- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Kisah Nyata Inspiratif Temen Sebangku Ane. Terharu :peluk:mewek


TS
gelangampel
Kisah Nyata Inspiratif Temen Sebangku Ane. Terharu :peluk:mewek
Perkenalkan gan...
Ane mau cerita tentang temen sebangku ane SMA selama 3 tahun, teman akrab ane..
Sekarang temen ane sudah semester akhir.. dan sudah dapet banyak pengalaman organisasi dan berprestasi di kampus..
Bahkan telah berkunjung ke Universiti Tehnologi Malaysia karena prestasinya
Dan sekarang beliau habis dari London
Sekian dan Terimakasih...
Terimakasih yang udah share kisah temen ane gan
Semoga bermanfaat dah buat kita semua
amin..
Ane mau cerita tentang temen sebangku ane SMA selama 3 tahun, teman akrab ane..
Spoiler for ini namanya:
Jafar Arifin
Spoiler for fotonya:

Spoiler for sifatnya:
Dia tinggal di pesisir pantai yang sangat jauh dari pekotaan, setiap hari dia naik sepeda ontel untuk menempuh SMA, 20 km, dia berangkat subuh dan sampai di sekolah jam 7 kurang.. Ane salut dan bangga dengan dia gan..
Spoiler for ini ceritanya:
Tahukah kamu arti Rp 10 juta bagi orang seperti aku?
Aku berasal dari keluarga yang kurang mampu yang tinggal di sebuah pesisir pantai yang sangat jauh dari kota. Aku tinggal bersama kedua orangtuaku dan empat saudaraku. Ayahku bekerja sebagai petani dan buruh. Ibuku bekerja sebagai buruh. Tanah pertanian daerahku merupakan tanah berpasir sehingga hasilnya kurang begitu bagus karena tanahnya kekurangan air. Ayahku paling sering menanam singkong yang biasanya laku Rp 300 jika diborong oleh penadah. Jika ayahku ingin menjual lebih mahal, ia harus berkeliling satu hari penuh ke kota dan sekitarnya, hasilnya bisa laku Rp 400-Rp 500 per kilonya.
Tahukah kamu arti Rp 10 juta bagi orang seperti aku?
Suatu hari aku melewati mading (majalah dinding) sekolah yang terhiasi oleh kertas-kertas informasi. Aku tak sengaja melihat sebuah kertas yang berwarna hijau. Aku begitu kaget ketika melihat adanya beasiswa masuk kuliah gratis, uang saku per bulan Rp 400.000,00 dan asrama gratis pula. Aku terpaku di depan mading seakan ada sebuah energi kuat yang masuk ke tubuhku dan sangat berat melangkahkan kaki untuk melanjutkan perjalanan ke kelas. Semangat yang pernah surut tiba-tiba muncul kembali dengan kekuatan yang sangat luar biasa.
Sepulang sekolah aku kembali mengunjungi mading untuk memastikan bahwa infonya benar. Sampai di depan mading kulihat dengan jeli informasi beasiswa tersebut. Nama beasiswanya adalah Beastudi Etos. Segera aku melihat syarat-syaratnya. Alhamdulillah aku memenuhi semuanya.
Kurang yakin akan kebenaran beasiswa tersebut akhirnya aku mengunjungi kantor guru BK untuk menanyakan tentang beasiswa tersebut. Guruku sangat baik dalam menjelaskannya sehingga aku paham.
Aku memberitahukan informasi ini kepada teman-temanku di kelas, tetapi banyak mereka yang tidak percaya.
“Tidak mungkin zaman sekarang kuliah gratis, Pin!”
Terserah apa kata teman-temanku, yang penting aku berusaha. Maka, kupersiapkan segala persyaratan yang diminta: formulir pendaftaran, surat keterangan tidak mampu, rekening listrik, kartu keluarga, foto rumah, dan denah rumah. Aku mencari alamat pengiriman akhirnya aku mendapatkan alamat asrama Etos Yogyakarta. Keinginanku untuk masuk kuliah seakan akan bertemu jalan yang sangat terang seperti malam hari saat bulan purnama tiba.
Tahukah kamu arti Rp 10 juta bagi orang seperti aku?
Hampir tiap hari aku mendatangi BK untuk menanyakan informasi universitas negeri. Waktu itu aku mendapat informasi untuk masuk Universitas Diponegoro melalui Ujian Mandiri, yaitu seleksi sebelum SNMPPTN. Karena optimis bakal menerima Beastudi Etos, aku memberanikan diri untuk mendaftar. Orangtuaku mengizinkanku dengan meminta maaf kalau tidak bisa membantu banyak nantinya.
“Ibu mung bisa ndongakna muga-muga bisa ketampa,” tutur ibu, yang artinya beliau hanya bisa mendoakanku agar bisa diterima.
Sepulang sekolah aku mendaftar online di warnet. Ketika melihat nominal aku sempat bingung karena ada SPMP yang sangat mahal bagiku: Rp 10.000.000,00. Aku mencoba untuk mengisi di bawah 10 juta, tapi tidak bisa karena minimal 10 juta itulah sumbangan minimalnya.
Tapi aku berpikir praktis. “Uangnya nanti kan dibayar Beastudi Etos kalau aku diterima di Etos. Kalau tidak diterima di Etos, ya tidak saya ambil kursi kuliahnya.
Tahukah kamu arti Rp 10 juta bagi orang seperti aku?
Bersama tiga temanku, aku berangkat ke Semarang untuk mengikuti Etos Expo yang diadakan di Gedung Walikota. Aku senang bertemu dengan orang-orang hebat yang mempunyai tujuan yang sama untuk kuliah. Selesai acara aku tidak sengaja bertemu dengan kakak tingkat di Etos yang berasal dari Kebumen. Obrolan kami sampailah pada topik mahalnya SPMP yang harus kubayarkan.
“Dik, SPMP yang 10 juta itu tidak akan dibayarkan Etos, dan mungkin juga tidak bisa masuk Etos,” ujar kakak tingkat Etos asal Kebumen itu. “Karena logikanya yang menyumbang 10 juta itu berarti ia berasal dari orang yang kurang mampu.”
Aku pun menceritakan soal ketidakinginanku untuk mencantumkan 10 juta di saat pendaftaran dulu. Lantaran komputer tidak mau memasukkan nominal di bawah 10 juta, jadilah persoalan ini berpanjang ria.
“Aku sudah mencoba di bawah sepuluh juta, tapi tidak bisa, Mbak.”
Perempuan berjilbab rapi itu pun bercerita pengalamannya.
“Dulu Mbak masuk lewat UM. Di kolom SPMP, Mbak cuma mengisi angka 0 (nol)
Aku tidak tahu kalau SPMP bisa diisi nol. Jelas semangatku surut kembali dan aku sudah tidak mempunyai semangat untuk mengerjakan Ujian Masuk Undip esok paginya. Pasalnya, walau aku diterima, aku akan kebingungan melunasi pembayarannya. Walau sangat berat menerima kenyataan bahwa aku salah mendaftar, aku harus ikut ujian karena uang pendaftaran itu akan sia-sia jika aku tidak mengikuti ujian. Waktu ujian pun tiba. Aku berdoa semoga diberikan jalan yang terbaik.
Tahukah kamu arti Rp 10 juta bagi orang seperti aku?
Malam hari menjelang pengumuman UM Undip, seorang temanku yang orangtuanya dokter memintaku bermain ke rumahnya. Pagi-pagi sebelum ke sekolah aku menyempatkan diri main ke rumahnya dan di sana pengumumanku dibukakan olehnya. Temanku mengatakan bahwa aku diterima di Fakultas Kesehatan Masyarakat.
“Selamat ya, Pin, aku belum lolos,” ujar tuan rumah dengan muka cemberut.
Tapi rasa senang segera terhapus oleh bayangan nominal uang sepuluh juta yang sangat sulit untuk keluargaku.
Tahukah kamu arti Rp 10 juta bagi orang seperti aku?
Waktu pembayaran diberi jarak dua minggu. Aku telepon ibuku untuk memberi kabar bahwa aku diterima di Undip. Kuceritakan pula soal biaya 10 juta yang harus dibayarkan di awal masuk.
“Ya biyunge rep usaha karo ramne tapi yen ora nemu yo kpriwe maning anana kaya giye.”
Mendengar suara ibu aku langsung meneteskan airmata dan menutup teleponku. Aku tidak akan memaksakan ibuku untuk membayar kuliahku. Aku memutuskan tidak akan memikirkan Undip lagi, mungkin aku tidak bisa kuliah karena mendaftar kuliah tidak hanya dibutuhkan pintar tapi juga dana banyak.
Informasi tentang kursi di Undip yang tidak akan saya ambil ternyata menyebar begitu cepat seperti virus flu burung. Temantemanku dan guru-guruku yang memotivasi dan memberi cerita tentang bagusnya dan sulitnya masuk Undip menyarankanku untuk mengusahakan pinjaman walaupun harus mengutang di sana sini.
Mendekati hari-hari yang semakin mencekik untuk membayar, aku tidak berani menghubungi ibuku karena takut menambah pikirannya. Guru bahasa Indonesia di sekolah, Pak Kirwanto memberikan solusi untukku.
“Buatlah surat ke Bupati, Pin.” Usulan Pak Kirwanto yang tak pernah terpikirkan olehku atau guru-guru yang lain. Beliau pun merinci langkah-langkah yang harus kulakukan.
Tahukah kamu arti Rp 10 juta bagi orang seperti aku?
Aku segera ke rumah dengan mengayunkan sepedaku yang setia menemaniku, menelusuri jalan sekitar 24 km yang dikelilingi indahnya padi yang mulai meninggi. Menempuh waktu sekitar satu jam setengah, aku langsung menuju kantor kepala desa dan meminta surat keterangan tidak mampu. Surat yang dibutuhkan berhasil didapat setelah sedikit menahan sabar. Dengan menahan kesabaran pula, saya akhirnya bisa mendapatkan surat keterangan dari kecamatan.
Surat dari desa dan kecamatan sudah kugenggam. Aku tak mau menyia-nyiakan waktu. Kukayuh sepeda bergegas menuju kantor bupati yang jaraknya kurang lebih 20 km dari rumahku. Sesampai di kantor bupati aku bingung aku harus ke mana sehingga aku tanya seseorang pegawai.
“Silakan ke Bagian Umum, Dik,” saran si pegawai perempuan.
Aku masuk membawa berkas yang dibungkus stop map hijau. Tapi di Bagian Umum aku dioper ke beberapa yang lain, dan begitu seterusnya sampai akhirnya aku diminta menghadap ke Bagian Ekonomi. Aku mencari cari Bagian Ekonomi sampai di depan pintunya kuketok dengan perlahan-lahan. Bapak yang tidak kukenal di bagian itu ternyata menyuruhku untuk ke Bagian Umum. Aku semakin bingung dengan kerja birokrasi yang ada di pemerintahan negaraku tercinta. Akhirnya aku menuju ke Bagian Umum untuk bertemu ibu yang telah menyuruhku ke Bagian Ekonomi. Alhamdulillah, suratku diterima dan aku diminta menunggu pekan depannya.
Pada hari yang dijanjikan, aku mengayuh sepeda kesayanganku kembali menuju kantor Bupati yang begitu megah di pusat kota tempat aku dilahirkan. Sampai di kantor Bupati dengan keringat yang terus keluar dari pori-poriku, aku langsung masuk ke Bagian Umum dengan membawa secarik kertas surat untuk mengurus suratku.
“Balasan dari Pak Bupati belum ada, Dik. Coba Adik datang ke lagi besok.”
Barulah esok harinya surat dari Pak Bupati turun. Tapi, sekali lagi, jalan ini tak mudah. Aku disuruh ke Bagian Kesejahteraan Rakyat. Setelah berbincang panjang di bagian ini, aku disuruh ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang jaraknya lumayan jauh untuk bertemu dengan kepala dinasnya. Sesampai di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi aku langsung dibuatkan surat untuk mengajukan pembebasan SPMP ke Rektorat Undip.
Tahukah kamu arti Rp 10 juta bagi orang seperti aku?
Sampai di rektorat sekitar pukul sebelasan, aku memasukkan surat ke Sekretaris Rektor. Namanya Mbak Ulus dan Pak Waluyo. Keduanya menganjurkanku untuk mengajukan ke Pembantu Rektor II karena Rektor sedang keluar kota. Aku pun mengikuti saran ini. PR II ternyata sedang rapat dan menurut sekretarisnya baru selesai pukul tiga. Menunggu sampai pukul 15.00 ternyata beliau belum kunjung keluar. Barulah pada pukul 15.30 PR II masuk ke ruangannya. Rupanya aku pun harus antre bersama orang-orang yang bertujuan sama.
Aku begitu pucat lemas ketika mendengar jawaban PR II. Aku hanya bisa mengangsur dua kali dengan biaya yang dibayar sebanyak 8 juta rupiah. Dengan badan lesu dan muka pucat akibat belum makan dan keterbatasan uangku yang hanya cukup untuk pulang memakai bis ekonomi Semarang-Kebumen, aku sangat bingung dan merasa sudah tidak kuat. Takut pulang terlalu malam, aku berpamitan ke Sekretaris Rektor yang telah banyak membantuku. Alhamdulillah beliau berdua memberiku uang Rp 20.000 dan Rp 50.000. Alhamdulillah aku bisa pulang.
Tahukah kamu arti Rp 10 juta bagi orang seperti aku?
Hari terakhir pembayaran tiba. Tiba-tiba HP-ku bergetar. Ada SMS dari kakakku. Aku diminta pulang. Aku kaget dan perasanku tidak enak.
Sesampai di halaman rumah ternyata sapi ayahku sudah tidak ada. Aku berpikir jika sapi ayahku dijual, paling hanya laku tiga juta karena sangat kurus dan bisa dibilang hanya tinggal tulang dan kulit. Aku masuk rumah tiba-tiba kakak perempuanku mendekatiku.
“Ayah menangis ke tetangga, berniat menjual sapi satu-satunya untuk membayar kuliahmu, Pin. Uangnya sekarang ada di bawah kasur,” jelas kakak perempuanku.
Sontak aku kaget bukan main. Aku tidak mau menerimanya karena aku tahu ibuku sering bercerita bahwa sapi ayah merupakan warisan orangtuanya yang masih tersisa. Ternyata harus aku yang menghabiskannya.
TAHUKAH KAMU ARTI Rp 10 juta bagi orang seperti aku?
Alhamdulillah, aku resmi menjadi mahasiswa Undip. Harihariku kuisi dengan bekerja. Tidak mungkin aku meminta ke orangtua untuk biaya kuliahku. Setelah menginjakkan kaki di Undip, kakak laki-lakiku mendapatkan SMS dari Etos yang menyatakan bahwa aku lolos tes tertulis dan wawancara. Aku sa ngat bersyukur karena aku lolos meskipun kegembiraanku seakan akan lenyap ketika aku sadar bahwa UM dengan sumbangan 10 juta itu tidak bisa masuk Etos. Tapi, beberapa hari kemudian aku mendapat SMS bahwa tim home visit sudah sampai di dekat rumahku. Alhamdulillah home visit berlangsung lancar.
Aku menunggu pengumuman tahap terakhir karena aku sudah masuk ke universitas dan jurusan yang direkomendasikan Etos. Di tengah penantianku itu, aku gelisah karena takut tidak diterima Beastudi Etos gara-gara masuk lewat UM. Aku menyempatkan untuk pergi ke Semarang lagi untuk mencari informasi ten- tang pembebasan sisa uang SPMP dan beasiswa. Di kampus aku bertemu lagi dengan Sekretaris Rektor. Kali ini berniat membantuku untuk mendapatkan beasiswa. Aku juga sangat bersyukur, karena bertemu dengan seorang aktivis BEM yang siap membantu mencarikan tempat tinggal. Alhamdulillah aku dapat tawaran untuk menghuni masjid MIPA Undip.
Aku melakukan kegiatanku seperti biasa. Bekerja di ladang semangka dan terkadang di pembangunan jalan. Ketika aku sedang sibuk, tiba-tiba aku melihat kakakku datang.
“Kau diterima di beasiswa Etos, Pin!” Ia memperlihatkan isi salah satu SMS di HP.
Rasa senang sudah tidak bisa terbendung lagi. Aku langsung sujud syukur di hamparan pasir di antara pohon semangka yang memanjang bak ular hijau.
Tapi, itu bukan akhir sebuah perjalanan. Waktu aku sedang bekerja menurunkan pasir dari truk, tiba-tiba HP di sakuku bergetar. Langsung segera kau baca, ternyata SMS dari kakakku. Dia menyampaikan bahwa aku tidak jadi diterima di Etos. Tubuhku seketika lemas. Sesampainya di rumah, aku langsung ke tempat tidur. Tubuhku panas dingin. Setelah ibuku pulang aku dipeluk ibuku.
“Tidak apa-apa, Nak. Rezeki itu suda ada yang mengatur.”
Bersama dengan kehangatan ibu, aku jadi teringat ejekan tetangga-tetanggaku soal kenekatanku untuk kuliah di Undip.
TAHUKAH KAMU ARTI Rp 10 juta bagi orang seperti aku?
Kondisiku semakin membaik. Aku mencoba untuk menghubungi Pak Efendi selaku koordinator Etos wilayah Semarang. Ketika menelepon aku agak takut. Belum sempat cerita banyak, baru sampai soal UM dan membayar 10 juta, nada Pak Efendi
langsung tinggi. Pak Efensi kemudian menyuruhku bertemu Pak Agus Sugito.
Saat bertemu Pak Agus, aku bercerita tentang permasalahanku.
“Bisa, tapi untuk SPMP kamu urus sendiri ya.” Tiba-tiba jawaban Pak Agus memberikan kepadaku sebuah pertolongan. Aku sangat senang karena aku bisa masuk Etos. Aku langsung menuju Rektorat, bertemu sekretarisnya untuk memohon maaf bahwa aku batal mengambil beasiswa yang ditawarkan karena aku sudah diterima di Beastudi Etos.Sekarang aku telah mendapatkan bantuan untuk membayar SPMP dan menjadi bagian dari keluarga Etos Semarang. Di luar itu, aku kini juga mempunyai sedikit bisnis yang cukup untuk membiayai kehidupanku tanpa meminta dari orangtua sepeser pun. Dari kali pertama aku berangkat ke Undip, sampai sekarang aku belum pernah meminta maupun diberi uang oleh kedua orangtuaku. Alhamdulillah, terkadang aku bisa memberi sedikit uang ketika aku pulang ke rumah. Aku sangat merindukan orangtuaku dan pada saat nanti aku menjadi orang yang sukses berguna bagi masyarakat nusa dan bangsa serta bisa membahagiakan orangtuaku, saudaraku, dan keluargaku.[]
Aku berasal dari keluarga yang kurang mampu yang tinggal di sebuah pesisir pantai yang sangat jauh dari kota. Aku tinggal bersama kedua orangtuaku dan empat saudaraku. Ayahku bekerja sebagai petani dan buruh. Ibuku bekerja sebagai buruh. Tanah pertanian daerahku merupakan tanah berpasir sehingga hasilnya kurang begitu bagus karena tanahnya kekurangan air. Ayahku paling sering menanam singkong yang biasanya laku Rp 300 jika diborong oleh penadah. Jika ayahku ingin menjual lebih mahal, ia harus berkeliling satu hari penuh ke kota dan sekitarnya, hasilnya bisa laku Rp 400-Rp 500 per kilonya.
Tahukah kamu arti Rp 10 juta bagi orang seperti aku?
Suatu hari aku melewati mading (majalah dinding) sekolah yang terhiasi oleh kertas-kertas informasi. Aku tak sengaja melihat sebuah kertas yang berwarna hijau. Aku begitu kaget ketika melihat adanya beasiswa masuk kuliah gratis, uang saku per bulan Rp 400.000,00 dan asrama gratis pula. Aku terpaku di depan mading seakan ada sebuah energi kuat yang masuk ke tubuhku dan sangat berat melangkahkan kaki untuk melanjutkan perjalanan ke kelas. Semangat yang pernah surut tiba-tiba muncul kembali dengan kekuatan yang sangat luar biasa.
Sepulang sekolah aku kembali mengunjungi mading untuk memastikan bahwa infonya benar. Sampai di depan mading kulihat dengan jeli informasi beasiswa tersebut. Nama beasiswanya adalah Beastudi Etos. Segera aku melihat syarat-syaratnya. Alhamdulillah aku memenuhi semuanya.
Kurang yakin akan kebenaran beasiswa tersebut akhirnya aku mengunjungi kantor guru BK untuk menanyakan tentang beasiswa tersebut. Guruku sangat baik dalam menjelaskannya sehingga aku paham.
Aku memberitahukan informasi ini kepada teman-temanku di kelas, tetapi banyak mereka yang tidak percaya.
“Tidak mungkin zaman sekarang kuliah gratis, Pin!”
Terserah apa kata teman-temanku, yang penting aku berusaha. Maka, kupersiapkan segala persyaratan yang diminta: formulir pendaftaran, surat keterangan tidak mampu, rekening listrik, kartu keluarga, foto rumah, dan denah rumah. Aku mencari alamat pengiriman akhirnya aku mendapatkan alamat asrama Etos Yogyakarta. Keinginanku untuk masuk kuliah seakan akan bertemu jalan yang sangat terang seperti malam hari saat bulan purnama tiba.
Tahukah kamu arti Rp 10 juta bagi orang seperti aku?
Hampir tiap hari aku mendatangi BK untuk menanyakan informasi universitas negeri. Waktu itu aku mendapat informasi untuk masuk Universitas Diponegoro melalui Ujian Mandiri, yaitu seleksi sebelum SNMPPTN. Karena optimis bakal menerima Beastudi Etos, aku memberanikan diri untuk mendaftar. Orangtuaku mengizinkanku dengan meminta maaf kalau tidak bisa membantu banyak nantinya.
“Ibu mung bisa ndongakna muga-muga bisa ketampa,” tutur ibu, yang artinya beliau hanya bisa mendoakanku agar bisa diterima.
Sepulang sekolah aku mendaftar online di warnet. Ketika melihat nominal aku sempat bingung karena ada SPMP yang sangat mahal bagiku: Rp 10.000.000,00. Aku mencoba untuk mengisi di bawah 10 juta, tapi tidak bisa karena minimal 10 juta itulah sumbangan minimalnya.
Tapi aku berpikir praktis. “Uangnya nanti kan dibayar Beastudi Etos kalau aku diterima di Etos. Kalau tidak diterima di Etos, ya tidak saya ambil kursi kuliahnya.
Tahukah kamu arti Rp 10 juta bagi orang seperti aku?
Bersama tiga temanku, aku berangkat ke Semarang untuk mengikuti Etos Expo yang diadakan di Gedung Walikota. Aku senang bertemu dengan orang-orang hebat yang mempunyai tujuan yang sama untuk kuliah. Selesai acara aku tidak sengaja bertemu dengan kakak tingkat di Etos yang berasal dari Kebumen. Obrolan kami sampailah pada topik mahalnya SPMP yang harus kubayarkan.
“Dik, SPMP yang 10 juta itu tidak akan dibayarkan Etos, dan mungkin juga tidak bisa masuk Etos,” ujar kakak tingkat Etos asal Kebumen itu. “Karena logikanya yang menyumbang 10 juta itu berarti ia berasal dari orang yang kurang mampu.”
Aku pun menceritakan soal ketidakinginanku untuk mencantumkan 10 juta di saat pendaftaran dulu. Lantaran komputer tidak mau memasukkan nominal di bawah 10 juta, jadilah persoalan ini berpanjang ria.
“Aku sudah mencoba di bawah sepuluh juta, tapi tidak bisa, Mbak.”
Perempuan berjilbab rapi itu pun bercerita pengalamannya.
“Dulu Mbak masuk lewat UM. Di kolom SPMP, Mbak cuma mengisi angka 0 (nol)
Aku tidak tahu kalau SPMP bisa diisi nol. Jelas semangatku surut kembali dan aku sudah tidak mempunyai semangat untuk mengerjakan Ujian Masuk Undip esok paginya. Pasalnya, walau aku diterima, aku akan kebingungan melunasi pembayarannya. Walau sangat berat menerima kenyataan bahwa aku salah mendaftar, aku harus ikut ujian karena uang pendaftaran itu akan sia-sia jika aku tidak mengikuti ujian. Waktu ujian pun tiba. Aku berdoa semoga diberikan jalan yang terbaik.
Tahukah kamu arti Rp 10 juta bagi orang seperti aku?
Malam hari menjelang pengumuman UM Undip, seorang temanku yang orangtuanya dokter memintaku bermain ke rumahnya. Pagi-pagi sebelum ke sekolah aku menyempatkan diri main ke rumahnya dan di sana pengumumanku dibukakan olehnya. Temanku mengatakan bahwa aku diterima di Fakultas Kesehatan Masyarakat.
“Selamat ya, Pin, aku belum lolos,” ujar tuan rumah dengan muka cemberut.
Tapi rasa senang segera terhapus oleh bayangan nominal uang sepuluh juta yang sangat sulit untuk keluargaku.
Tahukah kamu arti Rp 10 juta bagi orang seperti aku?
Waktu pembayaran diberi jarak dua minggu. Aku telepon ibuku untuk memberi kabar bahwa aku diterima di Undip. Kuceritakan pula soal biaya 10 juta yang harus dibayarkan di awal masuk.
“Ya biyunge rep usaha karo ramne tapi yen ora nemu yo kpriwe maning anana kaya giye.”
Mendengar suara ibu aku langsung meneteskan airmata dan menutup teleponku. Aku tidak akan memaksakan ibuku untuk membayar kuliahku. Aku memutuskan tidak akan memikirkan Undip lagi, mungkin aku tidak bisa kuliah karena mendaftar kuliah tidak hanya dibutuhkan pintar tapi juga dana banyak.
Informasi tentang kursi di Undip yang tidak akan saya ambil ternyata menyebar begitu cepat seperti virus flu burung. Temantemanku dan guru-guruku yang memotivasi dan memberi cerita tentang bagusnya dan sulitnya masuk Undip menyarankanku untuk mengusahakan pinjaman walaupun harus mengutang di sana sini.
Mendekati hari-hari yang semakin mencekik untuk membayar, aku tidak berani menghubungi ibuku karena takut menambah pikirannya. Guru bahasa Indonesia di sekolah, Pak Kirwanto memberikan solusi untukku.
“Buatlah surat ke Bupati, Pin.” Usulan Pak Kirwanto yang tak pernah terpikirkan olehku atau guru-guru yang lain. Beliau pun merinci langkah-langkah yang harus kulakukan.
Tahukah kamu arti Rp 10 juta bagi orang seperti aku?
Aku segera ke rumah dengan mengayunkan sepedaku yang setia menemaniku, menelusuri jalan sekitar 24 km yang dikelilingi indahnya padi yang mulai meninggi. Menempuh waktu sekitar satu jam setengah, aku langsung menuju kantor kepala desa dan meminta surat keterangan tidak mampu. Surat yang dibutuhkan berhasil didapat setelah sedikit menahan sabar. Dengan menahan kesabaran pula, saya akhirnya bisa mendapatkan surat keterangan dari kecamatan.
Surat dari desa dan kecamatan sudah kugenggam. Aku tak mau menyia-nyiakan waktu. Kukayuh sepeda bergegas menuju kantor bupati yang jaraknya kurang lebih 20 km dari rumahku. Sesampai di kantor bupati aku bingung aku harus ke mana sehingga aku tanya seseorang pegawai.
“Silakan ke Bagian Umum, Dik,” saran si pegawai perempuan.
Aku masuk membawa berkas yang dibungkus stop map hijau. Tapi di Bagian Umum aku dioper ke beberapa yang lain, dan begitu seterusnya sampai akhirnya aku diminta menghadap ke Bagian Ekonomi. Aku mencari cari Bagian Ekonomi sampai di depan pintunya kuketok dengan perlahan-lahan. Bapak yang tidak kukenal di bagian itu ternyata menyuruhku untuk ke Bagian Umum. Aku semakin bingung dengan kerja birokrasi yang ada di pemerintahan negaraku tercinta. Akhirnya aku menuju ke Bagian Umum untuk bertemu ibu yang telah menyuruhku ke Bagian Ekonomi. Alhamdulillah, suratku diterima dan aku diminta menunggu pekan depannya.
Pada hari yang dijanjikan, aku mengayuh sepeda kesayanganku kembali menuju kantor Bupati yang begitu megah di pusat kota tempat aku dilahirkan. Sampai di kantor Bupati dengan keringat yang terus keluar dari pori-poriku, aku langsung masuk ke Bagian Umum dengan membawa secarik kertas surat untuk mengurus suratku.
“Balasan dari Pak Bupati belum ada, Dik. Coba Adik datang ke lagi besok.”
Barulah esok harinya surat dari Pak Bupati turun. Tapi, sekali lagi, jalan ini tak mudah. Aku disuruh ke Bagian Kesejahteraan Rakyat. Setelah berbincang panjang di bagian ini, aku disuruh ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang jaraknya lumayan jauh untuk bertemu dengan kepala dinasnya. Sesampai di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi aku langsung dibuatkan surat untuk mengajukan pembebasan SPMP ke Rektorat Undip.
Tahukah kamu arti Rp 10 juta bagi orang seperti aku?
Sampai di rektorat sekitar pukul sebelasan, aku memasukkan surat ke Sekretaris Rektor. Namanya Mbak Ulus dan Pak Waluyo. Keduanya menganjurkanku untuk mengajukan ke Pembantu Rektor II karena Rektor sedang keluar kota. Aku pun mengikuti saran ini. PR II ternyata sedang rapat dan menurut sekretarisnya baru selesai pukul tiga. Menunggu sampai pukul 15.00 ternyata beliau belum kunjung keluar. Barulah pada pukul 15.30 PR II masuk ke ruangannya. Rupanya aku pun harus antre bersama orang-orang yang bertujuan sama.
Aku begitu pucat lemas ketika mendengar jawaban PR II. Aku hanya bisa mengangsur dua kali dengan biaya yang dibayar sebanyak 8 juta rupiah. Dengan badan lesu dan muka pucat akibat belum makan dan keterbatasan uangku yang hanya cukup untuk pulang memakai bis ekonomi Semarang-Kebumen, aku sangat bingung dan merasa sudah tidak kuat. Takut pulang terlalu malam, aku berpamitan ke Sekretaris Rektor yang telah banyak membantuku. Alhamdulillah beliau berdua memberiku uang Rp 20.000 dan Rp 50.000. Alhamdulillah aku bisa pulang.
Tahukah kamu arti Rp 10 juta bagi orang seperti aku?
Hari terakhir pembayaran tiba. Tiba-tiba HP-ku bergetar. Ada SMS dari kakakku. Aku diminta pulang. Aku kaget dan perasanku tidak enak.
Sesampai di halaman rumah ternyata sapi ayahku sudah tidak ada. Aku berpikir jika sapi ayahku dijual, paling hanya laku tiga juta karena sangat kurus dan bisa dibilang hanya tinggal tulang dan kulit. Aku masuk rumah tiba-tiba kakak perempuanku mendekatiku.
“Ayah menangis ke tetangga, berniat menjual sapi satu-satunya untuk membayar kuliahmu, Pin. Uangnya sekarang ada di bawah kasur,” jelas kakak perempuanku.
Sontak aku kaget bukan main. Aku tidak mau menerimanya karena aku tahu ibuku sering bercerita bahwa sapi ayah merupakan warisan orangtuanya yang masih tersisa. Ternyata harus aku yang menghabiskannya.
TAHUKAH KAMU ARTI Rp 10 juta bagi orang seperti aku?
Alhamdulillah, aku resmi menjadi mahasiswa Undip. Harihariku kuisi dengan bekerja. Tidak mungkin aku meminta ke orangtua untuk biaya kuliahku. Setelah menginjakkan kaki di Undip, kakak laki-lakiku mendapatkan SMS dari Etos yang menyatakan bahwa aku lolos tes tertulis dan wawancara. Aku sa ngat bersyukur karena aku lolos meskipun kegembiraanku seakan akan lenyap ketika aku sadar bahwa UM dengan sumbangan 10 juta itu tidak bisa masuk Etos. Tapi, beberapa hari kemudian aku mendapat SMS bahwa tim home visit sudah sampai di dekat rumahku. Alhamdulillah home visit berlangsung lancar.
Aku menunggu pengumuman tahap terakhir karena aku sudah masuk ke universitas dan jurusan yang direkomendasikan Etos. Di tengah penantianku itu, aku gelisah karena takut tidak diterima Beastudi Etos gara-gara masuk lewat UM. Aku menyempatkan untuk pergi ke Semarang lagi untuk mencari informasi ten- tang pembebasan sisa uang SPMP dan beasiswa. Di kampus aku bertemu lagi dengan Sekretaris Rektor. Kali ini berniat membantuku untuk mendapatkan beasiswa. Aku juga sangat bersyukur, karena bertemu dengan seorang aktivis BEM yang siap membantu mencarikan tempat tinggal. Alhamdulillah aku dapat tawaran untuk menghuni masjid MIPA Undip.
Aku melakukan kegiatanku seperti biasa. Bekerja di ladang semangka dan terkadang di pembangunan jalan. Ketika aku sedang sibuk, tiba-tiba aku melihat kakakku datang.
“Kau diterima di beasiswa Etos, Pin!” Ia memperlihatkan isi salah satu SMS di HP.
Rasa senang sudah tidak bisa terbendung lagi. Aku langsung sujud syukur di hamparan pasir di antara pohon semangka yang memanjang bak ular hijau.
Tapi, itu bukan akhir sebuah perjalanan. Waktu aku sedang bekerja menurunkan pasir dari truk, tiba-tiba HP di sakuku bergetar. Langsung segera kau baca, ternyata SMS dari kakakku. Dia menyampaikan bahwa aku tidak jadi diterima di Etos. Tubuhku seketika lemas. Sesampainya di rumah, aku langsung ke tempat tidur. Tubuhku panas dingin. Setelah ibuku pulang aku dipeluk ibuku.
“Tidak apa-apa, Nak. Rezeki itu suda ada yang mengatur.”
Bersama dengan kehangatan ibu, aku jadi teringat ejekan tetangga-tetanggaku soal kenekatanku untuk kuliah di Undip.
TAHUKAH KAMU ARTI Rp 10 juta bagi orang seperti aku?
Kondisiku semakin membaik. Aku mencoba untuk menghubungi Pak Efendi selaku koordinator Etos wilayah Semarang. Ketika menelepon aku agak takut. Belum sempat cerita banyak, baru sampai soal UM dan membayar 10 juta, nada Pak Efendi
langsung tinggi. Pak Efensi kemudian menyuruhku bertemu Pak Agus Sugito.
Saat bertemu Pak Agus, aku bercerita tentang permasalahanku.
“Bisa, tapi untuk SPMP kamu urus sendiri ya.” Tiba-tiba jawaban Pak Agus memberikan kepadaku sebuah pertolongan. Aku sangat senang karena aku bisa masuk Etos. Aku langsung menuju Rektorat, bertemu sekretarisnya untuk memohon maaf bahwa aku batal mengambil beasiswa yang ditawarkan karena aku sudah diterima di Beastudi Etos.Sekarang aku telah mendapatkan bantuan untuk membayar SPMP dan menjadi bagian dari keluarga Etos Semarang. Di luar itu, aku kini juga mempunyai sedikit bisnis yang cukup untuk membiayai kehidupanku tanpa meminta dari orangtua sepeser pun. Dari kali pertama aku berangkat ke Undip, sampai sekarang aku belum pernah meminta maupun diberi uang oleh kedua orangtuaku. Alhamdulillah, terkadang aku bisa memberi sedikit uang ketika aku pulang ke rumah. Aku sangat merindukan orangtuaku dan pada saat nanti aku menjadi orang yang sukses berguna bagi masyarakat nusa dan bangsa serta bisa membahagiakan orangtuaku, saudaraku, dan keluargaku.[]
Sekarang temen ane sudah semester akhir.. dan sudah dapet banyak pengalaman organisasi dan berprestasi di kampus..
Bahkan telah berkunjung ke Universiti Tehnologi Malaysia karena prestasinya
Spoiler for ini dia gan:

Dan sekarang beliau habis dari London
Spoiler for london:

Sekian dan Terimakasih...
Terimakasih yang udah share kisah temen ane gan

Semoga bermanfaat dah buat kita semua

Spoiler for tukangkomentrit:
inspiratif banget gan kisah temen ente...ijin share ya biar kisah temen ente bermanfaat untuk orang lain...
http://www.ruangnulisnando.com/2013/...nspiratif.html
http://www.ruangnulisnando.com/2013/...nspiratif.html
Spoiler for Buat Lomba ahh :
Diubah oleh gelangampel 27-11-2013 03:58
0
24.8K
Kutip
388
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan