Kaskus

News

217tomyAvatar border
TS
217tomy
ARAH POLITIK HUKUM INDONESIA SEJAK ERA REFORMASI 1998
Saat ini iklim penegakan hukum tengah dilanda eforia reformasi yang mengunggulkan transparansi dan akuntabilitas publik kepada masyarakat luas tanpa menghiraukan masalah etika dan sopan santun, baik secara personal maupun institusional. Yang penting reformasi diterjemahkan sebagai "serba terbuka" yang memiliki konotasi berbeda dengan "transparansi" karena yang terakhir harus dilandaskan pada aturan hukum. Tanpa aturan hukum itulah yang dimaksudkan dengan "serbaterbuka".Fenomena negatif ini melanda bukan hanya pada lapisan masyarakat luas yang konon sebagian besar belum melek hukum akan tetapi telah menjangkiti lapisan birokrasi yang sangat mengetahui aturan hukum yang berlaku dan kode etik kelembagaan yang dimilikinya dan seharusnya ditaati. Akibat dari kondisi serba tidak jelas batas- batas mana yang "transparan" dan mana yang "serba terbuka" serta mana yang beretika dan tidak sopan dan tidak santun, maka kondisi riel penegakan hukum tengah mengalami anomi dan distorsi aturan hukum yang patut dan tidak patut serta disusul dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pejabat publik dan lembaga pemerintah yang semakin rendah.

Melihat kondisi dilematis dalam penegakan hukum, kiranya patut kita pertanyakan
mengenai arah reformasi birokrasi di dalam tubuh lembaga penegakan hukum saat ini. Di dalam menghadapi kondisi riel penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi dewasa ini, tampak pemerintah kehilangan arah reformasi di bidang penegakan hukum, terutama dalam pemberantasan korupsi. Pertanyaan ini mengandung implikasi: politik hukum apakah dan yang bagaimanakah yang hendak dijalankan pemerintah di dalam penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi. Politik hukum pidana bertolak dari doktrin membedakan antara politik hukum mewujudkan keadilan retributif, keadilan distributif, keadilan komutatif atau keadilan restoratif. Model keadilan terakhir mengutamakan rekonsiliasi dan menghindarkan persengketaan yang lebih mendahulukan konflik antara para pihak yang berperkara atau antara lembaga penegak hukum sebagai wakil Negara dengan warga negara.

Dewasa ini yang tampak mengemuka adalah komitmen pemerintah telah melepaskan diri dari kerangka teoritik hukum yang juga telah dianut dan diterapkan di negara maju sehingga mengakibatkan tidak jelas lagi, fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional abad ke 21 menghadapi era globalisasi semenjak era reformasi. Sudah tentu masyarakat luas, terutama mereka yang paham hukum, mendambakan adanya suatu sikap politik pemerintah di bidang pembentukan hukum dan penegakan hukum yang memiliki visi dan misi yang jelas disertai landasan pemikiran (teoritik dan praksis) di dalam berbagai bidang kehidupan, terutama perekonomian, perbankan, perdagangan dan penegakan hukum (pidana) yang dapat menegakkan kedaulatan hukum Negara RI.

Disharmonisasi dan konflik pembentukan hukum dan penegakan hukum yang saat ini terjadi di tengah-tengah masyarakat disebabkan tidak jelasnya arah politik hukum
(pembentukan dan penegakan hukum) pemerintah ketika mulai menjalankan roda
reformasi sejak tahun 1998 sampai saat ini. Solusi dari kondisi tanpa arah, jelas baik dalam pembentukan hukum maupun dalam penegakan hukum, seharusnya bercermin: Cermin Pertama, mengingatkan para legislator dan eksekutif mengenai fungsi filsafat hukum yang bercita-cita menempatkan hukum dalam tempat dan perspektif yang tepat sebagai bagian dari usaha manusia menjadikan dunia ini suatu
tempat yang lebih pantas untuk didiaminya ( Mochtar Kusumaatmadja, 1986).
Cermin kedua, yang perlu diperhatikan oleh legislator dan eksekutif adalah fungsi hukum harus dapat menciptakan ketertiban, keteraturan, kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan masyarakat (fungsi integratif), terlepas dari topik undang-undang direncanakan dan termasuk ke dalam agenda prolegnas. Atas dasar inilah maka fungsi dan peranan harmonisasi dan sinkronisasi perancangan dalam setiap UU sangat menentukan apakah pasca pengesahan, UU dimaksud memperoleh akseptabilitas yang tinggi atau rendah dari masyarakat luas atau bahkan menciptakan konflik sosial atau konflik kelembagaan baru. Cermin ketiga, yang perlu diperhatikan bahwa, kenyataan lembaga penegak hukum di Indonesia sejak dikeluarkannya UU Kean, UU Kejaksaan dan UU Kekuasaan Kehakiman, adalah representasi kemandirian kelembagaan secara organisasi dan struktural satu sama lain. Konsekuensi logis dari keberadaan UU organik di atas, seharusnyan tidak ada lagi pemikiran subordinasi antarkelembagaan penegak hokum.. Sesungguhya pemikiran subordinatif lebih mencerminkan "berburuk sangka" daripada "berbaik sangka" antara lembaga penegak hukum; hal ini potensial memicu konflik kelembagaan dan meningkatkan arogansi sektoral di antara lembaga tersebut. Penyusunan RUU HAP baru pengganti KUHAP 1981 seharusnya mempertimbangkan hal tersebut secara serius. Arah politik penegakan hukum jauh lebih penting untuk ditetapkan daripada penegakan hukum yang bersifat "instan" dan "adhoc" sehingga dalam jangka panjang kita akan memperoleh suatu jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dari pemerintah di dalam mengarungi berbagai bidang kehidupan, baik sosial, ekonomi, politik, budaya dan agama.
0
4.8K
4
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan