- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Cita-cita Anak Indonesia: Jadi Olga, Saskia & Obama


TS
kiki28
Cita-cita Anak Indonesia: Jadi Olga, Saskia & Obama
Ga perlu basa-basi gan.. ane nemu artikel ini dan pengen share di sini. semoga bermanfaat.
KETIKA masih duduk di bangku SD (1972 – 1977) cita-citaku dan juga teman sekelas tergolong ‘’tidak variatif’’. Kalau tidak jadi tentara, dokter, pilot, ya guru. Atau, sekalian yang paling ‘’tinggi’’ saat itu: presiden!
Hampir 40 tahun berselang, saat presiden negeri ini tidak ‘’dia lagi-dia lagi’’, varian cita-cita menjadi sangat banyak. Apa yang dulu tidak kubayangkan, kini kudengar langsung dari mulut murid-murid kelas 1 hingga kelas 7, di mana aku (pernah) berbagi dalam kelas inspirasi di Sekolah Dasar Negeri, hingga mengisi kelas-kelas ekstrakurikuler mengenai penulisan/jurnalistik di SMP Swasta. Juga, saat memberi pelatihan jurnalistik dan literasi media kepada pelajar-pelajar SMA. Misalnya, cita-cita menjadi komikus, novelis, pebasket, pesepakbola, jurnalis, kolumnis, pembalap F1, pembalap motor GP, artis, model, desainer grafis, professor, masinis, ustadz, dan banyak lagi profesi yang membuat saya terpana, sekaligus membayangkan masa depan Indonesia yang lebih indah. Masa depan dengan pilihan yang jauh sangat beragam dibanding di masa kecilku.
Termasuk saat seorang pelajar SDN kelas 6 dengan lantang menyebut cita-citanya bukan merujuk pada jenis profesi, tetapi sosok. Ia bercita-cita menjadi Olga Syahputra, yang wajahnya hampir setiap hari mengisi layar kaca. Jujur, saya sempat kaget, dan spontan mengajukan pertanyaan, ‘’Kenapa mau jadi Olga?’’ Dengan tegas, ia menjawab, ‘’Orang tua saya tidak mampu. Tidak mungkin biayai saya sampai kuliah. Saya mau jadi Olga saja. Tidak sekolah tinggi, tapi bisa terkenal, muncul tiap hari di televisi, dan katanya, kaya raya, miliaran uangnya. Kalau saya jadi Olga, saya kan jadi bisa bantu orangtua saya, dan sekolahkan adik-adik saya setinggi mungkin.’’
Tahu dari mana dia punya uang miliaran?
‘’Dari tv. Dari infotainment. Dia beli rumah yang harganya miliaran! Kalau liburan suka ajak teman-temannya ke luar negeri,’’ jawab anak itu lagi.
Seorang siswi kelas 6 yang mengaku beribukan guru dan berayahkan tukang bangunan juga punya cita-cita yang mirip. Merujuk pada sosok. ‘’Saya mau jadi Saskia Gotik (penyanyi dangdut), tapi nggak mau ketemu Vicky.’’
Kenapa?
‘’Kalau saya jadi Saskia, saya bisa punya uang banyak, dan bisa bantu orangtua. Kasihan, sudah tua, mereka tidak usah kerja lagi’’ jawab anak kelima dari 11 bersaudara ini dengan polosnya.
Aku tak sempat menanyakan, mengapa ia tak mau bersua Vicky.
Di antara pelajar SDN ini, ada yang kemudian dengan lirih dan hampir mengeluarkan airmata berujar, ‘’Saya mau jadi ustadz. Ustadz yang baik, bukan ustadz yang ikut-ikutan jadi seleb dan digosipin macam-macam.’’ Teman-temannya bertepuk tangan bersama, bahkan ada yang berteriak, ‘’Kamu pasti bisa jadi ustadz, ngajimu saja paling hebat.’’ ‘’Iya, Pak, dia ngajinya hebat,’’ timpal yang lain.
‘’Tapi, Nak, kenapa kamu menangis?’’ tanyaku.
‘’Saya mau jadi ustadz di kampung saja. Hidup sederhana, tidak mau masuk tv, tidak mau digosipin,’’ lirih ia berujar. Isaknya terdengar. Seorang teman mendekatinya, lalu memeluknya dan menghapus airmatanya.
Aaaahhhhh, anak-anak itu mengingatkanku akan indahnya masa kanak-kanakku dulu, masa penuh persahabatan yang indah.
Aku juga dibuat tersenyum, ketika salah seorang di antara mereka, yang bercita-cita untuk menjadi ‘’Presiden Obama!’’
‘’Itu kan Presiden Amerika Serikat?’’ tanyaku.
‘’Iya Pak, saya tahu. Saya mau jadi orang Batak pertama yang bisa menjadi Presiden Amerika Serikat. Seperti Obama yang orang Indonesia bisa menjadi Presiden Amerika.’’ Mendengarkan hal ini, teman-teman sekelasnya kembali bertepuk riang.
‘’Kenapa nggak mau jadi Presiden Indonesia saja? tanyaku lagi.
‘’Nggak ah, Pak, saya maunya jadi Presiden Obama saja! Saya mau memimpin Amerika!’’
CITA-cita mereka, rupanya tak terlepas dari apa yang mereka tonton setiap hari di layar kaca. Televisi telah menjadi pengganti orangtua mereka. Rata-rata mengaku menonton televisi 4 – 8 jam sehari.
Selama itu?
Rata-rata pelajar di SDN ini memiliki orangtua yang kedua-keduanya sibuk mencari nafkah. Dan selama orangtuanya di luar rumah, mereka mendapatkan ‘’orangtua pengganti’’ bernama : televisi.
Mereka mengaku, orangtuanya lebih senang jika anak-anaknya tetap di rumah, berteman dengan televisi, daripada keluar rumah. ‘’Daripada bergaul dengan anak-anak lain, yang bisa kasih pengaruh buruk. Tawuran, narkoba dan sejenisnya.’’ Begitu yang bisa kugali dari mereka.
‘’Kecurigaan’’ plus ‘’kekhawatiran’’ membuat orangtua lebih memilih anak-anaknya bertemankan televisi daripada teman sebaya (peer group). Mereka bahkan tidak pernah berpikir bahwa televisi bisa memberi pengaruh yang sama, atau bahkan lebih dahsyat, dibanding apa yang mereka khawatirkan bila anak-anaknya bermain di luar rumah.
‘’Televisi tidak membunuh anak atau menyiramkan air keras pada anak saya, seperti yang bisa terjadi kalau mereka tawuran,’’ jawaban ini kudapatkan dari seorang pedagang gorengan, yang juga mengaku lebih suka dan merasa aman, jika anaknya tetap di rumah ‘bersama’ televisi daripada keluyuran sepulang sekolah.
Dan, anak-anak dibebaskan untuk menonton jenis tayangan apa saja. Dari infotainment yang sarat kasak-kusuk kehidupan pribadi artis hingga berita yang sarat liputan peristiwa kriminal. Dari tayangan kartun, reality show penuh jebakan yang bisa mencelakakan, hingga komedi yang sarat ‘’kekerasan’’ menggunakan properti yang katanya aman (styrofoam) dan tabur-taburan tepung. Semua dimamah dengan nyaman. Mereka rata-rata tak peduli pada klasifikasi umur yang ditetapkan untuk tayangan-tayangan tersebut. Mereka bangun dari tidur karena suara tv, dan mereka ‘’dininabobokkan’’ oleh tv hingga tertidur pulas di depan tv.
ANAK-anak kita semua ini, adalah anak-anak ‘’alam’’ yang masih teramat polos, yang mengkonsumsi tayangan layar kaca, dan cita-citanya sedikit-banyak dipengaruhi oleh apa yang tersaji di layar kaca itu.
Cita-cita mereka jauh lebih bervariasi, dibanding ‘’cita-cita’’ orang-orang yang lebih tua dari mereka, yang berada di balik lahirnya tayangan layar kaca yang mereka tonton. Orang-orang yang cita-citanya terbilang ‘’pendek’’: bagaimana membuat tayangan hari ini lebih tinggi rating dan sharingnya dibanding tayangan sebelumnya dan dibanding tayangan-tayangan yang diproduksi tv pesaing. Mereka pun memunculkan Olga, Saskia Gotik berulang-ulang hingga Obama di layar kaca, yang kemudian menjadi sosok-sosok yang diidolakan oleh anak-anak itu, yang lalu ‘’membentuk’’ cita-cita mereka.
Inilah kehidupan…..
Apakah kesimpulanku ini benar?
Jawabannya, hanya tiga kemungkinan, persis seperti teriakan anak-anak yang menebak-nebak sesuatu di sebuah tayangan layar kaca, yang hanya diberi tiga pilihan jawaban:
Ya!
Tidak!
Bisa jadi!
Sumber
Kenapa televisi kita masih menayangkan acara seperti itu? karena itu yang laku gan. Laku berdasarkan rating sehingga meghasilkan uang. Keuntungan dari program2 tersebut, bukan hanya dinikmati oleh artis2 saja, tapi juga kru tv-nya gan. ini ceritanya.
Tak semua stasiun televisi menerapkan sistem insentif. Sudah sejak lama, dua stasiun televisi kelompok Trans Corp: Trans TV dan Trans 7, memberikan insentif pada karyawannya setiap mencapai target rating-share program tertentu. Tentu saja, insentif program weekly (program yang tayang seminggu sekali) berbeda dengan program stripping (program yang tayang Senin-Jum’at atau bahkan sampai Minggu).
Jumlah insentif yang diterima, diumumkan secara transparan setiap Rabu di depan seluruh pemangku program. Kenapa Rabu? Rabu adalah hari beredarnya rating-share AC Nielsen. Jadi, rating-share seluruh program diinfokan ke seluruh tim produksi di Trans TV maupun Trans 7. Namun, sekarang rating-share AC Nielsen jauh lebih cepat, yakni bisa langsung diketahui sehari sesudah tayang. Di pertemuan inilah, dari mulai Executive Produser sampai Produser pembuat program, tahu insentif yang mereka terima minggu itu.
“Gara-gara insentif, gue bisa beli rumah,” ujar Produser Trans TV yang pernah membuat program misteri ini.
Dalam tulisan ini saya tidak akan menjelaskan detail formulasi atau persentasenya. itung-itungan rating-share supaya bisa mendapatkan angka insentif tidak saya paparkan di sini. Namun, saya mencoba memberikan gambaran pada Anda, agar Anda tahu, betapa menggiurkan insentif yang diberikan dua stasiun televisi milik Chairul Tanjung ini.
Andai program weekly Anda meraih insentif sebesar Rp 5 juta per minggu, maka dalam sebulan ada insentif senilai Rp 20 juta. Jumlah ini dibagi ke beberapa pihak, yakni Departemen Teknik, Departemen Produksi, dan Departemen Operasional. Departemen Teknik membawahi penata kamera, penata cahaya, dan penata suara. Lalu, Departemen Operasional terdiri dari Program Director (PD), Floor Director (FD), Technical Director (TD), Unit, Talent, dan Admin. Sedang Departemen Produksi adalah Executive Producer (EP), Producer, Kreatif, dan Production Assistance (PA).
Jika insentif yang didapat Rp 5 juta, pembagiannya kira-kira Rp 3 juta diberikan pada Departemen Produksi, Rp 1 juta ke Departemen Teknik, dan Rp 1 juta lagi diberikan ke Departemen Operasional. Untuk Departemen Produksi barangkali dari angka Rp 3 juta, lebih enak membaginya. Uang tersebut tinggal dibagi ke EP, Producer, Kreatif, dan PA.
Berbeda dengan Departemen Teknik. Oleh karena Penata Kamera, Penata Cahaya, dan Penata Suara-nya selalu bergonti-ganti kru setiap kali syuting, sesuai jadwal kerja mereka, maka insentif tidak langsung diberikan ke individu yang bersangkutan. Biasanya sang Manager akan mengumpulkan insentif hingga puluhan juta, lalu dibelikan sejumlah barang. Barang-barang yang dibeli mulai dari gadget, laptop, kamera DSLR, sampai motor bebek.
Sejumlah barang yang dibeli akan diundi. Pada saat pengundian, seluruh kru di Departemen Teknik diundang untuk hadir dalam pengundian tersebut. Siapa yang menang, berhak memperoleh barang sesuai dengan undang tersebut. Fair bukan?
Itu di atas tadi kalo insentif buat program weekly. Kalo untuk program stripping, insentifnya lebih dahsyat lagi. Program seperti Opera van Java (OvJ) atau Bukan Empat Mata, misalnya. Tim produksi program ini bisa liburan ke luar negeri dari insentif program.
“Temen-teman gue (maksudnya tim produksi) yang ngerjain OvJ sempat liburan ke Korea,” ujar salah seorang mantan karyawan salah satu televisi di Trans Corp yang tak mau disebutkan namanya. Sebut saja BG. “Kalo gue memang sempat liburan bersama kru dari uang insentif, tapi nggak sampe Korea“.
Saat ini, insentif yang paling gokil didapat kru Yuk Keep Smile (YKS). Selain stripping, rating-share program ini cukup besar, dan ada di primetime pula. Sejak Extravaganza tak lagi menjadi andalan, YKS menjadi andalan Trans TV. Imbasnya, kru yang bertugas mendapat insentif gede.
Menurut BG, dalam seminggu boleh jadi insentif yang diberikan ke tim YKS senilai Rp 20 juta. Nah, bayangkan, kalo seminggu kru dapat Rp 20 juta, maka sebulan insentif yang didapat senilai Rp 80 juta. Tanpa harus menunggu bonus tahunan, baik Departemen Teknik, Departemen Operasional, dan tentu saja Departemen Produksi meraih ‘bonus’dari insentif program.
Insenstif diberikan jika mencapai target yang sudah ditentukan oleh manajemen. Indsentif akan ditambah setiap kelipatan share. Angkanya bisa mencapai Rp 5 juta per kelipatan. Misal,target share adalah 15 persen, maka mendapat Rp 5 juta. Kalo share lebih dari 15 persen, misal 17 persen, maka dapat Rp 10 juta; share 20 persen dapat Rp 15 juta, dan seterusnya. Semakin tinggi share yang dicapai, semakin besar kemungkinan Anda menjadi jutawan.
“Ketika pegang program stripping di primetime, karyawan kaya-raya gara-gara insentif. Tau sendiri, tingkat kesulitan primetime tinggi dan kompetisi berat,” kata BG sambil tertawa.
Nah, apakah di stasiun televisi Anda ada menjalankan sistem insentif sebagaimana Trans TV dan Trans 7? Apakah stasiun televisi Anda setiap tahun memberikan bonus? Kalo tidak ada insentif atau tidak setiap tahun mendapatkan bonus, sepertinya Anda harus berpikir ulang kerja di stasiun televisi tempat Anda bekerja sekarang.
Namun, kayaknya Anda juga harus berpikir ulang kerja di stasiun televisi, kalo cuma gara-gara ingin mendapat insentif gede, Anda terpaksa membuat program dengan berbagai cara. Yakni, tidak mengharamkan peran-peran banci berkeliaran di layar, hujat-menghujat, cela-mencela, menjual perempuan dengan pakaian hot, maupun bermain-main dengan tepung. Mending dapat insentif, tetapi tetap membuat program yang bisa menginspirasi penonton Indonesia, tetapi tetap menghibur.
Salam TV Sehat!
Sumber
Tak heran jika program tersebut masih menjadi andalan. Sebagai Orang Tua, atau orang yang lebih tua, sudah saatnya kita memposisikan diri kita sebagai pembimbing anak maupun adik2 kita. Kalau bisa, diminimalisir nonton tv-nya, karena acara tv kita saat ini, sungguh sangat jauh dari kata mendidik.
terima kasih sudah baca, buat yang mau ngasih cendol
, diucapkan terima kasih, paling tidak di rate biar makin banyak kaskuser yang baca dan peduli.Terima Kasih
Quote:
Spoiler for Cita-cita anak Indonesia sekarang gan:
KETIKA masih duduk di bangku SD (1972 – 1977) cita-citaku dan juga teman sekelas tergolong ‘’tidak variatif’’. Kalau tidak jadi tentara, dokter, pilot, ya guru. Atau, sekalian yang paling ‘’tinggi’’ saat itu: presiden!
Hampir 40 tahun berselang, saat presiden negeri ini tidak ‘’dia lagi-dia lagi’’, varian cita-cita menjadi sangat banyak. Apa yang dulu tidak kubayangkan, kini kudengar langsung dari mulut murid-murid kelas 1 hingga kelas 7, di mana aku (pernah) berbagi dalam kelas inspirasi di Sekolah Dasar Negeri, hingga mengisi kelas-kelas ekstrakurikuler mengenai penulisan/jurnalistik di SMP Swasta. Juga, saat memberi pelatihan jurnalistik dan literasi media kepada pelajar-pelajar SMA. Misalnya, cita-cita menjadi komikus, novelis, pebasket, pesepakbola, jurnalis, kolumnis, pembalap F1, pembalap motor GP, artis, model, desainer grafis, professor, masinis, ustadz, dan banyak lagi profesi yang membuat saya terpana, sekaligus membayangkan masa depan Indonesia yang lebih indah. Masa depan dengan pilihan yang jauh sangat beragam dibanding di masa kecilku.
Termasuk saat seorang pelajar SDN kelas 6 dengan lantang menyebut cita-citanya bukan merujuk pada jenis profesi, tetapi sosok. Ia bercita-cita menjadi Olga Syahputra, yang wajahnya hampir setiap hari mengisi layar kaca. Jujur, saya sempat kaget, dan spontan mengajukan pertanyaan, ‘’Kenapa mau jadi Olga?’’ Dengan tegas, ia menjawab, ‘’Orang tua saya tidak mampu. Tidak mungkin biayai saya sampai kuliah. Saya mau jadi Olga saja. Tidak sekolah tinggi, tapi bisa terkenal, muncul tiap hari di televisi, dan katanya, kaya raya, miliaran uangnya. Kalau saya jadi Olga, saya kan jadi bisa bantu orangtua saya, dan sekolahkan adik-adik saya setinggi mungkin.’’
Tahu dari mana dia punya uang miliaran?
‘’Dari tv. Dari infotainment. Dia beli rumah yang harganya miliaran! Kalau liburan suka ajak teman-temannya ke luar negeri,’’ jawab anak itu lagi.
Seorang siswi kelas 6 yang mengaku beribukan guru dan berayahkan tukang bangunan juga punya cita-cita yang mirip. Merujuk pada sosok. ‘’Saya mau jadi Saskia Gotik (penyanyi dangdut), tapi nggak mau ketemu Vicky.’’
Kenapa?
‘’Kalau saya jadi Saskia, saya bisa punya uang banyak, dan bisa bantu orangtua. Kasihan, sudah tua, mereka tidak usah kerja lagi’’ jawab anak kelima dari 11 bersaudara ini dengan polosnya.
Aku tak sempat menanyakan, mengapa ia tak mau bersua Vicky.
Di antara pelajar SDN ini, ada yang kemudian dengan lirih dan hampir mengeluarkan airmata berujar, ‘’Saya mau jadi ustadz. Ustadz yang baik, bukan ustadz yang ikut-ikutan jadi seleb dan digosipin macam-macam.’’ Teman-temannya bertepuk tangan bersama, bahkan ada yang berteriak, ‘’Kamu pasti bisa jadi ustadz, ngajimu saja paling hebat.’’ ‘’Iya, Pak, dia ngajinya hebat,’’ timpal yang lain.
‘’Tapi, Nak, kenapa kamu menangis?’’ tanyaku.
‘’Saya mau jadi ustadz di kampung saja. Hidup sederhana, tidak mau masuk tv, tidak mau digosipin,’’ lirih ia berujar. Isaknya terdengar. Seorang teman mendekatinya, lalu memeluknya dan menghapus airmatanya.
