- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
[PENEMUAN BARU] Ditemukan Hiu Berjalan dan Tikus Berdiri di Halmahere
TS
elhubby
[PENEMUAN BARU] Ditemukan Hiu Berjalan dan Tikus Berdiri di Halmahere
Setelah "Hiu Berjalan", Kini Halmahera Punya "Tikus Berduri"
Halmaheramys bokimekot| Jon Fieldsa
Spesies ini adalah omnivora, yang memakan serangga dan vegertasi. Foto: Universitas Kopenhagen
Senin, 23 September 2013 | 19:18 WIB
Halmaheramys bokimekot| Jon Fieldsa
Spesies ini adalah omnivora, yang memakan serangga dan vegertasi. Foto: Universitas Kopenhagen
Senin, 23 September 2013 | 19:18 WIB
Quote:
KOMPAS.com- Satu lagi kekayaan biodiversitas Halmahera terungkap. Setelah beberapa waktu lalu ilmuwan mengungkap keberadaan jenis baru "hiu berjalan" di perairan wilayah tersebut, kini ilmuwan mengungkap adanya spesies baru "tikus berduri".
Spesies tikus yang kemudian disebut tikus berduri Boki Mekot, sesuai nama tempat penemuannya, itu ditemukan lewat proyek penelitian dari ilmuwan University of Copenhagen dan Museum Zoologi Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Tim membuat jebakan dengan umpan kelapa bakar dan selai kacang, ditempatkan pada batang pohon dan bukaan liang. Tim kemudian mengambil spesimen tikus serta menganalisisnya baik secara morfologi dan genetik.
Dengan analisis tersebut, tim menemukan spesies yang punya nama latin Halmaheramys bokimekot ini. Dalam publikasi di Zoological Journal of the Linnean Society, tim mengungkap bahwa tikus itu bukan sekadar spesies baru, tetapi juga genus baru.
"Jenis hewan pengerat ini menggarisbawahi besarnya jumlah keanekaragaman hayati yang belum diketahui di wilayah itu dan betapa penting upaya konservasinya," kata Perre-Henri Fabre, pimpinan peneliti dari Center of Macroecology, Evolution, and Climate di University of Copenhagen.
"Penemuan ini menunjukkan masih banyaknya kekayaan kehidupan yang belum ditemukan, terutama dari wilayah kepulauan di Indonesia," kata Kristofer Helgen dari Smithsonian Institution seperti dikutip BBC, Jumat (20/9/2013).
Seperti namanya, tikus jenis baru yang ditemukan ini memiliki bulu-bulu yang keras menyerupai duri. Bagian punggung tubuhnya berwarna coklat dengan ujung ekor berwarna putih serta bagian perut yang kelabu terang.
Temuan ini menarik karena sekaligus menggarisbawahi keragaman biota di Maluku yang menjadi salah satu tempat yang menginspirasi lahirnya teori evolusi. Dahulu, karena pengamatan di wilayah Maluku, Alfred Wallace menulis surat kepada Charles Darwin yang kemudian memublikasikan The Origin of Species.
Temuan juga mendukung pemikiran Wallace tentang perbedaan fauna di timur dan barat wilayah Indonesia, yang dipisahkan oleh garis Wallace. H. bokimekot memiliki kekhasan. Sementara kebanyakan hewan di timur Indonesia punya karakteristik Australia, spesies ini lebih menunjukkan karakteristik Asia.
Spesies tikus yang kemudian disebut tikus berduri Boki Mekot, sesuai nama tempat penemuannya, itu ditemukan lewat proyek penelitian dari ilmuwan University of Copenhagen dan Museum Zoologi Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Tim membuat jebakan dengan umpan kelapa bakar dan selai kacang, ditempatkan pada batang pohon dan bukaan liang. Tim kemudian mengambil spesimen tikus serta menganalisisnya baik secara morfologi dan genetik.
Dengan analisis tersebut, tim menemukan spesies yang punya nama latin Halmaheramys bokimekot ini. Dalam publikasi di Zoological Journal of the Linnean Society, tim mengungkap bahwa tikus itu bukan sekadar spesies baru, tetapi juga genus baru.
"Jenis hewan pengerat ini menggarisbawahi besarnya jumlah keanekaragaman hayati yang belum diketahui di wilayah itu dan betapa penting upaya konservasinya," kata Perre-Henri Fabre, pimpinan peneliti dari Center of Macroecology, Evolution, and Climate di University of Copenhagen.
"Penemuan ini menunjukkan masih banyaknya kekayaan kehidupan yang belum ditemukan, terutama dari wilayah kepulauan di Indonesia," kata Kristofer Helgen dari Smithsonian Institution seperti dikutip BBC, Jumat (20/9/2013).
Seperti namanya, tikus jenis baru yang ditemukan ini memiliki bulu-bulu yang keras menyerupai duri. Bagian punggung tubuhnya berwarna coklat dengan ujung ekor berwarna putih serta bagian perut yang kelabu terang.
Temuan ini menarik karena sekaligus menggarisbawahi keragaman biota di Maluku yang menjadi salah satu tempat yang menginspirasi lahirnya teori evolusi. Dahulu, karena pengamatan di wilayah Maluku, Alfred Wallace menulis surat kepada Charles Darwin yang kemudian memublikasikan The Origin of Species.
Temuan juga mendukung pemikiran Wallace tentang perbedaan fauna di timur dan barat wilayah Indonesia, yang dipisahkan oleh garis Wallace. H. bokimekot memiliki kekhasan. Sementara kebanyakan hewan di timur Indonesia punya karakteristik Australia, spesies ini lebih menunjukkan karakteristik Asia.
Penemuan ini menunjukkan masih banyaknya kekayaan kehidupan yang belum ditemukan, terutama dari wilayah kepulauan di Indonesia, bule saja bisa berkata demikian gan. Indonesia kita kaya akan keanekaragaman hayati, kita layak bangga gan
Tapi lebih dari itu, menjaga kelestarian keanekaragaman hayati tersebut jauh lebih penting
Tahun 1854 - 1862 Alfred Wallace namanya sdh tercatat dalam pelajaran biologi dunia melakukan penelitian di Indonesia gan, kita pantas bangga atas kekayaan hayati ini
Hiu "Berjalan" Jenis Baru Ditemukan di Halmahera
Hemiscyllum halmahera| Mark Erdmann/CI
Kamis, 29 Agustus 2013 | 17:56 WIB
Hemiscyllum halmahera| Mark Erdmann/CI
Kamis, 29 Agustus 2013 | 17:56 WIB
Quote:
JAKARTA, KOMPAS.com— Harta karun laut dari kawasan Segi Tiga Terumbu Karang kembali diungkap, kali ini di wilayah Halmahera. Ilmuwan mengonfirmasi keberadaan spesies baru hiu berjalan di wilayah tersebut yang kemudian dinamai Hemiscyllum halmahera.
Kisah penemuan hiu berjalan itu cukup panjang, bermula dari foto yang diambil oleh penyelam asal Inggris, Graham Abbott, di perairan selatan Halmahera pada tahun 2007.
Abbot mengirim foto jepretannya kepada Conservation International (CI) untuk menanyakan apakah foto menunjukkan spesies hiu berjalan sama dengan yang ditemukan di Kaimana dan Cendrawasih, yang baru saja ditemukan saat itu.
Dari foto itu, ilmuwan di CI menyadari adanya perbedaan. Tahun 2008, bekerja sama dengan pemerintah provinsi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Universitas Khairun, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), dan The Nature Conservancy (TNC), CI melakukan survei potensi konservasi kelautan dan pariwisata bahari di Halmahera, di mana hiu berjalan ini dapat difoto lagi, tetapi spesimennya belum berhasil dikoleksi.
Baru pada tahun 2012, dua spesimen hiu tersebut berhasil dikoleksi. Penelitian berdasarkan spesimen itu akhirnya berhasil mengungkap kebaruan spesies hiu berjalan di Halmahera itu. Secara resmi, hiu berjalan Halmahera diumumkan sebagai spesies baru lewat publikasi di Journal of Ichtyology yang terbit pada Juli 2013.
"Perbedaan signifikan spesies hiu berjalan ini adalah pada pola warnanya, utamanya adanya sepasang bintik di bagian bawah kepalanya, sementara bintik-bintik yang ada di bawah kepala lainnya membentuk pola menyerupai huruf U," kata Mark Erdmann dari CI, yang juga terlibat dalam identifikasi.
Pakar hiu dari LIPI, Fahmi, yang sedang melakukan penelitian tentang genus Hemiscyllium, mengungkapkan bahwa penemuan ini semakin menggarisbawahi keragaman hiu di perairan Indonesia timur.
"Ini merupakan spesies hiu berjalan ketiga yang dideskripsikan dari Indonesia timur dalam enam tahun terakhir, yang menunjukkan keanekaragaman elasmobrach di Indonesia," kata Fahmi.
Fahmi mengungkapkan, hiu berjalan merupakan spesies yang hidup di perairan laut dangkal. Dikatakan berjalan karena gerakannya yang mirip dengan gerakan berjalan fauna darat. Kenyataannya, hiu berjalan meliuk dengan menggunakan siripnya. Hiu ini bisa berenang, tetapi hanya mempergunakan kemampuan berenangnya untuk melarikan diri dari predator.
Menurut Fahmi, hiu berjalan memiliki perbedaan dengan hiu yang pada umumnya dikenal manusia. Hiu berjalan jinak. Cara pernapasannya pun berbeda. Golongan hiu ini hanya memakan udang, kepiting, dan hewan-hewan kecil lainnya. Hiu berjalan punya gigi yang membantunya menggerus makanan yang bercangkang.
Hingga kini, baru ada sembilan spesies hiu berjalan yang ditemukan. Enam dari sembilan spesies tersebut ditemukan di wilayah Indonesia, sementara tiga lainnya tersebar terbatas di wilayah Papua Niugini dan utara Australia.
Hiu berjalan yang pertama ditemukan adalah H. ocellatum di Australia. Selanjutnya, hiu berjalan ditemukan di Raja Ampat pada tahun 1824 (H. freycineti), Australia pada 1843 (H. trispeculare), dan Papua Niugini pada 1967 (H. hallstromi dan H. strahani).
Dalam satu dekade terakhir sebelum temuan kali ini, ditemukan tiga spesies hiu berjalan baru, di Kaimana (H. henryi) dan Cendrawasih (H. galei) tahun 2008 dan Papua Niugini (H. michaeli) tahun 2010.
Fahmi menguraikan, hiu berjalan yang berhabitat di laut dangkal merupakan hiu yang lebih modern dari hiu perenang dan buas yang hidup di laut dalam. “Semakin ke darat maka semakin modern. Jadi, hiu berjalan ini lebih modern dari hiu umumnya,” kata Fahmi.
Hiu berjalan merupakan jenis hiu yang relatif baru dikenal. Istilah hiu berjalan sendiri tergolong baru. Dahulu, ilmuwan biasa menyebutnya hiu tokek.
“Karena baru, masih banyak yang belum kita ketahui tentang hiu ini,” ungkap Fahmi.
Saat ini, Fahmi dan timnya akan berupaya untuk mengungkap genetikanya, hubungan kekerabatan antar-jenis hiu berjalan, serta proses evolusi yang menciptakannya.
Journal of Ichtyology Penyebaran hiu genus Hemiscyllum. H. freycineti (lingkaran kuning), H. galei (tanda bintang putih), H. henryi (tanda bintang kuning), H. hallstromi (kotak putih), H. halmahera (lingkaran hijau), H. strahani (kotak merah), and H. michaeli (lingkaran merah).
Petunjuk sejarah geologi Halmahera
Erdmann mengatakan, temuan H. halmaheramenarik karena mampu menunjukkan kemiripan distribusi hiu berjalan dengan burung cenderawasih dan sejarah geologi Halmahera.
"Penemuan spesies ini menarik karena genus Hemiscyllium sebelumnya hanya ditemukan di Papua dan wilayah utara Australia. Kini, seperti burung cenderawasih, ditemukan pula spesies yang berasal dari Halmahera. Ini menunjukkan betapa dekat hubungan Papua dengan Halmahera."
Hiu berjalan adalah fauna yang memiliki kemampuan gerak yang sangat terbatas. Bahkan, dalam publikasi penemuan ini di Journal of Ichtyology, Juli 2013, Erdmann mengungkapkan bahwa hiu berjalan ini mungkin tidak sanggup mengatasi banyak hambatan di lautan.
Dengan keterbatasan tersebut, pertanyaan tentang keberadaan hiu berjalan di Halmahera muncul. Bagaimana bisa spesies yang semula tersebar hanya di Papua dan Australia bagian utara itu bisa terdapat juga di Halmahera yang berjarak 300 kilometer ke barat?
Publikasi menyebutkan bahwa sangat mungkin spesies H. halmahera yang ada kini merupakan keturunan dari moyangnya yang hidup di salah satu fragmen wilayah Halmahera yang dulu masih berdekatan dengan Papua.
Salah satu teori mengungkapkan, ada fragmen wilayah Halmahera dahulu berdekatan dengan Papua. Namun, pada masa Miocene dan Pleistocene, fragmen itu bergerak menjauh ke barat, mencapai wilayahnya kini pada beberapa juta tahun lalu.
Akibat proses tersebut, moyang H. halmahera seperti terseret ke wilayahnya sekarang, sedemikian sehingga jenis itu terus berkembang dan bisa eksis di perairan Halmahera hingga saat ini.
Pakar tektonik dari Institut Teknologi Bandung, Irwan Meilano, mengungkapkan bahwa skenario geologi yang kemudian memengaruhi biodiversitas Halmahera itu "sangat mungkin."
Menurutnya, Halmahera setidaknya dipengaruhi oleh lempeng Filipina dan subduksi ganda yang berada di tengah wilayahnya. Subduksi ganda adalah pertemuan antar dua lempeng yang saling mendorong satu sama lain. Subduksi ganda seperti di Halmahera hanya sedikit di dunia.
Pergerakan fragmen wilayah Halmahera di menjauhi Papua sendiri, kata Irwan, diduga kuat karena aktivitas lempeng Filipina. Kepastian waktu pergerakan itu belum diketahui.
"Kalau saat ini, Halmahera sedang bergerak ke barat," kata Irwan. Secara teoretis, pergerakan itu sangat mungkin memengaruhi keragaman fauna di Halmahera pada masa mendatang.
Mark Erdmann/CI Hemiscyllum halmahera
Rentan dan perlu perlindungan
Selain memiliki gerak yang terbatas, penyebaran spesies baru hiu berjalan ini pun sangat terbatas. H. halmaherasendiri hanya bisa ditemui di Halmahera dan Pantai Weda, wilayah selatan Halmahera.
"Karena H. halmahera memiliki distribusi yang sangat terbatas maka sudah secara otomatis spesies itu dikategorikan rentan terhadap kepunahan," kata Erdmann lewat surat elektronik kepada Kompas.com beberapa waktu lalu.
"Total populasinya sangat sulit untuk dikatakan, tetapi saya memperkirakan dengan terbatasnya wilayah distribusi, jumlahnya tidak lebih dari 10.000 individu," papar Erdmann.
Memang, saat ini hiu berjalan tidak banyak mendapatkan ancaman seperti hiu lain yang diburu untuk siripnya. Namun, dengan kekhasan dan endemisitasnya, hiu ini layak mendapatkan perlindungan khusus.
Perlindungan spesies hiu berjalan tidak hanya memberikan manfaat bagi eksistensi spesies itu sendiri. Bak harta karun yang bila ditemukan akan memperkaya pemiliknya, demikian pula halnya dengan hiu berjalan di Halmahera ini.
Perilaku hiu berjalan meliuk dengan siripnya selama ini banyak menarik perhatian penyelam. Bila dipelihara kelestariannya, Pemerintah Provinsi Maluku bisa memanfaatkan spesies H. halmahera sebagai aset pariwisata bawah laut. Paket wisata seperti walking shark sighting bisa dijual.
Agus Dermawan, Direktur Direktorat Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Ditjen KP3K, Kementerian Kelautan dan Perikanan, mengatakan, selama ini terbukti bahwa harta karun laut seperti hiu dan manta memiliki nilai ekonomi besar bila dipelihara kelestariannya.
Hiu yang dibiarkan hidup menjadi obyek wisata bahari memberi sumbangan devisa Rp 300 juta hingga Rp 1,8 miliar per tahun. Sementara bila dibunuh untuk mendapatkan siripnya, nilainya hanya Rp 1,3 juta per ekor.
Sementara, ungkap Agus, bila dibiarkan hidup, manta dapat memiliki nilai hingga 1,9 juta dollar AS untuk perekonomian kita sepanjang hidupnya, dibandingkan dengan nilai jual dari daging dan insangnya yang hanya bernilai 40–200 dollar AS.
Agus mengungkapkan, banyak spesies hiu, manta, serta jenis ikan lain di perairan Indonesia timur terancam oleh praktik perikanan yang tak ramah lingkungan, seperti pengeboman ikan dan penangkapan sirip hiu untuk mendapatkan siripnya.
Direktur CI, Ketut Sarjana Putra, mengatakan, “Hiu berjalan baru dari Halmahera dapat menjadi duta sempurna untuk menarik perhatian publik pada kenyataan bahwa kebanyakan hiu tidak berbahaya bagi manusia dan layak mendapat perhatian konservasi pada saat populasi hiu-hiu ini sangat terancam oleh penangkapan berlebih."
Kawasan Maluku dan Papua adalah surga biodiversitas. Namun, biodiversitas itu kini menghadapi ancaman, tidak hanya oleh aktivitas di laut, tetapi juga di daratan, seperti sampah plastik dan program reklamasi pantai.
Hiu halmahera, si harta laut yang langka, bisa menyejahterakan atau hilang sia-sia. Semua tergantung bagaimana kita memperlakukannya. Satu hal yang perlu diingat pula, belum semua harta karun laut timur Indonesia yang terungkap. Bila hiu Halmahera ini sampai hilang, maka boleh jadi Indonesia juga kehilangan harta lainnya yang belum diketahui.
Kisah penemuan hiu berjalan itu cukup panjang, bermula dari foto yang diambil oleh penyelam asal Inggris, Graham Abbott, di perairan selatan Halmahera pada tahun 2007.
Abbot mengirim foto jepretannya kepada Conservation International (CI) untuk menanyakan apakah foto menunjukkan spesies hiu berjalan sama dengan yang ditemukan di Kaimana dan Cendrawasih, yang baru saja ditemukan saat itu.
Dari foto itu, ilmuwan di CI menyadari adanya perbedaan. Tahun 2008, bekerja sama dengan pemerintah provinsi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Universitas Khairun, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), dan The Nature Conservancy (TNC), CI melakukan survei potensi konservasi kelautan dan pariwisata bahari di Halmahera, di mana hiu berjalan ini dapat difoto lagi, tetapi spesimennya belum berhasil dikoleksi.
Baru pada tahun 2012, dua spesimen hiu tersebut berhasil dikoleksi. Penelitian berdasarkan spesimen itu akhirnya berhasil mengungkap kebaruan spesies hiu berjalan di Halmahera itu. Secara resmi, hiu berjalan Halmahera diumumkan sebagai spesies baru lewat publikasi di Journal of Ichtyology yang terbit pada Juli 2013.
"Perbedaan signifikan spesies hiu berjalan ini adalah pada pola warnanya, utamanya adanya sepasang bintik di bagian bawah kepalanya, sementara bintik-bintik yang ada di bawah kepala lainnya membentuk pola menyerupai huruf U," kata Mark Erdmann dari CI, yang juga terlibat dalam identifikasi.
Pakar hiu dari LIPI, Fahmi, yang sedang melakukan penelitian tentang genus Hemiscyllium, mengungkapkan bahwa penemuan ini semakin menggarisbawahi keragaman hiu di perairan Indonesia timur.
"Ini merupakan spesies hiu berjalan ketiga yang dideskripsikan dari Indonesia timur dalam enam tahun terakhir, yang menunjukkan keanekaragaman elasmobrach di Indonesia," kata Fahmi.
Fahmi mengungkapkan, hiu berjalan merupakan spesies yang hidup di perairan laut dangkal. Dikatakan berjalan karena gerakannya yang mirip dengan gerakan berjalan fauna darat. Kenyataannya, hiu berjalan meliuk dengan menggunakan siripnya. Hiu ini bisa berenang, tetapi hanya mempergunakan kemampuan berenangnya untuk melarikan diri dari predator.
Menurut Fahmi, hiu berjalan memiliki perbedaan dengan hiu yang pada umumnya dikenal manusia. Hiu berjalan jinak. Cara pernapasannya pun berbeda. Golongan hiu ini hanya memakan udang, kepiting, dan hewan-hewan kecil lainnya. Hiu berjalan punya gigi yang membantunya menggerus makanan yang bercangkang.
Hingga kini, baru ada sembilan spesies hiu berjalan yang ditemukan. Enam dari sembilan spesies tersebut ditemukan di wilayah Indonesia, sementara tiga lainnya tersebar terbatas di wilayah Papua Niugini dan utara Australia.
Hiu berjalan yang pertama ditemukan adalah H. ocellatum di Australia. Selanjutnya, hiu berjalan ditemukan di Raja Ampat pada tahun 1824 (H. freycineti), Australia pada 1843 (H. trispeculare), dan Papua Niugini pada 1967 (H. hallstromi dan H. strahani).
Dalam satu dekade terakhir sebelum temuan kali ini, ditemukan tiga spesies hiu berjalan baru, di Kaimana (H. henryi) dan Cendrawasih (H. galei) tahun 2008 dan Papua Niugini (H. michaeli) tahun 2010.
Fahmi menguraikan, hiu berjalan yang berhabitat di laut dangkal merupakan hiu yang lebih modern dari hiu perenang dan buas yang hidup di laut dalam. “Semakin ke darat maka semakin modern. Jadi, hiu berjalan ini lebih modern dari hiu umumnya,” kata Fahmi.
Hiu berjalan merupakan jenis hiu yang relatif baru dikenal. Istilah hiu berjalan sendiri tergolong baru. Dahulu, ilmuwan biasa menyebutnya hiu tokek.
“Karena baru, masih banyak yang belum kita ketahui tentang hiu ini,” ungkap Fahmi.
Saat ini, Fahmi dan timnya akan berupaya untuk mengungkap genetikanya, hubungan kekerabatan antar-jenis hiu berjalan, serta proses evolusi yang menciptakannya.
Journal of Ichtyology Penyebaran hiu genus Hemiscyllum. H. freycineti (lingkaran kuning), H. galei (tanda bintang putih), H. henryi (tanda bintang kuning), H. hallstromi (kotak putih), H. halmahera (lingkaran hijau), H. strahani (kotak merah), and H. michaeli (lingkaran merah).
Petunjuk sejarah geologi Halmahera
Erdmann mengatakan, temuan H. halmaheramenarik karena mampu menunjukkan kemiripan distribusi hiu berjalan dengan burung cenderawasih dan sejarah geologi Halmahera.
"Penemuan spesies ini menarik karena genus Hemiscyllium sebelumnya hanya ditemukan di Papua dan wilayah utara Australia. Kini, seperti burung cenderawasih, ditemukan pula spesies yang berasal dari Halmahera. Ini menunjukkan betapa dekat hubungan Papua dengan Halmahera."
Hiu berjalan adalah fauna yang memiliki kemampuan gerak yang sangat terbatas. Bahkan, dalam publikasi penemuan ini di Journal of Ichtyology, Juli 2013, Erdmann mengungkapkan bahwa hiu berjalan ini mungkin tidak sanggup mengatasi banyak hambatan di lautan.
Dengan keterbatasan tersebut, pertanyaan tentang keberadaan hiu berjalan di Halmahera muncul. Bagaimana bisa spesies yang semula tersebar hanya di Papua dan Australia bagian utara itu bisa terdapat juga di Halmahera yang berjarak 300 kilometer ke barat?
Publikasi menyebutkan bahwa sangat mungkin spesies H. halmahera yang ada kini merupakan keturunan dari moyangnya yang hidup di salah satu fragmen wilayah Halmahera yang dulu masih berdekatan dengan Papua.
Salah satu teori mengungkapkan, ada fragmen wilayah Halmahera dahulu berdekatan dengan Papua. Namun, pada masa Miocene dan Pleistocene, fragmen itu bergerak menjauh ke barat, mencapai wilayahnya kini pada beberapa juta tahun lalu.
Akibat proses tersebut, moyang H. halmahera seperti terseret ke wilayahnya sekarang, sedemikian sehingga jenis itu terus berkembang dan bisa eksis di perairan Halmahera hingga saat ini.
Pakar tektonik dari Institut Teknologi Bandung, Irwan Meilano, mengungkapkan bahwa skenario geologi yang kemudian memengaruhi biodiversitas Halmahera itu "sangat mungkin."
Menurutnya, Halmahera setidaknya dipengaruhi oleh lempeng Filipina dan subduksi ganda yang berada di tengah wilayahnya. Subduksi ganda adalah pertemuan antar dua lempeng yang saling mendorong satu sama lain. Subduksi ganda seperti di Halmahera hanya sedikit di dunia.
Pergerakan fragmen wilayah Halmahera di menjauhi Papua sendiri, kata Irwan, diduga kuat karena aktivitas lempeng Filipina. Kepastian waktu pergerakan itu belum diketahui.
"Kalau saat ini, Halmahera sedang bergerak ke barat," kata Irwan. Secara teoretis, pergerakan itu sangat mungkin memengaruhi keragaman fauna di Halmahera pada masa mendatang.
Mark Erdmann/CI Hemiscyllum halmahera
Rentan dan perlu perlindungan
Selain memiliki gerak yang terbatas, penyebaran spesies baru hiu berjalan ini pun sangat terbatas. H. halmaherasendiri hanya bisa ditemui di Halmahera dan Pantai Weda, wilayah selatan Halmahera.
"Karena H. halmahera memiliki distribusi yang sangat terbatas maka sudah secara otomatis spesies itu dikategorikan rentan terhadap kepunahan," kata Erdmann lewat surat elektronik kepada Kompas.com beberapa waktu lalu.
"Total populasinya sangat sulit untuk dikatakan, tetapi saya memperkirakan dengan terbatasnya wilayah distribusi, jumlahnya tidak lebih dari 10.000 individu," papar Erdmann.
Memang, saat ini hiu berjalan tidak banyak mendapatkan ancaman seperti hiu lain yang diburu untuk siripnya. Namun, dengan kekhasan dan endemisitasnya, hiu ini layak mendapatkan perlindungan khusus.
Perlindungan spesies hiu berjalan tidak hanya memberikan manfaat bagi eksistensi spesies itu sendiri. Bak harta karun yang bila ditemukan akan memperkaya pemiliknya, demikian pula halnya dengan hiu berjalan di Halmahera ini.
Perilaku hiu berjalan meliuk dengan siripnya selama ini banyak menarik perhatian penyelam. Bila dipelihara kelestariannya, Pemerintah Provinsi Maluku bisa memanfaatkan spesies H. halmahera sebagai aset pariwisata bawah laut. Paket wisata seperti walking shark sighting bisa dijual.
Agus Dermawan, Direktur Direktorat Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Ditjen KP3K, Kementerian Kelautan dan Perikanan, mengatakan, selama ini terbukti bahwa harta karun laut seperti hiu dan manta memiliki nilai ekonomi besar bila dipelihara kelestariannya.
Hiu yang dibiarkan hidup menjadi obyek wisata bahari memberi sumbangan devisa Rp 300 juta hingga Rp 1,8 miliar per tahun. Sementara bila dibunuh untuk mendapatkan siripnya, nilainya hanya Rp 1,3 juta per ekor.
Sementara, ungkap Agus, bila dibiarkan hidup, manta dapat memiliki nilai hingga 1,9 juta dollar AS untuk perekonomian kita sepanjang hidupnya, dibandingkan dengan nilai jual dari daging dan insangnya yang hanya bernilai 40–200 dollar AS.
Agus mengungkapkan, banyak spesies hiu, manta, serta jenis ikan lain di perairan Indonesia timur terancam oleh praktik perikanan yang tak ramah lingkungan, seperti pengeboman ikan dan penangkapan sirip hiu untuk mendapatkan siripnya.
Direktur CI, Ketut Sarjana Putra, mengatakan, “Hiu berjalan baru dari Halmahera dapat menjadi duta sempurna untuk menarik perhatian publik pada kenyataan bahwa kebanyakan hiu tidak berbahaya bagi manusia dan layak mendapat perhatian konservasi pada saat populasi hiu-hiu ini sangat terancam oleh penangkapan berlebih."
Kawasan Maluku dan Papua adalah surga biodiversitas. Namun, biodiversitas itu kini menghadapi ancaman, tidak hanya oleh aktivitas di laut, tetapi juga di daratan, seperti sampah plastik dan program reklamasi pantai.
Hiu halmahera, si harta laut yang langka, bisa menyejahterakan atau hilang sia-sia. Semua tergantung bagaimana kita memperlakukannya. Satu hal yang perlu diingat pula, belum semua harta karun laut timur Indonesia yang terungkap. Bila hiu Halmahera ini sampai hilang, maka boleh jadi Indonesia juga kehilangan harta lainnya yang belum diketahui.
Diubah oleh elhubby 28-09-2013 02:50
0
7.8K
Kutip
55
Balasan
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan