Kaskus

Entertainment

kemalmahendraAvatar border
TS
kemalmahendra
"Bellum Omnium Contra Omnes"
Itulah situasi besar yang kita rasakan sekarang ini. Kita seperti kehilangan arah tentang apa sebenarnya yang membuat kita bersepakat untuk hidup sebagai sebuah bangsa dan tinggal di negara yang bernama Indonesia. Kita seperti hidup sendiri-sendiri dan yang mengkhawatirkan kita seperti berperang melawan kita semua, "bellum omnium contra omnes".

Mengapa kita berani mengatakan seperti itu? Karena kita semakin tidak percaya satu dengan yang lain. Kita saling menunjuk kesalahan satu dengan yang lain, kita mencari kelemahan satu dengan yang lain, kita sedang berada dalam situasi di mana kita saling berperang satu dengan yang lain.

Dalam situasi seperti ini, maka manusia akan menjadi serigala bagi yang lain. Kita sedang berada dalam situasi yang dalam pepatah latin dikatakan sebagai: "homo homini lupus, bellum omnium contra omnes".

Contoh terakhir yang menunjukkan itu semua adalah peristiwa yang terjadi kemarin. Oleh karena seorang narasumber yaitu Prof Subur Budhi Santoso tidak bisa hadir dalam diskusi yang diselenggarakan Perhimpunan Pergerakan Indonesia, moderator diskusi M. Rachmad--yang mantan Wakil Direktur Eksekutif Partai Demokrat--mengatakan bahwa seorang narasumber tidak bisa hadir karena dijemput terlebih dahulu oleh Badan Intelijen Negara.

Pernyataan itu memberikan konotasi yang negatif, karena diskusi diadakan oleh organisasi masyarakat bentukan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Kebetulan setelah merebaknya kasus Hambalang, Anas dianggap sebagai penyebab terpuruknya pamor Partai Demokrat. Ketika Ketua Dewan Pembina Susilo Bambang Yudhoyono mengambil alih kepemimpinan partai, Anas merasa disingkirkan dan kemudian menempatkan dirinya sebagai lawan dari SBY.

Pembentukan Perhimpunan Pergerakan Indonesia merupakan bentuk bagian dari perlawanan itu. Ketika Prof Subur, yang juga mantan Ketua Umum Partai Demokrat, tidak bisa hadir dalam diskusi dan dijemput oleh BIN, kesan yang coba dimunculkan, Prof Subur dihalang-halangi untuk tidak merapat ke kubu Anas.

Pelibatan BIN dalam kasus ini bisa diartikan anti-demokrasi, karen ada penggunaan alat negara untuk kepentingan kekuasaan. Apalagi pernyataan tersebut tidak hanya diucapkan di dalam ruang diskusi di rumah Anas, tetapi juga diunggah di media sosial yaitu di YouTube.

Inilah yang menimbulkan kehebohan politik baru. Seakan-akan ada penggunaan alat negara untuk membungkam kebebasan berbicara. Wajarlah apabila Presiden SBY merasa terganggu dan mencoba mengetahui kebenarannya kepada Kepala BIN Letjen Marciano Norman.

Kepala BIN yang merasa tidak melakukan tindakan seperti itu, segera menggelar jumpa pers untuk meluruskan keadaan. Bahkan pihak Istana dan pemerintah menganggap tindakan yang dilakukan mantan Wakil Direktur Eksekutif Partai Demokrat itu sebagai fitnah yang bisa mendiskreditkan pemerintah.

Situasi seperti sekarang ini sungguh tidak sehat bagi kehidupan bangsa. Kita cenderung menempatkan segala persoalan pada posisi kalah dan menang. Akibatnya kita berupaya untuk bisa mengalahkan semua yang dianggap berbeda dengan kita.

Padahal dalam kehidupan berbangsa, ada kemenangan yang bukan untuk kelompok tertentu saja, tetapi harus menjadi kemenangan seluruh bangsa. Kehidupan yang lebih sejahtera misalnya, harus menjadi milik seluruh bangsa, bukan satu golongan tertentu saja.

Untuk meraih kemenangan bagi seluruh bangsa, diperlukan adanya pengorbanan. Kita diminta untuk mau membayar pajak misalnya, karena itulah alat yang paling efektif untuk mendistribusikan kemakmuran. Apabila rakyat sudah mau berkorban membayar pajak, pejabat pemerintah harus mau berkorban untuk menggunakan hasil pajak itu sebaik mungkin. Jangan sampai pajak yang dikumpulkan, dikorupsi untuk memperkaya para pejabat itu sendiri.

Demi kemajuan bangsa dan negara, banyak pengorbanan yang harus diberikan oleh kita semua. Hanya dengan kemauan untuk memberikan kepada negara, maka sebuah negara akan bisa mencapai kemakmuran bersama. Itulah yang oleh Presiden AS John F. Kennedy dikatakan: "Jangan tanya apa yang bisa diberikan negara kepada kita, tanya apa yang bisa diberikan kita kepada negara."

Agar sebuah bangsa mampu menumbuhkan rasa kebersamaan dan mempunyai kemauan untuk berkorban untuk negara, pemimpin harus mampu membangun rasa solidaritas. Pemimpin harus bisa mengikis dan menyadarkan pikiran-pikiran yang hanya saling menyalahkan serta keinginan untuk menang sendiri.

Di sinilah kita sering mengatakan bahwa kita membutuhkan pemimpin yang sekaligus seorang negarawan. Seorang negarawan tidak pernah memikirkan tentang nasibnya sendiri. Bahkan ia rela untuk mengorbankan kepentingan dirinya, demi kemajuan bangsa dan negaranya.

Itulah yang dulu dimiliki oleh para pendiri bangsa ini. Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, Agus Salim, tidak pernah memikirkan apa yang didapatkan sebagai pejabat negara. Seluruh hidupnya mereka persembahkan untuk kepentingan negara. Bung Hatta bahkan sampai terlambat menikah hanya karena memikirkan Indonesia yang lebih sejahtera.

Kita tidak melihat sikap itu ada pada para pemimpin kita sekarang ini. Yang ada dalam benaknya hanya: "Saya..., saya..., saya..., dan lagi..., lagi..., lagi..." Tanpa ada sikap kenegarawanan, maka tidak usah heran apabila pihak lain selalu dianggap sebagai lawan. Akibatnya kita masuk dalam situasi "bellum omnium contra omnes" seperti sekarang ini.

Akankah kita terus biarkan situasi seperti ini terus berlangsung? Kita tidak pernah akan bisa mencapai kemajuan, apabila tidak mampu membangun kebersamaan, membangun sikap saling percaya. Kita harus mau menghentikan situasi saling menyalahkan dan mencari kelemahan, apabila tidak ingin negeri kita tercinta ini kemudian tercerai-berai.


0
2.6K
7
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan