Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

julianiraniAvatar border
TS
julianirani
[PIC] "Cocos Island", Sarang Intel Aussie Dekat RI. Akan Dibangun Pangkalan UAV AS?
[PIC] "Cocos Island", Sarang Intel Aussie Dekat RI. Akan Dibangun Pangkalan UAV AS?
[PIC] "Cocos Island", Sarang Intel Aussie Dekat RI. Akan Dibangun Pangkalan UAV AS?
[PIC] "Cocos Island", Sarang Intel Aussie Dekat RI. Akan Dibangun Pangkalan UAV AS?
Sarang mata-mata baru Barat di Asia, pulau Cocos di Samudra Indonesia

Australia Awasi Indonesia dari Pos di Cocos Island
KAMIS, 31 OKTOBER 2013 | 23:49 WIB

TEMPO.CO, Canberra - Agen mata-mata elektronik Australia, Defence Signals Directorate (DSD), mencegat komunikasi militer dan Angkatan Laut Indonesia melalui stasiun pendengaran rahasia yang berada di daerah terpencil di Kepulauan Cocos. Menurut mantan pejabat pertahanan Australia, DSD mengoperasikan pencegatan sinyal dan fasilitas pemantauan yang berada di wilayah Samudera Hindia Australia, 1100 kilometer barat daya Jawa.

Menurut media Australia, Sydney Morning Herald edisi 1 November 2013, stasiun pemantauan ini tidak pernah diakui secara terbuka oleh pemerintah Australia, atau dilaporkan di media, meskipun beroperasi selama lebih dari dua dekade. Lebih terkenal sebagai Shoal Bay Receiving Station dekat Darwin, fasilitas di Cocos Island dilaporkan sebelumnya merupakan bagian penting dari upaya pengumpulan sinyal intelijen Australia yang menargetkan Indonesia. Fasilitas ini meliputi radio pemantauan dan peralatan pencari arah dan dan stasiun satelit bumi.

Departemen Pertahanan Australia tidak akan mengomentari soal fasilitas itu dan hanya mengatakan bahwa Kepulauan Cocos adalah tempat "stasiun komunikasi" dan itu "merupakan bagian dari jaringan yang lebih luas komunikasi bidang Pertahanan." Mantan perwira Departemen Pertahanan Australia telah mengkonfirmasi bahwa stasiun itu adalah fasilitas Defence Signals Directorate (DSD) yang dikhususkan untuk mengawasi maritim dan militer, khususnya angkatan laut, angkatan udara, dan komunikasi militer Indonesia.

Profesor dan ahli bidang intelijen di Australian National University, Des Ball mengatakan, fasilitas itu dioperasikan dari jarak jauh, dari kantor pusat DSD di Bukit Russell di Canberra. Sinyal yang dicegat lalu dienkripsi dan diteruskan ke Canberra. Persiapan untuk mendirikan fasilitas di Cocos itu dimulai pada akhir 1980-an. Stasiun intelijen sinyal di Cocos Island merupakan bagian dari upaya spionase Australia yang lebih luas yang diarahkan terhadap Indonesia. Seperti dilansir Fairfax Media, Kamis 31 Oktober 2013, program ini mencakup pusat pengawasan rahasia DSD yang terletak di Kedutaan Besar Australia di Jakarta.
http://www.tempo.co/read/news/2013/1...i-Cocos-Island

Target Spionase Kedubes Australia di Jakarta
Mon, 04/11/2013 - 00:11 WIB

Pembocoran intersepsi Edward Snowden, mantan kontraktor CIA/NSA ke server utama badan intelijen Amerika Serikat telah membuka mata dunia tentang terjadinya skandal mata-mata. Badan intelijen AS pada awalnya khawatir Snowden adalah mata-mata yang disusupkan kedalam badan intelijen utama. Ternyata pengambil alihan data intelijen yang juga menyangkut kebijakan militer AS di copy secara acak, bukan dicuri dengan target spesifik.

Snowden membeberkan keterlibatan AS dalam menyadap demikian banyak negara, termasuk kepala pemerintahan, tidak peduli lawan ataupun negara sahabat. Dari 90 pos penyadap, ternyata beberapa stasiun dilakukan juga oleh kelompok komunitas intelijen khusus dengan sandi “5-Eyes” yang terdiri dari AS, Inggris, Australia, Canada dan New Zealand.

Media Fairfax pada hari Kamis (31/10/2013) melaporkan keterlibatan Australian Signals Directorate ( ASD ) dalam program penyadapan dari NSA (National Security Agency), dengan sandi STATEROOM, yang mengumpulkan informasi elektronik intelijen dari fasilitas rahasia dalam beberapa misi diplomatik baik di kedutaannya maupun kantor konsulatnya. Menurut seorang mantan perwira intelijen Australia (anonim), ASD beroperasi, “dari kedutaan Australia di Jakarta , Bangkok , Hanoi , Beijing dan Dili , serta Komisi Tinggi di Kuala Lumpur dan Port Moresby , dan juga pos-pos diplomatik lainnya .” Dia juga mengatakan Konsulat Australia di Denpasar , Bali , juga telah digunakan untuk sinyal pengumpulan intelijen

Dokumen Snowden tersebut mencatat bahwa operasi dilakukan dengan sangat rahasia oleh tim dalam ukuran kecil dan misi mereka yang sebenarnya tidak diketahui oleh sebagian besar staf diplomatik di mana mereka berada. Stasiun itu digunakan untuk mencegat panggilan telepon dan data internet di seluruh Asia. Terbongkarnya langkah penyadapan telah menuai protes baik dari China, yang menyatakan prihatin dan menuntut klarifikasi dan penjelasan. Pemerintah Malaysia, Thailand , Indonesia dan Papua Nugini juga menyatakan keprihatinan yang serius.

Mantan perwira intel Australia tersebut juga mengungkapkan kepada Fairfax, bahwa “fokus utama pengawasan tim penyadap di Kedutaan Besar Australia di Jakarta adalah “masalah politik , diplomatik dan ekonomi . “Dia menjelaskan, “Pertumbuhan besar jaringan telepon seluler kini menjadi sebuah anugerah yang besar dan elit politik di Jakarta adalah sekelompok orang yang cerewet.” Ini menarik karena si agen menegaskan bahwa para elit politik tadi hanya terus meributkan dan mencurigai badan intelijen Indonesia menyadap mereka. Tetapi sebenarnya mereka tidak mengetahui ada badan intelijen negara lain yang telah lama menyadap mereka, tanpa disadari. Karena itu dia menyatakan “Jakarta’s political elite are a loquacious bunch.”

Dari dokumen NSA yang bocor, terungkap bahwa tercatat ada empat lokasi penting di Australia yang berkontribusi memberikan data ke program NSA dengan sandi X -Keyscore , yang memisahkan data ke dalam aliran nomor telepon, alamat email , log-in dan aktivitas pengguna untuk penyimpanan di bank data besar . Stasiun pengumpul tersebut adalah US-Australian Joint Defence Facility di Pine Gap dekat Alice Springs , dan tiga fasilitas ASD lainnya, yaitu, the Shoal Bay Receiving Station dekat Darwin , the Australian Defence Satellite Communications Station di Geraldton di Australia Barat , dan the naval communications station HMAS Harman di luar kota Canberra.

Harian Sydney Morning Herald pada hari Jumat (1/11/2013) menyampaikan pengakuan mantan agen intelijen Australia, bahwa pos ASD, “dikhususkan untuk melakukan pengawasan maritim dan militer , khususnya Angkatan Laut Indonesia (TNI AL), Angkatan Udara (TNI AU), dan komunikasi militer.” Pangkalan Australia di Cocoos Islands kini telah disiapkan sebagai pangkalan potensial untuk pesawai intai tanpa awak (drone) AS dan pesawat tempur , karena berdekatan dengan jalur pelayaran strategis di kawasan Asia Tenggara.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nampaknya Australia yang tergabung dalam kelompok komunitas intelijen khusus “lima mata” memang telah melakukan kegiatan spionase melalui kantor kedutaan besarnya di Jakarta dan konsulatnya. Target mereka bukan hanya masalah terorisme saja tetapi Australia juga menyadap serta aktif memonitor masalah perkembangan politik, masalah diplomatik, dan perkembangan kondisi ekonomi Indonesia. Amerika Serikat serta Australia jelas sangat berkepentingan dengan rangkaian pemilu dan pilpres, mereka akan berusaha mengetahui siapa pemegang kekuasaan pada tahun 2014, dan bukan tidak mungkin akan adanya campur tangan di dalamnya. Disamping itu, Direktorat Signal Australia juga memonitor dua kekuatan militer Indonesia (TNI AL dan TNI AU). Kedua kekuatan tersebut merupakan kekuatan yang berkemampuan serang strategis yang dikhawatirkan.

Walaupun informasi tentang spionase dari Australia dan Amerika Serikat terhadap Indonesia banyak ditanggapi oleh para pejabat tingggi, kini yang terpenting adalah bagaimana Badan Intelijen Negara serta Lembaga Sandi Negara melakukan pemeriksaan sekuriti terhadap sistem pengamanan baik informasi maupun kegiatan dari pejabat. Memang diakui sulit mengatasi penyadapan dari negara lain dengan teknologi yang sudah demikian canggih.

Tetapi jalan selalu ada selama niat, kemauan serta sense of intelligence tetap ditingkatkan dan dilaksanakan. Perang intelijen sudah lama terjadi, karena itu intelijen sebaiknya ditempatkan sebagai ujung tombak pemerintah dalam mengambil langkah kebijakan dan keputusan. Yang kini sangat perlu dilakukan adalah meningkatkan kesadaran sekuriti para pejabat dan pemegang data rahasia negara dalam menghadapi penyadapan. Tanpa itu, kita akan terus ditelanjangi, walaupun memang sudah lama tanpa disadari kita memang sudah telanjang bulat.
http://www.rimanews.com/read/2013110...lia-di-jakarta

US military eyes Cocos Islands as a future Indian Ocean spy base
March 28, 2012

[PIC] "Cocos Island", Sarang Intel Aussie Dekat RI. Akan Dibangun Pangkalan UAV AS?

United States military aircraft, including drones undertaking surveillance operations over the South China Sea, could be based on Australia's Cocos and Keeling Islands in the Indian Ocean.

As part of enhanced US-Australian military co-operation announced in November by Julia Gillard and the US President, Barack Obama, the islands would replace the US's present Indian Ocean base of Diego Garcia, which the US leases from the British and is due to be mothballed in 2016.

The Washington Post reported yesterday that the US was eyeing the Cocos Islands, 2700 kilometres east of Diego Garcia, as ''an ideal site not only for manned US surveillance aircraft but for Global Hawks, an unarmed, high-altitude surveillance drone''.

''Aircraft based in the Cocos would be well positioned to launch spy flights over the South China Sea,'' the Post reported.

When Mr Obama visited Australia in November, he and Ms Gillard announced an increased US presence in Australia that experts said was all about containing a rising China. The three priorities were an increased rotation of up to 2500 US Marines through the Northern Territory, more US war planes using NT air bases, and increased access by US Navy ships and submarines to the HMAS Stirling base in Western Australia.

After Mr Obama's visit, the Defence Minister, Stephen Smith, hinted that US ships and aircraft would use the Cocos Islands eventually.

''But that's well down the track. Indeed, there would be a requirement for substantial infrastructure changes to be made for further air or naval engagement through the Cocos Islands,'' he said in late November.

Speaking yesterday at a nuclear security summit in South Korea, Ms Gillard said ''there has not been any substantial progress'' on using the Cocos Islands since Mr Smith's comments last year.

She said the focus had been on implementing the arrangement that was struck about the deployment of Marines.

''Clearly, the alliance we have with the United States is pivotal to our security. It's of long standing and we took the next natural step in my view in the evolution of that alliance last year when I agreed with President Obama that we would host the Marines on a rotational basis in the Northern Territory exercises.''
Yesterday, a spokesman for Mr Smith said the details of drones, planes and ships using the Cocos Islands had yet to be discussed.
''Cocos Islands is a longer-term option for closer Australian-US engagement but is not one of the three priority levels of engagement,'' he said.

''In the first instance, our Indian Ocean arrangement will be, in my view, greater naval access to [HMAS Stirling].''

The maritime version of the Grumman Global Hawk drone is likely to be introduced into the defence forces of both countries later this decade, under a program known as Broad Area Maritime Surveillance.

With a wingspan of almost 40 metres, it can cruise for 30 hours at a speed of 575 km/h, covering a vast expanse of ocean with its cameras, radar and other sensors.

The news that they are becoming part of Mr Obama's ''pivot'' into south-east Asia is slowly seeping out among the 600 residents of the Cocos Islands.
The caretaker-manager at Cocos Beach Bungalows, who gave his name as Bill, said he had seen reports on the internet but had not noticed any unusual activity, aside from the occasional air force plane with mechanical trouble.
The islands attract a handful of tourists each year, mainly snorkellers and birdwatchers.

For the Royal Australian Air Force, the Global Hawk will be part of the mix replacing its maritime patrol aircraft, the four-engine turboprop P3C Orion, along with a new manned aircraft, a development of the twin-jet Boeing 737 called the P8 Poseidon. ''The idea is to integrate drones and aircraft so you need fewer manned aircraft,'' said Derek Woolner, a defence expert at the Australian National University.

The progress report of the Defence Force Posture Review recommends the upgrade of the Cocos airfield.
http://www.smh.com.au/federal-politi...327-1vwo0.html

Kesibukan intelejen dan militer AS & Australian di Kwasan Asia abad 21
[PIC] "Cocos Island", Sarang Intel Aussie Dekat RI. Akan Dibangun Pangkalan UAV AS?
siurce: http://anaverageamericanpatriot.blog...tary-ties.html

Cocos Islands could be new base for the US killing machine
Saturday, March 31, 2012
By Peter Boyle

[PIC] "Cocos Island", Sarang Intel Aussie Dekat RI. Akan Dibangun Pangkalan UAV AS?
A US army drone aircraft.

The Cocos (Keeling) Islands is a tiny group of coral atolls in the Indian Ocean 2800 kilometres north-west of Perth and 900 kilometres from Java. It has a population of about 600.

These islands were nominally a British territory between 1858 and 1955, when they were transferred by a British act of parliament to Australia. Yet for the next 17 years, the Australian government allowed the islands to operate as a private fiefdom of the Clunies-Ross family — just as the British had for 100 years before then.

The islands were uninhabited until 1826, when Alexander Hare, a former minor British colonial official, set up an establishment with about 50 slaves, mainly of Malay background, and a personal “harem” he had collected from many colonial outposts.

Hare was displaced a year later by his former business partner, John Clunies-Ross, a Scottish ship captain whose descendants enriched themselves on the labour of the Malay plantation workforce, who they paid with tokens that could be spent on only the company store.

The Malay islanders had no access to formal education, but the Clunies-Ross children were sent to private schools in Britain. The head of the Clunies-Ross family was the island’s lawmaker, judge and administrator. Anyone who did not accept his rule was banished.

So it is no surprise that, when the Cocos Islanders were finally given the choice between independence, free association and integration with Australia in 1984, they overwhelmingly voted in secret ballot for integration. Only members of the Clunies-Ross family and a couple of loyal servants were in favour of “independence”.

But the Australian government did not offer the islanders their liberation from semi-feudalism just out of respect for freedom.

Kenneth Chan, the Australian administrator on the Cocos Islands from 1983-85 admitted in a largely unnoticed academic paper he wrote in 1987 that the islands’ strategic location was the main motivation to acquire and integrate this Indian Ocean territory.

The islands were used as a military base by the British in World Wars I and II. Now, the US military wants the islands as a base for drones and other spy planes. Pentagon officials hope Australia will make up for a possible closure or downgrading of its main Indian Ocean island military base in Diego Garcia, which the US leased from Britain in 1966.

The US built its giant base on Diego Garcia in the 1970s after the 2000 Chagos Islanders were forcibly removed through trickery and starvation, a colonial crime exposed to the world relatively recently.

The US has used Diego Garcia as a base for nuclear weapons, marines, warships, bombers and spy planes. It has used it as a transit station for political prisoners sent for “rendition” to other countries so they can be tortured, though this is officially denied. Diego Garcia is a strategic hub of the US killing machine.

But the US lease runs out in 2016 and the Pentagon wants to relocate at least some of the military functions of the base to various Australian bases in Western Australia, Darwin and the Cocos Islands.

The Gillard Labor government and the Liberal-National opposition wholeheartedly support this process and have already agreed to station thousands of US marines in Darwin.

Green Left Weekly opposes all new US bases and campaigns for the closure of the existing nominally “joint US-Australian” military bases. You can help us expose and fight against the Australian complicity with the US killing machine, by donating online today at greenleft.org.au to the Green Left Fighting Fund.

Direct deposits can be made to Greenleft, Commonwealth Bank, BSB 062-006, Account No. 00901992. Otherwise, you can send a cheque or money order to PO Box 515, Broadway NSW 2007 or donate on the toll-free line at 1800 634 206 (within Australia).

Our objective is to raise $250,000 for our Fighting Fund by the end of this year. So far our supporters have raised $30,006. Please help us get closer to target.
https://www.greenleft.org.au/node/50561

Pesawat Intai Tanpa Awak RQ-4 Global Hawk

[PIC] "Cocos Island", Sarang Intel Aussie Dekat RI. Akan Dibangun Pangkalan UAV AS?
Global Hawk adalah pesawat udara tanpa awak (UAV) yang dipergunakan oleh Angkatan Udara AS (USAF) dan Angkatan Laut (US Navy) sebagai pesawat intai. Global Hawk dipergunakan oleh komandan lapangan dalam memberikan gambaran yang luas dan pengawasan target secara sistematis. Global Hawk mampu memberikan Aperture Radar Synthetic (Synthetic Aperture Radar) resolusi tinggi-yang dapat menembus hambatan awan dan badai pasir. Serta Electro-Optical/Infrared (EO/IR) imagery. Pesawat dapat melakukan pengintaian (survei) kawasan seluas 40.000 mil persegi (103.600 kilometer persegi) dalam sehari. RQ-4 ini didukung oleh engine buatan Rolls-Royce Allison AE3007H turbofan, dengan 7.050 lbf (31,4 kN) daya dorong, dan mampu membawa muatan sebanyak 2.000 pon (900 kilogram).

Global Hawk adalah alutsista yang dapat di operasikan secara mandiri dan "untethered" dengan menggunakan link data satelit (baik Ku atau UHF) untuk mengirimkan data sensor dari pesawat ke MCE (Mission Control Element). Link data umum juga dapat digunakan untuk down link langsung dari citra ketika UAV beroperasi dalam 'line of sight' stasiun bumi yang kompatibel. Segmen tanah terdiri dari Elemen Mission Control (MCE) dan Launch and Recovery Element (LRE), yang dibuat oleh Raytheon. MCE digunakan untuk perencanaan misi, komando dan kontrol, dan pengolahan citra dan penyebaran, sebuah LRE untuk mengendalikan peluncuran dan pemulihan; dan peralatan tanah dukungan terkait. Dengan memiliki unsur terpisah di segmen tanah, MCE dan LRE dapat beroperasi di lokasi geografis yang terpisah, dan MCE dapat digunakan dengan situs utama eksploitasi perintah didukung itu. Kedua segmen tanah yang terkandung di tempat penampungan militer dengan antena eksternal untuk line-of-sight dan satelit komunikasi dengan kendaraan udara.
(source)


-------------------------

Kalau pesawat 'drone' seperti global hawk itu beroperasi di langit Asia Tenggara dari pangkalannya di pulau Cocos itu, hampir tak ada lagi yang lolos dari pengamatan mata mereka. Kita tinggal berdo'a saja kepada Allah swt

emoticon-Turut Berduka
0
5.7K
34
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan