Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

gmrainforestAvatar border
TS
gmrainforest
BERIKUT ALASAN-ALASAN YANG KLISE YANG MEMBUAT KITA SUSAH GO GREEN, SETUJUKAH ANDA!!!
Are You Green Yet?

Quote:




Mungkin teman punya alasannya? Atau mungkin bingung untuk menjabarkan alasannya, tapi ya nggak mau aja Go Green. Coba cek daftar yang saya buat ini, mungkin ada yang senada dengan apa yang kamu pikirkan? Kamu rasakan? Atau bahkan nggak bisa diomongkan?

Here we go on Why People Don’t Want to Go Green


(Mohon diperhatikan, bahwa isi tulisan ini bisa menggangu suasana hati dan pikiranmu, hanya jika kamu tidak mau menggunakan akal dan logika).
Be aware of ideas on tying your EGO and negative thoughts and judgements (prior to digest my writing) and lock it somewhere else first before you read this!

I’m not gonna be accountable for your wrongdoings and I will sue you for your ego backlash or bad mouth about me regarding my awareness and waking people up for not being green! (Maafkan pilihan kata-kata saya, ya J)

Datang dan belanja di swalayan besar bikin saya tambah pesimis dengan masalah keberadaan manusia di bumi ini terutama kaitannya dengan kemunduran lingkungan hidup. Sambil mendorong kereta belanja yang sudah terisi sesuai daftar belanja, saya berjalan dari lorong ke lorong, mulai dari lorong alat pembersih rumah tangga yang rata-rata semua alatnya plastik berkilauan dengan warna matching yang bisa dipilih sesuai warna favorit kita dan membuat kita ingin melengkapi bahkan mengganti peralatan bersih-bersih yang kurang matching warnanya atau karena sudah bulukan, sungguh bikin ironis. Dilanjutkan berjalan ke bagian makanan, yang tersedia banyak adalah makanan yang sudah diproses. Ke bagian baju, lihat baju lucu-lucu murah meriah (siapa nggak tahan mo mbeling dari shopping list, kalo bisa nyisipin beli sepasang t-shirt murah yang baru ‘n stylish sesuai fashion terbaru). Capek nilikin dari lorong ke lorong, akhirnya saya menuju kasir. Ngintipin kereta belanjaan orang dan ngintipin punya saya. And they are looking at me like, maybe I am weirdo.. I think that they are crazy not to realize what they do. Isi kereta mereka kebanyakan processed food, plastic tools, barang baru yang mungkin mereka sudah punya. Then I realized: Inilah cara orang modern terutama perkotaan hidup dan belanja. Hidup saya sangat berbeda dari cara konsumerisme kebanyakan orang, tapi saya Cuma kaum minoritas dari bagaimana orang hidup dan belanja pada umumnya.

Sudah pasti, yang saya rasakan bikin depresi!



Kalau saja manusia mau bersuka cita melihat segalanya dari perspektif yang berbeda. Karena begitulah awalnya saya juga ketika berubah, termasuk mereka-mereka lainnya yang sudah dengan bahagianya memilih untuk hidup Greener and more sustainable.

Di sisi lain, masalah Ekologi seperti perubahan iklim, pentingnya Reduce, Reuse dan Recycle juga polusi tanah, air dan udara semakin mendapatkan perhatian yang super sejak tahun 2010 (tahun lahirnya GMS). Sebagian dari kita dengan serius mengambil langkah untuk membuat perubahan, baik itu pada dirinya sendiri, keluarga atau tingkat komunitas. Tapi, tidak semua orang mau berusaha untuk Going Green apalagi Sustainable.

Untuk sebagian orang, hidup Greener itu tidak mudah. Meski bukti-bukti yang ada tentang kondisi Global sangatlah jelas, sebagian orang tetap saja berdebat tentang apa sih untungnya hidup yang ramah lingkungan, bahkan banyak orang yang tidak ingin merubah kebiasan buruk mereka untuk berbagai alasan yang tidak mau mereka akui dengan jelas atau terbuka.

‘Going green’ itu ngetrend banget saat ini, it’s a hot topic to discuss. Di mana-mana kita melihat bahasannya, sampai kita tahu benar bahwa apa yang kita lakukan sekarang bisa bikin anak cucu kita menderita. Tapi tetap saja masih sangat banyak orang yang tidak peduli. Why is that? Apa karena masalah ini terlalu besar, jadi mending dibiarkan saja? Atau mungkin masalahnya nanti juga selesai sendiri? Mending nunggu pemerintah atau badan dunia yang akan mengatasinya? Kok bisa sih, sesuatu yang super penting tidak saja untuk kita yang hidup sekarang, tetapi juga untuk generasi penerus kita, masih saja kita buang/kesampingkan? Kenapa kita tidak mau Going Green? Apa sih yang bikin kamu tidak mau berubah?

1. “Saya tidak percaya dengan adanya Pemanasan Global”

Okelah, kamu tidak perlu percaya adanya masalah pemanasan global agar bisa melihat manfaat Green Lifestyle. Coba lihat masalah sampah di keseharian kita. Sampai-sampai sampahnya masuk ke badan air, mulai sungai hingga berakhir ke laut, hingga terkenal adanya Pasicif Garbage Patch (jalur sampah mengapung di laut) yang kebanyakan plastik dan banyak yang berbahaya untuk ekosistem laut. Pake jurus 3R saja kita sudah bisa membantu mengatasi masalah ini.
Pertanian monokultur alias 1 jenis tanaman atau tanaman yang sama berakibat punahnya tanaman lain dan pertanian lebih mudah terserang hama. Sudah jelas,kan, kalau Pemanasan Global bukan satu-satunya alasan untuk Going Green.
2. Kebiasaan itu tidak mudah untuk dirubah
Pikiran manusia itu penuh dengan misteri, biasanya manusia secara terus menerus melakukan hal yang sama yang sudah dilakukan sebelumnya. Kita bisa berubah tetapi perubahan itu membutuhkan energi untuk berpikir yang lebih banyak, harus melakukan usaha dan harus berinovasi. Nah, karenanya, cuma sebagian kecil orang saja yang bisa berubah bagaimanapun tidak nyamannya perubahan itu, dan apapun hal yang harus diubahnya.

Mengubah kebiasaan itu sulit dan terlalu banyak berubah itu susah untuk di-maintain/jaga. Seperti ketika kita berdiet bersamaan dengan puasa Ramadhan, tetapi setelahnya, diet hilang ditelan makanan lezat selama Hari Raya J dan akhirnya..ya sudahlah..dietnya liburan panjang saja.

Berubah itu sulit! Meskipun kita dibombardir dengan kata-kata manis untuk menyemangati kita, atau bikin reward jika melakukan langkah-langkah kecil di setiap perubahan yang kita buat, bahkan klik like untuk quotes yang inspirational di Facebook, hehe…Tetap saja membuat perubahan untuk hidup yang lebih sustainable butuh berkorban waktu, energi, pikiran, juga uang. Pilihan untuk living Greener tidak selalu identik dengan kenyamanan. Belum lagi kebanyakan dari hal-hal yang perlu diubah tersebut ada kaitannya dengan perubahan pada rutinitas di keseharian kita. Benar, kan?
3. Masalahnya sudah terlalu besar
Dari deretan masalah global yang kita hadapi, rasanya kepala ini mau pecah, hati ini mau teriak saja, It’s just TOO MUCH to Deal with! Kalau mau berubah, dari mana aku harus memulai? Jadi mending nggak usah berubah aja sekalian!. Mau going greener aja udah terasa berat, terlalu banyak yang harus dipikirkan, terlalu banyak yang harus dihindari, terlalu banyak rasa bersalah yang harus dirasakan, hasilnya kita tetap di situ-situ saja. Tidak ada perubahan, karena yang ada hanya dirasakan, dibayangkan dan dipikirkan saja. No Action!
4. We’re brainwashed
Kebanyakan dari kita generasi sekarang dibesarkan sebagai konsumen, apa-apa harus beli. Sejak kanak-kanak, secara tidak langsung kita sudah dididik untuk berpikir apa yang harus kita beli, apa yang harus kita punya dengan cara membeli. Nah, cara untuk memutus ketergantungan ini adalah berhenti membandingkan diri kita dengan yang dulu, belajar cara berpikir baru dan berhenti mengikuti budaya yang dominan. Dare to be Different (yang baik pastinya).
5. Rasa Takut
Takut mengkonfrontasi kebenaran tentang pentingnya dampak kehidupan manusia terhadap masalah yang sudah ada. Ngebayangin aja udah bikin stress dan depresi.
Takut melakukan sesuatu untuk mengatasi masalah yang ada. Sudah tahu benar kalau bukti-bukti perubahan iklim sangat jelas dan tahu apa dampak buruknya. Tapi kan belum kejadian juga dampak terburuknya. Nah, daripada melakukan sesuatu untuk solusi dari masalah yang ada, kebanyakan dari kita mencari cara baru untuk bersembunyi dari melihat masalah. Alias pura-pura nggak tau. So far so good.
Khawatir apa nanti kata orang

Orang modern nih, paling peduli dengan apa kata orang tentang mereka. Kebanyakan dari kita tidak mau mengakuinya. Biasanya juga kita bilang ke orang lain “So what if people say” atau “”I don’t care what they say” tapi aslinya, tuh..rata-rata dari kita peduli apa kata orang. Believe it or not!

Belum lagi khawatir dicap hippie, orang aneh, ekstimis, dan cap lainnya sebagai orang yang hidupnya Greener bahkan Sustainable. Kalau saya dan keluarga sih, benar-benar nggak peduli apa kata orang. Tapi belum tentu kebanyakan orang lainnya bisa tidak peduli.
6. Kenyamanan
Banyak dari keadaan hidup dan barang di sekitar kita yang kita miliki berakibat merusak bumi ini, seperti mobil pribadi, AC, belum lagi makanan impor, kosmetik impor, baju impor… Semua hal ini menawarkan kenyamanan dan kemewahan tersendiri dan nggak bisa kita pungkiri bahwa kita benar-benar menikmatinya. Kebanyakan orang tidak ingin melepaskan kenyamanan ini apalagi melepaskannya seketika itu juga. Bisa mati berdiri dehh… Tapi sangat salah caranya jika kita memberi keyakinan pada diri kita bahwa sebenarnya so far so good, nggak ada itu namanya masalah global yang harus bikin kita going greener now, jadi kita bisa dengan nyaman
terus menikmati kenyamanan hidup modern dan kemewahannya.
7. Propaganda
Ada banyak woro-woro di luaran sana, yang juga sengaja didedikasikan untuk meyakinkan publik bahwa isu krisis lingkungan hidup itu sebenarnya tidak ada, tidak benar, berlebihan. Dannn… berita-berita ini sangat mudah dan nyaman dipercayai oleh mereka-mereka yang ingin mempercayainya.
8. Rasa Malas
Malas saja rasanya harus mengganti lampu di rumah dengan lampu yang hemat energi, atau harus mematikan listrik yang tidak dipakai, atau memilah sampah basah dan kering di rumah. Semua ini butuh usaha kan? Butuh energi, butuh waktu. Kita sudah capek seharian dengan berbagai kegiatan dan ketika sampai di rumah dan berkumpul dengan keluarga, hal-hal seperti di atas tidak lagi ada di radar pikiran kita, apalagi mau action… Wah kapan-kapan aja, deh kalau sudah punya waktu luang.

Misalnya saya nih, ketika di awal memiilih memberi ASI ekslusif selama mungkin, saya nggak mau cari tahu detail baiknya meski saya tahu secara umum kenapa. Yang ada di pikiran saya adalah, menyusui itu lebih mudah daripada harus memberi SUFOR atau bahkan MPASI. Untuk kebanyakan ibu, memilih popok sekali pakai karena lebih murah daripada harus berinvestasi dengan beli clodi, belum lagi repotnya harus mencuci. Aslinya kalau dipikir, rasa malas bisa diputar jadi motivasi going greener, lho. Lihat tuh, ASIX lebih green, sehat, murah dan mudah karena nggak harus beli SUFOR, MPASI, nggak repot masak (buang energi). Beli diaper kain lebih murah untuk investasi jangka panjang. Nyuci juga aslinya nggak susah-susah amat. Belanja di pasar terdekat lebih green daripada beli di supermarket (karena biasanya yang dijual adalah produk lokal).

Lain lagi, nih, cerita malas untuk bikin sesuatu dari nol. Saya juga mengakui hal ini. Terkadang malas juga mempersiapkan sesuatu berjam-jam. Mulai dari semua makanan yang ada di rumah disiapkan sendiri. Bikin roti sendiri, bikin selai sendiri, recycling, gardening organic, bikin meal planning, kemana-mana harus naik angkot, naik taxi, jalan kaki, pinjam motor atau nunggu siapa yang pergi ke arah yang sama agar bisa numpang motornya (untung saja yang kerja di GMS ada beberapa yang punya motor, jadi aku bisa nebeng mulu, hehe…). Well… coba bandingkan dengan kerja kantoran berpuluh-puluh jam setiap harinya kemudian setelahnya di akhir bulan dapat gaji, kerja lagi, gajian lagi, hidup sepertinya sangat membosankan. Going Greener is more fun tapi butuh kerja keras seperti halnya kita kerja keras untuk mendapatkan posisi di pekerjaan kita/kenyamanan finansial kita saat ini, atau apapun pencapaian dari hasil kerja keras yang sudah kita dapat. Berubah itu butuh kerja keras terus menerus.
9. Uang Lagi..

Apa teman-teman tahu untuk going green secara skala bisnis itu mahal, lho, dan tidak mudah. Benar juga dibilang murah, tapi itu untuk jangka panjang. Kebanyakan pebisnis udah eneg duluan, malas memikirkan untuk berinvestasi dan membuat perubahan usahanya agar lebih green dan sustainable.
10. Uhhh… Green terlalu mahal buat saya! Nggak kejangkau, deh!
If your green life is too expensive then you are doing it WRONG! Kalau dilakukan secara benar, sebenarnya hidup yang hijau itu malah lebih murah. Misalnya nih, kalau pergi jarak dekat berjalan saja, atau naik sepeda meski berpanas-panas ria dan kulit jadi tan. Atau pilih naik transportasi publik daripada naik mobil pribadi sendiri (menghemat biaya banget, kan). Hal lainnya yang sangat mudah dilakukan seperti hemat air, hemat listrik, menanam sayur sendiri di lahan pekarangan rumah, sudah jelas sekali bikin pengeluaran kita terpangkas. Siapa juga sih, yang bisa makan 100% organik, pakai pakaian 100% organik, handmade, fair trade, pakai wind power untuk sumber listrik. Kalau mau mikirin itu aja, udah nyerah, deh, untuk sebagian besar orang. Nggak kuat uangnya! Apalagi untuk sebagian orang yang hidup di bawah garis kemiskinan, kalau untuk biaya makan saja sudah susah, mana bisa mau Go Green! Hal-hal ini bikin kita berpikir, untuk peduli lingkungan saja sudah jadi kemewahan.
11. Insentif
Dibutuhkan banyak tenaga, pikiran, penelitian, kemauan untuk hidup yang lebih hijau, baik untuk individu maupun bisnis. Semua hal ini sangat menyita kehidupan kebanyakan orang. Nah, hasil dan dampak yang bisa dirasakan, kebanyakan tidak bisa terlihat secara instan. Kebanyakan orang masih butuh insentif untuk merasakan hasil dari hal yang sudah mereka korbankan agar mereka terus termotivasi untuk melakukannya. Sama halnya dengan Going Green. Kalau saja kita menabung lewat pajak agar pemerintah bisa merealisasikan Pembangkit Listrik tenaga surya, paling-paling realisasinya 50 tahun lagi…udah keburu nggak ada di dunia ini, deh, saya untuk merasakan hasilnya. Terus apa yang saya dapatkan agar saya nggak meleng/membelot mata hati ini untuk terus mendukung going green di kehidupan ini.
12. Balik Modal
Apa kita mau berbuat sesuatu tanpa timbal balik? Tergantung untuk apa dulu? Tapi biasanya orang tidak suka berbuat sesuatu jika tidak ada timbal baliknya. Misalnya nih, dengan bawa botol air sendiri yang bisa diisi di kantor, sudah bikin kita saving uang minuman, kan. Hal-hal kecil yang ada timbal baliknya bisa kita lakukan untuk memotivasi kita melakukan kebiasaan-kebiasaan yang Green. Nah kalau ROI (return on investment alias balik modal) nya kecil atau tidak ada sama sekali, males, ah, Going Green!
13. It’s not my problem!
Individualisme di dunia modern ini kutukan atau berkah ya? Hehe.. Individualisme yang bikin kita mandiri, punya banyak inovasi, tidak mudah menyerah, be outside of our comfort zone. Tapi untuk going greener kita tidak bisa berdiri sendiri. Semua mulai dari diri kita dan bergulir ke orang terdekat di rumah. Everything has to start at home. Semuanya harus saling bahu membahu.


Itu masalah orang lain!

Tidak mudah untuk menginspirasi orang lain, tidak mudah untuk membuat orang lain berubah, orang di dalam rumah saja susah diajak berubah, apalagi di luar rumah kita. Ide jangan minta orang berubah, ubah dulu diri kita sendiri, benar adanya, tapi salah kalau kita anggap going Green ini cuma masalah pribadi saja. Kalau orang lain tidak mau berubah, ya sudahlah. Semua perubahan berawal dari berubahnya saya dan Anda, ya dikau…temanku… Mau berubah nggak nih..it’s your problem juga, lho… Semua perubahan akan berdampak besar, seperti bola salju. Tidak ada perubahan berarti tidak ada bola salju, kalau perubahan kecil berarti bola saljunya juga kecil. Kita harus tetap menginspirasi orang lain, terutama orang terdekat.

Nggak mau tahu, ahh..

Nggak kapok-kapok saya nawarin teman dan tamu untuk nonton film documenter, mulai dari Global warming, Food inc, Konsumerisme, dll. Banyak dari mereka yang menolak, dengan alasan, belum siap nonton. Wah, nggak bisa nyalahin orang lain juga, sih, dengan memilih apa yang saya pilih. Apalagi tentang makanan, nih… super sensitif banget, dah. Rata-rata orang nggak mau tahu apa yang ada di balik cerita makanan mereka sehari-hari. Karena kalau tahu bisa nggak makan, deh, adanya bikin sakit kepala aja, tapi salah juga, kan kalau nggak cari tahu..

Kalau aku ngapa-ngapain juga nggak bakal ngefek, deh!

Aduh, kalau sudah ada yang ngasih komentar gini, pusing saya… Ini kayak batu besar di film Aladin di sarang penyamun, kudu pakai mantra “Open Sesame” kali, ya, baru batunya bisa pindah, baru orang-orang yang berpikiran serupa bisa ngeh. Makan makanan organik nggak akan menyelamatkan planet, lho, memakaikan clodi buat baby dan kita sendiri pakai cloth pad juga nggak akan menyelamatkan bumi, apalagi pakai kosmetik Rainforest, sudahlah..nggak akan bumi ini selamat. TAPI…semua yang kita lakukan itu menolong, meskipun cuma sedikit.

Kita tidak bisa melihat akibat langsung yang ditimbulkan.

Tahu nggak, sih, kita kalau kegemaran kita makan makanan fast food ayam or daging bikin para ilmuwan kudu mengembangkan cara beternak yang nggak hewani dan nggak sehat seperti harus menambahkan pestisida ke ternak, dll. Ada banyak hal di sekitar kita yang tidak kita ketahui dampak berantai di belakang layarnya.
14. I don’t have time – Kita terlalu sibuk
Coba telaah cerita ini: Seorang ibu yang terlalu sibuk kemudian menyuruh anaknya untuk membeli makan siang sendiri dengan hanya memberi uang, karena beliau tidak punya waktu untuk memasakkan makanan rumahan yang lebih sehat. I’m thinking how much time she spent untuk melakukan hal nggak penting lainnya seperti checking FB, go online browsing, watching tv, window shopping? Just wondering, lho… Kalau saya sih, nggak akan ngasih makan ke anak-anakku tercinta dengan non healthy food. Nothing like homemade meal dan dengan senang hati akan saya lakukan ;-)

Apa inti dari cerita di atas? Dengan jelas terbaca kemalasan masyarakat kita pada umumnya. Kita ingin segalanya yang instan saja, meskipun kita harus membayar mahal sebagai gantinya. Kenapa? Karena yang ada di benak, kita bisa “Menghemat Waktu”. Cara berpikir seperti ini tidak bisa tergantikan seketika. Tidak bisa secara otomatis orang-orang jadi berubah. Tapi kalau kita mulai mengatur hidup kita lebih hijau, bikin to do list, goals, planner, semuanya akan menjadi lebih mudah untuk berubah.

Benar-benar butuh ruang bernapas secara emosional dan tempat longgar di kepala untuk peduli sesuatu seperti lingkungan hidup. Apalagi masalah lingkungan bukan sesuatu yang ada di benak kita sehari-hari. Belum lagi kita setiap harinya selalu punya masalah yaitu mudah teralihkan perhatian “easily distracted” mulai dari gossip selebriti, nonton bola, shopping, dll.
Sebenarnya apapun yang ada di keseharian kita itu sebagian besar adalah pilihan. Sibuk bisa bagus, bisa jelek, tapi Sibuk itu kebanyakan adalah pilihan.

BERSAMBUNG YAH... emoticon-Winkemoticon-Wink
0
4.5K
26
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan