- Beranda
- Komunitas
- Food & Travel
- Catatan Perjalanan OANC
Argopuro, Juni 2013


TS
rhoads
Argopuro, Juni 2013
Gunung Argopuro merupakan bagian dari Pegunungan Iyang yang terletak di propinsi Jawa Timur, tepatnya di antara kabupaten Probolinggo, kab. Bondowoso, kab. Situbondo dan kab. Jember. Puncak tertingginya 3088 mdpl dengan kawah yang kini sudah tak aktif lagi walaupun masih menunjukkan sedikit gejala vulkanis berupa bau belerang yang tidak terlalu menyengat serta beberapa puncak dengan ketinggian yang lebih rendah di sekitarnya.
Pendakian gunung Argopuro dapat ditempuh lewat jalur Bermi kecamatan Krucil kab. Probolinggo serta dari jalur Baderan kec. Sumber Malang kab. Situbondo. Jarak tempuh untuk menuju puncak mencapai 20 km sehingga butuh waktu setidaknya 4-5 hari sejak berangkat sampai kembali ke pos pendakian, belum termasuk perjalanan untuk menuju pos pendakian, membuatnya relatif sepi dari kegiatan pendakian. Sebenarnya ada satu jalur pendakian lagi yaitu lewat Tancak kec. Pati kab. Jember, tapi jalur ini jauh lebih panjang lagi dibandingkan dua jalur lainnya membuat jalur ini biasanya hanya dilewati oleh patroli polisi hutan bersepeda motor.
Pada bulan Juni 2013, kami dari KMPA PLANTAGAMA Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yaitu Nino “kiting” dan Amri “kenthong” serta seorang alumni Fakultas Pertanian UGM Wawan “gendut” melakukan pendakian ke gunung Argopuro. Sebelum mendaki, sebaiknya kita membuat Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) di kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam yang ada di kota Probolinggo ataupun di kota Jember tetapi pendaki juga bisa mendapatkannya di pos pendakian. Berikut ini adalah sedikit cerita dari perjalanan panjang melintasi gunung Argopuro dari sisi timur di kab. Situbondo sampai ke barat di kab. Probolinggo
Hari 0 Jum’at 14 Juni 2013 (menuju basecamp Baderan)
Basecamp Baderan dapat dicapai dengan naik ojek dari alun-alun Besuki yang terletak di pinggir jalan raya Probolinggo - Situbondo dengan tarif Rp30.000,- atau dengan angkutan pedesaan jurusan Sumber Malang dengan tarif setengahnya tapi beroperasi hanya sampai jam 2 siang. Karena kami tiba di Besuki pukul 16.00 jadi cuma ada ojek sebagai pilihan transportasi. Di tengah perjalanan kami harus melaporkan diri di pos Polsek Sumber Malang untuk pencatatan identitas plus sedikit pungli seikhlasnya (tahu sama tahu lah....). Di basecamp kami bertemu dengan penjaga bernama Bapak Samhaji untuk membuat SIMAKSI (karena pada pagi harinya saat datang ke kantor BKSDA di kota Probolinggo kami hanya bertemu dengan penjaga kantor padahal saat itu masih jam kerja). Setelah urusan administrasi selesai kami ditawari untuk bermalam di kantor tapi kami memilih bermalam di wisma pendaki saja yang tepat berada di depan pos, dengan dibekali sebuah rice cooker oleh Pak Samhaji, haha.... Malamnya kami ngobrol sampai jam 10 malam bersama Pak Samhaji tentang rute pendakian dan jalur yang harus dilalui.
Hari 1 Sabtu 15 Juni 2013 (basecampBaderan – pos mata air 1)
Jalur pendakian yang sebenarnya berada 100 m menuruni jalan raya dari basecamp ditandai gapura jalur pendakian Argopuro. Dengan tarif Rp150.000,- per orang kami ditawari ojek motor sampai pos Cikasur, estimasi waktu tempuh berjalan kaki sekira 9 jam bisa dipangkas hingga 1/3-nya saja! Dengan memilih berjalan kaki, diiringi gerimis pukul 07.45 kami berangkat potong kompas lewat pemukiman penduduk yang ternyata hanya butuh 15 menit untuk sampai di jalan agak lebar berbatu yang merupakan jalur pendakian yang biasa dilalui. Tidak lama kemudian, di persimpangan kami bertanya jalur pendakian kepada warga yang ternyata juga bertujuan untuk mencari rumput di Cikasur, maka kami ikuti saja jalur yang mereka lalui yang katanya lebih pendek daripada jalur pendakian yang memutari bukit. Menurut informasi dari warga tersebut pula, pertemuan dengan jalur pendakian hanya 1 jam sedangkan lewat jalur biasa bisa mencapai 2 jam.
Sesuai kaidah geometri bidang miring, jarak yang lebih pendek berkonsekuensi sudut tanjakan lebih besar, artinya trek lebih berat! Kami melupakan sebuah fakta penting bahwa warga ini sudah sering naik-turun gunung dengan bekal hanya sebotol air minum sementara kami menggotong beban setidaknya 20 kg. Jalan setapak cuma selebar 30 cm dengan rumput tinggi di kanan-kiri ditambah jalan becek setelah hujan, landasan tanah yang lembek membuat alas kaki berkali-kali tersangkut sementara lapisan tanah yang keras menjadi sangat licin sehingga berkali-kali juga terpeleset, tidak butuh waktu lama bagi kami untuk tertinggal jauh dari warga, juga buat stamina saya untuk drop! Setiap 1 jam perjalanan harus diselingi dengan 30 menit istirahat, membuat kami kehabisan banyak waktu sehingga target untuk bermalam di pos Cikasur diganti dengan pos “dimanapunbisamendirikantenda”. Kami sepakat untuk tidak sedikitpun melakukan perjalanan malam karena sama-sama baru pernah mendaki Argopuro dan ditetapkan untuk berhenti berkemah maksimal pukul 16.00 agar lebih leluasa dalam mendirikan tenda.
Pukul 13.30 kami istirahat makan siang selama 30 menit di jalur yang agak datar sambil meratapi nasib tentang jalur yang baru saja kami lalui sambil membayangkan bahwa perjalanan masih sangat amat baru dimulai, tapi perut kenyang membuat otak kembali waras serta ucapan lebih manusiawi. 30 menit berjalan ternyata kami sudah sampai di pos mata air 1. Dengan pertimbangan waktu yang nanggung, jadilah kami nge-camp aja.
Di pos mata air 1 ada tanah lapang cukup untuk 5 – 7 tenda tapi kondisinya terbuka tanpa wind breaker serta posisinya di tepi jurang berpohon rindang tempat lutung bersarang. Kami mendirikan tenda tepat di tengah jalur, berharap tidak ada motor lewat atau setidaknya pendaki lain yang mungkin terganggu dengan keberadaan tenda kami. Dan sesuai namanya, terdapat aliran sungai kecil yang katanya selalu mengalir walaupun sedang musim kemarau, hanya berjarak 20 m menuruni persimpangan ke arah kiri kalau dari bawah, air segar melimpah siap membasahi tubuh yang lelah setelah seharian melangkah.
Hari 2 Minggu 16 Juni 2013 (pos mata air 1 – Cikasur)
Pukul 7 pagi, kami yang masih ngantuk-ngantuk-malessedang masak sarapan ketika sayup-sayup mendengar suara meraung seperti gergaji mesin tapi pasti bergerak mendekat dengan cepat. Tak lama kemudian suara yang sedemikian jelas itu membuat kami tiba-tiba kembali sigap merapikan segala yang bertebaran di dalam tenda. Tukang ojek bersepeda motor jadul pabrikan Jepang dengan modifikasi hanya pada ban yang diganti dengan ban motor trail membawa seorang pendaki bertas ransel tidak terlalu besar melewati kami yang ngiler antara menghirup aroma sarapan juga membayangkan kalau punya uang yang berlebih akan mendaki Argopuro lagi dengan naik ojek dari basecamp.
Pukul 8, segala peralatan dan perlengkapan telah tertata rapi dalam carrier, tapi gerimis menunda keberangkatan kami yang berteduh di bawah flysheet. Pukul 9 kami berangkat saat gerimis sedikit berkurang. Kondisi jalur yang dilalui masih sama dengan vegetasi hutan lebat yang sama dan kondisi fisik saya yang juga masih sama KO-nya dibandingkan 2 partner yang masih sama OK-nya!
Pukul 11.30 kami terpaksa berhenti cukup lama, sekira 1 jam, karena ada kerusakan pada tas carrier Wawan. Sementara Wawan menjahit, Amri dan saya mencoba orientasi medan sambil membaca peta dengan kesimpulan bahwa pos mata air 2 sudah terlewati tanpa terdeteksi, mungkin tidak ada papan tanda pos serta tanda panah ke arah mata air, demikian kami menghibur diri.
Sesuai dengan yang kami baca di peta juga, medan selanjutnya adalah menuruni bukit, dan sesuai dugaan kami saat orientasi medan, kami akan tiba di padang rumput luas, hamparan alang-alang hijau kekuningan dengan bunga putih di pucuknya diselingi semak-semak berbunga kuning serta ungu membuat kami terpana dan terpesona untuk selanjutnya terlena dengan kegiatan bernarsis ria di depan kamera, penuh gaya laksana top model ibukota!
Pukul 2 siang, saat kami istirahat makan siang, kembali raungan sepeda motor terdengar dari arah Cikasur dengan bawaan yang lebih heboh, beberapa jerigen nyanthel di atas tumpukan setidaknya 4 karung yang penuh dengan entah apakah isinya. Kali ini kami lebih bisa menguasai diri karena medan datar dengan bentang hutan cemara dan savana silih berganti membuat kami berasumsi lebih bisa menikmati pemandangan dengan berjalan kaki dibandingkan kalo ngojek. Euforia belum habis ketika tiba-tiba terdengar kepak sayap burung merak yang terbang dari persembunyiannya di semak-semak! Sayang kami yang terkejut tidak sempat menangkap momen menakjubkan itu.
Pukul 15.30 kami tiba di reruntuhan bangunan kecil di pinggir lapangan luas, tapi masih butuh berjalan 30 menit lagi untuk sampai di pos Cikasur. Konon pemerintah kolonial Belanda pernah membangun peternakan rusa lengkap dengan pabrik pengalengan dagingnya. Pada masa pendudukan Jepang, Cikasur dijadikan landasan pesawat terbang perintis yang bekas-bekas masih terlihat jelas beserta reruntuhan bangunan yang lebih besar di sisi shelter Cikasur. Shelter ini juga sekaligus titik pertemuan jalur pendakian dari Baderan dengan jalur Tancak. Turun sedikit sebelum tiba di shelter terlihat jelas aliran sungai yang tak pernah kering yang sebagian permukaannya tertutupi tumbuhan selada air segar siap santap tanpa dimasak. Hujan deras dan kabut tebal seusai kami mendirikan tenda membuat pemandangan menjadi demikian syahdu dengan alunan merdu nyanyi satwa savana saling beradu sore itu.
Hari 3 Senin 17 Juni 2013 (Cikasur – alun-alun Lonceng)
Tak cukup waktu untuk menjelajahi seluruh keindahan Cikasur karena jalan masih teramat jauh, mustahil berlabuh bila kaki tak terkayuh (lagunya Iwan Fals, dengan sedikit improvisasi, hehe....). Seperti pagi sebelumnya, langit yang mendung kembali mencurahkan sebagian rahmat-Nya, menahan kami untuk sementara sampai pukul 9 pagi ketika kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dalam cuaca yang masih gerimis. Jalan setapak memotong padang rumput ke arah kiri kalau dari bawah merupakan jalur ke Tancak sedangkan ke arah puncak mengikuti jalan setapak ke arah kanan mendaki bukit di sisi bekas landasan pacu pesawat.
Sampai di atas bukit, perjalanan kembali dihiasi oleh hutan yang banyak pohon diantaranya telah gosong terbakar serta savana silih berganti dengan medan yang relatif datar. Banyaknya waktu istirahat karena fisik saya yang masih aja kepayahan membuat estimasi waktu tempuh banyak meleset. Setelah 2,5 jam berjalan, kondisi jalur pendakian berubah total menjadi turunan dengan jurang di kiri serta tebing di kanan, jalan setapak yang sempit menjadi tidak terlihat karena rumput lebat yang tingginya mencapai 2 m. 1 jam lamanya kami menuruni lembah untuk kemudian menyeberangi sungai sebelum sampai di shelter Cisentor, tempat kami beristirahat makan siang.
Shelter Cisentor merupakan titik pertemuan jalur pendakian dari Baderan dengan dari Bermi. Berbeda dengan sungai di Cikasur yang kami bisa memilih jalur menyisir punggungan di atasnya, di Cisentor aliran sungai langsung memotong jalur sehingga kami harus menceburkan diri walaupun kedalamannya tak lebih dari mata kaki saja.
Pukul 13.30 kami berangkat lagi, jalur ke puncak adalah yang menanjak di depan shelter sedangkan jalur ke Bermi ada di sisi shelter searah dengan aliran sungai. Sebagaimana situasi menuruni lembah, demikian juga yang terjadi ketika menaikinya. Setelah 30 menit melewati tanjakan semak rimbun kami sampai di savana lagi kemudian bergantian hutan dan savana lagi dengan medan naik yang tidak terlalu terjal.
Pukul 15.30 kami tiba di Rawa Embik. Terdapat aliran sungai kecil tempat kami mengisi penuh semua wadah air karena rencana perjalanan turun lewat jalur trabasan tidak akan ada sumber air lagi sampai ke danau Taman Hidup. 1 jam berjalan lepas Rawa Embik vegetasi sudah berganti dengan edelweis dengan sedikit semerbak aroma belerang yang menandakan kami sudah berada dekat dengan puncak.
Pukul 17.30 kami tiba di alun-alun Lonceng yang merupakan simpang 4 ke arah puncak Argopuro, puncak Rengganis dan jalur trabasan. Sesaat setelah selesai mendirikan tenda di kawasan yang terlindung pepohonan besar kami bertemu dengan warga yang membawa rerumputan dari puncak Rengganis yang katanya akan digunakan untuk campuran minuman keras, mungkin itu adalah tumbuhan akar wangi, entahlah....
Pendakian gunung Argopuro dapat ditempuh lewat jalur Bermi kecamatan Krucil kab. Probolinggo serta dari jalur Baderan kec. Sumber Malang kab. Situbondo. Jarak tempuh untuk menuju puncak mencapai 20 km sehingga butuh waktu setidaknya 4-5 hari sejak berangkat sampai kembali ke pos pendakian, belum termasuk perjalanan untuk menuju pos pendakian, membuatnya relatif sepi dari kegiatan pendakian. Sebenarnya ada satu jalur pendakian lagi yaitu lewat Tancak kec. Pati kab. Jember, tapi jalur ini jauh lebih panjang lagi dibandingkan dua jalur lainnya membuat jalur ini biasanya hanya dilewati oleh patroli polisi hutan bersepeda motor.
Pada bulan Juni 2013, kami dari KMPA PLANTAGAMA Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yaitu Nino “kiting” dan Amri “kenthong” serta seorang alumni Fakultas Pertanian UGM Wawan “gendut” melakukan pendakian ke gunung Argopuro. Sebelum mendaki, sebaiknya kita membuat Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) di kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam yang ada di kota Probolinggo ataupun di kota Jember tetapi pendaki juga bisa mendapatkannya di pos pendakian. Berikut ini adalah sedikit cerita dari perjalanan panjang melintasi gunung Argopuro dari sisi timur di kab. Situbondo sampai ke barat di kab. Probolinggo
Hari 0 Jum’at 14 Juni 2013 (menuju basecamp Baderan)
Basecamp Baderan dapat dicapai dengan naik ojek dari alun-alun Besuki yang terletak di pinggir jalan raya Probolinggo - Situbondo dengan tarif Rp30.000,- atau dengan angkutan pedesaan jurusan Sumber Malang dengan tarif setengahnya tapi beroperasi hanya sampai jam 2 siang. Karena kami tiba di Besuki pukul 16.00 jadi cuma ada ojek sebagai pilihan transportasi. Di tengah perjalanan kami harus melaporkan diri di pos Polsek Sumber Malang untuk pencatatan identitas plus sedikit pungli seikhlasnya (tahu sama tahu lah....). Di basecamp kami bertemu dengan penjaga bernama Bapak Samhaji untuk membuat SIMAKSI (karena pada pagi harinya saat datang ke kantor BKSDA di kota Probolinggo kami hanya bertemu dengan penjaga kantor padahal saat itu masih jam kerja). Setelah urusan administrasi selesai kami ditawari untuk bermalam di kantor tapi kami memilih bermalam di wisma pendaki saja yang tepat berada di depan pos, dengan dibekali sebuah rice cooker oleh Pak Samhaji, haha.... Malamnya kami ngobrol sampai jam 10 malam bersama Pak Samhaji tentang rute pendakian dan jalur yang harus dilalui.
Spoiler for basecamp Baderan:
Hari 1 Sabtu 15 Juni 2013 (basecampBaderan – pos mata air 1)
Jalur pendakian yang sebenarnya berada 100 m menuruni jalan raya dari basecamp ditandai gapura jalur pendakian Argopuro. Dengan tarif Rp150.000,- per orang kami ditawari ojek motor sampai pos Cikasur, estimasi waktu tempuh berjalan kaki sekira 9 jam bisa dipangkas hingga 1/3-nya saja! Dengan memilih berjalan kaki, diiringi gerimis pukul 07.45 kami berangkat potong kompas lewat pemukiman penduduk yang ternyata hanya butuh 15 menit untuk sampai di jalan agak lebar berbatu yang merupakan jalur pendakian yang biasa dilalui. Tidak lama kemudian, di persimpangan kami bertanya jalur pendakian kepada warga yang ternyata juga bertujuan untuk mencari rumput di Cikasur, maka kami ikuti saja jalur yang mereka lalui yang katanya lebih pendek daripada jalur pendakian yang memutari bukit. Menurut informasi dari warga tersebut pula, pertemuan dengan jalur pendakian hanya 1 jam sedangkan lewat jalur biasa bisa mencapai 2 jam.
Sesuai kaidah geometri bidang miring, jarak yang lebih pendek berkonsekuensi sudut tanjakan lebih besar, artinya trek lebih berat! Kami melupakan sebuah fakta penting bahwa warga ini sudah sering naik-turun gunung dengan bekal hanya sebotol air minum sementara kami menggotong beban setidaknya 20 kg. Jalan setapak cuma selebar 30 cm dengan rumput tinggi di kanan-kiri ditambah jalan becek setelah hujan, landasan tanah yang lembek membuat alas kaki berkali-kali tersangkut sementara lapisan tanah yang keras menjadi sangat licin sehingga berkali-kali juga terpeleset, tidak butuh waktu lama bagi kami untuk tertinggal jauh dari warga, juga buat stamina saya untuk drop! Setiap 1 jam perjalanan harus diselingi dengan 30 menit istirahat, membuat kami kehabisan banyak waktu sehingga target untuk bermalam di pos Cikasur diganti dengan pos “dimanapunbisamendirikantenda”. Kami sepakat untuk tidak sedikitpun melakukan perjalanan malam karena sama-sama baru pernah mendaki Argopuro dan ditetapkan untuk berhenti berkemah maksimal pukul 16.00 agar lebih leluasa dalam mendirikan tenda.
Pukul 13.30 kami istirahat makan siang selama 30 menit di jalur yang agak datar sambil meratapi nasib tentang jalur yang baru saja kami lalui sambil membayangkan bahwa perjalanan masih sangat amat baru dimulai, tapi perut kenyang membuat otak kembali waras serta ucapan lebih manusiawi. 30 menit berjalan ternyata kami sudah sampai di pos mata air 1. Dengan pertimbangan waktu yang nanggung, jadilah kami nge-camp aja.
Di pos mata air 1 ada tanah lapang cukup untuk 5 – 7 tenda tapi kondisinya terbuka tanpa wind breaker serta posisinya di tepi jurang berpohon rindang tempat lutung bersarang. Kami mendirikan tenda tepat di tengah jalur, berharap tidak ada motor lewat atau setidaknya pendaki lain yang mungkin terganggu dengan keberadaan tenda kami. Dan sesuai namanya, terdapat aliran sungai kecil yang katanya selalu mengalir walaupun sedang musim kemarau, hanya berjarak 20 m menuruni persimpangan ke arah kiri kalau dari bawah, air segar melimpah siap membasahi tubuh yang lelah setelah seharian melangkah.
Spoiler for basecamp Baderan - pos mata air 1:
Hari 2 Minggu 16 Juni 2013 (pos mata air 1 – Cikasur)
Pukul 7 pagi, kami yang masih ngantuk-ngantuk-malessedang masak sarapan ketika sayup-sayup mendengar suara meraung seperti gergaji mesin tapi pasti bergerak mendekat dengan cepat. Tak lama kemudian suara yang sedemikian jelas itu membuat kami tiba-tiba kembali sigap merapikan segala yang bertebaran di dalam tenda. Tukang ojek bersepeda motor jadul pabrikan Jepang dengan modifikasi hanya pada ban yang diganti dengan ban motor trail membawa seorang pendaki bertas ransel tidak terlalu besar melewati kami yang ngiler antara menghirup aroma sarapan juga membayangkan kalau punya uang yang berlebih akan mendaki Argopuro lagi dengan naik ojek dari basecamp.
Pukul 8, segala peralatan dan perlengkapan telah tertata rapi dalam carrier, tapi gerimis menunda keberangkatan kami yang berteduh di bawah flysheet. Pukul 9 kami berangkat saat gerimis sedikit berkurang. Kondisi jalur yang dilalui masih sama dengan vegetasi hutan lebat yang sama dan kondisi fisik saya yang juga masih sama KO-nya dibandingkan 2 partner yang masih sama OK-nya!
Pukul 11.30 kami terpaksa berhenti cukup lama, sekira 1 jam, karena ada kerusakan pada tas carrier Wawan. Sementara Wawan menjahit, Amri dan saya mencoba orientasi medan sambil membaca peta dengan kesimpulan bahwa pos mata air 2 sudah terlewati tanpa terdeteksi, mungkin tidak ada papan tanda pos serta tanda panah ke arah mata air, demikian kami menghibur diri.
Sesuai dengan yang kami baca di peta juga, medan selanjutnya adalah menuruni bukit, dan sesuai dugaan kami saat orientasi medan, kami akan tiba di padang rumput luas, hamparan alang-alang hijau kekuningan dengan bunga putih di pucuknya diselingi semak-semak berbunga kuning serta ungu membuat kami terpana dan terpesona untuk selanjutnya terlena dengan kegiatan bernarsis ria di depan kamera, penuh gaya laksana top model ibukota!
Pukul 2 siang, saat kami istirahat makan siang, kembali raungan sepeda motor terdengar dari arah Cikasur dengan bawaan yang lebih heboh, beberapa jerigen nyanthel di atas tumpukan setidaknya 4 karung yang penuh dengan entah apakah isinya. Kali ini kami lebih bisa menguasai diri karena medan datar dengan bentang hutan cemara dan savana silih berganti membuat kami berasumsi lebih bisa menikmati pemandangan dengan berjalan kaki dibandingkan kalo ngojek. Euforia belum habis ketika tiba-tiba terdengar kepak sayap burung merak yang terbang dari persembunyiannya di semak-semak! Sayang kami yang terkejut tidak sempat menangkap momen menakjubkan itu.
Pukul 15.30 kami tiba di reruntuhan bangunan kecil di pinggir lapangan luas, tapi masih butuh berjalan 30 menit lagi untuk sampai di pos Cikasur. Konon pemerintah kolonial Belanda pernah membangun peternakan rusa lengkap dengan pabrik pengalengan dagingnya. Pada masa pendudukan Jepang, Cikasur dijadikan landasan pesawat terbang perintis yang bekas-bekas masih terlihat jelas beserta reruntuhan bangunan yang lebih besar di sisi shelter Cikasur. Shelter ini juga sekaligus titik pertemuan jalur pendakian dari Baderan dengan jalur Tancak. Turun sedikit sebelum tiba di shelter terlihat jelas aliran sungai yang tak pernah kering yang sebagian permukaannya tertutupi tumbuhan selada air segar siap santap tanpa dimasak. Hujan deras dan kabut tebal seusai kami mendirikan tenda membuat pemandangan menjadi demikian syahdu dengan alunan merdu nyanyi satwa savana saling beradu sore itu.
Spoiler for pos mata air 1 - Cikasur:
Hari 3 Senin 17 Juni 2013 (Cikasur – alun-alun Lonceng)
Tak cukup waktu untuk menjelajahi seluruh keindahan Cikasur karena jalan masih teramat jauh, mustahil berlabuh bila kaki tak terkayuh (lagunya Iwan Fals, dengan sedikit improvisasi, hehe....). Seperti pagi sebelumnya, langit yang mendung kembali mencurahkan sebagian rahmat-Nya, menahan kami untuk sementara sampai pukul 9 pagi ketika kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dalam cuaca yang masih gerimis. Jalan setapak memotong padang rumput ke arah kiri kalau dari bawah merupakan jalur ke Tancak sedangkan ke arah puncak mengikuti jalan setapak ke arah kanan mendaki bukit di sisi bekas landasan pacu pesawat.
Sampai di atas bukit, perjalanan kembali dihiasi oleh hutan yang banyak pohon diantaranya telah gosong terbakar serta savana silih berganti dengan medan yang relatif datar. Banyaknya waktu istirahat karena fisik saya yang masih aja kepayahan membuat estimasi waktu tempuh banyak meleset. Setelah 2,5 jam berjalan, kondisi jalur pendakian berubah total menjadi turunan dengan jurang di kiri serta tebing di kanan, jalan setapak yang sempit menjadi tidak terlihat karena rumput lebat yang tingginya mencapai 2 m. 1 jam lamanya kami menuruni lembah untuk kemudian menyeberangi sungai sebelum sampai di shelter Cisentor, tempat kami beristirahat makan siang.
Shelter Cisentor merupakan titik pertemuan jalur pendakian dari Baderan dengan dari Bermi. Berbeda dengan sungai di Cikasur yang kami bisa memilih jalur menyisir punggungan di atasnya, di Cisentor aliran sungai langsung memotong jalur sehingga kami harus menceburkan diri walaupun kedalamannya tak lebih dari mata kaki saja.
Pukul 13.30 kami berangkat lagi, jalur ke puncak adalah yang menanjak di depan shelter sedangkan jalur ke Bermi ada di sisi shelter searah dengan aliran sungai. Sebagaimana situasi menuruni lembah, demikian juga yang terjadi ketika menaikinya. Setelah 30 menit melewati tanjakan semak rimbun kami sampai di savana lagi kemudian bergantian hutan dan savana lagi dengan medan naik yang tidak terlalu terjal.
Pukul 15.30 kami tiba di Rawa Embik. Terdapat aliran sungai kecil tempat kami mengisi penuh semua wadah air karena rencana perjalanan turun lewat jalur trabasan tidak akan ada sumber air lagi sampai ke danau Taman Hidup. 1 jam berjalan lepas Rawa Embik vegetasi sudah berganti dengan edelweis dengan sedikit semerbak aroma belerang yang menandakan kami sudah berada dekat dengan puncak.
Pukul 17.30 kami tiba di alun-alun Lonceng yang merupakan simpang 4 ke arah puncak Argopuro, puncak Rengganis dan jalur trabasan. Sesaat setelah selesai mendirikan tenda di kawasan yang terlindung pepohonan besar kami bertemu dengan warga yang membawa rerumputan dari puncak Rengganis yang katanya akan digunakan untuk campuran minuman keras, mungkin itu adalah tumbuhan akar wangi, entahlah....
Spoiler for Cikasur - alun-alun Lonceng:
Diubah oleh rhoads 15-10-2013 20:35
0
5.8K
21


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan