- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Hidup Pas-pasan, Tetapi Selalu Berkurban di Idul Adha


TS
riksi
Hidup Pas-pasan, Tetapi Selalu Berkurban di Idul Adha
Quote:
Bagi sebagian orang, berkurban mungkin belum dianggap begitu penting, meski dari sisi ekonomi memiliki kemampuan yang cukup bahkan lebih.
Padahal, berkurban dianjurkan bagi setiap umat Islam. Untuk berkurban ini, sebenarnya tidak harus berkecukupan. Dengan penghasilan pas-pasan, jika sudah niat, pasti bisa. Inilah yang dibuktikan Wagiman. Pria kelahiran 13 Desember 1967 ini sengaja menyisihkan sebagian penghasilannya sebagai guru swasta agar bisa berkurban. Dari niat dan tekad itu, dia sudah bisa berkurban setiap tahun sejak 2011 lalu.
Ditemui di kediamannya, GangPancasila, JalanKaryaBakti, Pasar VII Tembung, ternyata Pak Wage panggilan akrab Wagiman, hanya tinggal di sebuah rumah berukuran 7 x 7 meter milik Masjid Taqwa Muhammadiyah di daerah tersebut. Rumah dimana dapur dan ruang tamunya menyatu itu, tepat beradadibelakangMasjidTaqwa Muhhamdiyah. Duduk di kursi plastik yang ada di rumah itu, Wagiman bercerita, sebenarnya sudah sejak lama dia ingin berkurban pada saat Idul Adha. Namun, karena belum sanggup, niatnya itu terus tertunda.
“Kalau lihat orang lain berkurban rasanya sedih dan ingin sekali berkurban. Tapi, karena keadaan ekonomi belum berpihak, niat saya dan istri untuk berkurban harus ditunda,” tutur ayah tiga anak ini didampingi istrinya, Sutiyem. Keinginan Wagiman berkurban akhirnya baru bisa tercapai pada 2011 lalu. Wagiman menuturkan, dia bisaikutberkurbanberkatbantuanwargadiPancasila, JalanKarya Bakti, Pasar VII Tembung yang mempercayaidirinyauntukmenjaga sekaligus mengurus Masjid Taqwa Muhammadiyah.
Setiap hari, sepulang mengajar di SMP Swasta Sablina, Wagiman membersihkan masjid. Apalagi pada hari Jumat, dia mesti menyiapkan shaf untuk warga yang akan melakukan salat Jumat. “Saya kan aktif di pengajian, jadi warga di sini mempercayai saya untuk mengurus masjid. Saya juga ditawari tinggal di rumah milik masjid yang berada di belakang masjid. Ya, waktu itu saya sangat bersyukur. Biarpun rumahnya kecil dan apa adanya, paling tidak saya tidak membayar uang sewa rumah. Dengan begitu saya bisa menabung untuk berkurban,” kata guru PPKN di SMP Swasta Sablina, Jalan Karya Bakti pasar VII, Tembung ini.
Wagiman yang sudah mengajar di SMP Swasta Sablina sejak 1990 ini mengisahkan, dia menyisihkan sebagian penghasilannya khusus untuk berkurban antara Rp50.000–Rp100.000 setiap bulannya. Itu pun dibantu istrinya. Sebab, mengandalkan penghasilannya sebagai guru swasta tidaklah mencukupi kebutuhan rumah tangga.
“Alhamdulillah istri saya ikut membantu dengan cara membuat kacang taujin untuk dititipkan disalah satuwarungbakso. Jadi, penghasilan saya tidak semua ditabung untuk berkurban. Saya juga sedang menabung ingin beli tanah dan membangun rumah sendiri. Tidak mungkin selamanya kami tinggal di rumah milik masjid ini,” ujar alumni UMN tahun 2011 ini. Meskipun kehidupan sehari- hari Wagiman masih dengan keterbatasan, dia bertekad bisa berkurban. Baginya, berkurban adalah bentuk pengamalan dari ibadah yang dia jalani selama ini .
“Karena berkurban ini sifatnya material, makanya harus berusaha. Ada hadis Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan, “kalau tidak berkurban, jangan dekati tempat salat kami”. Hadis itulah yang membuat saya dan istri takut, sehingga keinginan kami untuk berkurban harus dicapai,” katanya yang diamini istrinya. Kini, Wagiman dan istrinya sudah tiga tahun berturut-turut berkurban sejak 2011 lalu.
“Rasanya senang dan merasa ibadahnya lebih lengkap saja. Apalagi dengan keterbatasan saya, bisa berbagi dengan orang lain. Insya Allah, tahun-tahun berikutnya kami masih bisa ikut berkurban lagi,” tandas pria asal Jawa Tengah ini. eko agustyo fb
Padahal, berkurban dianjurkan bagi setiap umat Islam. Untuk berkurban ini, sebenarnya tidak harus berkecukupan. Dengan penghasilan pas-pasan, jika sudah niat, pasti bisa. Inilah yang dibuktikan Wagiman. Pria kelahiran 13 Desember 1967 ini sengaja menyisihkan sebagian penghasilannya sebagai guru swasta agar bisa berkurban. Dari niat dan tekad itu, dia sudah bisa berkurban setiap tahun sejak 2011 lalu.
Ditemui di kediamannya, GangPancasila, JalanKaryaBakti, Pasar VII Tembung, ternyata Pak Wage panggilan akrab Wagiman, hanya tinggal di sebuah rumah berukuran 7 x 7 meter milik Masjid Taqwa Muhammadiyah di daerah tersebut. Rumah dimana dapur dan ruang tamunya menyatu itu, tepat beradadibelakangMasjidTaqwa Muhhamdiyah. Duduk di kursi plastik yang ada di rumah itu, Wagiman bercerita, sebenarnya sudah sejak lama dia ingin berkurban pada saat Idul Adha. Namun, karena belum sanggup, niatnya itu terus tertunda.
“Kalau lihat orang lain berkurban rasanya sedih dan ingin sekali berkurban. Tapi, karena keadaan ekonomi belum berpihak, niat saya dan istri untuk berkurban harus ditunda,” tutur ayah tiga anak ini didampingi istrinya, Sutiyem. Keinginan Wagiman berkurban akhirnya baru bisa tercapai pada 2011 lalu. Wagiman menuturkan, dia bisaikutberkurbanberkatbantuanwargadiPancasila, JalanKarya Bakti, Pasar VII Tembung yang mempercayaidirinyauntukmenjaga sekaligus mengurus Masjid Taqwa Muhammadiyah.
Setiap hari, sepulang mengajar di SMP Swasta Sablina, Wagiman membersihkan masjid. Apalagi pada hari Jumat, dia mesti menyiapkan shaf untuk warga yang akan melakukan salat Jumat. “Saya kan aktif di pengajian, jadi warga di sini mempercayai saya untuk mengurus masjid. Saya juga ditawari tinggal di rumah milik masjid yang berada di belakang masjid. Ya, waktu itu saya sangat bersyukur. Biarpun rumahnya kecil dan apa adanya, paling tidak saya tidak membayar uang sewa rumah. Dengan begitu saya bisa menabung untuk berkurban,” kata guru PPKN di SMP Swasta Sablina, Jalan Karya Bakti pasar VII, Tembung ini.
Wagiman yang sudah mengajar di SMP Swasta Sablina sejak 1990 ini mengisahkan, dia menyisihkan sebagian penghasilannya khusus untuk berkurban antara Rp50.000–Rp100.000 setiap bulannya. Itu pun dibantu istrinya. Sebab, mengandalkan penghasilannya sebagai guru swasta tidaklah mencukupi kebutuhan rumah tangga.
“Alhamdulillah istri saya ikut membantu dengan cara membuat kacang taujin untuk dititipkan disalah satuwarungbakso. Jadi, penghasilan saya tidak semua ditabung untuk berkurban. Saya juga sedang menabung ingin beli tanah dan membangun rumah sendiri. Tidak mungkin selamanya kami tinggal di rumah milik masjid ini,” ujar alumni UMN tahun 2011 ini. Meskipun kehidupan sehari- hari Wagiman masih dengan keterbatasan, dia bertekad bisa berkurban. Baginya, berkurban adalah bentuk pengamalan dari ibadah yang dia jalani selama ini .
“Karena berkurban ini sifatnya material, makanya harus berusaha. Ada hadis Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan, “kalau tidak berkurban, jangan dekati tempat salat kami”. Hadis itulah yang membuat saya dan istri takut, sehingga keinginan kami untuk berkurban harus dicapai,” katanya yang diamini istrinya. Kini, Wagiman dan istrinya sudah tiga tahun berturut-turut berkurban sejak 2011 lalu.
“Rasanya senang dan merasa ibadahnya lebih lengkap saja. Apalagi dengan keterbatasan saya, bisa berbagi dengan orang lain. Insya Allah, tahun-tahun berikutnya kami masih bisa ikut berkurban lagi,” tandas pria asal Jawa Tengah ini. eko agustyo fb
sumbernya gan
Pengen Sekali Ane juga berkurban.....
0
4.8K
Kutip
16
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan