- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
6 Kisah Inspiratif Para Petinggi Indonesia Jaman Dulu


TS
resetter12
6 Kisah Inspiratif Para Petinggi Indonesia Jaman Dulu

Spoiler for No Repsol :
Kalo ngeliat bobroknya pemerintahan Indonesia Jaman sekarang, mungkin mereka ga pernah berkaca ke pemerintahan Indonesia jaman dulu yang bersih dan bersahaja
Berikut Kisahnya :
Spoiler for 1:
Lopa, menteri yang beli kado Rp 7.500 di mal untuk cucu

Baharuddin Lopa adalah legenda tentang aparat negara yang jujur, sederhana serta tegas. Baharuddin Lopa menjadi teladan tentang pentingnya kejujuran dalam menjalani tugas-tugas keseharian sebagai abdi negara.
Banyak cerita kesederhanaan mantan jaksa agung dan menkumham itu. Salah satunya tentang rumahnya yang sangat sederhana di kawasan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Begitu pula mobil Toyota Kijangnya yang juga sangat sederhana untuk ukuran seorang pejabat setingkat menteri.
Di luar itu, ada sebuah cerita menggetarkan tentang kesederhanaan Baharuddin Lopa seperti ditulis dalam buku Apa dan Siapa Baharuddin Lopa, karya Hendro Dewanto dkk. Peristiwa ini terjadi saat Lopa menjabat sebagai menkumham pada kurun Februari sampai Juni 2001.
Suatu ketika, Lopa pulang dari kantor di Depkumham di Jl Rasuna Said, Kuningan menuju rumahnya di Pondok Bambu. Kepada ajudannya, Enang Supriyadi Samsi, Lopa meminta mampir dulu ke Bekasi untuk menjenguk cucunya, anak dari putrinya Aisyah. Sopir pun mengarahkan mobil menuju rumah Aisyah di Bekasi.
Di tengah perjalanan, Lopa singgah lebih dulu di sebuah mal, membeli sesuatu untuk cucunya. Menurut Enang S Samsi, saat itu pengunjung mal menatap Lopa dengan penuh hormat. Lopa lantas membeli sebuah mainan anak-anak yang terbuat dari plastik.
Menurut Enang S Samsi, mainan itu susah disebut namanya. Dia hanya mengingat, bentuknya sederhana hanya tangkai plastik, di atasnya berbentuk lingkaran yang apabila diputar mengeluarkan bunyi-bunyian. Harganya murah hanya Rp 7.500.
Kasir pun terheran-heran saat Lopa membayar mainan itu. Pikir kasir itu, hanya menteri Lopa yang membeli mainan untuk cucunya semurah itu.
Enang pun mengaku merenung sepanjang perjalanan menuju rumah Aisyah. Jika dirinya menteri, masih sempatkah singgah di mal untuk membelikan mainan buat cucunya.
Itulah perhatian Lopa untuk cucunya. Bukan harga mainan yang penting tetapi ketulusan kakek yang dalam kelelahan setelah bekerja sempat memberikan sisa tenaga untuk cucunya. Sungguh sebuah teladan yang luar biasa dari Baharuddin Lopa.
Spoiler for 2:
Bung Hatta, jemput ibunda pun tak bersedia pakai mobil dinas

Sungguh sulit masuk di akal ketika menemukan pejabat publik pada era sekarang bergelimang mobil mewah. Lihatlah parkiran gedung rakyat, gedung DPR/MPR yang seperti showroom mobil mewah. Sungguh ironis pula jika menemukan monil dinas pejabat masuk sembarangan ke jalur publik, jalur bus Transjakarta.
Kenyataan-kenyataan tersebut ironis karena sebenarnya ada contoh keteladanan bagaimana menggunakan fasilitas negara seperti yang dipertontonkan oleh proklamator Bung Hatta.
Kisah tentang Bung Hatta dan mobil dinasnya ini diceritakan oleh pengusaha Hasjim Ning dalam otobiografinya karangan AA Navis. Hasjim Ning juga merupakan keponakan Bung Hatta.
Hasjim Ning bercerita tentang Bung Hatta yang dikenal sebagai pemimpin berjiwa bersih, jujur, dan sederhana. Cerita ini terjadi pada awal tahun 1950, saat itu Indonesia dalam bentuk Republik Indonesia Serikat, disingkat RIS, negara federasi yang berdiri pada tanggal 27 Desember 1949 sebagai hasil kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar.
Bung Hatta bertindak sebagai perdana menteri sementara Presiden adalah Bung Karno. Pada suatu hari, Bung Hatta kangen dengan ibundanya yang sudah lama tidak ditemui. Hasjim Ning diminta Bung Hatta untuk menjemput ibundanya, Ibu Saleha atau dipanggil Hasjim dengan sebutan Mak Tuo ke Sumedang, Jawa Barat.
Dalam pikiran Hasjim Ning, seharusnya Bung Hatta sebagai anak yang datang menjemput ibunya. Sebagai perdana menteri, hal itu akan baik bagi pamor Bung Hatta. Terutama apabila dalam kunjungan turut disertakan para wartawan. Dalam pikiran Hasjim Ning juga, Ibu Saleha akan sangat bahagia apabila mendapat kunjungan dari anaknya yang menjabat perdana menteri.
Namun, Hasjim tidak bisa menyampaikan pikirannya itu kepada Bung Hatta. "Sebab aku maklum, apabila Bung Hatta telah berkata, kata-katanya itu sudah ia pikirkan dengan seksama. Maka ia tidak akan mengubahnya," demikian Hasjim Ning.
Namun, Hasjim mengusulkan agar Mak Tuo dijemput dengan mobil Bung Hatta sendiri. Maksud Hasjim, biar Mak Tuo senang dan bangga.
Apa jawaban Bung Hatta? "Tidak bisa. Pakai saja mobil Hasjim," kata Bung Hatta. Menurut Hasjim, apa salahnya ibunda seorang perdana menteri naik mobil anak kandungnya? Siapa tidak akan setuju? Rakyat juga akan menerima dengan wajar karena menghormati pemimpinnya.
Alasan Bung Hatta menunjukkan betapa bersih dan jujur jiwanya. "Mobil itu bukan kepunyaanku. Mobil itu milik negara," kata Bung Hatta.
Begitulah Bung Hatta, sosok yang selalu merasa bersalah jika menyalahgunakan wewenang dan fasilitas negara yang diberikan kepadanya. Dia tidak mau fasilitas negara digunakan untuk kepentingan pribadi.
Mari berpikir, adakah pejabat kita sekarang seperti Bung Hatta? Yang sering kita temui adalah tipikal pejabat yang minta fasilitas paling eksklusif untuk keluarga dan kerabatnya. Mereka melakukannya tanpa rasa malu!
Spoiler for 3:
KH Saifuddin Zuhri, mantan menteri yang dagang beras di Glodok

Tragis jika Indonesia kini dihadapkan dengan banyaknya pejabat yang hidup bermewah-mewahan atau bahkan tak malu mencari sampingan dari korupsi. Dulu di zaman perjuangan, banyak sosok-sosok pejuang dan pejabat yang tidak pernah memikirkan materi untuk pribadi.
Sederet pejabat justru berlomba-lomba memberikan kontribusi terbaiknya bagi bangsa. Salah satunya KH Saifuddin Zuhri yang dikenal sebagai pejuang, pemuka agama sekaligus pendidik terkemuka.
Sejak kecil Saifuddin telah diajarkan hidup bersahaja dalam kesederhanaan. Bagaimana tidak, ibunya hanya seorang perajin batik sedang bapaknya seorang petani. Padahal kedua orang tuanya, Muhammad Zuhri dan Siti Saudatun, adalah anak dari pemuka agama yang terkenal di Banyumas, Jawa Tengah.
Latar belakang kedua orang tuanya juga membuat Saifuddin banyak menerima ilmu agama. Sejak kecil dirinya sudah disuapi pendidikan agama hingga besar. Hingga kemudian di umurnya yang ke-17 tahun, Saifuddin meninggalkan Banyumas dan hijrah ke Solo.
Di Solo dirinya sempat berpindah-pindah sekolah karena mulai aktif di dunia jurnalistik. Dari pengalamannya menulis ini, berbagai artikel, berita dan buku sudah dia terbitkan. Bukan hanya aktif menulis, pemuda dari Gerakan Pemuda Anshor tersebut juga ikut angkat senjata dengan pasukan Hizbulllah bersama Jenderal Sudirman di pertempuran Ambarawa. Negara pun memberikan Tanda Kehormatan Bintang Gerilya kepadanya.
Jabatan di lembaga Islam dan pendidikan hingga jurnalis membuat namanya semakin dikenal orang. Puncaknya, Bung Karno memintanya menjadi Menteri Agama menggantikan KH Wahib Wahab yang mengundurkan diri.
"Penunjukan Saudara sudah saya pikir masak-masak. Telah cukup lama saya pertimbangkan. Sudah lama saya ikuti sepak terjang Saudara sebagai wartawan, politisi, dan pejuang. Saya dekatkan Saudara menjadi anggota DPA. Saya bertambah simpati. Baru-baru ini Saudara saya ajak keliling dunia, dari Jakarta ke Beograd, Washington, lalu Tokyo. Saya semakin mantap memilih Saudara sebagai Menteri Agama," ujar Bung Karno ketika itu.
Di jabatan strategis ini dirinya diuji, suatu kali adik iparnya, Mohammad Zainuddin Dahlan menghadap dan memohon untuk dihajikan dengan biaya dinas (abidin) dari Departemen Agama. Meski sebenarnya lazim menghajikan orang yang potensial apalagi pejuang kemerdekaan, namun Saifuddin menolak permintaan adiknya.
"Sebagai orang yang berjasa dan mengingat kondisi perekonomianmu belum memungkinkan, sudah layak jika Departemen Agama menghajikan. Apalagi kamu pernah berjuang dalam perang kemerdekaan. Tapi ada satu hal yang menyebabkan saya tidak mungkin membantu melalui haji departemen. Karena kamu adikku. Coba kamu orang lain, sudah lama aku hajikan," ujar KH Saifuddin Zuhri kepada iparnya.
Tak hanya itu, selepas menjadi Menteri, Saifuddin tetapa berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang halal dan bersahaja. Dikutip dari buku "Karisma Ulama Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU" karangan Saifullah Ma'shum, jika banyak mantan menteri bergelut dalam bisnis yang prestise, justru Saifuddin memilih menjalani profesi sebagai pedagang beras di Glodok.
Sehabis shalat Dhuha, tanpa pengetahuan keluarganya, Saifuddin ke pasar Glodok berdagang beras. Selepas Zuhur, baru dirinya pulang. Kebiasaan menghilang ini dicurigai anak-anak Saifuddin. Sampai akhirnya salah satu anaknya mengelus dada karena ayahnya ketahuan berdagang beras di Pasar Glodok.
Spoiler for 4:
Sjafruddin, menkeu yang sobek kain kasur untuk gurita bayinya

Pada era sekarang, ada menteri yang harus mundur karena menjadi tersangka korupsi. Sungguh memprihatinkan mengingat menteri adalah kedudukan yang sangat terhormat. Menteri adalah pejabat tertinggi di sebuah departemen dengan pendapatan besar dan tunjangan yang lengkap dari rumah sampai kendaraan. Maka itu, kebangetan kalau sampai pejabat setingkat menteri sampai korupsi.
Tidakkah ingat bagaimana pada masa perjuangan, banyak menteri yang tidak pernah memikirkan kekayaan diri sendiri. Bagi mereka, negara dan bangsa harus diutamakan. Kesejahteraan rakyatlah yang menjadi nomor satu.
Itu pula yang menjadi pedoman Sjafruddin Prawiranegara, sosok yang pernah menjadi menteri keuangan pada masa perjuangan. Sjafruddin Prawiranegara pernah menjadi anggota BP KNIP, cikal bakal DPR/MPR.
Syafrudin Prawiranegara juga pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, Menteri Keuangan, dan Menteri Kemakmuran. Dialah Menteri Keuangan yang pertama, dijabat pada 1946, sedangkan menteri kemakmuran dijabat pada tahun 1947. Pada saat menjabat sebagai menteri kemakmuran inilah terjadi Agresi Militer II dan menyebabkan terbentuknya PDRI (Pemerintah Darurat RI).
Oleh Soekarno dan Hatta, Syafruddin ditugaskan membentuk PDRI. Ketika Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap pada Agresi Militer II, kemudian diasingkan oleh Belanda ke Pulau Bangka, 1948, Syafruddin menjadi Ketua Pemerintah Darurat RI pada 1948.
Cerita kesederhanaan Sjafruddin muncul saat menjabat sebagai menkeu. Keadaan keuangan negara sedang sulit sehingga para pegawai negeri sipil maupun militer tidak digaji sebagaimana mestinya.
Seperti dikutip dari biografi Sjafruddin Prawiranegara, Lebih Takut Kepada Allah SWT karangan Ajip Rosidi terbitan Pustaka Jaya, keluarga Sjafruddin pun ikut merasakan hidup susah meskipun menjabat sebagai menteri. Untuk mencukupi kebutuhan sehari hari, Sjafruddin harus menjual barang-barang yang dimiliki. Padahal yang mereka miliki hanya beberapa kopor pakaian karena harta benda lain ditinggal di rumah sewaan di Bandung.
Rumah itu dititipkan kepada seseorang yang kemudian menggelapkannya. Waktu anak ketiga lahir, yaitu Chalid, keadaan keluarga begitu buruk sehingga untuk membuat gurita buat bayi, mereka terpaksa menyobek kain sprei kasur karena kain biasa tak ada lagi.
Saat pemerintah RI pindah ke Yogyakarta, keluarga Sjafruddin ikut boyongan. Di Yogya, mereka berpindah-pindah tempat hingga akhirnya menempati rumah yang lebih besar di Jalan Taman Yuwono. Meskipun kedudukannya sebagai menteri keuangan, tetapi dibandingkan kehidupan kala menjadi kepala inspeksi pajak di Kediri, keadaannya jauh lebih sederhana.
Namun, hal itu tidak pernah mengurangi pengabdian Sjafruddin kepada bangsa dan negara. Tidak pernah ada dalam pikirannya untuk korupsi. Terlintas pun tidak.
Pada masa Orde Baru, Sjafruddin pernah memberi saran agar pegawai negeri mendapat nafkah yang cukup untuk menghindari suap dan korupsi. Namun dia dianggap sebagai musuh politik yang sarannya tak perlu didengar. Orde Baru pun kemudian menjadi kubangan raksasa praktik korupsi yang masih terus tampak hingga sekarang, Orde Reformasi.
Spoiler for 5:
Trimurti, mantan menteri dengan rumah kontrakan di akhir hayat

Satu pahlawan dengan teladan kesederhanaan yang tak bisa dilupakan dalam perjuangan bangsa ini adalah SK Trimurti atau lengkapnya Surastri Karma Trimurti. Istri dari Sayuti Melik ini mengawali pengabdiannya menjadi pengajar, tetapi dirinya lebih terkenal sebagai jurnalis di Indonesia.
Sebelum era kemerdekaan, dia adalah jurnalis dengan pena yang tajam. Tak jarang dia sering keluar masuk bui. Meskipun kerap bolak-balik masuk penjara dan mengalami siksa sampai harus melahirkan anak pertamanya di balik jeruji besi, tangan Trimurti tidak pernah berhenti menulis.
Pada saat aktif di Partai Buruh Indonesia, 18 bulan setelah merdeka Trimurti mendapat tawaran menjadi menteri. Trimurti ditawari untuk masuk ke dalam kabinet dan menjadi menteri tenaga kerja pada era 1947-1948. Trimurti saat itu ditawari sebagai menteri oleh Setiajid, salah satu anggota formatur kabinet yang juga rekan separtai. Pertama, ajakan menjadi menteri dijawab spontan, tidak!
"Saya merasa tidak mampu, saya belum pernah menjadi menteri," kata Trimurti dikutip dari buku SK Trimurti, wanita pengabdi bangsa karya Soebagijo IN terbitan PT Gunung Agung. Mendengar jawaban Trimurti, Setiajid menukas. "Bung Karno juga belum pernah menjadi presiden." Semalaman Trimurti berpikir sebelum menerima jabatan sebagai menteri. Bagi Trimurti, jabatan adalah harus bisa dipertanggungjawabkan, tidak bisa asal diambil karena menjanjikan kedudukan. Posisi sebagai menteri dijalani Trimurti dengan penuh pengabdian meskipun kondisi bangsa yang semrawut dalam bidang politik dan ekonomi akibat rongrongan Belanda.
Selepas berhenti dari jabatannya, Trimurti kembali ke bangku kuliah. Tetapi, di saat mereguk nikmatnya kebebasan pendidikan Soekarno menawari Trimurti untuk menjadi menteri sosial pada tahun 1959. Tak tergiur dan tak ingin dianggap haus kekuasaan, Trimurti menolak. Dia lebih memilih tetap menjalani kehidupan sebagai mahasiswa ekonomi di UI.
Berbeda dengan kehidupan mantan menteri di zaman sekarang ini, Trimurti selama sisa hidupnya terang-terangan menolak semua pemberian dan fasilitas negara. Padahal itu adalah haknya.
Jika ada mantan menteri yang merasakan berbagai macam penderitaan demi kemajuan bangsa dan negaranya, salah satunya adalah SK Trimurti. Suka duka silih berganti, keluar masuk penjara, hidup melarat, dikejar-kejar musuh, berpisah dengan keluarga menebalkan semangat pengabdian SK Trimurti pada bangsa dan negaranya.
Trimurti adalah sosok pejuang yang tidak pernah setuju dengan ungkapan: tujuan menghalalkan setiap sarana (Het doel, heilight de midellen). Sebab kalau begini, orang bisa menyiksa, mengkhianati orang lain, mencelakakan orang lain demi tujuan pribadi atau golongan.
Dengan kesederhanaan dan keterbatasan ekonomi Trimurti menjalani hidupnya hingga berhenti di ujung umur yang ke 96. Penyakit tekanan darah tinggi dan gangguan hemoglobin merenggut nyawanya. Trimurti meninggal di RSPAD Gatot Soebroto. Sebelum meninggal, Trimurti tinggal di rumah kontrakan yang sempit di Bekasi.
Di rumah kontrakannya, di antara deretan foto-fotonya bersama keluarga, terdapat sebuah lukisan yang paling besar bergambar Bung Karno menyematkan Bintang Mahaputra tingkat V padanya.
Kepada Trimurti, Soebagijo IN mengutipkan terjemahan syair dari Henriette Roland Horst. "Bukanlah kami pembina bangunan candi, kami hanyalah pengangkut batu. Kami adalah angkatan yang harus punah, agar dari kubur kami tumbuh angkatan yang lebih megah." Trimurti juga tidak pernah mengaku sebagai pembina bangunan candi, tetapi tak bisa dipungkiri sejarah, dia dan pejuang lainnya ikut mendirikan dan membangun perumahan yang kini bernama Republik Indonesia.
sumur
bantu


yang ke 6 ada dibawah gan,

0
3.7K
Kutip
30
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan