saya menanyakan tentang peristiwa yang terjadi terhadap dirinya. Dia menceritakan bahwa seorang tokoh, yaitu Sayid Husain Shadr pernah nikah mut’ah dengannya dua puluh tahun yang lalu, lalu dia hamil dari pernikahan tersebut. Setelah puas, dia menceraikan saya. Setelah berlalu beberapa waktu saya dikarunia seorang anak perempuan. Dia bersumpah bahwa dia hamil dari hasil hubungannya dengan Sayid Shadr, karena pada saat itu tidak ada yang nikah mut’ah dengannya kecuali Sayid Shadr.
Setelah anak perempuan saya dewasa, dia menjadi seorang gadis yang cantik dan siap untuk nikah. Namun sang ibu mendapati bahwa anaknya itu telah hamil. Ketika ditanyakan tentang kehamilannya, dia mengabarkan bahwa Sayid Shadr telah melakukan mut’ah dengannya dan dia hamil akibat mut’ah tersebut. Sang ibu tercengang dan hilang kendali dirinya lalu mengabarkan kepada anaknya bahwa Sayid Shadr adalah ayahnya. Lalu dia menceritakan selengkapnya mengenai pernikahannya (ibu wanita) dengan Sayid Shadr dan bagaimana bisa hari ini Sayid Shadr menikah dengan anaknya dan anak Sayid Shadr juga?!
Kemudian dia datang kepadaku menjelaskan tentang sikap tokoh tersebut terhadap dirinya dan anak yang lahir darinya. Sesungguhnya kejadian seperti ini sering terjadi. Salah seorang dari mereka melakukan mut’ah dengan seorang gadis, yang di kemudian hari diketahui bahwa dia itu adalah saudarinya dari hasil nikah mut’ah. Sebagaimana mereka juga ada yang melakukan nikah mut’ah dengan istri bapaknya.
Di Iran, kejadian seperti ini tak terhitung jumlahnya. Kami membandingkan kejadian ini dengan firman Allah Ta’ala, “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya sehingga Allah mampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur:33)
Kalaulah mut’ah dihalalkan, niscaya Allah tidak akan memerintahkan untuk menjaga kesucian dan menunggu sampai tiba waktu dimudahkan baginya untuk urusan pernikahan, tetapi Dia akan menganjurkan untuk melakukan mut’ah demi memenuhi kebutuhan biologisnya daripada terus-menerus diliputi dan dibakar oleh api syahwat.
Spoiler for Kisah Kedua:
Suatu waktu saya duduk bersama Imam Al-Khaui di kantornya. Tiba-tiba masuk dua orang laki-laki menemui kami, mereka memperdebatkan suatu masalah. Keduanya bersepakat untuk menanyakannya kepada Imam Al Khaui untuk mendapatkan jawaban darinya.
Salah seorang di antara mereka bertanya, “Wahai sayid, apa pendapatmu tentang mut’ah, apakah ia halal atau haram?”
Imam Al Khaui melihat lagaknya, ia menangkap sesuatu dari pertanyaannya, kemudian dia berkata kepadanya, “Dimana kamu tinggal?” maka dia menjawab, “Saya tinggal di Mosul, kemudian tinggal di Najaf semenjak sebulan yang lalu.”
Imam berkata kepadanya, “Kalau demikian berarti Anda adalah seorang Sunni?”
Pemuda itu menjawab, “Ya!”
Imam berkata, “Mut’ah menurut kami adalah halal, tetapi haram menurut kalian.”
Maka pemuda itu berkata kepadanya, “Saya di sini semenjak dua bulan yang lalu merasa kesepian, maka nikahkanlah saya dengan anak perempuanmu dengan cara mut’ah sebelum saya kembali kepada keluargaku.”
Maka sang imam membelalakkan matanya sejenak, kemudian berkata kepadanya, “Saya adalah pembesar, dan hal itu haram atas para pembesar, namun halal bagi kalangan awam dari orang-orang Syiah.”
Si pemuda menatap Al Khaui sambil tersenyum. Pandangannya mengisyaratkan akan pengetahuannya bahwa Al Khaui sedang mengamalkan taqiyah (berbohong untuk membela diri).
Kedua pemuda itu pun berdiri dan pergi. Saya meminta izin kepada Imam Al Khaui untuk keluar. Saya menyusul kedua pemuda tadi. Saya mengetahu bahwa penanya adalah seorang Sunni dan sahabatnya adalah seorang Syi’i (pengikut Syiah). Keduanya berselisih pendapat tentang nikah mut’ah, apakah ia halal atau haram? Keduanya bersepakat untuk menanyakan kepada rujukan agama, yaitu Imam Al Khaui. Ketika saya berbicara dengan kedua pemuda tadi, pemuda yang berpaham Syiah berontak sambil mengatakan, “Wahai orang-orang durhaka, kamu sekalian membolehkan nikah mut’ah kepada anak-anak perempuan kami, dan mengabarkan bahwa hal itu halal, dan dengan itu kalian mendekatkan diri kepada Allah, namun kalian mengharamkan kami untuk nikah mut’ah dengan anak-anak perempuan kalian?”
Maka dia mulai memaki dan mencaci serta bersumpah untuk pindah kepada madzhab ahlussunnah, maka saya pun mulai menenangkannya, kemudian saya bersumpah bahwa nikah mut’ah itu haram kemudian saya menjelaskan tentang dalil-dalilnya.
Spoiler for Kisah Ketiga:
Ini adalah kisah nyata seorang penganut Syiah di Indonesia yang sangat benci ketika ada orang yang melecehkan Syiah.
Namun ternyata, setelah beberapa bulan berikutnya dia berbalik, yang tadinya benci ketika ada orang yang melecehkan Syiah, sekarang amat benci dengan Syiah.
Ditanyakan kenapa bisa sampai seperti itu.
Jawabnya adalah kketika ia menuntut ilmu di Iran, ia mempunyai sahabat yang merupakan asli penduduk Iran, dan tentunya seakidah dengannya, sama-sama Syiah.
Sahabatnya itu memperkenalkan suatu tempat yang setiap malam Jum’at selalu dilakukan sebagai tempat nikah mut’ah. Sahabatnya itu kerap mendatangi tempat itu.
Tapi ada suatu yang ganjil dari proses nikah mut’ah tersebut. Setiap malam Jumat, semua lampu dalam hotel tersebut dimatikan. Alasan pemilik hotel, pemadaman itu dilakukan agar masyarakat sekitar yang nikah mut’ah di tempat tersebut tidak saling mengenal, dan jika bertemu di siang hari tidak malu.
Si sahabatnya itu penasaran. Berkali-kali ia nikah mut’ah namun tidak mengetahui sama siapa ia bersetubuh.
Maka ia mempunyai ide pada saat ijab-qobul (dalam suasana gelap), ia memberi cincin sebagai mas kimpoi dan agar selalu dipakai oleh wanita tersebut.
Setelah aqad persetubuhan selesai, laki-laki itu pulang ke rumah nya dan wanita itu menunggu datangnya siang hari untuk pulang.
Dan di pagi-pagi sekali, ia mendatangi hotel tersebut dan mengumpulkan wanita-wanita yang ia mut’ahi pada malam harinya.
Lalu dicarilah perempuan yang memakai cincin dan setelah ketemu, dan dibukakan hijabnyya, dia kaget setengah mati.
Ternyata wanita yang disetubuhinya semalam adalah adiknya sendiri yang juga tengah menuntut ilmu di negeri itu.
Dari situ dia sangat menyesal, dan begitu merasa bersalah.
Setelah kejadian ini banyak yg terbongkar dengan siapa mereka mut’ah (baca bersetubuh), ada yang bersama sepupunya, bahkan ada yang bersetubuh dengan ibunya sendiri. Naudzubillah. [maktabah mudaku]
bagaimana pendapat agan, apakah mungkin agan rela ibu, saudara perempuan, bibi, atau seseorang yang agan kenal di mut'ah seperti itu. menurut ane, itu tak ubahnya seperti seorang pramuria yang di bayar saja. masak iya sih, kita rela orang yang kita kenal diperlakukan seperti itu? kalo kita gak rela, masak iya sih, kita mau ngelakuin hal yang begituan??
coba kita renungin sejenak gan...
ane newbie gan, maaf kalo berantakan, ane ngarep ada yang berkenan , komen dan ratenya juga di tunggu gan,..
yang SR juga gak papa gan, yang penting dibaca aja,...
yang mau ngasih ane juga gak papa gan, kalo emang agan gak terima dengan ini,...