- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Artidjo, hakim agung yang ditakuti para koruptor


TS
qulil12haqqo
Artidjo, hakim agung yang ditakuti para koruptor
Artidjo, hakim agung yang ditakuti para koruptor

Quote:
Merdeka.com - Lagi-lagi Artidjo Alkostar membuat publik tercengang. Hakim Agung kelahiran Situbondo, Jawa Timur, pada 22 Mei 1948 ini membanduli Angelina Sondakh dengan hukuman yang lebih berat di tingkat kasasi.
Angelina Sondakh sebelumnya hanya divonis 4 tahun 6 bulan di tingkat Pengadilan Negeri Tipikor, namun vonis itu dilipatgandakan oleh Artidjo, MS Lumme dan Mohammad Askin menjadi 12 tahun.
Sebelumnya trio Hakim Agung (Artidjo Alkostar, MS Lumme dan Mohammad Askin) ini juga memperberat hukuman bagi Tommy Hindratno, pegawai pajak pada Kantor Pajak Sidoarjo, dari 3 tahun 6 bulan menjadi 10 tahun. Trio Hakim Agung ini juga memperberat hukuman Zen Umar, Direktur PT Terang Kita atau PT Tranka Kabel, dari 5 tahun menjadi 15 tahun.
Vonis hukuman naik 3 kali lipat lebih tinggi dari hukuman semula adalah rekor saat ini. Rekor sebelumnya hukuman hanya naik dua kali lipat dan itu pun juga dipegang oleh Artidjo bersama Suryajaya, Abdul Latief, Krisna Harahap, dan MS Lumme yang memperberat hukuman Anggodo Widjojo dari lima tahun menjadi 10 tahun penjara.
Lalu siapa sebenarnya Hakim Artidjo?
Sebelum menjadi hakim agung, Artidjo aktif sebagai dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dan advokat. Sebagai seorang advokat, Artidjo pernah menangani beberapa kasus penting, di antaranya Anggota Tim Pembela Insiden Santa Cruz di Dili (Timor Timur 1992), dan Ketua Tim Pembela gugatan terhadap Kapolri dalam kasus Pelarungan Darah Udin (wartawan Bernas Fuad M Syafruddin).
Alumnus FH UII angkatan 1976 ini juga pernah menjadi Direktur LBH Yogyakarta pada 1983-1989. Artidjo juga pernah menempuh pendidikan untuk lawyer mengenai Hak Asasi Manusia di Columbia University selama enam bulan. Artidjo juga bekerja di Human Right Watch divisi Asia di New York selama dua tahun.
Pulang dari Negeri Paman Sam, Artidjo lalu mendirikan kantor pengacara yang dia namakan Artidjo Alkostar and Associates. Namun pada tahun 2000, pria berdarah Madura ini harus menutup kantor hukumnya karena terpilih sebagai hakim agung.
Artidjo hingga saat ini masih mengajar di kampus almamaternya. Artidjo mengajar setiap Sabtu, dari pagi hingga malam hari. Mantan aktivis HMI ini mengajar hukum acara pidana dan etika profesi serta mengajar mata kuliah HAM untuk S2. Artidjo biasa pulang ke Yogyakarta Jumat sore dan dijemput keponakannya di bandara dengan menggunakan motor.
Saat awal menjadi Hakim Agung, Artidjo bahkan sering naik bajaj atau taksi untuk menuju Gedung Mahkamah Agung. Hal itu karena di awal karirnya, hakim agung belum mendapatkan kendaraan dinas. Bahkan karena belum juga mendapat fasilitas rumah dinas dari MA, Artidjo mengontrak sebuah rumah di perkampungan di Kramat Kwitang, Jakarta Pusat, di belakang deretan bengkel las.
Kesederhanaan dan kejujuran telah menempa Artidjo. Berangkat dari padepokan kesederhanaan dan kejujuran itu kini Artidjo menjadi Hakim Agung yang tanpa ampun menghukum koruptor. Vonis ringan yang dijatuhkan hakim di bawahnya dia rombak dan tetap dengan argumen hukum yang kuat.
Lalu siapa lagi koruptor yang bakal merasakan beratnya palu besi yang digenggam Artidjo?
(dari berbagai sumber)
[hhw]
Angelina Sondakh sebelumnya hanya divonis 4 tahun 6 bulan di tingkat Pengadilan Negeri Tipikor, namun vonis itu dilipatgandakan oleh Artidjo, MS Lumme dan Mohammad Askin menjadi 12 tahun.
Sebelumnya trio Hakim Agung (Artidjo Alkostar, MS Lumme dan Mohammad Askin) ini juga memperberat hukuman bagi Tommy Hindratno, pegawai pajak pada Kantor Pajak Sidoarjo, dari 3 tahun 6 bulan menjadi 10 tahun. Trio Hakim Agung ini juga memperberat hukuman Zen Umar, Direktur PT Terang Kita atau PT Tranka Kabel, dari 5 tahun menjadi 15 tahun.
Vonis hukuman naik 3 kali lipat lebih tinggi dari hukuman semula adalah rekor saat ini. Rekor sebelumnya hukuman hanya naik dua kali lipat dan itu pun juga dipegang oleh Artidjo bersama Suryajaya, Abdul Latief, Krisna Harahap, dan MS Lumme yang memperberat hukuman Anggodo Widjojo dari lima tahun menjadi 10 tahun penjara.
Lalu siapa sebenarnya Hakim Artidjo?
Sebelum menjadi hakim agung, Artidjo aktif sebagai dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dan advokat. Sebagai seorang advokat, Artidjo pernah menangani beberapa kasus penting, di antaranya Anggota Tim Pembela Insiden Santa Cruz di Dili (Timor Timur 1992), dan Ketua Tim Pembela gugatan terhadap Kapolri dalam kasus Pelarungan Darah Udin (wartawan Bernas Fuad M Syafruddin).
Alumnus FH UII angkatan 1976 ini juga pernah menjadi Direktur LBH Yogyakarta pada 1983-1989. Artidjo juga pernah menempuh pendidikan untuk lawyer mengenai Hak Asasi Manusia di Columbia University selama enam bulan. Artidjo juga bekerja di Human Right Watch divisi Asia di New York selama dua tahun.
Pulang dari Negeri Paman Sam, Artidjo lalu mendirikan kantor pengacara yang dia namakan Artidjo Alkostar and Associates. Namun pada tahun 2000, pria berdarah Madura ini harus menutup kantor hukumnya karena terpilih sebagai hakim agung.
Artidjo hingga saat ini masih mengajar di kampus almamaternya. Artidjo mengajar setiap Sabtu, dari pagi hingga malam hari. Mantan aktivis HMI ini mengajar hukum acara pidana dan etika profesi serta mengajar mata kuliah HAM untuk S2. Artidjo biasa pulang ke Yogyakarta Jumat sore dan dijemput keponakannya di bandara dengan menggunakan motor.
Saat awal menjadi Hakim Agung, Artidjo bahkan sering naik bajaj atau taksi untuk menuju Gedung Mahkamah Agung. Hal itu karena di awal karirnya, hakim agung belum mendapatkan kendaraan dinas. Bahkan karena belum juga mendapat fasilitas rumah dinas dari MA, Artidjo mengontrak sebuah rumah di perkampungan di Kramat Kwitang, Jakarta Pusat, di belakang deretan bengkel las.
Kesederhanaan dan kejujuran telah menempa Artidjo. Berangkat dari padepokan kesederhanaan dan kejujuran itu kini Artidjo menjadi Hakim Agung yang tanpa ampun menghukum koruptor. Vonis ringan yang dijatuhkan hakim di bawahnya dia rombak dan tetap dengan argumen hukum yang kuat.
Lalu siapa lagi koruptor yang bakal merasakan beratnya palu besi yang digenggam Artidjo?
(dari berbagai sumber)
[hhw]
Quote:
menantikan semakin banyak orang2 keren kyk pak Artidjo ini di negri yg dilanda korup akut

moga ga repsol

tambahan untuk lebih mengenal sosok Artidjo Alkostar, maap ini wawancara di media kompas udah agak lama. namun banyak hal yg bisa dijadikan pelajaran sekaligus secercah harapan bagi ane dan agan2 semua yg masih percaya kelak negri ini akan mentas dari keterpurukan dengan mulai bermunculan pejuang2 yang tulus jujur dan bersih


Korupsi Jangan Ditoleransi
Spoiler for Artidjo Alkostar: Korupsi Jangan Ditoleransi :
Quote:
KOMPAS.com - Tahun lalu, lebih dari separuh perkara korupsi yang diajukan ke Mahkamah Agung melalui upaya hukum kasasi dan peninjauan kembali hanya dijatuhi hukuman antara satu dan dua tahun. Angka persisnya adalah 60,68 persen atau 269 perkara. Hukuman yang minimalis.
Tahun ini, publik bahkan lebih terkejut dengan vonis bebas terhadap buron Kejaksaan Agung yang diduga merugikan negara 98 juta dollar AS dan Rp 369 miliar. Kondisi tersebut sempat meredupkan harapan akan berhasilnya pemberantasan korupsi di republik ini. Kerja penegak hukum (polisi, jaksa, dan Komisi Pemberantasan Korupsi) mengejar pelaku korupsi seakan menjadi sia-sia jika pada akhirnya lembaga peradilan tinggi memutus bebas si terdakwa.
Akhir September lalu, MA memberikan kejutan. Tim majelis hakim yang dipimpin Artidjo Alkostar, yang juga Ketua Kamar Pidana, memidana kasus korupsi dan pencucian uang tiga kali lipat lebih berat dibandingkan putusan pengadilan tingkat pertama. Putusan itu menjadi semacam oase yang mampu menghidupkan harapan akan keadilan. Berikut petikan wawancara Kompas dengan Artidjo di Gedung MA, Selasa (1/10/2013):
Bagaimana bapak memandang korupsi?
Korupsi itu seperti penyakit kanker. Dalam sejarah, tidak ada negara yang sanggup menanggungnya. Kalau sudah korup, (negara) itu biasanya kolaps. Korupsi itu tidak hanya terkait dengan hilangnya keuangan negara, tetapi sebetulnya korupsi itu juga melanggar hak asasi manusia (HAM). Dampaknya bagi kehidupan bernegara, terutama bagi masyarakat bawah yang termiskinkan, harus diperhitungkan.Jadi, kita mesti mengacu kepada korban.
Tidak hanya hari-hari ini saja saya menjatuhkan pidana berat kepada pelaku korupsi. Sejak dahulu, sejak awal-awal menjadi hakim agung, saya dilibatkan dalam penanganan perkara korupsi Presiden Soeharto dan skandal Bank Bali. Saya tidak menoleransi korupsi. Bagi saya, itu zero tolerance karena yang dipertaruhkan martabat bangsa.
Dalam kasus Tommy Hindratno, mengapa bapak menghukum 10 tahun penjara? Padahal, kasus itu hanya terkait dengan penerimaan uang Rp 280 juta? Bukan miliaran seperti kasus lain?
Ini, kan, korupsi pajak. Pajak itu sumber pendapatan negara. Bayangkan saja kalau itu bisa dipermainkan. Istilahnya dinego dan tidak masuk ke negara. Meski ini tidak bisa dirasakan langsung oleh rakyat, saya kira karena pendapatan negara yang paling utama itu dari pajak. Jadi, bukan hanya masalah nominalnya saja, melainkan juga melihat sifat kejahatannya. Apalagi, dalam kasus Tommy Hindratno, (nego) itu (dilakukan) dari Surabaya sampai ke Jakarta. Lalu, ditangkap di Jakarta. Luar biasa itu. Kok, tindakan begitu seolah- olah biasa. Ini tak bisa ditoleransi. Di samping sifat kejahatannya, ini yang dikorupsi adalah uang rakyat yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat.
Bagaimana dengan perkara Zen Umar, terdakwa korupsi dan pencucian uang yang dihukum 15 tahun?
Dalam kasus itu, ada dua perbuatan yang dilanggar, yaitu korupsi dan pencucian uang. Jadi, ini terkait sistem pemidanaan. Masing-masing harus dipidana, jangan hanya satu.
Banyak yang belum memahami hal itu?
Hal ini sudah seharusnya dipahami pengadilan di bawah. Pencucian uang itu merupakan kejahatan yang sangat canggih. Yang berkembang sekarang ini adalah wacana menyita kekayaan terdakwa yang berhubungan dengan pencucian uang. Ini bisa merembet ke mana-mana. Asal ada benang merahnya saja.
Apakah para hakim agung di Kamar Pidana MA sudah punya pandangan seragam?
Saya kira belum merata. Namun, arah pengarusutamaan dapat dibuktikan dengan putusan Bahasyim Assifie dan Wa Ode Nurhayati. Mungkin ada hakim yang belum sepaham karena setiap hakim memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman yang berbeda. Namun, saya kira ini akan berproses di kamar pidana. Yang sudah muncul dan ditunjukkan MA dalam perkara Bahasyim Assifie (dihukum 12 tahun dan merampas hartanya Rp 60,9 miliar dan 681.147 dollar Amerika), Wa Ode Nurhayati (dihukum 6 tahun penjara), dan Zen Umar ini.
Bapak setuju dengan gagasan pemiskinan koruptor?
Sebetulnya pemiskinan itu istilah umum, istilah sosiologis. Dari segi hukum, artinya jangan memutus minimalis. Akan tetapi, itu harus dimaknai sesuai undang-undang, khususnya UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 18 yang menyebutkan tentang uang pengganti yang sebanyak-banyaknya. Roh atau misi utama UU Pemberantasan Tipikor adalah pengembalian uang negara. Itu misi yang sebenarnya.
Pasal 18 menyebut dengan jelas. Bahasanya adalah mengganti kerugian negara sebanyak-banyaknya dari uang yang diperoleh, bukan yang dinikmati. Yang terjadi sekarang ini menyempitkan, seolah uang pengganti itu yang dinikmati oleh terdakwa saja. Itu salah. Meski uang itu diserahkan kepada istrinya, anaknya, atau kepada orang lain, harus dirampas. Saya menganut itu.
Bapak dikenal sebagai hakim tanpa ampun. Apakah pernah sekali saja membebaskan kasus korupsi?
Kalau untuk kasus korupsi, saya kira tidak pernah. Saya ini melaksanakan tugas sebagai hakim di MA untuk menyatukan dan membenarkan jika ada putusan yang pertimbangannya tidak nalar. Hal-hal seperti ini perlu dicermati. Kalau ada bias nurani dari hakim atau penegak hukum seperti jaksa, yang rugi adalah negara dan rakyat.
Saya menjatuhkan putusan berorientasi pada nilai keadilan supaya tidak banyak penduduk miskin akibat korupsi.
Apakah orientasi nilai itu bisa mengesampingkan hal-hal yang bersifat formal prosedural?
Hakim itu di dalam mengadili perkara harus menggali nilai. Jika ada UU yang tidak jelas atau menimbulkan multitafsir, hakim harus mengarah pada yang lebih tinggi, yaitu nilai. Ada tiga nilai, yaitu: kebenaran, keadilan, dan keindahan harmoni sosial. Semua nilai itu abadi.
UU itu, kan, teks. Harus dihidupkan. Jangan dijadikan benda mati ketika menafsirkannya. Dihidupkan itu artinya dibunyikan. Hukum itu, kan, selalu bergerak. Bergerak ke luar, sentrifugal, ke arah masyarakat, pada keadaan sosial ekonomi. Bergerak ke dalam, sentripetal, ke nilai.
Harus mengandung nilai-nilai tadi: kebenaran, keadilan, dan kemanfaatan untuk masyarakat. Itu harus satu kotak. Jadi, kalau membaca UU bukan seperti peti kemas kosong. Di dalam kotak hukum itu ada nilai yang harus dibongkar.
Tugas penegak hukum itu seperti membuka buah, lalu hasilnya disajikan ke masyarakat. Masyarakat, ini lho buahnya. Silakan dinikmati. (Susana Rita)
Sumber : KOMPAS CETAK
http://nasional.kompas.com/read/2013...n.Ditoleransi.
Tahun ini, publik bahkan lebih terkejut dengan vonis bebas terhadap buron Kejaksaan Agung yang diduga merugikan negara 98 juta dollar AS dan Rp 369 miliar. Kondisi tersebut sempat meredupkan harapan akan berhasilnya pemberantasan korupsi di republik ini. Kerja penegak hukum (polisi, jaksa, dan Komisi Pemberantasan Korupsi) mengejar pelaku korupsi seakan menjadi sia-sia jika pada akhirnya lembaga peradilan tinggi memutus bebas si terdakwa.
Akhir September lalu, MA memberikan kejutan. Tim majelis hakim yang dipimpin Artidjo Alkostar, yang juga Ketua Kamar Pidana, memidana kasus korupsi dan pencucian uang tiga kali lipat lebih berat dibandingkan putusan pengadilan tingkat pertama. Putusan itu menjadi semacam oase yang mampu menghidupkan harapan akan keadilan. Berikut petikan wawancara Kompas dengan Artidjo di Gedung MA, Selasa (1/10/2013):
Bagaimana bapak memandang korupsi?
Korupsi itu seperti penyakit kanker. Dalam sejarah, tidak ada negara yang sanggup menanggungnya. Kalau sudah korup, (negara) itu biasanya kolaps. Korupsi itu tidak hanya terkait dengan hilangnya keuangan negara, tetapi sebetulnya korupsi itu juga melanggar hak asasi manusia (HAM). Dampaknya bagi kehidupan bernegara, terutama bagi masyarakat bawah yang termiskinkan, harus diperhitungkan.Jadi, kita mesti mengacu kepada korban.
Tidak hanya hari-hari ini saja saya menjatuhkan pidana berat kepada pelaku korupsi. Sejak dahulu, sejak awal-awal menjadi hakim agung, saya dilibatkan dalam penanganan perkara korupsi Presiden Soeharto dan skandal Bank Bali. Saya tidak menoleransi korupsi. Bagi saya, itu zero tolerance karena yang dipertaruhkan martabat bangsa.
Dalam kasus Tommy Hindratno, mengapa bapak menghukum 10 tahun penjara? Padahal, kasus itu hanya terkait dengan penerimaan uang Rp 280 juta? Bukan miliaran seperti kasus lain?
Ini, kan, korupsi pajak. Pajak itu sumber pendapatan negara. Bayangkan saja kalau itu bisa dipermainkan. Istilahnya dinego dan tidak masuk ke negara. Meski ini tidak bisa dirasakan langsung oleh rakyat, saya kira karena pendapatan negara yang paling utama itu dari pajak. Jadi, bukan hanya masalah nominalnya saja, melainkan juga melihat sifat kejahatannya. Apalagi, dalam kasus Tommy Hindratno, (nego) itu (dilakukan) dari Surabaya sampai ke Jakarta. Lalu, ditangkap di Jakarta. Luar biasa itu. Kok, tindakan begitu seolah- olah biasa. Ini tak bisa ditoleransi. Di samping sifat kejahatannya, ini yang dikorupsi adalah uang rakyat yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat.
Bagaimana dengan perkara Zen Umar, terdakwa korupsi dan pencucian uang yang dihukum 15 tahun?
Dalam kasus itu, ada dua perbuatan yang dilanggar, yaitu korupsi dan pencucian uang. Jadi, ini terkait sistem pemidanaan. Masing-masing harus dipidana, jangan hanya satu.
Banyak yang belum memahami hal itu?
Hal ini sudah seharusnya dipahami pengadilan di bawah. Pencucian uang itu merupakan kejahatan yang sangat canggih. Yang berkembang sekarang ini adalah wacana menyita kekayaan terdakwa yang berhubungan dengan pencucian uang. Ini bisa merembet ke mana-mana. Asal ada benang merahnya saja.
Apakah para hakim agung di Kamar Pidana MA sudah punya pandangan seragam?
Saya kira belum merata. Namun, arah pengarusutamaan dapat dibuktikan dengan putusan Bahasyim Assifie dan Wa Ode Nurhayati. Mungkin ada hakim yang belum sepaham karena setiap hakim memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman yang berbeda. Namun, saya kira ini akan berproses di kamar pidana. Yang sudah muncul dan ditunjukkan MA dalam perkara Bahasyim Assifie (dihukum 12 tahun dan merampas hartanya Rp 60,9 miliar dan 681.147 dollar Amerika), Wa Ode Nurhayati (dihukum 6 tahun penjara), dan Zen Umar ini.
Bapak setuju dengan gagasan pemiskinan koruptor?
Sebetulnya pemiskinan itu istilah umum, istilah sosiologis. Dari segi hukum, artinya jangan memutus minimalis. Akan tetapi, itu harus dimaknai sesuai undang-undang, khususnya UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 18 yang menyebutkan tentang uang pengganti yang sebanyak-banyaknya. Roh atau misi utama UU Pemberantasan Tipikor adalah pengembalian uang negara. Itu misi yang sebenarnya.
Pasal 18 menyebut dengan jelas. Bahasanya adalah mengganti kerugian negara sebanyak-banyaknya dari uang yang diperoleh, bukan yang dinikmati. Yang terjadi sekarang ini menyempitkan, seolah uang pengganti itu yang dinikmati oleh terdakwa saja. Itu salah. Meski uang itu diserahkan kepada istrinya, anaknya, atau kepada orang lain, harus dirampas. Saya menganut itu.
Bapak dikenal sebagai hakim tanpa ampun. Apakah pernah sekali saja membebaskan kasus korupsi?
Kalau untuk kasus korupsi, saya kira tidak pernah. Saya ini melaksanakan tugas sebagai hakim di MA untuk menyatukan dan membenarkan jika ada putusan yang pertimbangannya tidak nalar. Hal-hal seperti ini perlu dicermati. Kalau ada bias nurani dari hakim atau penegak hukum seperti jaksa, yang rugi adalah negara dan rakyat.
Saya menjatuhkan putusan berorientasi pada nilai keadilan supaya tidak banyak penduduk miskin akibat korupsi.
Apakah orientasi nilai itu bisa mengesampingkan hal-hal yang bersifat formal prosedural?
Hakim itu di dalam mengadili perkara harus menggali nilai. Jika ada UU yang tidak jelas atau menimbulkan multitafsir, hakim harus mengarah pada yang lebih tinggi, yaitu nilai. Ada tiga nilai, yaitu: kebenaran, keadilan, dan keindahan harmoni sosial. Semua nilai itu abadi.
UU itu, kan, teks. Harus dihidupkan. Jangan dijadikan benda mati ketika menafsirkannya. Dihidupkan itu artinya dibunyikan. Hukum itu, kan, selalu bergerak. Bergerak ke luar, sentrifugal, ke arah masyarakat, pada keadaan sosial ekonomi. Bergerak ke dalam, sentripetal, ke nilai.
Harus mengandung nilai-nilai tadi: kebenaran, keadilan, dan kemanfaatan untuk masyarakat. Itu harus satu kotak. Jadi, kalau membaca UU bukan seperti peti kemas kosong. Di dalam kotak hukum itu ada nilai yang harus dibongkar.
Tugas penegak hukum itu seperti membuka buah, lalu hasilnya disajikan ke masyarakat. Masyarakat, ini lho buahnya. Silakan dinikmati. (Susana Rita)
Sumber : KOMPAS CETAK
http://nasional.kompas.com/read/2013...n.Ditoleransi.
Diubah oleh qulil12haqqo 22-11-2013 18:46
0
6.1K
Kutip
72
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan