Agan semua tentu hapal Sumpah Pemuda.
Tahun ini menandai 85 tahun peringatan Sumpah Pemuda. Itu momen penting yang ikut menandai kelahiran bangsa kita. Jika pada 1908 timbul kesadaran untuk bangkit, pada 1928 muncul kesadaran untuk bersatu: bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu.
Usia mereka masih muda-rata-rata baru masuk 20-an, banyak pula yang di bawah 18 tahun dan penuh semangat. Mereka berasal dari berbagai latar belakang berbeda. Daerah asal mereka berbeda; suku mereka berbeda; pun agama mereka. Lantaran mengenyam pendidikan Belanda, mereka kebanyakan fasih berbahasa Belanda, selain bahasa daerah masing-masing. Hanya segelintir yang lancar bahasa Melayu, bahasa pergaulan masa itu.
Pada 1920-an, para pemuda ini terkotak-kotak menjadi anggota berbagai perkumpulan yang bersifat kedaerahan. Misalnya, Jong Java, Jong Sumatra, Jong Bataks, Perkumpulan Kaoem Betawi, Sekar Roekoen Soenda, Jong Celebes, dan Jong Ambon.
Dipengaruhi kepedihan kehidupan yang sama sebagai warga jajahan, timbul kesadaran pergerakan mereka harus bersifat “NASIONAL”. Mereka mulai bicara soal “PERSATUAN” dan “KEMERDEKAAN”. Sebagai pencetus, mahasiswa Indonesia di Belanda, yang antara lain Muhammad Hatta, menelurkan Manifesto Politik pada 1925. Isinya, untuk pertama kali para pemuda bicara tegas tentang kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan di antara sesama warga jajahan. Orientasi kedaerahan mulai ditinggalkan.
Gaung manifesto itu sampai ke tanah air dan memikat banyak pemuda kaum pergerakan kala itu. Tahun berikutnya, para pemuda bersepakat menggelar Kongres Pemuda I di Jakarta. Walau pada kongres pertama belum lahir sebuah ikrar bersama, namun para pemuda masa itu mulai tak sungkan untuk melakukan kegiatan bersama. Hingga pada akhirnya, ketika Kongres Pemuda II digelar pada 1928, lahirlah Sumpah Pemuda. Sebuah tekad kita semua: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa.
Kami yakin, uraian di atas pastilah agan juga sudah tahu dari buku sejarah. Tapi agan tahu nggak seputar fakta-fakta unik yang terjadi selama dan menjelang Kongres Pemuda II? Nah, yang begini nggak ada di buku pelajaran sejarah.
Berikut hasil penggalian fakta-fakta dari buku dan majalah tentang SUMPAH PEMUDA, Cekidot
Spoiler for Jahilnya para pencetus Sumpah Pemuda:
Jahil? Iya. Nah, nggak nyangka kan kalau para pemuda pencetus Kongres Pemuda II punya sifat jahil. Ceritanya begini. Para pencetus Sumpah Pemuda, yang umumnya mahasiswa, banyak tinggal di rumah kos-kosan di Jalan Kramat 106 yang kini disebut Museum Sumpah Pemuda.
Saban malam, para mahasiswa berdiskusi tentang berbagai hal. Kalau sudah larut malam, biasanya pukul 1, saat sudah capek diskusi, para mahasiswa mengumpulkan uang buat cari kopi plus sate atau cari soto ke Pasar Senen. Acara diskusi pun berubah dari yang berat-berat ke yang ringan, “lebih mendekati soal-soal yang biasanya dekat ke hati pemuda,” kata Abu Hanifah, seorang pelaku Sumpah Pemuda pada 1977 di majalah Prisma. Yah, tak jauh soal wanita yang ditaksir seperti obrolan pemuda sekarang.
Kalau kebetulan ada ujian, diskusi dan perdebatan berhenti. Semua masuk kamar, belajar. Biasanya, kira-kira pukul 12 malam, setelah lelah belajar, mulai kembali terdengar bunyi-bunyian. Amir Sjarifudin melepaskan capek dengan menggesek biolanya, memainkan gubahan Schubert atau sonata yang sentimentil. Abu Hanifah mengambil biola, memainkan lagu yang sama. Suara biola bersahut-sahutan. Kemudian terdengarlah Muhammad Yamin beteriak, meminta Amir dan Abu diam. Yamin sedang dikejar deadline mengerjakan terjemahan Rabindranath Tagore untuk Balai Pustaka. Dasar jahil, bukannya diam, Amir malah makin asyik menggesek biola, sehingga Yamin teriak-teriak. Amir dan Abu ketawa terbahak-bahak.
Spoiler for Mengakali Polisi Belanda:
Sabtu, 27 Oktober 1928. Jarum jam menunjukkan pukul 19.45 ketika Soegondo Djojopoespito membuka Kongres Pemuda II. Soegondo pemimpin rapat yang tangkas dan banyak akal. Perlu diketahui, yang ikut rapat bukan cuma para pemuda, tapi juga diawasi langsung polisi Belanda. Pada satu kesempatan, polisi Belanda protes karena peserta rapat menggunakan kata “merdeka”, hal yang dilarang ketika itu.
Soegondo kemudian berkata, “Jangan gunakan kata ‘kemerdekaan’, sebab rapat malam ini bukan rapat politik dan harap tahu sama saja.” Hal itu disambut tepuk tangan riuh dan tawa hadirin.
Memang ada-ada saja trik kaum pergerakan kala itu mengakali polisi Belanda. S.K. Trimurti, salah satu tokoh pergerakan masa itu menulis sebuah cerita unik di buku Bunga Rampai Soempah Pemoeda (Balai Pusatka, 1978). Tulisnya, ada trik khusus agar rapat organisasi pemuda yang dianggap radikal oleh Belanda tidak dibubarkan paksa polisi. Suatu ketika, para pemuda hampir ditangkap polisi karena menggelar rapat, tapi akhirnya lolos. Kok bisa? Jadi, ketika polisi hendak menggrebek, para peserta rapat berganti sikap. Rapat yang serius berganti jadi acara tari-menari dansa-dansi. Musiknya, cukup pakai mulut saja menirukan suara gamelan.
Spoiler for Lagu “Indonesia Raya” Tanpa Syair:
Agan juga pasti tahu saat Sumpah Pemuda untuk kali pertama diperdengarkan lagu yang kemudian jadi lagu kebangsaan kita: “Indonesia Raya”. Tapi pernahkah agan bertanya, kenapa saat itu tidak dinyanyikan lagu “Indonesia Raya” lengkap dengan syairnya?
Well, jawabnya masih ada hubungan dengan larangan polisi Belanda untuk menyebut kata “merdeka” dalam rapat. Maka yang terjadi, Minggu, 28 Oktober 1928, jelang penutupan rapat, seorang pemuda langsing bernama W.R. Soepratman menenteng biola mendekati pemimpin rapat Soegondo menyerahkan secarik kertas berisi syair lagu yang digubahnya.
Menangkap judul “Indonesia Raya” dan begitu banyak kata “merdeka” dan “Indonesia” di situ, Soegondo langsung melirik polisi Belanda yang tekun mengawasi kongres. Soegondo khawatir rapat bisa dibubarkan paksa bila lagu itu diperdenarkan lengkap dengan syairnya. Ia membolehkan Soepratman memainkan lagunya tapi tanpa syair. Musik itu berakhir dengan tepuk tangan panjang. “Bis, bis, bis, lagi, lagi…,” teriak hadirin.
Spoiler for W.R. Soepratman, Hidupnya Tanpa Cinta:
Musisi dan cinta seharusnya berkait erat. Tapi entah mengapa, W.R. Soepratman meninggalkan misteri seputar kehidupan cintanya. Soperatman dikenal sebagai wartawan yang suka bermain music dan kongko-kongko dengan para pemuda di markas Perhimpunan Pemuda Pelajar Indonesia di Kramat Raya 106. Ia mengenal musik sejak usianya 11 tahun. Pada 1938, ia pernah dibui Belanda. Usai dibebaskan, Soepratman sakit-sakitan.
Dalam kondisi kian hari kian parah, ia ditemani Kasan Sengari, iparnya, dan Imam Supardi, Pemimpin Redaksi Penyebar Semangat. Kepada Imam, Soepratman curhat bahwa hidupnya tidak bahagia karena percintaan. Soepratman memang tidak menikah. Tapi Imam tidak menanyakan lebih lanjut, khawatir karibnya makin sedih.
Dalam catatan Kuisbini, karib sesama komponis, Soepratman kerap datang ke warung Asih di Kapasari atau warung Djurasim di Bubutan, Surabaya, untuk menghibur diri membunuh sepi. Namun di warung itu pun ia Cuma melamun ditemani kue dan secangkir kopi. “W.R. Soeprratman menutup rahasia hidupnya dalam Taman Asmara,” tulis Kusbini suatu kali. “Taman Asmara” adalah istilah Kusbini untuk patah hati sahabatnya. Sayang hingga akhir hayatnya, Soepratman meninggal tengah malam 17 Agustus 1938, persoalan cinta itu tetap jadi teka-teki hingga sekarang.
Spoiler for Naskah Sumpah Pemuda Ditulis Satu Orang:
Bagaimana ceritanya para pemuda bisa bersumpah di hari bersejarah itu? Begini kejadiannya. Rumusan Sumpah Pemuda itu ditulis Muhammad Yamin sendirian di sebuah kertas.
Ketika Mr. Sunario, sebagai utusan kepanduan tengah berpidato di sesi terakhur kongres. Sebagai sekretaris, Yamin yang duduk di sebelah kiri ketua menyodorkan secarik kertas pada Soegondo sembari berbisik, “Saya punya rumusan resolusi yang elegan.” Soegondo lalu membaca usulan resolusi itu, memandang Yamin. Yamin tersenyum. Spontan Soegondo membubuhkan paraf “setuju.”
Soegondo lalu meneruskan kertas ke Amir Sjarifudin. Dengan muka bertanya-tanya, Amir menatap Soegondo. Soegondo membalas dengan anggukan. Amir pun memberi paraf “setuju”. Begitu seterusnya sampai seluruh utusan organisasi pemuda menyatakan setuju.Sumpah itu berbunyi:
Pertama : Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea : Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga : Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Sumpah itu awalnya dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang lebar oleh Yamin. Setelah disahkan, ikrar pemuda itu jadi tonggak bersatunya bangsa Indonesia.