Aaaahhhhh, anak-anak itu mengingatkanku akan indahnya masa kanak-kanakku dulu, masa penuh persahabatan yang indah.
Aku juga dibuat tersenyum, ketika salah seorang di antara mereka, yang bercita-cita untuk menjadi ‘’Presiden Obama!’’
‘’Itu kan Presiden Amerika Serikat?’’ tanyaku.
‘’Iya Pak, saya tahu. Saya mau jadi orang Batak pertama yang bisa menjadi Presiden Amerika Serikat. Seperti Obama yang orang Indonesia bisa menjadi Presiden Amerika.’’ Mendengarkan hal ini, teman-teman sekelasnya kembali bertepuk riang.
‘’Kenapa nggak mau jadi Presiden Indonesia saja? tanyaku lagi.
‘’Nggak ah, Pak, saya maunya jadi Presiden Obama saja! Saya mau memimpin Amerika!’’
CITA-cita mereka, rupanya tak terlepas dari apa yang mereka tonton setiap hari di layar kaca. Televisi telah menjadi pengganti orangtua mereka. Rata-rata mengaku menonton televisi 4 – 8 jam sehari.
Selama itu?
Rata-rata pelajar di SDN ini memiliki orangtua yang kedua-keduanya sibuk mencari nafkah. Dan selama orangtuanya di luar rumah, mereka mendapatkan ‘’orangtua pengganti’’ bernama : televisi.
Mereka mengaku, orangtuanya lebih senang jika anak-anaknya tetap di rumah, berteman dengan televisi, daripada keluar rumah. ‘’Daripada bergaul dengan anak-anak lain, yang bisa kasih pengaruh buruk. Tawuran, narkoba dan sejenisnya.’’ Begitu yang bisa kugali dari mereka.
‘’Kecurigaan’’ plus ‘’kekhawatiran’’ membuat orangtua lebih memilih anak-anaknya bertemankan televisi daripada teman sebaya (peer group). Mereka bahkan tidak pernah berpikir bahwa televisi bisa memberi pengaruh yang sama, atau bahkan lebih dahsyat, dibanding apa yang mereka khawatirkan bila anak-anaknya bermain di luar rumah.
‘’Televisi tidak membunuh anak atau menyiramkan air keras pada anak saya, seperti yang bisa terjadi kalau mereka tawuran,’’ jawaban ini kudapatkan dari seorang pedagang gorengan, yang juga mengaku lebih suka dan merasa aman, jika anaknya tetap di rumah ‘bersama’ televisi daripada keluyuran sepulang sekolah.
Dan, anak-anak dibebaskan untuk menonton jenis tayangan apa saja. Dari infotainment yang sarat kasak-kusuk kehidupan pribadi artis hingga berita yang sarat liputan peristiwa kriminal. Dari tayangan kartun, reality show penuh jebakan yang bisa mencelakakan, hingga komedi yang sarat ‘’kekerasan’’ menggunakan properti yang katanya aman (styrofoam) dan tabur-taburan tepung. Semua dimamah dengan nyaman. Mereka rata-rata tak peduli pada klasifikasi umur yang ditetapkan untuk tayangan-tayangan tersebut. Mereka bangun dari tidur karena suara tv, dan mereka ‘’dininabobokkan’’ oleh tv hingga tertidur pulas di depan tv.
ANAK-anak kita semua ini, adalah anak-anak ‘’alam’’ yang masih teramat polos, yang mengkonsumsi tayangan layar kaca, dan cita-citanya sedikit-banyak dipengaruhi oleh apa yang tersaji di layar kaca itu.
Cita-cita mereka jauh lebih bervariasi, dibanding ‘’cita-cita’’ orang-orang yang lebih tua dari mereka, yang berada di balik lahirnya tayangan layar kaca yang mereka tonton. Orang-orang yang cita-citanya terbilang ‘’pendek’’: bagaimana membuat tayangan hari ini lebih tinggi rating dan sharingnya dibanding tayangan sebelumnya dan dibanding tayangan-tayangan yang diproduksi tv pesaing. Mereka pun memunculkan Olga, Saskia Gotik berulang-ulang hingga Obama di layar kaca, yang kemudian menjadi sosok-sosok yang diidolakan oleh anak-anak itu, yang lalu ‘’membentuk’’ cita-cita mereka.
Inilah kehidupan…..
Apakah kesimpulanku ini benar?
Jawabannya, hanya tiga kemungkinan, persis seperti teriakan anak-anak yang menebak-nebak sesuatu di sebuah tayangan layar kaca, yang hanya diberi tiga pilihan jawaban:
Ya!
Tidak!
Bisa jadi!
Sumber
Kenapa televisi kita masih menayangkan acara seperti itu? karena itu yang laku gan. Laku berdasarkan rating sehingga meghasilkan uang. Keuntungan dari program2 tersebut, bukan hanya dinikmati oleh artis2 saja, tapi juga kru tv-nya gan. ini ceritanya.
Quote:
Spoiler for Insentif Program “Stripping” di Trans TV dan Trans 7 yang Menggiurkan:
Tak semua stasiun televisi menerapkan sistem insentif. Sudah sejak lama, dua stasiun televisi kelompok Trans Corp: Trans TV dan Trans 7, memberikan insentif pada karyawannya setiap mencapai target rating-share program tertentu. Tentu saja, insentif program weekly (program yang tayang seminggu sekali) berbeda dengan program stripping (program yang tayang Senin-Jum’at atau bahkan sampai Minggu).
Jumlah insentif yang diterima, diumumkan secara transparan setiap Rabu di depan seluruh pemangku program. Kenapa Rabu? Rabu adalah hari beredarnya rating-share AC Nielsen. Jadi, rating-share seluruh program diinfokan ke seluruh tim produksi di Trans TV maupun Trans 7. Namun, sekarang rating-share AC Nielsen jauh lebih cepat, yakni bisa langsung diketahui sehari sesudah tayang. Di pertemuan inilah, dari mulai Executive Produser sampai Produser pembuat program, tahu insentif yang mereka terima minggu itu.
“Gara-gara insentif, gue bisa beli rumah,” ujar Produser Trans TV yang pernah membuat program misteri ini.
Dalam tulisan ini saya tidak akan menjelaskan detail formulasi atau persentasenya. itung-itungan rating-share supaya bisa mendapatkan angka insentif tidak saya paparkan di sini. Namun, saya mencoba memberikan gambaran pada Anda, agar Anda tahu, betapa menggiurkan insentif yang diberikan dua stasiun televisi milik Chairul Tanjung ini.
Andai program weekly Anda meraih insentif sebesar Rp 5 juta per minggu, maka dalam sebulan ada insentif senilai Rp 20 juta. Jumlah ini dibagi ke beberapa pihak, yakni Departemen Teknik, Departemen Produksi, dan Departemen Operasional. Departemen Teknik membawahi penata kamera, penata cahaya, dan penata suara. Lalu, Departemen Operasional terdiri dari Program Director (PD), Floor Director (FD), Technical Director (TD), Unit, Talent, dan Admin. Sedang Departemen Produksi adalah Executive Producer (EP), Producer, Kreatif, dan Production Assistance (PA).
Jika insentif yang didapat Rp 5 juta, pembagiannya kira-kira Rp 3 juta diberikan pada Departemen Produksi, Rp 1 juta ke Departemen Teknik, dan Rp 1 juta lagi diberikan ke Departemen Operasional. Untuk Departemen Produksi barangkali dari angka Rp 3 juta, lebih enak membaginya. Uang tersebut tinggal dibagi ke EP, Producer, Kreatif, dan PA.
Berbeda dengan Departemen Teknik. Oleh karena Penata Kamera, Penata Cahaya, dan Penata Suara-nya selalu bergonti-ganti kru setiap kali syuting, sesuai jadwal kerja mereka, maka insentif tidak langsung diberikan ke individu yang bersangkutan. Biasanya sang Manager akan mengumpulkan insentif hingga puluhan juta, lalu dibelikan sejumlah barang. Barang-barang yang dibeli mulai dari gadget, laptop, kamera DSLR, sampai motor bebek.
Sejumlah barang yang dibeli akan diundi. Pada saat pengundian, seluruh kru di Departemen Teknik diundang untuk hadir dalam pengundian tersebut. Siapa yang menang, berhak memperoleh barang sesuai dengan undang tersebut. Fair bukan?
Itu di atas tadi kalo insentif buat program weekly. Kalo untuk program stripping, insentifnya lebih dahsyat lagi. Program seperti Opera van Java (OvJ) atau Bukan Empat Mata, misalnya. Tim produksi program ini bisa liburan ke luar negeri dari insentif program.
“Temen-teman gue (maksudnya tim produksi) yang ngerjain OvJ sempat liburan ke Korea,” ujar salah seorang mantan karyawan salah satu televisi di Trans Corp yang tak mau disebutkan namanya. Sebut saja BG. “Kalo gue memang sempat liburan bersama kru dari uang insentif, tapi nggak sampe Korea“.
Saat ini, insentif yang paling gokil didapat kru Yuk Keep Smile (YKS). Selain stripping, rating-share program ini cukup besar, dan ada di primetime pula. Sejak Extravaganza tak lagi menjadi andalan, YKS menjadi andalan Trans TV. Imbasnya, kru yang bertugas mendapat insentif gede.
Menurut BG, dalam seminggu boleh jadi insentif yang diberikan ke tim YKS senilai Rp 20 juta. Nah, bayangkan, kalo seminggu kru dapat Rp 20 juta, maka sebulan insentif yang didapat senilai Rp 80 juta. Tanpa harus menunggu bonus tahunan, baik Departemen Teknik, Departemen Operasional, dan tentu saja Departemen Produksi meraih ‘bonus’dari insentif program.
Insenstif diberikan jika mencapai target yang sudah ditentukan oleh manajemen. Indsentif akan ditambah setiap kelipatan share. Angkanya bisa mencapai Rp 5 juta per kelipatan. Misal,target share adalah 15 persen, maka mendapat Rp 5 juta. Kalo share lebih dari 15 persen, misal 17 persen, maka dapat Rp 10 juta; share 20 persen dapat Rp 15 juta, dan seterusnya. Semakin tinggi share yang dicapai, semakin besar kemungkinan Anda menjadi jutawan.
“Ketika pegang program stripping di primetime, karyawan kaya-raya gara-gara insentif. Tau sendiri, tingkat kesulitan primetime tinggi dan kompetisi berat,” kata BG sambil tertawa.
Nah, apakah di stasiun televisi Anda ada menjalankan sistem insentif sebagaimana Trans TV dan Trans 7? Apakah stasiun televisi Anda setiap tahun memberikan bonus? Kalo tidak ada insentif atau tidak setiap tahun mendapatkan bonus, sepertinya Anda harus berpikir ulang kerja di stasiun televisi tempat Anda bekerja sekarang.
Namun, kayaknya Anda juga harus berpikir ulang kerja di stasiun televisi, kalo cuma gara-gara ingin mendapat insentif gede, Anda terpaksa membuat program dengan berbagai cara. Yakni, tidak mengharamkan peran-peran banci berkeliaran di layar, hujat-menghujat, cela-mencela, menjual perempuan dengan pakaian hot, maupun bermain-main dengan tepung. Mending dapat insentif, tetapi tetap membuat program yang bisa menginspirasi penonton Indonesia, tetapi tetap menghibur.
Salam TV Sehat!
Sumber
Tak heran jika program tersebut masih menjadi andalan. Sebagai Orang Tua, atau orang yang lebih tua, sudah saatnya kita memposisikan diri kita sebagai pembimbing anak maupun adik2 kita. Kalau bisa, diminimalisir nonton tv-nya, karena acara tv kita saat ini, sungguh sangat jauh dari kata mendidik.
terima kasih sudah baca, buat yang mau ngasih cendol

Quote:
Spoiler for Olga aja nangis gan liat fenomena ini:

Diubah oleh kiki28 19-11-2013 10:04
0
3.2K
Kutip
24
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan