- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Saling Lempar Tanggung Jawab


TS
kemalmahendra
Saling Lempar Tanggung Jawab
Saat menerima pengurus Kamar Dagang dan Industri Pusat untuk menyampaikaan hasil Rapat Pimpinan Nasional di Istana Bogor, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi tanggapan terhadap beberapa hal. Mulai dari urusan upah buruh hingga masalah kemacetan yang menjadi penghambat kegiatan ekonomi.
Baru saja Bank Dunia mengeluarkan laporan tentang kemudahan berusaha di beberapa negara. Yang mengejutkan, ranking Indonesia di mata para pengusaha dunia berada pada posisi 120. Negara-negara ASEAN lainnya jauh lebih baik dari kita, bahkan Malaysia bisa menempati urutan keenam.
Kita sebenarnya berharap pertemuan antara Presiden dan para pengusaha menghasilkan solusi untuk memecahkan masalah yang kita hadapi. Namun ternyata Presiden tidak memberikan jalan keluar, tetapi cenderung melemparkan tanggung jawab kepada pemerintah dan pengusaha.
Seperti dalam urusan upah minimum provinsi. Sejak aksi demonstrasi buruh yang sudah berlangsung lebih satu pekan, tidak pernah kita dengar apa pandangan Presiden untuk menyelesaikan masalah ini. Presiden hanya mengatakan bahwa era buruh murah sudah bukan zamannya lagi.
Kita sependapat bahwa kita tidak bisa menjadi upah buruh yang murah sebagai keunggulan komparatif. Tetapi kenyataannya, upah buruh di Indonesia memang sudah tidak murah lagi. Dalam dua tahun terakhir, upah buruh sudah naik sekitar 70 persen.
Kenaikan yang begitu besar, tanpa diikuti langkah untuk mengurangi biaya tinggi, sangatlah membebani pengusaha. Kalau sekarang ini buruh menuntut lagi kenaikan sampai 50 persen, maka tinggal tunggu waktu saja perusahaan di Indonesiaa bertumbangan.
Beberapa daerah sudah mengambil keputusan untuk tidak memenuhi permintaan kenaikan upah minimum seperti yang dimintakan para buruh. Sekarang ini buruh meradang dan melanjutkan aksi mereka dengan harapan tuntutan mereka dipenuhi.
Kalau jawaban Presiden hanya mengatakan bukan eranya lagi upah buruh murah, maka mudah diartikan bahwa keputusan beberapa daerah sekarang ini tidak sesuai dengan apa yang seharusnya. Ini tentunya menjadi amunisi baru bagi para buruh dan tidak usah heran apabila aksi buruh termasuk pemogokannya akan terus berlanjut.
Hal yang sama terjadi dalam urusan kemacetan. Presiden mengatakan bahwa ia malu ditanya tentang kemacetan yang terjadi di Jakarta oleh tamu-tamu negara. Menurut Presiden, sekarang ini Indonesia menerapkan sistem desentralisasi. Urusan kemacetan yang ada di daerah, bukan lagi tanggung jawab Presiden, tetapi tanggung jawab Gubernur.
Benar bahwa para gubernur harus menyelesaikan persoalan di daerahnya. Tetapi bukan berarti seorang Presiden juga lepas tangan. Dengan kewenangan yang dimiliki, Presiden seharusnya memberikan pengarahan tentang langkah-langkah yang harus dilakukan para kepala daerah.
Sikap untuk melepas tanggung jawab tidak pernah akan menyelesaikan persoalan. Ibarat rumah sedang kebakaran, bukan diperdebatkan siapa yang harus memadamkan. Semua harus sigap dalam bertindak untuk memadamkan api agar tidak menjalar ke mana-mana.
Persoalan kemacetan yang terjadi di banyak kota besar, berkaitan dengan terbatasnya infrastruktur. Kita tahu bahwa pembangunan infrastruktur tidak hanya melulu tanggung jawab pemerintah daerah. Banyak yang menjadi tanggung jawab bersama, sehingga membutuhkan koordinasi.
Seperti jalan di Jakarta, tidak semua jalan yang ada merupakan jalan provinsi. Jalan-jalan utama seperti Jl MH Thamrin, Jl Jenderal Sudirman, Jl Rasuna Said merupakan jalan nasional yang tanggung jawab pengelolaannya ada di tangan pemerintah pusat yaitu Kementerian Pekerjaan Umum.
Salah satu kelemahan pemerintah era reformasi adalah tidak adanya sikap get things done. Semua hanya sekadar dijadikan wacana dan yang lebih menyedihkan seperti yang sedang kita lihat sekarang ini adalah saling melempar tanggung jawab.
Padahal berulangkali kita sampaikan bahwa yang kita butuhkan bukanlah talking democracy, tetapi working democracy. Sistem desentralisasi bukan berarti pemerintah pusat lepas tanggung jawab, tetapi harus menggerakkan agar pembangunan antardaerah sinkron dengan pembangunan nasional yang hendak kita tuju.
Sepanjang kita masih bersikap seperti sekarang, jangan pernah berharap bahwa persoalan yang kita hadapi bisa diselesaikan. Tanpa ada keinginan untuk menyelesaikan tantangan yang kita hadapi, maka pembangunan tidak akan pernah berjalan ke mana-mana. Di mata pengusaha dunia, Indonesia akan tetap menjadi tempat yang tidak menarik sebagai tujuan investasi. Ironis!
Baru saja Bank Dunia mengeluarkan laporan tentang kemudahan berusaha di beberapa negara. Yang mengejutkan, ranking Indonesia di mata para pengusaha dunia berada pada posisi 120. Negara-negara ASEAN lainnya jauh lebih baik dari kita, bahkan Malaysia bisa menempati urutan keenam.
Kita sebenarnya berharap pertemuan antara Presiden dan para pengusaha menghasilkan solusi untuk memecahkan masalah yang kita hadapi. Namun ternyata Presiden tidak memberikan jalan keluar, tetapi cenderung melemparkan tanggung jawab kepada pemerintah dan pengusaha.
Seperti dalam urusan upah minimum provinsi. Sejak aksi demonstrasi buruh yang sudah berlangsung lebih satu pekan, tidak pernah kita dengar apa pandangan Presiden untuk menyelesaikan masalah ini. Presiden hanya mengatakan bahwa era buruh murah sudah bukan zamannya lagi.
Kita sependapat bahwa kita tidak bisa menjadi upah buruh yang murah sebagai keunggulan komparatif. Tetapi kenyataannya, upah buruh di Indonesia memang sudah tidak murah lagi. Dalam dua tahun terakhir, upah buruh sudah naik sekitar 70 persen.
Kenaikan yang begitu besar, tanpa diikuti langkah untuk mengurangi biaya tinggi, sangatlah membebani pengusaha. Kalau sekarang ini buruh menuntut lagi kenaikan sampai 50 persen, maka tinggal tunggu waktu saja perusahaan di Indonesiaa bertumbangan.
Beberapa daerah sudah mengambil keputusan untuk tidak memenuhi permintaan kenaikan upah minimum seperti yang dimintakan para buruh. Sekarang ini buruh meradang dan melanjutkan aksi mereka dengan harapan tuntutan mereka dipenuhi.
Kalau jawaban Presiden hanya mengatakan bukan eranya lagi upah buruh murah, maka mudah diartikan bahwa keputusan beberapa daerah sekarang ini tidak sesuai dengan apa yang seharusnya. Ini tentunya menjadi amunisi baru bagi para buruh dan tidak usah heran apabila aksi buruh termasuk pemogokannya akan terus berlanjut.
Hal yang sama terjadi dalam urusan kemacetan. Presiden mengatakan bahwa ia malu ditanya tentang kemacetan yang terjadi di Jakarta oleh tamu-tamu negara. Menurut Presiden, sekarang ini Indonesia menerapkan sistem desentralisasi. Urusan kemacetan yang ada di daerah, bukan lagi tanggung jawab Presiden, tetapi tanggung jawab Gubernur.
Benar bahwa para gubernur harus menyelesaikan persoalan di daerahnya. Tetapi bukan berarti seorang Presiden juga lepas tangan. Dengan kewenangan yang dimiliki, Presiden seharusnya memberikan pengarahan tentang langkah-langkah yang harus dilakukan para kepala daerah.
Sikap untuk melepas tanggung jawab tidak pernah akan menyelesaikan persoalan. Ibarat rumah sedang kebakaran, bukan diperdebatkan siapa yang harus memadamkan. Semua harus sigap dalam bertindak untuk memadamkan api agar tidak menjalar ke mana-mana.
Persoalan kemacetan yang terjadi di banyak kota besar, berkaitan dengan terbatasnya infrastruktur. Kita tahu bahwa pembangunan infrastruktur tidak hanya melulu tanggung jawab pemerintah daerah. Banyak yang menjadi tanggung jawab bersama, sehingga membutuhkan koordinasi.
Seperti jalan di Jakarta, tidak semua jalan yang ada merupakan jalan provinsi. Jalan-jalan utama seperti Jl MH Thamrin, Jl Jenderal Sudirman, Jl Rasuna Said merupakan jalan nasional yang tanggung jawab pengelolaannya ada di tangan pemerintah pusat yaitu Kementerian Pekerjaan Umum.
Salah satu kelemahan pemerintah era reformasi adalah tidak adanya sikap get things done. Semua hanya sekadar dijadikan wacana dan yang lebih menyedihkan seperti yang sedang kita lihat sekarang ini adalah saling melempar tanggung jawab.
Padahal berulangkali kita sampaikan bahwa yang kita butuhkan bukanlah talking democracy, tetapi working democracy. Sistem desentralisasi bukan berarti pemerintah pusat lepas tanggung jawab, tetapi harus menggerakkan agar pembangunan antardaerah sinkron dengan pembangunan nasional yang hendak kita tuju.
Sepanjang kita masih bersikap seperti sekarang, jangan pernah berharap bahwa persoalan yang kita hadapi bisa diselesaikan. Tanpa ada keinginan untuk menyelesaikan tantangan yang kita hadapi, maka pembangunan tidak akan pernah berjalan ke mana-mana. Di mata pengusaha dunia, Indonesia akan tetap menjadi tempat yang tidak menarik sebagai tujuan investasi. Ironis!
0
1.2K
8


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan