Meski menyandang predikat negara maritim, impor garam Indonesia dari Australia cukup tinggi. Hingga Juni lalu, mencapai 98 ribu ton dengan total nilai US$ 4,8 juta atau sekitar Rp 52,8 miliar.

Bulan berikutnya naik menjadi 111 ribu ton atau US$ 5,4 juta. Secara kumulatif, sepanjang tahun 2013 impor garam dari Australia tercatat 733 ribu ton atau senilai US$ 34,2 juta.

Menteri Perdagangan RI, Gita Wirjawan, mengungkapkan, ketergantungan Indonesia terhadap beberapa komoditi pangan impor dari Australia, seperti gandum dan buah-buahan, tidak sebesar garam dan sapi. Inilah yang sekarang menjadi kekhawatiran pemerintah Indonesia, pasca diputusnya hubungan kerjasama sementara dengan Negri Kangguru tersebut.

“Kalau buah, kita masih bisa impor dari negara-negara lain, misalnya Thailand, USA, RRC atau New Zealand. Begitu pun dengan gandum,” ujarnya.

Gita menambahkan, yang jadi kekhawatiran pemerintah, justru kebutuhan garam. Karena ketergantungan Indonesia pada Australia cukup tinggi.

Ironisnya, pemerintah tidak menjadikan produk lokal sebagai solusi pemecahan masalah. Padahal secara nasional kebutuhan konsumsi garam mencapai 1,4 juta ton per tahun. Stok garam nasional hingga akhir Juni lalu, masih sekitar 1,1 juta ton.

Jumlah itu belum termasuk hasil panen akhir tahun. Dengan luas lautan mencapai sekitar 3.287.010 km2, Indonesia harusnya mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri sendiri.

Tidak hanya itu, berdasarkan hasil kajian Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor dan Universitas Hasanudin Makasar, kualitas garam lokal sangat baik. Sudah memenuhi mutu standar hingga rata-rata 87 – 99 persen.

Kadar garam terbaik di Indonesia dengan perbandingan 50 gr per 1 liter air laut ini, dimiliki Kabupaten Nagekeo, Flores, NTT, yang sebelum diproses kadar garamnya mencapai 96 persen. Potensi yang sangat jarang dimiliki daerah lain di Indonesia bahkan di dunia.








sumber